Karakteristik Budaya dan Sistem Nilai Masyarakat

4.5 Karakteristik Budaya dan Sistem Nilai Masyarakat

Di kawasan TNGH dikenal dua kelompok masyarakat berdasarkan adat istiadat dan budayanya Hanafi et al. 2004; Saputro 2006; Nugraheni 2002. Kedua golongan masyarakat ini ialah masyarakat adat kasepuhan dan masyarakat Non-Kasepuhan. Masyarakat kasepuhan adalah suatu kelompok masyarakat yang berasal dari satu garis keturunan yang mengaku sebagai Warga Kesatuan Adat Banten Kidul. Menurut sejarah pengelolaan kawasan TNGH Lampiran 7, cara hidup masyarakat kasepuhan berpindah-pindah dan pada umumnya tinggal di bukit-bukit dan gunung-gunung. Di TNGH ada empat kelompok kasepuhan besar yaitu Citorek, Cisungsang, Sirnarasa, dan Cisitu BTNGH 2000b: I-31 sd32. Sumber lainnya menyebutkan bahwa terdapat 3 kasepuhan yang dipercaya oleh 9 komunitas untuk menjaga Halimun yaitu: Kasepuhan Urug, Kasepuhan Ciptagelar dulu di Ciptarasa, dan Kasepuhan Citorek Hanafi et al. 2004; Moniaga 2004. Masyarakat Kasepuhan umumnya memiliki hubungan kekeluargaan yang masih erat dan patuh pada pemimpin adat yang disebut dengan sesepuhkokolot BTNGH 2000a. Pola kepemimpinan dalam masyarakat adat bersifat monarkhi dimana kepala adat dan perangkatnya dipilih berdasarkan garis keturunan Adimihardja 1992; Saputro 2005; hasil interview dan observasi lapangan. Meskipun umumnya beragama islam, masyarakat ini memiliki karakteristik budaya Sunda abad 16 yang masih terpelihara dengan baik Adimihardja 1992. Hal ini ditunjukkan dalam setiap kegiatan, mereka masih melakukan upacara ritual yang diwariskan nenek moyangnya. Upacara ritual tersebut umumnya dilakukan untuk kegiatan yang berhubungan dengan pertanian 76 , kehidupan 77 dan ritual keagamaan 78 Saputro 2006. Masyarakat Kasepuhan umumnya bekerja sebagai petani. Mereka memandang hutan sebagai sumber kehidupan. Mereka membagi tiga jenis hutan menjadi Leuweung Kolot 79 , Leuweung Titipan 80 dan Leuweung Cadangan 81 76 Ada 9 jenis upacara adat yang berhubungan dengan pertanian: ngaseuk, sapangjadian, mapag pare berkah, prah-prahan, mipit, nyimur, nganyaran, tengah bulan dan serentaun Saputro 2006. 77 Ada 6 jenis upacara adat yang berhubungan dengan siklus kehidupan: 3,5,dan 9 bulanan; nurunkeun; opat puluheun; nyepitan; nikahan; dan pindahan Saputro 2006. 78 Ada 5 jenis upacara adat yang berhubungan dengan ritual keagamaan: syirkah mulud, syirkah rewah, raya agung, hari raya korban, dan ceborpenyucian benda pusaka Saputro 2006. 79 Leuweng Kolot : berupa hutan yang masih alami, merupakan daerah resapan air hulu sungai, dan biasanya memiliki Adimihardja 1992; Rosdiana 1994; Harada et al. 2001; Nugraheni 2002; Kurniawan 2002; Saputro 2006. Pembagian jenis hutan ini turut menentukan jenis pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Kehidupan masyarakat kasepuhan pada beberapa kampung membaur dengan masyarakat non-kasepuhan. Mereka tidak menutup diri dalam pergaulan dengan masyarakat desa umumnya. Sikap keterbukaan ini membedakan mereka dengan masyarakat Baduy yang tinggal tidak jauh dari kawasan Gunung Halimun. Warga non-kasepuhan diperkirakan mulai bermukim di kawasan TNGH pada abad ke-17 ketika kawasan ini dibuka untuk perkebunan-perkebunan oleh pemerintahan penjajah Belanda Lampiran 7. Lokasi pemukiman mereka umumnya dekat jalan akses menuju pusat pelayanan atau pemerintahan. Karena interaksi yang cukup baik dengan masyarakat di luar desa dan masuknya media telekomunikasi seperti TV, dan radio, selain menggunakan bahasa Sunda sebagai pengantar mereka juga fasih berbahasa Indonesia. Seperti warga Kasepuhan, umumnya masyarakat non-kasepuhan juga memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bertani. Banyaknya lahan tidur yang ditelantarkan oleh perkebunan-perkebunan besar dan lahan bekas garapan PERHUTANI, membuat masyarakat mengambil alih pengelolaan lahan tersebut mulung. Dengan biaya yang relatif murah mereka dapat mendapatkan sertifikat hak guna usaha yang diurus oleh kantor desa 82 . Karakteristik budaya masyarakat di Lokasi studi disajikan dalam Tabel 20.

4.6 Kelembagaan BTNGH dan Lokal