seperti ini seharusnya diakomodasi di luar kawasan konservasi. Disisi lain, fakta terjadinya degradasi lingkungan dan pencemaran lingkungan di kawasan TNGH
di wilayah Kabupaten Lebak menjadi bukti bahwa kearifan lokal yang ada di masyarakat tidak dapat mengontrol degradasi SDA yang ada Gambar 8 dan 9.
Berdasarkan jenis konflik, kondisi saat ini, dan harapan stakeholder, ada empat kebutuhan yang perlu dilakukan di lokasi studi untuk menyelesaikan
konflik. Pertama, memanfaatkan sistem nilai masyarakat yang dapat mendukung tujuan konservasi melalui kemitraan. Kedua, menyelesaikan status lahan melalui
proses negosiasi dengan PEMDA. Ketiga, melakukan rekonstruksi tata batas. Selanjutnya, baik masyarakat maupun BTNGH melakukan pengembangan akses
terhadap SDA yang lestari dan mendukung fungsi kawasan.
2. Kasepuhan Ciptarasa, Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi
Seperti di Kasepuhan Cibedug, ada empat jenis konflik di Kasepuhan Ciptarasa, Desa Sirnarasa yaitu perbedaan sistem nilai, status lahan status saat ini
sebagai encroachment, ketidaksepakatan tata batas, dan ketidakpastian akses. Kondisi saat ini di lapangan menunjukan bahwa walaupun secara de jure
peraturan perundangan menjadi satu-satunya acuan pengelolaan SDA, tetapi secara de facto sistem nilai adat masih dijalankan. Untuk status lahan, sebagian
wilayah adat Kasepuhan Ciptarasa masih berstatus sebagai bagian dari kawasan TNGH. Hal ini di sebabkan karena belum adanya langkah penyelesaian baik dari
BTNGH maupun PEMDA. Status ini berimplikasi pada masih berlangsungnya ketidaksepakatan atas tata batas yang ada. Status lahan ini juga berimplikasi pada
ketidakpastian akses terhadap SDA. Namun, karena longgarnya pengawasan, masyarakat masih dapat mengakses SDA di kawasan TNGH.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapangan lampiran 1, harapan masyarakat terhadap persoalan yang dihadapinya ialah adanya
kepastian status mereka. Selama ini status perambah dan pemukim liar encroachment melekat pada sebagian masyarakat Kasepuhan yang bermukim di
dalam kawasan TNGH. Status tersebut harapannya dapat di cabut. Persoalannya terdapat dua kebijakan yang saling bertentangan. Pada satu
154
Gambar 8 Penutupan hutan di TNGH, Kabupaten Lebak Tahun 1989 dan 2004
1989 2004
Sumber: BTNGHS, 2006
155
Sumber: BTNGHS, 2006
Gambar 9 Penggunaan lahan di dalam TNGH, Kabupaten Lebak Tahun 2004
sisi, PEMDA memberikan status kependudukan resmi dan peluang untuk pemekaran desa tapi disisi lain wilayah administratif desa diklaim pemerintahan
yang sama sebagai kawasan taman nasional. Dalam merespon persoalan ini, pihak PEMDA bersikap pasif. Selama ini, masyarakat dibiarkan berkonfrontasi
langsung dengan BTNGH padahal masalah kejelasan status ini merupakan kewenangan PEMDA. Selain itu, LSM sebagai lembaga pendamping, karena
keterbatasan kapasitas sumberdaya manusianya, sering memberikan informasi yang tidak sesuai, bahkan cenderung provokatif
147
. Berkaitan dengan hal tersebut, pihak BTNGH berharap adanya kepastian sikap PEMDA mengenai pengakuan
status kelompok adat dan jaminan dari kelompok adat untuk menjaga kelestarian kawasan.
Berdasarkan jenis konflik, kondisi saat ini, dan harapan stakeholder, ada empat hal yang perlu dilakukan di lokasi studi untuk menyelesaikan konflik.
Pertama, memanfaatkan sistem nilai masyarakat yang dapat mendukung tujuan konservasi melalui kemitraan. Kedua, menyelesaikan status lahan melalui proses
negosiasi dengan PEMDA dan masyarakat. Ketiga, melakukan rekonstruksi tata batas. Keempat, baik masyarakat maupun BTNGH perlu melakukan
pengembangan pemanfaatan SDA yang lestari dan mendukung fungsi kawasan. Kerjasama dengan para pihak, terutama PEMDA, dibutuhkan agar program
pengembangan dapat berjalan dengan optimal.
3. Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor