Penyimpangan- penyim pangan t ingk ah lak u dan pengaruhnya terhadap kepribadian.

3. Penyimpangan- penyim pangan t ingk ah lak u dan pengaruhnya terhadap kepribadian.

Meskipun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tingkah laku manusia t er ikat dengan per sepsinya, namun H izbut Tahr ir berpendapat terkadang terlepas (terpisah) antara keduanya. Sebab, tidak sedikit di antara kaum Muslim yang terlihat melakukan aktivitas-aktivitas yang justru bertentangan dengan keberadaan mereka yang memiliki syakhshiyah I slamiyah (kepr ibadian Islam i). H anya saja, adanya penyimpangan-penyimpangan dalam tingkah laku seorang Muslim seperti ini tidak mengeluarkannya dari syakhshiyah Islamiyah (kepribadian Islami). Sebab, terkadang manusia lengah, sehingga menjadikannya lalai untuk menghubungkan persepsinya dengan akidahnya; terkadang manusia tidak mengerti pertentangan persepsi ini dengan akidahnya, atau dengan syakhshiyah Islamiyah (kepribadian Islami); terkadang setan menguasai hatinya, sehingga ia berpaling dari akidah dalam melakukan aktivitas di antara aktivitas-aktivitasnya. Akhirnya, ia melakukan aktivitas-aktivitas yang bertentangan dengan akidah, atau bertentangan dengan sifat-sifat seorang Muslim yang berpegang teguh dengan agamanya, atau berlawanan dengan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-N ya. Ia melakukan semua itu pada waktu masih memeluk akidah ini, dan masih menjadikan akidah sebagai asas berpikirnya dan kecenderungannya. Oleh karena itu, dalam keadaan seperti ini ia tidak boleh dikatakan telah keluar dari Islam, atau kepribadiannya tidak lagi kepribadian Islami. Sebab, selama akidah Islam

68 Lihat. Asy-Syakhshiyah al- Islamiyah , vol. I, hlm. 15, 19; dan al- Fikr al- Islami , hlm. 70, 72.

Seorang Muslim tidaklah keluar dari Islam, kecuali ia tidak lagi memeluk akidah Islam, baik perkataan maupun perbuatan. Seorang Muslim tidaklah keluar dari kepribadian Islami, kecuali ia telah menjauhkan akidah Islam dari pemikiran dan kecenderungannya, yakni ketika ia tidak lagi m enjadikan ak idah Isl am sebagai asas pem ikir an dan kecenderungannya. Apabila ia telah menjauhkan (membuang) akidah Is- lam, maka ia keluar dar i kepr ibadian islami. D an apabila ia belum membuangnya, maka ia masih berkepribadian islami. Oleh karena itu, mungkin ia adalah seorang Muslim, sebab ia tidak mengingkari (menolak) akidah Islam, dan mungkin ia seor ang Muslim yang sedang t idak berkepribadian Islami. Sebab, ia masih memeluk akidah Islam, namun tidak menjadikannya sebagai asas bagi pemikiran dan kecenderungannya. Ingat! Hubungan persepsi dengan akidah bukan hubungan yang otomatis, dimana persepsi tidak akan bergerak melainkan sesuai akidah. Akan tetapi hubungan keduanya adalah hubungan yang bisa saja terlepas dan bisa kembali lagi.

Sungguh telah terjadi pada para sahabat di zaman Rasulullah beberapa per istiw a, dimana par a sahabat melanggar beber apa per intah dan larangan. N amun, pelanggaran-pelanggaran ini tidak menjadikan ke-Is- lam-annya rusak, dan tidak berpengaruh terhadap syakhshiyah Islamiyah- nya. Sebab, mereka adalah manusia bukan malaikat, mereka seperti manusia yang lain, dan mereka tidak ma'shum (disucikan dari berbuat salah), karena mereka bukan para N abi. Misalnya, Hathib bin Abi Balta'ah mengirim berita kepada kaum Kafir Quraisy tentang rencana penyerangan Rasulullah terhadap mereka, padahal Rasulullah sangat merahasiakannya. Rasulullah SAW memelintir leher Fadhal bin Abbas ketika beliau melihatnya memandangi perempuan yang sedang berbicara pada Rasulullah dengan pandangan yang berulang-kali yang menunjukkan kecenderungan dan syahwat. Pada 'amul fat hi (tahun penaklukkan) kaum Anshar berbicara tentang Rasulullah, bahwa Rasulullah meninggalkan mereka, beliau pulang menemui keluarganya, padahal beliau telah berjanji kepada mereka untuk

