Model Pengembangan Institusi Ekowisata Untuk Menyelesaikan Konflik Di Taman Nasional Gunung Halimun Salak

(1)

MODEL PENGEMBANGAN INSTITUSI EKOWISATA

UNTUK PENYELESAIAN KONFLIK

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK

SUDHIANI PRATIWI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI

DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengembangan Institusi Ekowisata untuk Penyelesaian Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, 5 Maret 2008 Sudhiani Pratiwi NIM P 062050011


(3)

Conflict Resolution in Gunung Halimun-Salak National Park. Supervised by HADI S. ALIKODRA as a Principal Advisor, SOEHARTINI SEKARTJAKRARINI and HARIADI KARTODIHARDJO as Co-Advisor.

The establishment process of Gunung Halimun-Salak National Park resulted in tenurial insecurity for local people, farmers, and hunters. This condition leads to the open conflict between locals and the government. The aims of this study are 1) to identify the sources and the types of conflict as well as the factors that influence the conflict; 2) to analyze the conflict from institutional aspect, and 3) to evaluate the existing ecotourism development, its performance in implementing the ideal criteria of ecotourism concept and its implication to the existing conflict.

Using a qualitative study research method, this study employs two conceptual approach. They are institutionalist tenure security and ecotourism concepts. Three main analytical methods that used to achieve the aims of this study are: 1) conflict analysis; 2) institutional analysis (consist of stakeholder’s analysis, policy analysis, and need analysis); and 3) performance analysis of the existing ecotourism development.

The results of the study indicated that rights and access have been the main sources of conflict. Rights, access, or both have caused the same type of conflict, open conflict. From institutional aspect, it can be identified that the conflict rises due to the establishment process of the national park. It does not base on collective perception of the stakeholders. The existing institution could not resolve the conflict because the stakeholders have failed to reach a decision on what kind of property regime they should agree on. Moreover, implementation process of the existing policies does not provide sufficient mechanism for Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak to get support from the stakeholders due to lack of knowledge on related policies, resources, and administrative matters.

It is proved empirically that ecotourism has the role in resolving conflict on access by providing job opportunity and additional income for the locals. Furthermore, as an operational concept of sustainable development, ecotourism has become one the ways for national park to achieve their conservation program. In addition, through the development process of ecotourism, stakeholders could build constructive communication and collaboration. Hence, it is also proved empirically that ecotourism can be used as a media for conflict resolution. Unfortunately, this role could not be achieved properly because the ecotourism development in the case study does not fulfill the ideal criteria of ecotourism concept.

To improve the implication of ecotourism development on the conflict of access, the existing condition of institution should be enhanced. This study recommend 1) to increase the role and the capacity of stakeholders and 2) to reconstruct and establish the rule of game as well as the division of rights and responsibilities among the stakeholders to manage the natural resources.

___________________


(4)

RINGKASAN

SUDHIANI PRATIWI. Model Pengembangan Institusi Ekowisata untuk Penyelesaian Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA sebagai ketua, SOEHARTINI SEKARTJAKRARINI dan HARIADI KARTODIHARDJO sebagai anggota.

Penetapan kawasan konservasi merupakan salah satu langkah pemerintah dalam menangani persoalan degradasi keanekaragaman hayati. Dari luas kawasan konservasi sebesar 28.2 juta Ha yang terdapat di Indonesia, 58% diantaranya ialah taman nasional. Dalam pelaksanaannya, proses penetapan dan pengelolaan kawasan taman nasional ini menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal.

Untuk merespon persoalan tersebut, dalam penelitian ini dilakukan analisis konflik terhadap proses penetapan taman nasional dengan mengidentifikasi penyebab dan tipe konflik serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk mendapat pemahaman lebih lanjut, dilakukan analisis terhadap penyebab konflik ditinjau dari aspek institusi. Selain itu, sebagai salah satu konsep operasional dari konsep pembangunan berkelanjutan, penelitian ini juga melakukan identifikasi dan analisis mengenai implikasi pengembangan ekowisata terhadap konflik yang ada.

Ada dua konsep pendekatan yang digunakan. Pertama, konsep Institutionalist Tenure Security yang digunakan sebagai pendekatan dalam analisis institusi. Konsep ini merupakan salah satu dari empat aliran pemikiran (school of thought) yang biasa digunakan untuk merespond persoalan tenurial insecurity di masyarakat. Kedua, konsep ekowisata digunakan untuk mengidentifikasi kriteria kecukupan pengembangan ekowisata yang ada dan implikasinya terhadap konflik. Kriteria yang digunakan mengacu pada konsep ekowisata yang sudah dikembangkan oleh penelitian sebelumnya termasuk definisi ekowisata yang ditetapkan oleh Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia (sekarang Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia) pada tahun 2004.

Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dengan memfokuskan pada sebuah studi kasus. Lokasi penelitian dilakukan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) yang terletak di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Untuk pengambilan data, empat lokasi dipilih yaitu Desa Cisarua dan Desa Malasari di Kabupaten Bogor, Desa Sirnarasa di Kabupaten Sukabumi, dan Desa Citorek di Kabupaten Lebak.

Baik data primer maupun sekunder digunakan dalam analisis. Pengumpulan data primer dilakukan dengan dua cara. Pertama, melakukan observasi untuk verifikasi data dan informasi yang diperoleh dari data sekunder. Kedua, melakukan survei dengan menggunakan teknik wawancara dan kuesioner. Responden dipilih dengan menggunakan metode snowball. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dengan menggunakan non-propability sampling design yaitu convenience dan purposive sampling. Convinience sampling digunakan karena populasi dokumen yang terkait dengan penelitian tidak dapat diidentifikasi. Sedangkan purposive sampling design digunakan untuk menemukan dokumen yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis pemetaan konflik, analisis institusi (terdiri dari analisis stakeholders, analisis kebijakan dan analisis kebutuhan) dan


(5)

Hasil Analisis menunjukan bahwa ada empat penyebab konflik di lokasi studi yaitu perbedaan sistem nilai yang berimplikasi pada konflik ketidaksepakatan status lahan dan tata batas serta konflik ketidakpastian akses. Penyebab konflik tersebut mengindikasikan bahwa konflik di lokasi studi adalah persoalan hak dan akses. Berdasarkan pengamatan di empat lokasi studi, konflik hak, akses atau keduanya menimbulkan tipe konflik yang sama yaitu konflik terbuka. Hal ini disebabkan karena baik persoalan hak maupun akses mempengaruhi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lokal.

Dari aspek institusi, hasil analisis mengindikasikan bahwa penunjukan kawasan TNGHS tidak ditentukan oleh persepsi kolektif sehingga kurang mendapat dukungan para pihak. Institusi yang ada tidak berhasil menyelesaikan konflik disebabkan oleh kegagalan para pihak untuk memahami akar persoalan dan menyepakati rejim properti yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Selain itu, proses implementasi peraturan perundangan yang ada tidak memungkinkan Balai TNGHS untuk mendapat dukungan dari para pihak. Hal ini disebabkan diantaranya karena kendala pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan perundangan, keterbatasan sumberdaya serta persoalan sistem administrasi dan birokrasi.

Secara empiris, ekowisata dapat berperan sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan konflik ketidakpastian akses. Hal ini dapat diidentifikasi dari adanya dampak positif pengembangan ekowisata terhadap perekonomian lokal melalui peningkatan pendapatan dan diversifikasi lapangan pekerjaan. Dalam proses pengembangannya, ekowisata dapat menjadi salah satu media untuk membangun komunikasi dan hubungan antar stakeholders yang konstruktif. Selain itu, ekowisata juga berperan dalam menjembatani kebutuhan para pihak yang berkonflik. Misalnya, kebutuhan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan kegiatan konservasi bagi BTNGHS. Namun, peran ini belum optimal karena konsep ekowisata yang digunakan di lokasi studi belum memenuhi kriteria kecukupan ekowisata yang ideal.

Agar pengembangan ekowisata di lokasi studi dapat berkontribusi terhadap konflik yang ada, maka diperlukan langkah-langkah perbaikan seperti yang diindikasikan pada analisis. Untuk itu, dalam disertasi ini dibangun suatu model pengembangan institusi ekowisata yang dapat menjadi acuan dalam pelaksanaannya. Salah satu langkah yang perlu dilakukan ialah perubahan atau perbaikan terhadap institusi yang ada. Dari aspek institusi, dua faktor yang perlu diperbaiki. Pertama, peran dan kapasitas stakeholder. Kedua, perubahan dalam aturan main mengenai pengaturan ruang serta representasi dalam hal pembagian hak dan kewenangan.

_____________________


(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar Institut Pertanian Bogor.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.


(7)

UNTUK PENYELESAIAN KONFLIK

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK

SUDHIANI PRATIWI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Sudi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Penguji luar Ujian Tertutup:

1. Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Penguji luar Ujian Terbuka:

1. Prof. Dr. I Gde Pitana, MSc


(9)

Nama : Sudhiani Pratiwi NRP : P 062050011

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui: Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS Ketua

Dr.Ir. Soehartini Sekartjakrarini, MSc Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Pascasarjana IPB


(10)

PRAKATA

Seperti meniti jalan menuju Cibedug dan Leuwijamang yang terjal dan berlumpur, proses penelitian dan penulisan disertasi ini tidak hanya menuntut penguasaan ilmu tapi juga kesabaran dan ketekunan yang luar biasa. Dengan segala kelemahan dan kelebihannya, Alhamdulillah atas perkenanNYA proses tersebut dapat terselesaikan juga. Penghargaan dan rasa terima kasih yang tulus disampaikan kepada:

• Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS., Dr. Ir. Soehartini Sekartjakrarini, MSc., dan Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS., sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan komitmennya dalam memberikan arahan, kritik, dan saran;

• Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS beserta staf pada program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang telah memberikan pendampingan selama masa studi;

• Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS sebagai penguji luar prelim dan ujian tertutup yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan;

• Prof. Dr. I Gde Pitana, MSc dan Dr. Ir. Moch. Ikhwanuddin Mawardi, MSc selaku penguji luar sidang terbuka yang telah memberikan kritik dan saran;

• Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana-BAPPENAS yang telah memberikan beasiswa;

• Para narasumber dari BTNGH, JICA, RMI, LATIN, ABSOLUT, YEH, Pemda (Kabupaten Sukabumi, Bogor, dan Lebak) dan masyarakat di lokasi studi yang telah berkenan meluangkan waktu untuk membantu terlaksananya survai lapangan, wawancara dan telaah pustaka. Osi, Pak Dedi (YEH), dan Pak Darso yang mendampingi selama masa-masa sulit di lapangan; dan

• Keluarga besar Sukarno di Bandung dan Mamih di Malang serta yang terkasih (mas Hari, Imun dan Hana) atas dukungan dan pengertiannya yang tiada batas. Disertasi ini didedikasikan kepada mereka yang hidup dan karyanya telah memberikan inspirasi bagi orang lain untuk hidup dan berbuat lebih baik.

Bogor, 5 Maret 2008 Penulis


(11)

Drs. H. Sukarno dan ibu H. Rochana, BA. Menikah dengan Ir. Harijanto Suwarno dan memiliki buah hati Halimun Purnama Kasih dan Raihana Nadia Kasih. Pendidikan sarjana diselesaikan pada tahun 1992 di Jurusan Planologi, Intitut Teknologi Indonesia dengan meraih penghargaan sebagai lulusan tercepat dan terbaik. Pendidikan S2 diselesaikan pada tahun 2000 di Department of Park, Recreation and Tourism Resources Management, College of Agriculture and Natural Resources, Michigan State University, USA dengan beasiswa Fresh S1 dari pemerintah Indonesia. Pada tahun 2005, penulis mendapatkan beasiswa dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk mengikuti program Doktor (S3) pada Program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB.

Sejak tahun 2000 diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di Bappenas dan ditempatkan di Direktorat Pengendalian SDA dan Lingkungan Hidup, Kedeputian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Sebelumnya pernah bekerja sebagai peneliti di Pusat Pengkajian Strategi Pembangunan, Departemen Pekerjaan Umum (1991-1995) dan konsultan perencana di World Wildlife Fund for Nature- Indonesia Program /WWF-IP (1995-1996) serta PT. Gubah Laras (1990-1991).

Beberapa organisasi profesi yang sedang/pernah diikuti diantaranya Masyarakat Akuntansi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Indonesia sebagai pengurus (2003-sekarang), Ecotourism Society-USA sebagai anggota (1999-2000), dan American Planning Association sebagai anggota (1998-1999).

Beberapa artikel telah diterbitkan dalam Jurnal Manajemen Hutan Tropika dan Jurnal Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Kota “JENDELA KOTA”. Artikel lain berjudul Analisis Ekowisata dan Analisis Stakeholders Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Gunung Halimun akan diterbitkan Jurnal Forum Pasca, IPB dan Jurnal Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Kota Universitas Pakuan pada tahun 2008. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

Bogor, 5 Maret 2008 Sudhiani Pratiwi NIM P 062050011


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Kerangka Pemikiran 4

1.3 Perumusan Masalah 6

1.4 Tujuan Penelitian 12

1.5 Kebaruan (Novelty) 13

1.6 Manfaat Penelitian 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taman Nasional 14

2.1.1 Sejarah Konservasi 14

2.1.2 Tata Nilai yang Mempengaruhi Konservasi 15

2.1.3 Definisi Konservasi 16

2.1.4 Konsep Kawasan Konservasi di Indonesia 17 2.1.5 Konsep Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia 19 2.1.6 Institusi Pengelolaan Taman Nasional 20 2.2 Konflik dan Pengelolaan Sumberdaya Alam

2.2.1 Definisi Konflik 21

2.2.2 Tipe atau Jenis-jenis Konflik 21 2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik 22

2.2.4 Tahapan Konflik 23

2.2.5 Metode Penanganan Konflik 24

2.2.6 Metode Analisis Konflik 26

2.2.7 Konflik Penetapan dan Pengelolaan Taman Nasional

27 2.3 Institusi: Definisi, Fungsi, dan Konsep

2.3.1 Definisi Institusi 30

2.3.2 Fungsi dan Tujuan Institusi 31

2.3.3 Kinerja Institusi 31

2.3.4 Pengembangan, Penguatan dan Perubahan Institusi 32 2.3.5 Konsep Institutionalist Tenure Security 34 2.4 Ekowisata

2.4.1 Sejarah Perkembangan Ekowisata 37 2.4.2 Definisi dan Konsep Ekowisata 39

2.4.3 Kriteria Kecukupan Ekowisata 43

2.4.4 Hasil Penelitian Mengenai Ekowisata 47 2.5 Teori

2.5.1 Teori Konflik 49

2.5.2 Teori Institusi 51

2.5.3 Teori Akses 53


(13)

2.5.4 Teori Partisipasi 53 BAB III METODE PENELITIAN

3.1Tempat dan Waktu Penelitian 55

3.2Rancangan Penelitian 58

3.2.1 Paradigma Penelitian 58

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data 59

3.2.3 Validitas Data 69

3.2.4 Metode Analisis 72

3.2.4.1 Analisis Konflik 72

3.2.4.2 Analisis Institusi 73

3.2.4.3 Analisis Kriteria Kecukupan Ekowisata 82 BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Letak, Luas dan Batas Administratif 89

4.2 Aksesibilitas 89

4.3 Status, Penggunaan Lahan dan Sistem Tenurial 91 4.4 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar TNGH 95 4.5 Karakteristik Budaya dan Sistem Nilai Masyarakat 98

4.6 Kelembagaan BTNGH dan Lokal 99

4.7 Sejarah Pengelolaan Kawasan TNGH 102

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Konflik di Lokasi Studi

5.1.1 Penyebab Konflik 105

5.1.2 Faktor-faktor Penyebab Konflik 113

5.1.3 Tipe Konflik 116

5.1.4 Penanganan Konflik 118

5.2 Analisis Institusi Penetapan TNGH

5.2.1 Analisis Stakeholder 122

5.2.2 Analisis Kebijakan 140

5.2.3 Analisis Kebutuhan 150

5.2.4 Implikasi Eksisting Institusi Terhadap Konflik 160 5.3 Analisis Ekowisata

5.3.1 Kondisi Eksisting Pengembangan Ekowisata 164 5.3.2 Analisis Kriteria Kecukupan Ekowisata 170 5.3.3 Analisis Institusi Pengembangan Ekowisata 187 5.3.3.1 Analisis Stakeholder Ekowisata 187 5.3.3.2 Analisis Kebijakan Ekowisata 189 5.3.3.3 Analisis Kebutuhan Pengembangan

Ekowisata

197 5.3.4 Implikasi Pengembangan Ekowisata Terhadap

Konflik

205 BAB VI MODEL PENGEMBANGAN INSTITUSI EKOWISATA

6.1 Peningkatan Peran Stakeholders 209

6.2 Peningkatan Kapasitas Stakeholder 215


(14)

iii

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan 227

6.2 Saran 228

DAFTAR PUSTAKA 230


(15)

1 Karakteristik perbedaan konsep penguasaan atas SDA 29

2 Lokasi studi 57

3 Jadwal penelitian 57

4 Jumlah responden dalam penelitian 61

5 Reliabilitas data dalam content analysis 65

6 Tes reliabilitas dokumen kebijakan R-R1 67

7 Tes reliabilitas dokumen kebijakan R-R2 68

8 Tes reliabilitas dokumen kebijakan R1-R2 68

9 Tes reliabilitas dokumen ekowisata R-R1 68

10 Tes reliabilitas dokumen ekowisata R-R2 69

11 Tes reliabilitas dokumen ekowisata R1-R2 69 12 Luas wilayah dan batas administrasi lokasi studi 90 13 Aksesibilitas untuk mencapai lokasi studi 92

14 Enclave di TNGH 93

15 Status dan penggunaan lahan di lokasi studi 93

16 Sistem tenurial di lokasi studi 95

17 Persentase pertambahan penduduk di lokasi studi 96

18 Tingkat pendidikan di lokasi studi 97

19 Jenis mata pencaharian penduduk 97

20 Karakteristik budaya masyarakat di lokasi studi 100

21 Kelembagaan lokal 101

22 Sejarah perubahan status dan pengelola kawasan TNGH 103 23 Penyebab konflik menurut dokumen dan responden (%) 106 24 Karakteristik gangguan di setiap resort TNGH tahun 2002 112 25 Penyebab konflik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya 116

26 Pembinaan daerah penyangga TNGH 119

27 Karakteristik konflik di lokasi studi 123

28 Stakeholder utama penetapan TNGH di lokasi studi 125

29 Stakeholder kunci penetapan TNGH 132


(16)

v

30 Stakeholder pendukung di lokasi studi 138

31 Hubungan keterkaitan antar stakeholders 141 32 Distribusi peran stakeholder dalam pengurusan hutan 142 33 Analisis peran stakeholders dalam penetapan taman nasional

(normatif)

145 34 Analisis peran stakeholders dalam penetapan taman nasional

(implementasi)

149 35 Hasil analisis asumsi kebijakan penetapan TNGH 151 36 Analisis kebutuhan penyelesaian konflik penetapan TNGH 161 37 Fasilitas ekowisata di Taman Nasional Gunung Halimun 169 38 Jumlah dan kategori pengunjung 1998-2002 170 39 Tujuan wisatawan ke TNGH tahun 1997-2000 170 40 Rata-rata kunjungan dan tujuan wisatawan ke lokasi studi 171

41 Definisi ekowisata 173

42 Tujuan ekowisata 174

43 Persentase pembagian hasil KSM 176

44 Karakteristik partisipasi masyarakat 177

45 Level partisipasi 178

46 Produk wisata 179

47 Dampak ekowisata terhadap ekonomi lokal 181

48 Rata-rata pendapatan dari ekowisata 183

49 Hubungan stakeholders dalam pengembangan ekowisata 190 50 Jumlah peraturan perundangan yang terkait dengan ekowisata 191 51 Jumlah peraturan perundangan yang mengatur kriteria

kecukupan ekowisata

191 52 Distribusi dan jumlah peran stakeholder dalam pengembangan

ekowisata

192 53 Distribusi dan jumlah peran stakeholders dalam kriteria

kecukupan ekowisata

192 54 Peran stakeholders dalam pemenuhan kriteria kecukupan

ekowisata (normatif)

194 55 Peran stakeholders dalam pemenuhan kriteria kecukupan

ekowisata di TNGH (implementasi)


(17)

