Karakteristik konflik di masing-masing lokasi studi dirangkum dan disajikan pada Tabel 27.
5.2 Analisis Institusi Penetapan TNGH
Tujuan dari analisis institusi adalah 1 untuk mengidentifikasi individu atau organisasi yang terkait dengan proses penetapan taman nasional;
2 mengidentifikasi aturan formal peraturan perundangan yang mengatur peran para pihak tersebut serta menganalisis pelaksanaan atau implementasi kebijakan
tersebut di lokasi studi; dan 3 menganalisis kebutuhan para pihak dalam menyelesaikan konflik. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan tiga teknik
analisis yaitu analisis stakeholders, analisis asumsi untuk kebijakan, dan analisis kebutuhan. Berikut uraian hasil dari ketiga analisis tersebut.
5.2.1 Analisis Stakeholder
Tujuan dari analisis stakeholders adalah untuk untuk mengidentifikasi individu atau organisasi yang terkait dengan persoalan pengurusan hutan di
TNGH. Hasil dari analisis ini adalah daftar stakeholder yang terkait berikut kategorinya, hubungan antar stakeholder dan pengaruhnya terhadap proses
penetapan TNGH. Dengan menggunakan definisi dan tahapan analisis stakeholders yang
telah diuraikan pada Bab III, tahap pertama analisis ini ialah melakukan identifikasi stakeholder. Berikut uraian hasil analisis stakeholder:
1. Stakeholder Utama
Stakeholders utama primer merupakan stakeholders yang terkena dampak langsung baik positif maupun negatif oleh suatu rencana atau proyek serta
mempunyai kaitan kepentingan langsung dengan kegiatan tersebut Maryono et al. 2005. Berdasarkan definisi tersebut, keempat kelompok masyarakat lokal di
lokasi studi masuk dalam kategori stakeholder utama. Dalam kelompok masyarakat ini terdapat unsur-unsur masyarakat seperti masyarakat Kasepuhan
dan masyarakat Non-Kasepuhan. Dampak utama penunjukan kawasan Gunung Halimun menjadi taman
nasional bagi masyarakat lokal ialah terjadinya perubahan status lahan. Bagi
Tabel 27 Karakteristik konflik di lokasi studi
LANGKAH YANG SUDAH DILAKUKAN LOKASI STUDI
PENYEBAB KONFLIK MASYARAKAT BTNGH
TIPE KONFLIK Kasepuhan Cibedug,
Desa Citorek, Kecamatan Bayah,
Kabupaten Lebak a.
Perbedaan sistem nilai b.
Status lahan : seluruh wilayah adat status saat ini sebagai
encroachment. c.
Ketidaksepakatan tata batas d.
Ketidakpastian akses terhadap SDA
Beraliansi dengan stakeholder lainnya untuk pengakuan
PEMDA; inventarisasi dan dokumentasi sejarah serta
kearifan lokal Memberikan opsi untuk
transmigrasi; mengikuti proses PERDA
a. Konflik laten vertikal
b. Konflik yang dipersepsi : kepentingan
masing-masing kelompok terhambat c.
Konflik yang dirasakan : kita vs mereka d.
Konflik yang termanifestasikan : reaksi masyarakat mencari dukungan aliansi
Kasepuhan Ciptarasa, Desa Sirnarasa,
Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi
a. Perbedaan sistem nilai
b. Status Lahan: sebagian wilayah
adat c.
Ketidaksepakatan tata batas d.
Ketidakpastian akses Beraliansi dengan stakeholder
lainnya untuk pengakuan PEMDA; inventarisasi
dokumentasi sejarah serta kearifan lokal; bermitra
dengan BTNGH Menjalin kemitraan Ekowisata,
PAMSWAKARSA; Pendekatan sosial budaya dengan
menghadiri acara budaya a.
Konflik laten vertikal b.
Konflik yang dipersepsi : kepentingan masing-masing kelompok terhambat
c. Konflik yang dirasakan : kita vs mereka
d. Konflik yang termanifestasikan : reaksi
masyarakat mencari dukungan aliansi Desa Cisarua,
Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor
Ketidakpastian akses terhadap SDA Membentuk Kelompok
Swadaya Masyarakat KSM Penghancuran sekitar 500
lubang-lubang PETI pada tahun 1996-1997, penyuluhan,
pelatihan kader konservasi dan pengembangan kegiatan
ekowisata. a.
Konflik laten vertikal b.
Konflik yang dipersepsi : kepentingan masing-masing kelompok terhambat
c. Konflik yang termanifestasikan :
konfrontasi terbuka terhadap POLHUT.
Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,
Kabupaten Bogor a.
Status lahan : pemukiman, ladang dan sawah
b. Ketidaksepakatan tata batas
1
, c.
Ketidakpastian akses terhadap SDA
Membuat pemetaan partisipatif dan menerapkan
konsep kampung konservasi Kader konservasi, penyuluhan,
pengembangan ekowisata a.
Konflik laten vertikal b.
Konflik yang dipersepsi : kepentingan masing-masing kelompok terhambat
c. Konflik yang dirasakan : kita vs mereka
d. Konflik yang termanifestasikan : reaksi
masyarakat mencari dukungan aliansi dan konfrontasi terbuka dengan PT
Nirmala 1997-1998
Sumber: Hasil penelusuran literatur Lampiran 2, wawancara, dan observasi lapangan. Keterangan:
1
Sebagian wilayah desa Malasari masuk kedalam kawasan TNGH yaitu Kampung Hanjawar, Garung, Citalahab, dan Legok Jeruk. Sebagian wilayah lainnya dikuasai oleh PERHUTANI Kampung Nyungcung I dan II dan PT Nirmala Agung Kampung Citalahab I, Citalahab Central, Legok Jeruk dan Ciwalen.
