Sejarah Pengelolaan Kawasan TNGH

4.7 Sejarah Pengelolaan Kawasan TNGH

Kawasan TNGH mulai dikelola pada sekitar tahun 1916 ketika ditemukan bijih emas oleh jawatan geologi pada masa itu BTNGH 200b:I-7. Pada tahun 1924 penambangan mulai dilakukan di daerah Cikotok oleh WF Oppennorth BTNGH 200b:I-7. Pada tahun yang sama, dibawah pemerintahan Belanda, kawasan Gunung Halimun ditetapkan sebagai hutan lindung dengan luas 39.941 ha BTNGH 2000b:I-33sd34; Widada 2004:46. Selama rentang waktu 1924- 2003, Kawasan Gunung Halimun dengan status kawasan yang berbeda sudah mengalami delapan kali pergantian lembaga pengelola. Latar belakang pengelola kawasan ini sangat bervariasi mulai pemerintah pusat seperti pemerintah Belanda, Dirjen PPA dan UPT BTN, pemerintah daerah Jawatan Kehutanan Provinsi Jawa Barat, dan Badan Usaha Milik Negara Perum Perhutani. Selain latar belakang pengelola, status kawasan juga berubah sebanyak tiga kali yaitu mulai status kawasan sebagai hutan lindung, cagar alam, sampai dengan taman nasional. Sejarah perubahan status dan pengelola kawasan ini disajikan pada Tabel 22. Selain aktivitas konservasi di kawasan Gunung Halimun, sejak tahun 1936 sampai sekarang, aktivitas penambangan di kawasan tersebut terus berlanjut dengan pengelola yang juga berganti-ganti. Pada 1936 NV Mijnbow Maatschapay Zuid Bautam, sebuah perusahaan swasta mulai menambang di bagian timur dan timur laut dalam kawasan TNGH BTNGH 2000b:I-7. Selama masa Perang Dunia II, tahun 1942-1945 pertambangan Cikotok mulai dikelola oleh orang Jawa BTNGH 2000b:I-7. Pada tahun 1950, penambangan dibuka kembali oleh NV Tambang Emas Cikotok BTNGH 2000b:I-7. Pada tahun 1968 nama perusahaan ini diubah menjadi PT Aneka Tambang BTNGH 2000b:I-7. Implikasi dari adanya kegiatan penambangan ini ialah tumbuhan pemukiman penduduk disekitar kawasan sebagai dampak dari kebutuhan masuknya tenaga kerja. Selain aktivitas penambangan, di kawasan Gunung Halimun juga dibuka beberapa perkebunan. Di Sukabumi dan Bogor, pembukaan tanah-tanah perkebunan dimulai sejak tahun 1700an Galudra 2006. Pada tahun 1913, tanah- tanah perkebunan di Kabupaten Bogor diberikan hak kepemilikannya kepada masyarakat oleh pemerintahan Belanda. Pada masa penjajahan Jepang sekitar Tabel 22 Sejarah perubahan status dan pengelola Kawasan Gunung Halimun No. Tahun Status Kawasan Pengelola 1. 1924 Hutan Lindung 84 Pemerintah Penjajah Belanda 2. 1936-1961 Cagar Alam 85 Djawatan Kehutanan Jawa Barat 3. 1961-1978 Cagar Alam Gunung Halimun Perum Perhutani 4. 1979 Cagar Alam Gunung Halimun 86 Dirjen Perlindungan dan Pelestarian Alam PPA diawasi oleh dari kantor Pelestarian SDA Jawa Barat 5. 1979-1990 Cagar Alam Gunung Halimun Balai KSDA III 6. 1990-1992 Cagar Alam Gunung Halimun Balai TN Gede Pangrango 7. 1992 Taman Nasional Gunung Halimun 87 Balai TN Gede Pangrango 8. 1997 Taman Nasional Gunung Halimun UPT BTNGH 88 9. 2003 Taman Nasional Gunung Halimun Salak 89 UPT BTNGH Sumber: Harada et al. 2001; Widada 2004:46; situs resmi TNGH www.tnhalimun.go.id ; BTNGH 2000a: V3- 5; BTNGH 2000b:I-31sd41 . tahun 1944, terjadi pembukaan hutan oleh masyarakat diseluruh Kawasan Gunung Halimun Galudra 2006. Selain karena tidak adanya kepastian hukum, kondisi ini dimanfaatkan penjajah Jepang pada saat itu untuk mengambil hati rakyat dengan menyebutkan bahwa hutan bukan lagi milik penjajah Belanda. Sejarah perkebunan ini diduga merupakan cikal bakal pemukiman yang berada di Kampung Leuwijamang dan Citalahab. Selain pemukiman penduduk yang berasal dari pekerja pertambangan dan perkebunan, di kawasan Gunung Halimun juga bermukim masyarakat Kasepuhan. 