56 Analisis asumsi peran stakeholders dalam pemenuhan kriteria kecukupan ekowisata di TNGH

196 57 Analisis kebutuhan stakeholder utama dalam pengembangan

ekowisata

202 58 Analisis kebutuhan stakeholder kunci dalam pengembangan

ekowisata

206 59 Implikasi pengembangan ekowisata terhadap konflik di TNGH 208 60 Model peningkatan peran stakeholders dalam pemenuhan

kriteria kecukupan ekowisata

216 61 Model peningkatan kapasitas stakeholder dalam ekowisata 218 62 Konsep pembagian ruang berdasarkan peraturan perundangan

versus masyarakat kasepuhan

220 63 Model pengaturan ruang di lokasi studi 223 64 Model pembagian kewenangan dalam setiap kategori ruang 226


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Latar belakang 5

2 Kerangka pemikiran 7

3 Perumusan masalah 11

4 Latar belakang perkembangan konsep ekowisata 40

5 Letak geografis dan administratif TNGH 56

6 Metode penelitian 88

7 Pemetaan konflik 120

8 Penutupan hutan TNGH di kawasan Lebak tahun 1989-2004 154 9 Penggunaan lahan di dalam kawasan TNGH, Kabupaten

Lebak 2004

155 10 Konsep pengembangan model institusi ekowisata 208 11 Konsep pengembangan kebutuhan ruang untuk ekowisata 219 12 Konsep pembagian kewenangan dalam pengembangan

ekowisata

224


(19)

Halaman 1 Observasi dan pengambilan data lapangan 248

2 Daftar dokumen untuk data sekunder 250

3 Daftar peraturan perundangan dan kebijakan terkait 257 4 Daftar dokumen untuk analisis ekowisata 260 5 Analisis kebijakan proses penetapan taman nasional 264 6 Analisis penilaian kriteria kecukupan ekowisata di TNGH 265 7 Sejarah pengelolaan di TNGH dan lokasi studi 273 8 Sejarah pengembangan ekowisata di TNGH 283 9 Analisis stakeholder dalam pengembangan ekowisata 289


(20)

1

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Indonesia, dengan luas 1,3% dari luas total daratan dunia, menduduki peringkat ke -2 dalam sepuluh negara yang memiliki keragaman hayati1 yang tinggi, atau disebut sebagai negara megadiversity (Primack 1998). Keanekaragaman hayati (KH) ini tersebar pada 90 tipe ekosistem darat dan bahari yang dimiliki Indonesia (Bappenas 2003). Sebagian besar dari ekosistem ini adalah ekosistem hutan (Mardiastuti 2004; Hardjasoemantri 1993).

Permasalahan yang dihadapi KH dan ekosistem hutan di Indonesia saat ini ialah kerusakan dan penyusutan sumberdaya tersebut. Degradasi KH dan ekosistem hutan saat ini sudah menjadi isu global. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit ) di Rio de Janeiro tahun 1992, para pemimpin dunia menyetujui sebuah strategi yang komprehensif bagi pembangunan berkelanjutan. Konvensi internasional yang dihasilkan pasca KTT Bumi ini diantaranya ialah Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH). Salah satu kewajiban dalam KKH (pasal 8) bagi negara-negara anggotanya ialah untuk menyusun strategi, rencana atau program konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.

Salah satu bentuk kegiatan konservasi yang dimaksud dalam KKH ialah konservasi in situ, yaitu konservasi ekosistem dan habitat alami serta pemeliharaan dan pemulihan populasi spesies-spesies dalam lingkungan alaminya. Taman nasional2 merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi untuk kegiatan konservasi in situ3 ini.

Dari luas kawasan konservasi sebesar 28,167 juta ha yang terdapat di Indonesia, 58% diantaranya ialah taman nasional (Dephut 2005). Landasan kebijakan pengelolaan sekitar 50 taman nasional di Indonesia diantaranya adalah UU No. 5/1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya,

1 Keanekaragaman Hayati adalah ”keanekaragaman diantara mahluk hidup dari semua sumber, termasuk diantaranya,

daratan, lautan dan ekosistem akuatik lain serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya; mencakup keanekaragaman di dalam spesies dan ekosistem (Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan UNCBD).

2 Taman Nasional adalah “kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang

dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi” (UU No. 5/1990 Pasal 1).

3 Bentuk kegiatan konservasi in situ: cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, taman nasional, taman hutan raya,


(21)

UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan PP No. 68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Dalam pelaksanaannya, banyak proses penetapan kawasan taman nasional ini menimbulkan konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Konflik ini ditimbulkan diantaranya karena adanya gap antara kebijakan normatif dan kondisi empiris di lapangan. Gap ini diantaranya berupa perbedaan kepentingan dan tata nilai (Mardiastuti 2004; Wulan et al. 2004; dan Lynch dan Harwell 2002).

Salah satu sumber konflik adalah tidak adanya kesepakatan dalam menetapkan aturan main pengelolaan sumberdaya alam yang digunakan sebagai landasan (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006: 173-209; Affif 2005; Lynch dan Harwell 2002:8). Pemerintah, disatu sisi, membuat kebijakan dengan tujuan keadilan dan kesejahteraan masyarakat namun menggunakan pendekatan ekonomi dan sistem pasar4 sebagai dasar. Sumberdaya alam dilihat sebagai aset ekonomi (Malik et al. 2003; Kartodiharjo dan Jhamtani 2006). Di sisi lain, masyarakat membangun aturan main berdasarkan kesepakatan sosial dimana hubungan masyarakat dan sumberdaya bersifat sosial, kultural, spiritual, ekonomi dan politik (Adimihardja 1994; Hidayati 2004; Santosa 2006; Kartodiharjo dan Jhamtani 2006).

Perbedaan pandangan atau persepsi5 dalam menetapkan aturan main tersebut berimplikasi pada timbulnya konflik lain dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, misalnya bentuk kelembagaan. Dalam masyarakat Indonesia, dengan kultur budaya dan kondisi geografis yang sangat beragam, tumbuh kelembagaan adat dan kearifan tradisional6 sebagai aturan main yang diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat setempat (Bappenas 2003; KLH 2001). Dalam kehidupan bernegara sayangnya institusi lokal seperti ini tidak diberdayakan. Untuk kemudahan birokrasi, pemerintah membuat penyeragaman. Selain ditentukan dan dikendalikan oleh pemerintah pusat, institusi ini menjadi

4

Konsep ekonomi dan sistem pasar merubah sistem penguasaan dan akses pada SDA dari milik bersama (common sense) menjadi milik negara (state property) atau milik pribadi (private property). Posisi sumberdaya alam menjadi komoditas (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006:187).

5 Perception “is an awareness of environment through physical sensation” atau sebuah bentuk kesadaran terhadap

lingkungan yang diwujudkan melalui sensasi fisik (The Merriam Webster Dictionary, Woolf et al. 1976).

6

Kearifan tradisional ialah sebuah sistem yang mengintegrasikan pengetahuan, budaya dan kelembagaan serta praktik mengelola sumberdaya alam (Kartodiharjo dan Jhamtani 2006:175).


(22)

3

satu-satunya sumber yang harus dirujuk (Lynch dan Harwell 2002). Karena pembentukan institusi baru ini bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat lokal maka timbulah konflik sebagai bentuk penolakan masyarakat disatu sisi dan sebagai bentuk supremasi dan dominasi pemerintah disisi lainnya.

Untuk merespon persoalan tersebut, penelitian ini mencoba mengidentifikasi sumber penyebab dan tipe konflik yang ada dalam proses penetapan taman nasional serta menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan institusi. Pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dalam penelitian ini diantaranya ialah siapa saja yang mempunyai hak dan kewenangan dalam proses penetapan taman nasional? Bagaimana hak dan kewenangan ini diatur dalam kebijakan normatif? Bagaimana hak dan kewenangan ini diimplementasikan di lokasi studi? dan apa implikasinya terhadap konflik yang ada?

Setelah jenis konflik dan sumbernya teridentifikasi, langkah selanjutnya yang ingin dijawab dalam penelitian ini ialah bagaimana konflik tersebut diatasi. Dalam bentuk program atau kegiatan konservasi banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik tersebut. Mengembangkan kegiatan ekowisata merupakan salah satunya.

Ekowisata merupakan konsep operasional dari konsep pembangunan berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ekowisata harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan (environmentally acceptable); melibatkan secara aktif masyarakat lokal dan budayanya (socially and culturally acceptable); mempromosikan pendidikan lingkungan (environmental education); serta memberikan manfaat ekonomi bagi pengelolaan taman nasional dan masyarakat sekitarnya (Wall 1998; Sekartjakrarini 2003). Jadi secara konseptual, ekowisata merupakan kegiatan konservasi yang dapat menjembatani kepentingan pemerintah dalam hal konservasi dan kepentingan masyarakat lokal dalam hal pengembangan ekonomi.

Persoalannya sekarang, apakah ekowisata yang dikembangkan saat ini sudah memberikan kontribusi terhadap konflik pengelolaan taman nasional yang ada? Agrawal dan Redford (2006) melakukan identifikasi terhadap 12 (duabelas) penelitian empiris mengenai ekowisata di negara berkembang, termasuk


(23)

Indonesia. Mereka mengidentifikasi peran ekowisata dalam isu konservasi dan kemiskinan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penelitian ekowisata lebih banyak terfokus pada program ekowisata tapi tidak pada pengaruhnya terhadap kondisi nyata di lapangan. Dari 12 penelitian empiris, hanya 4 penelitian mengindikasikan adanya pengaruh ekowisata terhadap isu konservasi dan kemiskinan. Dari keempat studi ini, dua studi menunjukan pengaruh yang terbatas sedangkan dua studi lainnya menunjukan pengaruh yang nyata. Ekowisata berperan setidaknya terhadap empat indikator konservasi, yaitu: pembiayaan konservasi, pendidikan konservasi, etika konservasi, dan konservasi sumberdaya. Sedangkan untuk isu kemiskinan, kontribusi ekowisata diantaranya peningkatan level pendapatan masyarakat lokal, peningkatan jumlah yang bekerja, perbaikan infrastruktur, dan partisipasi lokal.

Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, dapat disimpulkan bahwa penelitian mengenai pengaruh institusi terhadap konflik penetapan taman nasional sangat diperlukan. Selanjutnya, sebagai salah satu pendekatan operasional dari pembangunan berkelanjutan, penelitian mengenai pengaruh pengembangan ekowisata terhadap kondisi empiris di lapangan sangat dibutuhkan. Secara ringkas latar belakang ini disajikan pada Gambar 1.

