sisi, PEMDA memberikan status kependudukan resmi dan peluang untuk pemekaran desa tapi disisi lain wilayah administratif desa diklaim pemerintahan
yang sama sebagai kawasan taman nasional. Dalam merespon persoalan ini, pihak PEMDA bersikap pasif. Selama ini, masyarakat dibiarkan berkonfrontasi
langsung dengan BTNGH padahal masalah kejelasan status ini merupakan kewenangan PEMDA. Selain itu, LSM sebagai lembaga pendamping, karena
keterbatasan kapasitas sumberdaya manusianya, sering memberikan informasi yang tidak sesuai, bahkan cenderung provokatif
147
. Berkaitan dengan hal tersebut, pihak BTNGH berharap adanya kepastian sikap PEMDA mengenai pengakuan
status kelompok adat dan jaminan dari kelompok adat untuk menjaga kelestarian kawasan.
Berdasarkan jenis konflik, kondisi saat ini, dan harapan stakeholder, ada empat hal yang perlu dilakukan di lokasi studi untuk menyelesaikan konflik.
Pertama, memanfaatkan sistem nilai masyarakat yang dapat mendukung tujuan konservasi melalui kemitraan. Kedua, menyelesaikan status lahan melalui proses
negosiasi dengan PEMDA dan masyarakat. Ketiga, melakukan rekonstruksi tata batas. Keempat, baik masyarakat maupun BTNGH perlu melakukan
pengembangan pemanfaatan SDA yang lestari dan mendukung fungsi kawasan. Kerjasama dengan para pihak, terutama PEMDA, dibutuhkan agar program
pengembangan dapat berjalan dengan optimal.
3. Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor
Hanya ada satu jenis konflik di Desa Cisarua yaitu masalah akses terhadap SDA di TNGH. Kondisi saat ini di lapangan masih menunjukan adanya aktivitas
penebangan kayu dan penambangan liar. Menurut responden, tidak semua aktivitas, yang menurut BTNGH liar tersebut, dilakukan masyarakat lokal.
Pelakunya kebanyakan berasal dari orang luar yang memanfaatkan keterbatasan sumberdaya BTNGH untuk melakukan pengawasan dan pengamanan.
Berdasarkan hasil wawancara, masyarakat berharap aktivitas tersebut dapat dikurangi karena selain mencemari dan merusak lingkungan juga
meresahkan warga yang biasanya dianggap sebagai pelaku utama. Dalam
147
Wawancara dengan staf BTNGH dan hasil observasi lapangan. Salah satu contoh bias informasi yang dilakukan LSM ialah menganjurkan sertifikasi pada lahan garapan eks PERHUTANI di Citorek, yang diklaim juga sebagai wilayah adat.
merespon persolan ini, BTNGH sendiri berupaya untuk mengembangkan kegiatan alternatif pemanfaatan SDA seperti pengembangan ekowisata. Selain dapat
memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat lokal juga secara tidak langsung melibatkan masyarakat untuk menjaga kawasan. Namun demikian masih
dibutuhkan kerjasama dengan pihak lain agar dapat berkembang dengan optimal. Berdasarkan jenis konflik, kondisi saat ini, dan harapan stakeholder,
langkah penyelesaian yang dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik ialah mengoptimalkan pengembangan ekowisata dengan membuka kerjasama dengan
para pihak, terutama PEMDA. Selain dapat meningkatkan aksesibilitas dan ketersediaan sarana prasarana, kerjasama ini juga dapat membangun komunikasi
antara PEMDA dan BTNGH.
4. Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor
Di lokasi Desa Malasari, terdapat tiga jenis konflik yaitu status lahan ketidaksepakatan tata batas, dan ketidakpastian akses terhadap SDA. Ada dua
lahan yang disengketakan, yaitu lahan garapan masyarakat pada lahan bekas eks PERHUTANI dan beberapa kampung yang diklaim BTNGH ada di wilayahnya.
Konflik lahan ini berimplikasi kepada konflik tata batas, dan akses. Sampai saat ini, meskipun intensitas konflik sudah sampai pada konflik terbuka pada tahun
1998 namun belum ada penyelesaian. Berdasarkan hasil wawancara, masyarakat menginginkan kedua status
lahan tersebut kembali dapat dikelola oleh mereka. Persoalannya, terdapat perbedaan persepsi mengenai hak kepemilikanpengusahaan atas tanah yang di
petakan. BTNGH belum melakukan proses inventarisasi termasuk memastikan status bebas hak-hak pihak ketiga atas lahan tersebut pada badan hukum.
Sementara itu, PEMDA juga tidak berperan untuk membantu menjadi mediator persoalan ini.
Dalam merespon persolan ini, BTNGH sudah berupaya untuk mengembangkan kegiatan alternatif pemanfaatan SDA seperti pengembangan
ekowisata di Kampung Citalahab Central. Selain dapat memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat lokal juga secara tidak langsung melibatkan
masyarakat untuk menjaga kawasan. Namun demikian, masih dibutuhkan
kerjasama dengan pihak lain agar dapat berkembang dengan optimal. Berdasarkan jenis konflik, kondisi saat ini, dan harapan stakeholder, ada
empat langkah penyelesaian yang dibutuhkan di lokasi ini. Keempat langkah ini ialah penyelesaian status lahan, rekonstruksi tata batas, mengoptimalkan
pengembangan ekowisata yang sudah ada, dan membangun kerjasama dengan para pihak.