123
masyarakat Kasepuhan Cibedug dan Ciptarasa, perubahan ini terjadi pada status wilayah kasepuhan mereka. Sementara bagi masyarakat non-kasepuhan, seperti di
Desa Malasari dan Desa Cisarua, ialah perubahan status lahan garapan. Perubahan status ini merubah tatanan kelembagaan dan aturan main pengelolaan yang
sebelumnya ditingkat lokalkomunitas menjadi nasional. Padahal bagi masyarakat ini, lahan merupakan sumber kehidupan yang memenuhi kebutuhan primer. Untuk
masyarakat kasepuhan lahan juga merupakan mandat leluhur yang harus dijaga secara turun temurun jauh sebelum Indonesia merdeka.
Mengingat bukti sejarah keberadaan mereka di kawasan tersebut Adimihardja 1992; Hanafi et al. 2004; Moniaga 2004; Rahayu 2004; Galudra
2006, pengaruh masyarakat terhadap proses penetapan TNGH seharusnya cukup tinggi. Namun demikian, beberapa keterbatasan teknis yang dimiliki masyarakat
untuk berdialog dan bernegosiasi dengan pihak yang berkepentingan seperti bahasa, tingkat pendidikan, kesamaan data dan informasi serta hal teknis lainnya
menyebabkan posisi tawar mereka menjadi rendah. Bagi kelompok masyarakat yang sudah banyak berinteraksi dengan masyarakat luar dan mendapat dukungan
seperti Kasepuhan Ciptarasa dan Desa Malasari, posisi tawar mereka untuk mempengaruhi proses penetapan kawasan menjadi cukup kuat.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, masyarakat lokal umumnya mendukung konservasi kawasan Gunung Halimun. Kesimpulan ini didukung oleh
hasil penelitian yang dilakukan oleh Harada et al. 2001, Harada 2003, dan Widada 2004: 133. Namun mereka menolak pembatasan untuk memanfaatkan
sumberdaya alam di dalamnya. Hasil observasi ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Nugraheni 2002:107.
Ada dua opsi penyelesaian sengketa lahan yang dituntut oleh masyarakat. Opsi pertama ialah menuntut dikeluarkannya lahan adat dan garapan mereka dari
kawasan TNGH agar dapat dikelola secara mandiri oleh mereka. Opsi ini terutama dikemukakan oleh masyarakat kasepuhan. Opsi kedua ialah bekerjasama dengan
BTNGH untuk mengelola lahan tersebut terutama lahan yang masih berupa hutan
121
. Penyelesaian opsi pertama, bagi masyarakat kasepuhan, dapat diselesaikan
121
Berdasarkan hasil pertemuan Sesepuh Banten Kidul tanggal 24 April 2007 di Citorek, posisi masyarakat sepakat untuk mengelola bersama BTNGH wilayah adat yang masih berupa hutan leuweng kolot dan cadangan
jika Pemerintah Daerah setempat sudah mengeluarkan Peraturan Daerah yang mengakui keberadaan mereka sebagai masyarakat kasepuhan. Sedangkan bagi
masyarakat Non-Kasepuhan, penyelesaian dapat dilakukan jika mereka dapat menunjukan bukti kepemilikan atas lahan tersebut.
Untuk opsi kedua, ada dua cara yang dapat ditempuh oleh BTNGH. Pertama yaitu dengan memberikan ruang dalam kawasan TNGH untuk dikelola
bersama. Misalnya dalam zona pemanfaatan, zona khusus dan zona tradisional seperti yang dimungkinkan oleh peraturan perundangan yang ada. Misalnya dalam
Peraturan Menteri Kehutanan No.56Menhut-II2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Pasal 3 dan 6. Cara yang kedua ialah dengan melakukan
kerjasama formal dengan perangkat desakecamatan atau badan usaha milik desa. Landasan hukum yang dapat digunakan ialah UU No. 322004 tentang
Pemerintahan Daerah Pasal 213 214. Dalam undang-undang tersebut Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi
desa danatau melakukan kerja sama dengan pihak ketiga. Rangkuman hasil analisis terhadap stakeholder utama ini disajikan pada
Tabel 28 berikut ini.
Tabel 28 Stakeholder utama penetapan TNGH
KELOMPOK STAKEHOLDERS
DAMPAK PENUNJUKAN
PENGARUH
1
ESTIMASI SIKAP OPSI
PENYELESAIAN
Desa Citorek Seluruh
wilayah adat masuk
kedalam TNGH dan terbatasnya
akses thdp SDA Rendah Mendukung
dengan syarat
Desa Sirnarasa Sebagian wilayah
adat masuk TNGH dan terbatasnya
akses thdp SDA Sedang Mendukung
dengan syarat Seluruh wilayah
adat dikeluarkan dari TNGH;
Pemanfaatan SDA yang lestari;
Kerjasama untuk wilayah adat yang
masih berbentuk hutan.
Desa Cisarua Akses
terhadap SDA terbatas
Rendah Mendukung dengan syarat
Desa Malasari lahan garapan
berada di dalam kawasan TNGH
dan terbatasnya akses thdp SDA
Sedang Mendukung
dengan syarat Lahan garapan
dikeluarkan dari TNGH;
Pemanfaatan SDA yang lestari;
Kerjasama dengan BTNGH
Sumber: Hasil Analisis Keterangan:
1
Pengaruh terhadap proses penetapan TNGH
2. Stakeholder Kunci