1.2. Kerangka Pemikiran

Langkah pertama yang dilakukan untuk memahami konflik penetapan taman nasional adalah melakukan analisis konflik. Analisis ini merupakan proses identifikasi karakteristik konflik yang meliputi sumber penyebab dan tipe konflik serta langkah-langkah yang sudah dilakukan untuk menanganinya.

Selanjutnya, dilakukan analisis institusi untuk mengidentifikasi sumber konflik dari aspek institusi. Analisis ini meliputi identifikasi para pihak yang terkait, analisis kebutuhannya dan analisis kebijakan yang mengikat dan mengatur relasi antar para pihak tersebut. Untuk menganalisis institusi akan digunakan pendekatan Institutionalist Tenure7 Security8 (ITS). Pendekatan ini dipilih karena

7 Tenure adalah suatu aksi atau fakta mengenai kepemilikan atas sesuatu yang bersifat materi atau non materi

(diterjemahkan dari Ellsworth 2002:5); adalah hubungan sosial (hubungan antara setiap individu dengan individu lain dalam suatu komunitas, hubungan antar komunitas dan hubungan antar rakyat dengan pemerintah (Kartodihardjo dan Jhamtani 2006:64); adalah peristilahan tentang pengaturan yang terkait dengan akses dan kontrol atas tanah, pohon, air, dan sumberdaya alam lainnya (Afiff 2005: 228). Dalam aliran resorce tenure, properti dibagi kedalam empat kategori umum kepemilikan yaitu kepemilikan privat, komunal, open access dan kepemilikan publik atau negara (FAO 2002 dalam Afiff 2005).


(24)

5

persoalan utama terjadinya konflik antara pemerintah dan masyarakat lokal di taman nasional ialah kondisi ketidakamanan hak dan akses9 atas sumberdaya alam (tenurial insecurity). Penggunaan pendekatan ini diharapkan dapat membantu memahami bagaimana seharusnya suatu institusi dapat menjamin keamanan hubungan atau relasi sosial antar para pihak dalam pemanfaatan SDA di taman nasional.

Sebagai bentuk operasional konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan, ekowisata banyak digunakan sebagai salah satu konsep pengelolaan di kawasan konservasi yang dapat menyatukan tujuan konservasi dan tujuan pembangunan ekonomi lokal (Furze et al. 1997; Ceballos-Lascurain 1996; Stewart dan Sekartjakrarini 1994; Wigth 1993; Boo 1990). Namun, agar dapat disebut sebagai ekowisata suatu kegiatan harus memenuhi beberapa kriteria.

8 Berkembang sejak 50 tahun yang lalu, konsep ini merupakan salah satu dari 4 aliran tenure security (Property Rights, Agrarian Structure Traditions, Common Property Advocates, dan Institutionalist Tenure Security). Aliran ini berpendapat bahwa jenis kepemilikan yang terbaik, efisien dan ideal ditentukan oleh kondisi relasi kelompok, budaya dan sumberdaya (Affif 2005).

9

Akses adalah kemampuan untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu sedangkan property adalah hak untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu (Ribot dan Peluso 2003).

Penetapan dan Pengelolaan Taman Nasional

Kebijakan Pemerintah Kebutuhan Masyarakat

Bagaimana Konflik Ditinjau Dari Aspek Institusi?

GAP

KONFLIK

Bagaimana Implikasi Pengembangan Ekowisata terhadap Konflik? Degradasi Keanekaragaman Hayati

58% Taman Nasional Penetapan Kawasan Konservasi


(25)

Di Indonesia, kriteria kecukupan ekowisata sudah ditetapkan oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2004 (Sekartjakrarini dan Legoh 2004) dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (2001). Dengan merujuk pada kedua dokumen tersebut, prinsip-prinsip universal pariwisata yang berkelanjutan (dituangkan dalam Quebec Declaration on Ecotourism pada tahun 2002) dan telaah literatur terkait, studi ini menggunakan lima kriteria kecukupan ekowisata. Kelima kriteria tersebut yaitu: (a) tujuan ekowisata untuk pemanfaatan dan perlindungan kawasan; (b) keterlibatan aktif masyarakat lokal; (c) dampak positif terhadap pengembangan ekonomi lokal; (d) produk wisata yang mengandung unsur pendidikan lingkungan; dan (e) memberikan dampak lingkungan yang minimal .

Dalam penelitian ini, ada dua tahap analisis ekowisata. Pertama ialah analisis institusi ekowisata. Tujuan dari analisis institusi ekowisata ialah untuk mengidentifikasi para pihak yang terkait dengan pengembangan ekowisata, analisis kebutuhannya serta analisis kebijakan yang mengikat dan mengatur relasi antar para pihak tersebut. Tahap selanjutnya ialah analisis kriteria kecukupan ekowisata. Tujuan dari analisis ini ialah untuk mengidentifikasi apakah konsep pengembangan ekowisata di lokasi studi sudah menggunakan konsep ekowisata yang ideal atau tidak.

Hasil dari penelitian ini ialah tersusunnya model institusi ekowisata yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di lokasi studi. Kerangka berpikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

1.3. Perumusan Masalah

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, ada tiga analisis pokok yang dilakukan dalam studi ini yaitu analisis konflik, analisis institusi (pengurusan hutan dan ekowisata), dan analisis kriteria kecukupan ekowisata. Untuk melakukan analisis konflik digunakan pendekatan yang dikembangkan oleh Malik et al (2003). Berdasarkan pendekatan ini, ada 5 faktor yang mempengaruhi konflik yang digunakan dalam penelitian ini. Kelima faktor tersebut yaitu:


(26)

7 Penetapan

Taman Nasional

Kebijakan Pemerintah

Kebutuhan Masyarakat

Konsep Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan

Konsep Ekowisata

Penyebab Konflik

Analisis Ekowisata

Konsep Institutionalist

Tenure Security GAP Analisis

Konflik

Analisis Institusi Penetapan

TN

Analisis Kriteria Kecukupan

Ekowisata

Model Pengembangan

Institusi Ekowisata

Feedback

Gambar 2 Kerangka pemikiran

Implikasi pengembangan ekowisata terhadap

Konflik

Analisis Institusi Ekowisata


(27)

a. hubungan antar manusia seperti perbedaan persepsi10, budaya (tingkah laku), dan cara berkomunikasi;

b. masalah kepentingan yang dipicu oleh masalah mendasar (uang, sumberdaya fisik, dan waktu); tata cara (sikap); dan psikologis (persepsi, kepercayaan, dan keadilan);

c. perbedaan data seperti cara mengumpulkan informasi, relevansi data, cara menterjemahkan informasi, dan menyajikan data;

d. pemaksaan nilai11 dan sikap tidak toleran terhadap perbedaan nilai yang dianut; dan

e. masalah struktural karena adanya perbedaan posisi dalam pengambilan keputusan dan kewenangan yang menyebabkan ketimpangan akses dan kontrol. Faktor lain yang mempengaruhi masalah struktural ialah faktor geografis, sejarah, dan waktu.

Konsep Institutionalist Tenure Security digunakan sebagai pendekatan dalam analisis institusi. Konsep ini merupakan salah satu dari empat aliran pemikiran (school of thought) yang digunakan oleh para akademisi untuk merespond persoalan tenurial insecurity di masyarakat. Menurut konsep ini, status kepemilikan sumberdaya dipandang sebagai interaksi/hubungan sosial antara 3 aktor seperti aktor yang memiliki berbagai bentuk hak, aktor yang dilarang untuk melanggar hak tersebut, dan aktor yang menjamin hak serta melarang pelanggaran (Affif 2005). Faktor –faktor yang mempengaruhi relasi ketiga aktor ini diantaranya (Affif 2005; Elssworth 2004):

a. faktor sejarah kekuasaan: untuk mengetahui perubahan status kawasan dalam konteks jenis kepemilikan (property right), peran dan fungsi aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan SDA;

b. faktor demografi12: untuk melihat cakupan area dimana institusi yang dibangun akan memberikan dampaknya baik secara langsung maupun tidak langsung;

10

Persepsi adalah kemampuan untuk menerima; suatu tindakan atau hasil dari sebuah proses menerima suatu kondisi (Woolf et al. 1976).

11 Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya (Malik et al. 2003:150); atau merupakan

suatu kepercayaan terhadap realitas alam semesta (Capra 2000); penilaian atau perkiraan (rate), ukuran (measured), jumlah numerik yang terukur secara kuantitatif (a numerical quantity measured), ukuran kualitas yang membuat sesuatu menjadi diinginkan (the quality that renders something desirable), penghargaan atau respect (wordnet.princeton.edu/perl/webwn diakses 17 Desember 2005 06:47 AM).


(28)

9

c. faktor budaya13 : untuk mengetahui sejauh mana unsur–unsur budaya mempengaruhi proses pembentukan institusi pengelolaan SDA yang ada; d. faktor sistem nilai14: untuk mengidentifikasi perbedaan cara pandang para

pihak menilai suatu SDA;

e. faktor organisasi15 yang ada di masyarakat: ada dua jenis organisasi yang ada di masyarakat yaitu organisasi formal dan informal. Menurut Vink (1999 dalam Sumarga 2006), organisasi merupakan pelaksana aturan main dalam institusi; dan

f. faktor rejim hukum yang berlaku: institusi formal yang mengatur hubungan antar para pihak di masyarakat. Dari rejim hukum ini dapat diketahui siapa yang mendapat kepastian hukum dan siapa yang tidak (Affif 2005).

Kepastian hukum tenurial bagi aliran ini ditentukan oleh kemampuan memobilisasi kekuatan penekan untuk menegakan atau mempertahankan klaim. Kekuasaan politik dan distribusi sumberdaya juga jauh lebih penting diperhatikan daripada jenis kepemilikan karena dari dua faktor tersebut dapat ditentukan siapa yang mendapat kepastian hukum dan siapa yang tidak (Affif 2005).