Berdasarkan analisis tersebut, kebutuhan stakeholder utama masih berkisar dalam pemenuhan dasar fisiologis dan keamanan. Pemenuhan dasar fisiologis
tidak dapat terpenuhi jika sengketa lahan dengan BTNGH belum terselesaikan. Karena itu prioritas kebutuhan yang harus dipenuhi adalah penyelesaian status
lahan dan penataan batas wilayah. Tuntasnya persoalan tersebut akan memperjelas instansi mana yang memiliki tugas dan kewenangan untuk menangani
permasalahan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Masyarakat juga dapat memiliki kejelasan di zona atau kawasan yang mana mereka dapat mengakses
SDA untuk kebutuhan tersebut. Disisi lain, sebagai instansi yang bertanggung jawab dalam pengurusan
hutan dan pengelolaan TNGH, ada empat kebutuhan yang harus dipenuhi oleh Departemen Kehutanan dan BTNGH. Keempat kebutuhan tersebut ialah 1
ketersediaan sumberdaya, 2 stabilitas Kawasan, 3 dukungan dan kerjasama para pihak, dan 4 tuntasnya proses pengukuhan kawasan dan berjalannya rencana
pengelolaan TNGHS. BTNGH dalam menjalankan tugasnya mengalami keterbatasan
sumberdaya seperti keterbatasan dana, sumberdaya manusia SDM, sarana dan prasarana. Dibandingkan dengan luas kawasan yang harus dikelola dan diawasi
sumberdaya yang tersedia saat ini tidak mencukupi. Pemanfaatan kawasan, seperti ekowisata, belum memberikan kontribusi dana swadaya yang signifikan walaupun
cukup menarik bagi beberapa lembaga donor untuk berkontribusi. Persoalan yang lain adalah belum terbangunnya kerjasama yang optimal dan saling
menguntungkan antara BTNGH dan para pihak seperti PEMDA dan LSM. Stabilitas kawasan dibutuhkan agar tujuan dan fungsi kawasan tercapai.
Namun kondisi saat ini menunjukan terjadinya aktivitas yang dilarang seperti perambahan hutan untuk ladang dan pemukiman, PETI, dan penebangan kayu
ilegal. Sumber persoalan terjadinya ketidakstabilan kawasan diantaranya karena kurangnya sumberdaya untuk menjaga kawasan. Persoalan lain adalah adanya
fakta kondisi sosial ekonomi masyarakat yang rendah. Selain itu kurangnya dukungan para pihak karena tidak terbangunnya komunikasi, dan lemah tingkat
kepercayaan antar stakeholder. Eksistensi TNGH membutuhkan dukungan dan kerjasama dari para pihak.
Sayangnya kondisi saat ini menunjukan adanya penolakan perluasan TNGH dan rendahnya dukungan para pihak terhadap berbagai program TNGH. Hal ini dapat
dilihat dari rendahnya kuantitas dan kualitas kerjasama yang terbangun dan tidak adanya koordinasi program dengan PEMDA, LSM dan pihak lainnya. Hal ini
disebabkan karena komunikasi yang tidak berjalan dengan baik. Selain itu, belum terbangunnya rasa saling percaya antar para pihak.
Kebutuhan lain dari BTNGHDephut adalah tuntasnya proses pengukuhan kawasan dan berjalannya rencana pengelolaan TNGHS. Namun fakta di lapangan
menunjukan belum selesainya proses pengukuhan kawasan terutama proses penataan batas. Salah satu indikasinya ialah adanya penolakan dari masyarakat
dan pemerintah daerah terhadap draft RPTNGHS. Persoalan ini bersumber pada ketidaksepahaman para pihak mengenai alasan kebutuhan perluasan kawasan
TNGH. Kebijakan pengukuhan juga dianggap top down dan tidak berdasarkan inventarisasi kawasan yang baik. Sama halnya dengan penunjukan kawasan,
proses penyusunan RPTNGHS juga dianggap top down karena tidak melibatkan stakeholder utama dan hanya melibatkan sebagian kecil instansi PEMDA. Dalam
proses tersebut, legitimasi LSM yang dianggap sebagai wakil masyarakat dipertanyakan.
Berdasarkan uraian diatas, dukungan dan kerjasama para pihak merupakan sesuatu yang paling prioritas harus diperoleh BTNGHDephut. Jika komunikasi
dan kepercayaan sudah terbangun, maka dapat dirintis kerjasama dengan para pihak untuk mengisi kekurangan sumberdaya yang dihadapi oleh BTNGH.
Kerjasama ini dapat diarahkan untuk menyelesaikan proses pengukuhan kawasan. Jika proses ini berjalan dengan baik dan kerjasama dengan para pihak tetap
berlangsung secara berkelanjutan maka dapat diharapkan stabilitas kawasan. Kerjasama harus dibangun berdasarkan kondisi yang saling
menguntungkan. Berdasarkan wawancara dan hasil observasi, kebutuhan Pemerintah Daerah yang teridentifikasi yang terkait dengan kawasan TNGH ada
dua yaitu manfaat nyata kawasan TNGH untuk PAD dan sinkronisasi program di kawasan yang saling berbatasan. Keberadaan TNGHS selama ini dianggap tidak
memberikan kontribusi nyata kepada PEMDA. Sehingga belum ada program daerah yang secara khusus dan langsung terkait untuk mendukung kawasan
TNGHS. Padahal tujuan kawasan TNGH dikelola pemerintah pusat selain untuk kepentingan nasional juga untuk melindungi kawasan bawahannya. Karena itu,
BTNGH harus mampu meyakinkan PEMDA keuntungan apa yang akan diperoleh jika kerjasama disepakati.
Analisis kebutuhan stakeholders dalam penetapan kawasan TNGH selengkapnya dirangkum dan disajikan pada Tabel 36.
5.2.4 Implikasi Eksisting Institusi Terhadap Konflik