84 kawasan Gunung Halimun ditetapkan sebagai hutan lindung dengan luas 39.941 ha BTNGH 2000b:I-33sd34; Widada 2004:46. 85 Status hutan lindung ini kemudian berubah menjadi Cagar Alam pada tahun 1935-1961 dibawah pengelolaan pemerintah Belanda dan Republik Indonesia Cq. Djawatan Kehutanan Jawa Barat BTNGH 2000b:I-33; Harada et al. 2001 dalam Widada 2004:46. 86 atas usulan instansi PPA dan persetujuan Gubernur Jawa Barat, kawasan Cagar Alam Gunung Halimun diperluas menjadi 40.000 Ha. Tambahan ini berasal dari semua hutan lindung yang ada di Provinsi Jawa Barat. Usulan ini berdasarkan peta Brigade Planologi pada masa Pemerintahan Penjajahan Belanda BTNGH 2000b:I-33. 87 26 Pebruari 1992 TNGH ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan SK MenHut No. 282Kpts-II1992. Tanggung jawab pengelolaan berada di bawah TN Gunung Gede Pangrango SK Dirjen PHPA No. 1544DJ-VITN1992 BTNGH 2000a; BTNGH 2000b:I-34. 88 26 Pebruari 1997 melalui SK MenHut No. 185Kpts-II1997 ditetapkan organisasi unit pelaksana teknis UPT Balai TNGH setingkat eselon III dengan 3 sub-seksi: Cikidang Kabupaten Sukabumi, Cigudeg Kabupaten Bogor, dan Bayah, Kabupaten Lebak BTNGH 2000a; BTNGH 2000b:I-34; Harada et al. 2001 dalam Widada 2004:46. 89 Pada tahun 2003, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 1752003 kawasan TNGH diperluas menjadi ± 113.357 Ha dengan nama TNGHS. Alasan perubahan diantaranya hasil studi Hutan Lindung Ciusul, Gunung Salak dan Gunung Endut BTNGH 2000a: V3-5. Ada dua kasepuhan yang masuk dalam lokasi studi yaitu kasepuhan Ciptarasa di bagian Selatan dan Kasepuhan Cibedug di bagian Barat. Berdasarkan penelusuran literatur, Kasepuhan Ciptarasa sudah bermukim di Kawasan Gunung Halimun sejak sebelum tahun 1381 Catatan Sesepuh Girang dalam Rahayu 2004. Sedangkan mengenai keberadaan Kasepuhan Cibedug tercatat mulai awal tahun 1930an Galudra 2006; Arsip Nasional Republik Indonesia dalam Moniaga 2004; dan van der Hoop 1932. Sejarah pengelolaan di kawasan Gunung Halimun, termasuk di empat lokasi studi, disajikan secara lebih rinci pada lampiran 7. Tata Batas Cagar Alam Gunung Halimun mulai dilakukan sejak tahun 1985. Pal batas merupakan tanda fisik di lapangan yang belakangan hilang atau rusak. Pada Tahun Anggaran 1994-1996 dilakukan kembali pelaksanaan orientasi dan rekonstruksi tata batas terutama dengan enclave Nirmala. Pada tahun 1999 pelaksanaan orientasi dan rekonstruksi jalur batas luar baru direalisasikan namun proses penataan tata batasnya sendiri belum dilaksanakan BTNGH 2000a: V-2. Tahun 2000, Rencana Pengelolaan TNGH merekomendasikan untuk membagi TNGH menjadi 5 zona: zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan intensif, zona pemanfaatan tradisional, dan zona rehabilitasi BTNGH 2000a; Widada 2004:47. Namun demikian, sampai Desember 2003, TNGH belum memiliki zonasi kawasan yang definitif Harada et al. 2001; Widada 2004:47. 105

V. HASIL DAN PEMBAHASAN