Ada tiga sub-analisis yang akan dilakukan untuk melakukan analisis institusi. Ketiga sub-analisis tersebut ialah analisis stakeholders, analisis kebutuhan, dan analisis kebijakan. Analisis stakeholders dilakukan untuk mengidentifikasi aktor-aktor yang memiliki kewenangan dan kepentingan dalam pengambilan keputusan (Maryono et al. 2005). Analisis kebutuhan diperlukan untuk mengeksplorasi tentang kondisi saat ini dan tentang bagaimana kondisi seharusnya atau kondisi yang diharapkan (Rouda dan Kusy 1995). Sedangkan analisis kebijakan dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi aturan main dan distribusi peran antar stakeholder baik secara normatif maupun implementasinya. Dalam analisis kebijakan digunakan pendekatan analisis 12 Demografi ialah ilmu kependudukan atau ilmu yang memberikan uraian atau gambaran statistik mengenai susunan,

jumlah, dan perkembangan penduduk (Depdiknas 2005: 249).

13 Budaya atau adat istiadat ialah 1)pikiran; akal budi; hasil; 2) sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang; 3)

sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah (Depdiknas 2005:169). Tujuh unsur budaya: religi, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem matapencaharian, sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat 1992).

14 Sistem ialah 1)perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas; 2)susunan yang

teratur dari pandangan, teori, asas, dsb (Depdiknas 2005:1076); Nilai ialah sifat-sifat atau hal-hal yang penting bagi kemanusian. Sedangkan Nilai dalam kebudayaan ialah konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai di kehidupan manusia (Depdiknas 2005:783); Sistem nilai adalah konsepsi mengenai apa yang bernilai menurut masyarakat (Koentjaraningrat 1992).

15 Organisasi adalah sebuah sistem yang terdiri dari berbagai elemen, dimana manusia merupakan elemen terpenting, yang

saling berinteraksi untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu (Winardi 2003); struktur dan peran yang dipahami dan diterima baik secara formal maupun informal (Uphoff 1986 dalam Uphoff 1997).


(29)

asumsi, menurut Dunn (2003) gap antara kebijakan normatif dan implementasinya dapat merupakan sumber konflik yang terdapat dalam kebijakan-kebijakan yang terkait.

Ekowisata merupakan konsep operasional dari pendekatan pariwisata yang berkelanjutan16. Berkaitan dengan isu konflik dalam penetapan dan pengelolaan taman nasional, pengembangan ekowisata dipandang sebagai salah satu bagian dari institusi pengelolaan taman nasional. Karena itu, proses analisis institusi ekowisata sama dengan tahapan analisis institusi pengurusan hutan dengan tiga sub analisis yang juga sama.

Untuk mengidentifikasi implikasi eksisting institusi ekowisata terhadap konflik yang ada maka perlu diketahui kinerja institusi tersebut. Untuk mengetahui kinerja institusi ekowisata ini dilakukan analisis kriteria kecukupan ekowisata. Kriteria kecukupan ekowisata yang digunakan dalam studi ini mengacu pada definisi ekowisata yang digunakan yaitu konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata yang memanfaatkan lingkungan dengan tujuan konservasi melalui pengembangan ekonomi lokal yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan penyajian produk wisata yang bermuatan pendidikan dan pembelajaran serta berdampak negatif minimal terhadap lingkungan. Definisi ini merupakan intisari dari konsep-konsep ekowisata yang ada dalam literatur (pembahasan lebih mendalam disajikan pada Sub-bab 2.4.2.

Berdasarkan definisi ekowisata tersebut, ada lima kriteria yang dapat digunakan untuk menilai kecukupan ekowisata. Kelima kriteria ini adalah (1) ekowisata bertujuan pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan atau dikenal dengan istilah konservasi; (2) melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal; (3) produk ekowisata yang mengandung pendidikan dan pembelajaran; (4) dampak lingkungan yang minimal; dan (5) kontribusi yang positif terhadap ekonomi lokal. Kerangka perumusan masalah dalam penelitian ini secara ringkas disajikan pada Gambar 3.

16

Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan adalah suatu jenis pembangunan yang menghubungkan wisatawan dan penyedia jasa pariwisata dengan tujuan melindungi sumberdaya melalui kampanye perlindungan sumberdaya serta memberikan manfaat ekonomi bagi komunitas lokal (Gartner 1996 dan McIntyre 1993).


(30)

11 11 Penetapan Taman Nasional Faktor-faktor Analisis Konflik Hubungan antar Manusia Kepentingan Perbedaan Data Sistem Nilai Struktural Karakteritik Konflik Analisis Institusi TN Analisis Institusi Ekowisata Sejarah Pengelolaan Demografi Budaya Organisasi Sistem Nilai Kebijakan Analisis Kriteria Kecukupan Ekowisata Tujuan Ekowisata Produk Ekowisata Dampak LH Ekonomi Lokal Partisipasi Masyarakat Stakeholder Analysis Analisis Kebutuhan Analisis Asumsi Model Pengembangan Institusi Ekowisata Implikasi Ekowisata terhadap Konflik

Faktor-faktor Konsep Pendekatan Pengolahan Data dan Analisis Hasil

Gambar 3 Perumusan masalah

Konsep Pendekatan


(31)

Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan dan pendekatan yang digunakan, pertanyaan penelitian yang diajukan ialah:

• Apa sumber penyebab dan tipe konflik yang ada di lokasi studi dan faktor apa yang mempengaruhi konflik tersebut?

• Bagaimana peran institusi yang ada dalam proses penetapan TNGH dan pengembangan ekowisata? Siapa saja yang mempunyai hak dan kewenangan? Bagaimana hak dan kewenangan ini diatur dalam peraturan perundangan yang ada? Bagaimana hak dan kewenangan ini diimplementasikan di lokasi studi? dan apa implikasinya terhadap konflik yang ada?

• Apakah kegiatan ekowisata yang ada dikembangkan sesuai dengan konsep ekowisata yang ideal? Kriteria ideal ekowisata apa saja yang dipenuhi? Apa implikasi pengembangan ekowisata terhadap konflik yang ada?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

a. mengidentifikasi penyebab dan tipe konflik serta faktor-faktor yang mempengaruhinya;

b. menganalisis konflik dari aspek institusi dengan menggunakan pendekatan Institutionalist Tenure Security.

c. mengevaluasi pengembangan ekowisata yang ada, dari aspek institusi dan pemenuhan kriteria kecukupannya serta implikasinya terhadap konflik.

Hasil dari penelitian ini ialah tersusunnya suatu model institusi ekowisata yang ideal dan dapat berkontribusi dalam penyelesaian konflik.

1.5. Novelty

Ada tiga kriteria suatu penelitian dapat disebut memiliki novelty (kebaruan) yaitu: fokus (focus), terdepan dibidangnya (advance) dan ilmiah (scholar). Penelitian ini dibangun berdasarkan ketiga kriteria tersebut. Pertama, fokus penelitian ini ialah mengenai implikasi pengembangan ekowisata terhadap konflik pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan konservasi (taman nasional).

Kedua, berdasarkan review hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan di Journal of Ecotourism (2002-2006), Journal of Conflict Resolution (2002-2006),


(32)

13

penelusuran online pada website Science Direct17 serta perpustakaan IPB, belum ada penelitian mengenai ekowisata dalam konteks pengaruh dan kontribusinya terhadap konflik sumberdaya alam. Selain itu, penelitian dengan dengan menggabungkan konsep Institutionalist Tenure Security dan ekowisata juga baru dilakukan oleh penelitian ini.

Ketiga, proses penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah. Metode kualitatif dipilih sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu memahami fenomena sosial.

1.6. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan, para pihak yang terlibat di lokasi studi, dan masyarakat pada umumnya. Manfaat bagi ilmu pengetahuan dari penelitian ini diantaranya merupakan pengembangan studi-studi mengenai penyelesaia konflik, pengembangan ekowisata, dan pengembangan institusi pengelolaan sumberdaya alam yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran secara ilmiah untuk mengembangkan ekowisata tidak saja sebagai produk tapi juga sebagai media untuk menyelesaikan konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam. Kontribusi lain yang diharapkan ialah hasil penelitian yang dapat dimanfaatkan sebagai masukan oleh pengambil kebijakan dan masyarakat di lokasi studi.


(33)

2.1 Taman Nasional 2.1.1 Sejarah Konservasi

Berdasarkan data yang terekam oleh sejarah, konsep kawasan pelestarian berawal pada masa Raja Asoka (252 S.M) dari India yang mengumumkan perlindungan satwa, ikan, dan hutan. Pada masa itu, konsep kawasan pelestarian merupakan tempat suci atau taman buru yang eksklusif (MacKinnon et al. 1990). Pada masa Raja William I (1084 Masehi) di Inggris, ditetapkan kebijakan untuk menginvetarisasi tanah baik yang berupa hutan maupun pertanian milik kerajaan. Produk inventarisasi yang dikenal sebagai The Doomsday Book ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk pengelolaan sumberdaya tanah milik kerajaan tersebut.

Konsep konservasi pada abad 18 berkembang sejak dicetuskannya teori pertumbuhan penduduk oleh Thomas Malthus pada tahun 1798 (Burton et al. 1965). Para ilmuwan pada masa itu tidak hanya melihat teori ini dari persamaan matematisnya saja tapi lebih dari itu mereka mengkaji makna dibalik dari estimasi jumlah penduduk tersebut (Dorn 1965), dan dampak yang mungkin terjadi terhadap ketersediaan cadangan makanan (Sukhatme 1965).

Respon terhadap fenomena pertumbuhan penduduk dan implikasinya terhadap sumberdaya melahirkan berbagai perspektif yang berbeda (Fisher 1965). Skala perspektif mulai dari yang menganggap bahwa perhitungan Malthus berlebihan (over estimate), pertumbuhan penduduk dapat disiasati dengan program KB dan transmigrasi, sampai perspektif yang berpendapat bahwa harus segera melakukan rasionalisasi penggunaan sumberdaya.

Perbedaan juga ditemukan dalam konteks bagaimana manusia mengacu pada nilai-nilai sosial dan budayanya untuk mengelola sumberdaya alam (Spoehr 1965). Pada masyarakat yang masih tradisional seperti komunitas Maori sumberdaya alam diambil jika hanya dibutuhkan saja. Sementara itu, pada masyarakat yang modern, sumberdaya alam dieksploitasi untuk memaksimalkan keuntungan ekonomi.


(34)

15

Keterkaitan antara pertumbuhan penduduk dan cadangan sumberdaya alam serta beragam perspektif dalam meresponnya menumbuhkan pemikiran bahwa terjadi perubahan pola hubungan antara manusia dengan alam. Pemikiran ini merupakan awal dari tumbuhnya filosofi konservasi (Glacken 1965). Pada tahun 1872, di Amerika ditetapkan taman nasional pertama yaitu Yellowstone National Park. Konsep pengelolaan taman nasional yang digunakan pada saat itu ialah taman untuk rakyat. Perkembangannya saat ini menunjukkan bahwa konsep pengelolaan taman nasional berevolusi kembali menjadi “tempat yang dilindungi oleh sekelompok kaum elit” seperti yang pernah terjadi pada masa Raja Asoka dulu (Everhart 1983; Runte 1987).

2.1.2 Tata Nilai yang Mempengaruhi Konsep Konservasi

Ada dua tata nilai yang mempengaruhi perubahan interaksi manusia dengan alam adalah nilai spiritual dan sosial (Price 1965). Dalam konsep spiritual, alam dipandang sebagai sesuatu yang yang indah dan berguna. Manusia dapat menggunakan, merubah dan memperbaikinya sesuai dengan kebutuhan. Namun pada akhir abad kedelapanbelas dan awal abad kesembilanbelas ketika terjadi revolusi industri, manusia mulai harus membatasi diri agar sumberdaya terjaga untuk generasi yang akan datang.

Nilai konservasi pada aspek sosial dapat dilihat sejak kehidupan primitif manusia. Pada saat itu manusia sudah memiliki nilai untuk melakukan konservasi dalam konteks menyimpan makanan untuk cadangan. Sementara itu, pada masa industrialisasi, penanaman kembali bahan baku secara ekspansif juga mencirikan bahwa manusia melakukan usaha untuk menyelamatkan kebutuhannya di masa yang akan datang. Dalam konteks sosial, permasalahan konservasi adalah perbedaan bagaimana manusia memaknai kata “masa depan” (future) seperti misalnya pada self-identification dengan kehidupan di masa datang, dan jumlah populasi di masa datang. Perbedaan pandangan ini menentukan tujuan yang ditetapkan oleh suatu komunitas yang berimplikasi terhadap konsep kebijakan pemanfaat sumberdayanya.

Beberapa kondisi yang mempengaruhi konsep konservasi diantaranya (Price 1965):


(35)

menyebabkan pola pemanfaatan sumberdaya yang mampu memulihkan dirinya secara alami (even use over all time);

• Ide mengalokasi sumberdaya yang terkonsentrasi pada suatu lokasi yang tidak terjamah untuk generasi yang akan datang. Konservasi digunakan sebagai alat untuk memaksimalkan fungsi dari sumberdaya tersebut dan melindung sumberdaya yang potensial (preference for present);

• Pandangan lainnya menyebutkan bahwa sumberdaya sebaiknya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk generasi masa kini, konservasi berperan sebagai alat untuk mencegah limbah (prevention of waste); dan

• Adanya kelompok yang mempunyai perilaku merusak dan mengeksploitasi alam (depleters). Karakteristik kelompok ini umum agresif, memiliki power dan kontrol yang kuat terhadap sumberdaya. Kelompok konservasi diharapkan sebagai penyeimbang kelompok depleters ini.

2.1.3 Definisi Konservasi

Konservasi secara umum memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:

• penggunaan sumberdaya alam untuk sebanyak mungkin manfaat bagi sebanyak mungkin orang untuk jangka waktu yang terlama (Gifford Pinchot dalam Herfindahl 1965:229).

• pemeliharaan dan pemanfaatan sumberdaya bumi secara bijaksana (MacKinnon et al. 1990:1).

• perlindungan, perbaikan, dan pemanfaatan secara bijak terhadap SDA, sesuai dengan kaidah-kaidah yang dapat memastikan pemanfaatan sumberdaya tersebut untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan sosial18;

Di Indonesia, pengertian konservasi dituangkan dalam beberapa undang-undang terkait seperti uraian berikut ini:

ƒ Konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan sumberdaya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumberdaya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya (Bab I Ketentuan Umum UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan


(36)

17

Hidup);

ƒ Konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya (Pasal 1 UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya).

ƒ Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya (UU No. 41/1999 tentang Kehutanan); dan

Mengacu pada makna yang dikandung dalam pengertian konservasi diatas, maka dapat ditarik pemahaman bahwa kawasan konservasi ialah suatu area atau kawasan yang diperuntukan sebagai kawasan perlindungan, pengawetan, pengelolaan, pemanfaatan, dan perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara lestari dan bijak sesuai dengan kaidah-kaidah untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan sosial dengan mempertimbangkan kebutuhan di masa kini dan masa yang akan datang.

2.1.4 Konsep Kawasan Konservasi di Indonesia

Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, di Indonesia konsep konservasi tercantum dalam beberapa peraturan perundangan19. Menurut kebijakan tersebut tujuan dari konservasi adalah agar terwujudnya kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup agar tercapai keseimbangan ekosistem yang dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Sedangkan tanggung jawab dan kewajiban dalam melaksanakan konservasi ada pada pemerintah serta masyarakat.

Kegiatan yang boleh dilakukan di kawasan konservasi diantaranya perlindungan sistem penyangga kehidupan; pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan pemanfaatan secara lestari SDAH dan ekosistemnya.

Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya Pasal 1, Bab 4, dan Bab 7, kawasan

19 Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya; Undang-undang No. 23


(37)

konservasi dibagi menjadi dua kategori yaitu Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA). Adapun bentuk-bentuk kawasan konservasi yang tercakup kedalam kedua kategori tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kawasan Pelestarian Alam (KPA) ialah kawasan dengan fungsi untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari SDAH dan ekosistemnya. Kegiatan yang dapat dilakukan di KPA diantaranya penelitian, untuk ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam. Jenis/ bentuk KPA ialah Taman Nasional20, Taman Wisata Alam21, dan Taman Hutan Raya22.

2. Kawasan Suaka Alam (KSA) ialah kawasan dengan fungsi kawasan pengawetan dan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah. Kegiatan yang dapat dilakukan di kawasan ini ialah kegiatan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan yang menunjang budidaya. Kawasan yang masuk kedalam kategori KSA yaitu: Suaka Margasatwa23, Cagar Alam24, dan Cagar Biosfer25.

Ada lima kriteria (MacKinnon et al. 1990) yang dipertimbangkan dalam melakukan kategorisasi kawasan konservasi tersebut diantaranya ialah: (1) ciri-ciri kawasan: misalnya ciri-ciri biologi, geofisik, nilai budaya/historis, dan fungsi kawasan; (2) tujuan pelestarian; (3) kadar toleransi atau kerapuhan ekosistem atau spesies; (4) tipe pemanfaat yang sesuai dengan tujuan peruntukan kawasan; dan (5) tingkat permintaan akan penggunaan dan kepraktisan pengelolaan.

20 Taman Nasional: kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang

dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya).

21 Taman Wisata Alam: kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam

(Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya).

22 Taman Hutan Raya: kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan,

jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi (Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya).

23 Suaka Margasatwa: kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis

satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya (Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya).

24 Cagar Alam: kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan satwa, dan

ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami (Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya).

25 Cagar Biosfer: suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan/atau ekosistem yang telah mengalami

degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan (Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya).


(38)

19

2.1.5 Konsep Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia

Secara fisik, karakteristik Taman nasional digambarkan sebagai kawasan yang luas, relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam yang menonjol, kepentingan pelestarian yang tinggi, potensi rekreasi yang besar, aksesibilitas baik, dan mempunyai manfaat yang jelas bagi wilayah (MacKinnon et al. 1990). Seperti yang telah diuraikan sebelumnya pengertian taman nasional yang digunakan di Indonesia ialah kawasan pelestarian alam (KPA) yang mempunyai ekosistem asli, dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata26, dan rekreasi27.

Tujuan dibentuknya kawasan taman nasional diantaranya untuk:

ƒ melindungi kawasan alami dan berpemandangan indah yang penting, secara nasional atau internasional serta memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan dan rekreasi (MacKinnon et al. 1990); dan

ƒ terwujudnya kelestarian SDAH serta keseimbangan ekosistemnya dan mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (UU No. 5/1990 pasal 3).

Pasal 32-34 dalam UU No. 5/1990 menyebutkan bahwa pengelolaan Taman Nasional dilakukan dengan Sistem Zonasi yang dibagi menjadi:

ƒ Zona inti: adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apa pun oleh aktivitas manusia.

ƒ Zona pemanfaatan: yaitu bagian dari kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata

ƒ Zona lainnya: yaitu zona diluar kedua zona inti dan pemanfaatan karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi, dan sebagainya

Di Indonesia, kewenangan penetapan kriteria, standar dan penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru termasuk daerah aliran sungai didalamnnya diserahkan kepada

26 Pariwisata atau Tourism adalah fenomena dan hubungan keterkaitan yang timbul dari interaksi antara empat elemen

pariwisata yaitu wisatawan, pelaku bisnis, pemerintah di berbagai level sebagai pemberi jaminan dan kontrol, serta masyarakat lokal yang menjadi tuan rumah bagi para wisatawan (Gartner 1996:6).

27 Rekreasi adalah suatu kegiatan atau usaha untuk memulihkan kembali kekuatan atau semangat setelah bekerja (Woolf et al. 1976);


(39)

pemerintah pusat (PP No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, pasal 2). Sedangkan pemerintah daerah dapat membantu sebagian urusan pelaksanaan konservasi seperti penyelenggaraan inventarisasi dan pemetaan, tata batas, dan penyediaan dukungan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis (UU No. 5/1990 Bab 10 dan PP No. 25/2000 pasal 3). Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan di ketiga bentuk KPA (taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam) dengan mengikutsertakan masyarakat. Sarana pariwisata dapat dibangun dalam zona pemanfaatan.

2.1.6 Institusi Pengelolaan Taman Nasional

Ciri sistem kelembagaan menurut Shaffer dan Schmid (dalam Suhaeri 1994:18) ada 3, yaitu: hak kepemilikan, batas wilayah kewenangan, dan aturan keterwakilan. Berkaitan dengan pengelolaan taman nasional, ketiga unsur tersebut diatur oleh undang-undang.

Hak kepemilikan taman nasional, menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 mengenai Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, adalah tanah milik Negara atau state property. Karenanya, menurut Pasal 34 Undang-undang (UU) No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya (KSHE), pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam hal ini dilakukan oleh Departemen Kehutanan.

Dasar penentuan batas wilayah kewenangan taman nasional juga diatur diantaranya oleh lima peraturan perundangan setingkat undang-undang yang secara teknis dijabarkan kedalam Peraturan Pemerintah (PP) atau Keputusan Menteri (Kepmen)28. Dalam peraturan perundangan tersebut, tata batas taman nasional harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah pusat, daerah dan masyarakat.

28 UU No. 5 tahun 1990 mengenai KSHE, UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 68 tahun 1998

tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestaria Alam, PP No. 62 tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang Kehutanan Kepada Daerah dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 32/Kpts-II/2001 tentang kriteria dan standar Pengukuhan Kawasan Hutan.


(40)

21

2.2Konflik dan Pengelolaan Sumberdaya Alam 2.2.1 Definisi Konflik

Perbedaan pengalaman, pemahaman, dan pandangan tentang berbagai aspek kehidupan menyebabkan manusia yang satu dan lainnya berbeda, bersengketa, dan berkonflik yang dapat berujung pada kekerasan. Kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh (Fisher et al. 2001:4). Berbeda adalah situasi alamiah yang terjadi karena kodrat manusia (Malik et al. 2003). Sedangkan bersengketa adalah suatu situasi persaingan antara dua atau lebih orang/kelompok yang ingin meletakkan haknya atas suatu benda atau kedudukan (Malik et al. 2003:148). Sementara, pengertian konflik dapat dilihat dari definisi berikut ini:

ƒ Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher et al. 2001:4).

ƒ Konflik adalah suatu situasi yang menunjukan adanya praktik-praktik penghilangan hak seseorang atau lebih dan atau kelompok atas suatu benda atau kedudukan (Malik et al. 2003).

ƒ Konflik organisasi adalah perselisihan yang terjadi ketika kelompok tertentu mengejar kepentingannya sendiri dengan mengorbankan kepentingan kelompok-kelompok lainnya (Gareth R. Jones dalam Winardi 2003: 253).

ƒ Konflik adalah suatu perwujudan perbedaan cara pandang antara berbagai pihak terhadap obyek yang sama (Wulan et al. 2004)

ƒ Konflik adalah gejala yang terlihat di permukaan dari suatu transformasi modal sosial masyarakat yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat (Kartodiharjo dan Jhamtani 2006).

2.2.2 Tipe atau Jenis-jenis Konflik

Ada empat tipe konflik yang masing-masing memiliki potensi dan tantangannya sendiri, yaitu (Malik et al. 2003; Winardi 2003):

• Tanpa Konflik: ada pada setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai. Jika mereka ingin agar keadaan ini terus berlangsung mereka harus hidup


(41)

bersemangat dan dinamis serta memanfaatkan dan mengelola konflik secara kreatif.

• Konflik Laten : konflik ini sifatnya tersembunyi. Dapat ditangani jika konflik diangkat ke permukaan.

• Konflik Terbuka: konflik ini berakar dalam dan sangat nyata. Memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.

• Konflik di Permukaan: konflik muncul karena kesalahpahaman sehingga konflik hanya memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar. Dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi.

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik

Menurut Malik et al (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi konflik diantaranya:

ƒ Hubungan antar manusia seperti perbedaan persepsi29, budaya (tingkah laku), dan cara berkomunikasi;

ƒ Masalah kepentingan yang dipicu oleh masalah mendasar (uang, sumberdaya fisik, dan waktu); tata cara (sikap); dan psikologis (persepsi, kepercayaan, dan keadilan);

ƒ Perbedaan data seperti cara mengumpulkan informasi, relevansi data, cara menterjemahkan informasi, dan menyajikan data;

ƒ Pemaksaan nilai30 dan sikap tidak toleran terhadap perbedaan nilai yang dianut;

ƒ Masalah struktural karena adanya perbedaan posisi dalam pengambilan keputusan dan kewenangan yang menyebabkan ketimpangan akses dan kontrol. Faktor lain yang mempengaruhi masalah struktural ialah faktor geografis, sejarah, dan waktu.

Sedangkan dalam berorganisasi, ada lima macam sumber yang potensial menimbulkan konflik, yaitu (Winardi 2003): interdependensi sub-unit yang ada, tujuan sub-unit yang berbeda, faktor-faktor birokratik, kriteria kinerja yang tidak

29

Persepsi adalah kemampuan untuk menerima; suatu tindakan atau hasil dari sebuah proses menerima suatu kondisi (Woolf et al. 1976).

30 Nilai adalah kepercayaau yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya (Malik et al.. 2003:150); atau

merupakan suatu kepercayaan terhadap realitas alam semesta (Capra. 2000); penilaian atau perkiraan (rate), ukuran (measured), jumlah numerik yang terukur secara kuantitatif (a numerical quantity measured), ukuran kualitas yang membuat sesuatu menjadi diinginkan (the quality that renders something desirable), penghargaan atau respect (wordnet.princeton.edu/perl/webwn diakses 17 Desember 2005 06:47 AM)


(42)

23

sesuai, persaingan untuk mendapatkan sumberdaya.

Dalam masalah kehutanan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Center for International Forestry Research (CIFOR) terhadap berita koran dan pengamatan lapangan, ada lima jenis kegiatan kehutanan yang dapat memicu terjadinya konflik. Kelima jenis kegiatan ini yaitu: perambahan hutan, pencurian kayu, penataan batas, perusakan lingkungan, dan alih fungsi atau status kawasan (Wulan et al. 2004).

2.2.4 Tahapan Konflik

Louis R. Pondy (Winardi 2003:255-262) mengembangkan suatu model untuk memahami dan menangani konflik dalam keorganisasian. Ia memandang konflik sebagai proses yang terdiri dari lima tahap. Kelima tahap tersebut ialah: a) Tahap 1 konflik laten31 : tahap dimana organisasi memiliki potensi konflik

yang disebabkan karena berbagai faktor perbedaan yang sifatnya vertikal dan horisontal.

b) Tahapan 2 konflik yang dipersepsi: tahap dimana suatu kelompok atau sub-unit merasa kepentingannya terbengkalai karena kelompok lain. Pada tahap ini mulai dianalisis sumber penyebab konflik. Masing-masing kelompok harus dapat mengidentifikasi problem apa yang dihadapi mereka sehingga menimbulkan konflik.

c) Tahap 3 konflik yang dirasakan: tahap dimana masing-masing kelompok mulai memberikan reaksi dan mengembangkan aliansi serta mentalitas dalam wujud ”kita-mereka”. Pada tahap ini kerjasama dan efektifitas organisasi mulai menyusut.

d) Tahap 4 konflik termanifestasikan32: tahap dimana kelompok yang berkonflik mulai saling melakukan aksi yang dapat menghambat tujuan kelompok lawannya. Bentuk aksi dapat berupa agresi terbuka atau tertutup. Agresi tertutup diantaranya dengan tidak melakukan suatu tindakan sehingga pencapaian tujuan kelompok lain jadi tertunda atau terhambat.

e) Tahap 5 Setelah konflik usai (conflict aftermath): muncul kembali atau

31 Konflik laten menyediakan kondisi anteseden bagi konflik dalam bentuk : persaingang untuk mendapatkan

sumber-sumberdaya yang langka; konflik peranan; dan divergensi pada tujuan-tujuan kelompok (Winardi 2003).

32 Konflik yang termanifestasikan mencapai bentuk perilaku penuh konflik yang didalamnya termasuk: sabotase, agresi


(1)

EKOWISATA

3. PEMERINTAH

DESA

9

Langsung

Aset dan kas desa

Sedang

Mendukung

1,2,3,4

4. PEMERINTAH TK

KECAMATAN

10

- Pembinaan

Sedang

Mendukung

11

1,2,4

B. STAKEHOLDER KUNCI

1. PEMDA KABUPATEN

12

a. BAPPEDA

Langsung.

Perubahan fungsi

kawasan

Sebagian kawasan

TNGH berada

dalam wilayah

administratif;

sinkronisasi tata

ruang; PAD

Tinggi Mendukung

dengan

catatan

13

1,2,3,4

b. Dinas Kehutanan

Tidak langsung

Kawasan hutan

berbatasan dengan

TNGH;

Sedang ikut

keputusan

Bupati

1,2,3,4

9 Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat

yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara kesatuan RI (Pasal 1 no. 12 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah). Perangkat Pemerintahan Desa yang masuk dalam lokasi studi ialah Desa Citorek (Kabupaten Lebak), Desa Sirnarasa (Kabupaten Sukabumi), Desa Malasari dan Desa Cisarua (Kabupaten Bogor).

10 Kecamatan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan meliputi:

mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum; pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan; dan melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan (Pasal 129 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah) Perangkat Kecamatan yang masuk dalam lokasi studi ialah Kecamatan Bayah (Kabupaten Lebak), Kecamatan Cikakak (Kabupaten Sukabumi), Kecamatan Nanggung dan Kecamatan Sukajaya (Kabupaten Bogor).

11

Hasil wawancara dengan Camat Nanggung dan perwakilan Kecamatan Sukajaya pada acara Diskusi Membangun Kesepakatan antar Desa Dalam Menata Kawasan Konservasi yang difasilitasi oleh RMI pada 28 Nopember 2006 di Desa Curug Bitung, Kecamatan Nanggungs.

12 Pemerintah Daerah (PEMDA) adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah (Pasal 1 no. 3 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah).

Tugas dan kewenangan Pemerintah Kabupaten tercantum dalam Pasal 14 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perangkat Pemerintah Kabupaten yang masuk dalam lokasi studi ialah Kabupaten Lebak, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Bogor.

13

Dari tiga Kabupaten di lokasi studi, Kabupaten Sukabumi sudah menjadikan Kampung Ciptarasa sebagai salah satu obyek dan daya tarik wisata kabupaten (Peta wisata Kabupaten Sukabumi 2006) dan mengembangkan kegiatan pariwisata di zona pemanfaatan ruang TNGH (RTRW 2006-2010 bab VII). sedangkan berdasarkan wawancara dengan narasumber, Kabupaten Bogor dan Lebak meskipun mendukung pengembangan ekowisata di TNGH namun belum memiliki program khusus untuk mendukungnya. Kabupaten Bogor: dalam Perda No. 17/2000 tentang RTRW Kabupaten Bogor, kawasan pariwisata yang dikembangkan dipusatkan ke kawasan Puncak. Kabupaten Lebak: Situs Cibedug merupakan salah satu obyek wisata andalan Kabupaten Lebak (www.disperindag-lebak.go.id/wisata.htm


(2)

EKOWISATA

c. Dinas Sosial

Tidak langsung

Kegiatan

operasional

pemberdayaan

KAT

14

yang

terdapat di dalam

dan luar kawasan

TNGH

Sedang Ikut

keputusan

Bupati

d. Dinas Pariwisata

15

Tidak langsung

Pembinaan

masyarakat,

pengelolaan obyek

wisata daerah

16

;

PAD

Tinggi, Sedang

ikut keputusan

Bupati

1,2,3,4

2. PEMDA PROVINSI

17

a. BAPPEDA

PROVINSI

Langsung sebagian

kawasan TNGH

berada dalam

wilayah

administratif

Sinkronisasi

perencanaan tata

ruang

Tinggi Mendukung

dengan

catatan

18

1,2,3,4

b. Tim Koordinasi Tata

Tidak langsung

Sinkronisasi

Sedang

Mendukung

1,2,3,4

14 Kepmensos No. 06/PEGHUK/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan KAT Pasal 11.

15 Nama-nama Dinas Pariwisata di lokasi studi Dinas Pariwisata Daerah (Diparda), Kabupaten Sukabumi; Dinas Pariwisata, Kesenian dan Kebudayaan (Disparsenibud), Kabupaten Bogor; Dinas Informasi

Komunikasi Seni Budaya dan Pariwisata (INKOSBUDPAR), Kabupaten Lebak.

16

Contoh: Kampung Ciptarasa dalam Peta Kawasan Wisata Kabupaten Sukabumi tahun 2006 merupakan Daerah Tujuan Wisata Budaya unggulan. Sedangkan, Candi Cibedug, berdasarkan Keputusan Presiden No. 101 Tahun 2001 dan SK Kepala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kabupaten Lebak, No. 2999/101.3.12/J/1986, merupakan cagar budaya dimana pengelolaan dan pemeliharaannya merupakan kewenangan Kementerian Pariwisata dan Dinas Kebudayaan (sekarang: Dinas Informasi Komunikasi Seni Budaya dan Pariwisata) Kabupaten Lebak.

17 Tugas dan kewenangan Pemerintah Provinsi tercantum dalam Pasal 13 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perangkat Pemerintah Provinsi yang masuk dalam lokasi studi ialah Provinsi Jawa

Barat dan Provinsi Banten.

18

Provinsi Jawa Barat, menurut dokumen RTRW 2010 pengembangan pariwisata diarahkan pada program penataan kawasan wisata di Sukabumi (wisata pantai) dan BOPUNJUR (Puncak). Kebijakan yang sama terdapat dalam dokumen Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (2005). Namun dalam dokumen ini disebutkan TNGH dan kegiatan ekowisata sebagai salah satu daya tarik untuk mengunjungi kawasan Puncak. Provinsi Banten, dalam Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012, Kabupaten Lebak meskipun diarahkan untuk menjadi kawasan pariwisata namun diidentifikasi sebagai daerah yang didominasi kawasan tertinggal. Hal yang sama ditunjukan dalam Peta Pariwisata Provinsi Banten (www.bantenprov.go.id) . Tidak disebutkan keberadaan TNGH dalam arah kebijakan pengembangan kawasan maupun program pembangunan daerah.


(3)

EKOWISATA

Ruang* perencanaan

tata

ruang

keputusan Gubernur

c. Dinas Kehutanan

Tidak langsung

Penataan batas

kawasan hutan

lindung dan

pengurusan

pemanfaatan hutan

Sedang Mendukung

keputusan Gubernur

1,2,3,4

d. Dinas Sosial

Tidak langsung

Kewenangan

koordinasi

perencanaan

pemberdayaan

KAT

19

yang

terdapat di dalam

dan luar kawasan

TNGH

Sedang Mendukung

keputusan Gubernur

1,2,3,4

e. Dinas Pariwisata

Langsung

Pembinaan dan

pengelolaan obyek

wisata daerah

20

;

PAD

Sedang Mendukung

keputusan Gubernur

1,2,3,4

3. PEMERINTAH PUSAT

21

a. Dep. Kehutanan Cq.

Dirjen PHKA dan

BAPLAN

Langsung Berwenang

dalam

kebijakan

pengurusan

kawasan hutan

22

Tinggi Mendukung

1,2,3,4

19 Kepmensos No. 06/PEGHUK/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan KAT Pasal 10.

20 Contoh: Kampung Ciptarasa dalam Peta Kawasan Wisata Kabupaten Sukabumi tahun 2006 merupakan Daerah Tujuan Wisata Budaya unggulan. Sedangkan, Candi Cibedug, berdasarkan Keputusan Presiden

No. 101 Tahun 2001 dan SK Kepala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kabupaten Lebak, No. 2999/101.3.12/J/1986, merupakan cagar budaya dimana pengelolaan dan pemeliharaannya merupakan kewenangan Kementerian Pariwisata dan Dinas Kebudayaan (sekarang: Dinas Informasi Komunikasi Seni Budaya dan Pariwisata) Kabupaten Lebak.

21 Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara RI sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (Pasal 1 no.1 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah)


(4)

EKOWISATA

b. Departemen Dalam

Negeri

Tidak langsung

Berwenang dalam

kebijakan

perencanaan

daerah

23

Tinggi Mendukung

1,2,3,4

c. Departemen Sosial

Tidak langsung

Berwenang dalam

pembinaan

kesejahteraan sosial

KAT

24

Sedang Mendukung

1,2,3

d. Departemen

Kebudayaan dan

Pariwisata

Langsung Berwenang

dalam

menetapkan

Kawasan

Pariwisata, obyek

dan daya tarik

wisata

25

,

persyaratan

pemintakatan

/zoning, pencarian,

pemanfaatan, sistem

pengamanan, dan

kepemilikan benda

cagar budaya serta

persyaratan

penelitian

arkeologi

26

.

Tinggi Mendukung

1,2,3,4

4. BTNGH

Langsung Bertanggung

jawab

terhadap

Tinggi Mendukung

1,2,3,4

23 Keppres No. 102/2001 tentang : Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen Pasal 3-5.

24 Keppres No. 111/1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan Kepmensos No. 6/PEGHUK/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan KAT 25 UU No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan Pasal 29(2); PP No. 67/1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan Pasal 40 (2).


(5)

EKOWISATA

pelaksanaan

Pengelolaan,

perlindunganTNGH

C. STAKEHOLDER PENDUKUNG

27

1. LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT

a. ABSOLUT

Tidak langsung

LSM lokal yang

bergiat di kampanye

kesadaran LH

melalui di radio

lokal, & guide

ekowisata.

Sedang Mendukung

1,2,3

b. Yayasan Ekowisata

Halimun (YEH)

Pendampingan

masyarakat untuk

pengembangan

ekowisata

Sedang Mendukung

1,2,3

2. INSTITUSI PENDIDIKAN DAN LEMBAGA PENELITIAN

a. IPB

TD

Lokasi penelitian

bidang pengelolaan

SDA dan Sosial

Sedang Mendukung

1,2,3

b.

Biological Science

Club

(BScC)

Lokasi

penelitian

keanekaragaman

hayati

Sedang Mendukung

1,2,3

3. SWASTA

PT Perkebunan Nirmala

Agung (Kecamatan

Nanggung)

Tidak langsung

Salah satu obyek

wisata

Sedang Mendukung

1,2,3

27 Stakeholders pendukung (sekunder) : merupakan stakeholders yang tidak memiliki kepentingan langsung terhadap proyek tapi memiliki kepedulian. Mereka dapat menjadi intermediaries atau fasilitator

dalam proses dan cukup berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Contoh: LSM, perguruan tinggi, peneliti. (Maryono et al. 2005; ODA 1995)


(6)

EKOWISATA

4. LEMBAGA DONOR

:

a. JICA

28

Tidak ada

Donor

Kuat

Mendukung

1,2,3

b. KEHATI

29

Tidak ada

Donor

Sedang

Mendukung

1,2,3

c. USAID

30

Tidak ada

Donor

Kuat

Mendukung

1,2,3

5. INDIVIDU

a. Wisatawan

Tidak langsung

Daerah tujuan

wisata

Rendah Mendukung

1,2

b. Peneliti

Tidak langsung

Daerah Penelitian

Rendah

Mendukung

1,2,3

6. FORUM KOMUNIKASI DAN ORGANISASI MASYARAKAT

a.

KPPETNGH

Inisiasi

Pengembangan

Ekowisata

Sedang Mendukung

1,2,3

b. HPI

Daerah tujuan

wisata

Sedang Mendukung

1,2,3

c. KSM

Langsung

Organisasi Lokal

pelaksana kegiatan

ekowisata dan

pengelola

Guest

House

Sedang Mendukung

1,2,3,4

Catatan:

ƒ

Untuk identifikasi parameter yang digunakan diantaranya : langsung, tidak langsung atau tidak ada (Dick 1997; ODA 1995).

ƒ

Kepentingan bisa diidentifikasi diantaranya melalui apa yang diharapkan atau manfaat yang bisa diperoleh stakeholder (ODA 1995).

ƒ

Pengaruh: tinggi =jika mempunyai kekuatan untuk memveto keputusan; sedang =jika keputusan stakeholders masih bisa dipengaruhi / dinegosiasikan; dan rendah=jika tidak

mampu atau sangat terbatas kemampuannya untuk mempengaruhi keputusan (Dick 1997).

ƒ

Parameter estimasi sikap terhadap TNGH dan Pengembangan ekowisata: mendukung, tidak ada pendapat, atau tidak mendukung/oposisi (Dick 1997).

ƒ

Kategori stakeholder: primer= jika mendapatkan dampak langsung atau memepunyai kepentingan langsung dengan TNGH; sekunder =jika mempunyai kepedulian dan bisa

berperan sebagai intermediaries di TNGH; kunci= jika mempunyai kewenangan dan kepentingan dalam pengambilan keputusan (Maryono

et al.

2005; ODA 1995).

ƒ

Tipe partisipasi: (1)Informasi, (2)Konsultasi, (3) Mitra, dan (4)Pengambilan keputusan dan Kontrol (Dick 1997; ODA 1995).

28 Mendanai studi-studi pengembangan ekowisata di TNGH, penyusunan bahan promosi dan inventarisasi obyek wisata pada dalam kurun waktu tahun 1998-sekarang. 29 Mendanai kegiatan pendampingan masyarakat setelah tahap inisiasi program selama dua tahun 1998-199.