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

Maka, ini saja sudah cukup untuk dijadikan bukti (argumentasi) bahwa penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam tingkah laku tidaklah menjadikan seor ang Muslim keluar dar i Islam, ser ta tidak mengeluarkannya dari eksistensi syakhshiyah Islamiyah -nya. N amun, semua itu tidak berarti bahwa boleh seorang Muslim melanggar perintah- per intah Allah dan lar angan-lar angan-N ya. Mengingat, har am dan makruhnya melanggar perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-N ya merupakan perkara yang tidak ada syubhat (keraguan) lagi. Dan ini juga tidak berarti bahwa syakhshiyah Islamiyah membolehkan untuk melanggar sifat-sifat Muslim yang ber pegang teguh dengan agamanya. Sebab, berpegang teguh dengan agama merupakan keharusan bagi syakhshiyah Islamiyah . N amun artinya di sini bahwa kaum Muslim adalah manusia, dan syakhshiyah Islamiyah bagian dari manusia, mereka bukanlah malaikat. O leh kar ena it u, apabila mer eka t er gelincir sam pai melakukan pelanggaran, maka mereka diperlakukan berdasarkan ketentuan hukum Allah, yaitu diberi sanksi di antara sanksi-sanksi terhadap pelaku dosa, jika mereka melakukan sesuatu yang harus dikenakan sanksi. N amun tidak bisa dikatakan bahwa mereka telah menjadi pribadi-pribadi yang tidak lagi Islami. 69

Adapaun dalam kondisi banyaknya melakukan kemaksiatan ini, seperti meninggalkan kewajiban-kewajiban, melakukan perkara-perkara yang diharamkan, serta terang-terangan dalam melakukannya. Bahkan penyimpangan-penyimpangan ini telah berubah menjadi sesuatu yang mendominasi tingkah laku, atau melakukan banyak kemaksiatan itu sudah bukan lagi penyimpangan-penyimpangan. Maka hal yang demikian ini, tidak dir agukan lagi sangat ber pengar uh ter hadap syakhshiyah Islamiyah (kepribadian Islami), yakni mengeluarkannya dari eksistensis syakhshiyah Islamiyah

-nya. 70

64 Lihat. Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah , vol. I, hlm. 15, 19; dan Jaw ab Soal, 9 Rabi'uts Tsani 1391 H./2 Juni 1971 M.

65 Lihat. Jaw ab Soal, 9 Rabi'ut s Tsani 1391 H./2 Juni 1971 M.

Hizbut Tahrir berpendapat bahwa kata ar-Ruh termasuk di antara lafadz musyt arak, yaitu kata yang mempunyai banyak makna. Disebutkan bahwa kata ar-Ruh terdapat dalam al-Qur'an dengan makna beragam. Misalnya, terdapat kata ar-Ruh , sedang yang dimaksud dengannya adalah sirrul hayah (nyawa):

"Dan mereka bert anya kepadamu t ent ang ruh. Kat akanlah: "Ruh it u t ermasuk urusan Tuhan-ku, dan t idaklah kamu diberi penget ahuan melainkan sedikit ". 71

Terdapat kata ar-Ruh , sedang yang dimaksud dengannya adalah malaikat Jibril 'alaihissalam :

"dia dibawa t urun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam hat imu (M uhammad) agar kamu menjadi salah seorang di ant ara orang-orang yang memberi peringat an". 72

Dan terdapat pula kata ar-Ruh , sedang yang dimaksud dengannya adalah syari'at:

"Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur'an) dengan perint ah Kami". 73

Hanya saja, setelah itu Hizbut Tahrir menjelaskan bahwa makna- makna ini bukanlah makna yang dimaksud dengan ruh, ruhaniyah, dan aspek ruhiyah dalam topik bahasan ini. 74

Sementara itu, apa yang dikatakan oleh sebagaian orang bahwa manusia terdiri dari materi dan ruh. Sehingga, apabila materi yang ada dalam diri manusia itu menguasai ruh, maka manusia akan menjadi jahat.

__________________ 71 QS. Al-Isra' [17] : 85.

72 QS. Asy-Syu'ara' [26] : 193 - 194. 73 QS. Asy-Syura [42] : 52. 74 Lihat. M afahim H izb at -Tahrir , hlm. 23.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

Sebaliknya, apabila ruh yang ada dalam diri manusia itu yang menguasai materi, maka manusia akan menjadi baik. Oleh karena itu ruh harus dimenangkan agar menjadi baik.

Hizbut Tahrir berpendapat bahwa semua ini merupakan pernyataan yang tidak benar. Alasannya, bahw a ruh yang dibahas dalam bab ini menurut semua manusia yang beriman dengan adanya Tuhan adalah ungkapan tentang pengaruh al-Khalik (Sang Pencipta); atau apa yang ter lihat di antar a pengaruh-pengar uh bagi aspek tr ansendental ( al- ghaibiyah ); atau di dalam eksistensi sesustu yang terindra itu ada sesuatu yang tidak akan terwujudkan kecuali dari Allah; atau yang semakna dengan ini, yakni ruh dari sisi ruhaniyah dan aspek ruhiyah. Ruh dari sisi ruhaniyah dan aspek ruhiyah yang ada apada manusia bukalah ruh dengan makna sirrul hayah (nyawa), serta tidak lahir darinya, bahkan di antara keduanya tidak ada hubungan sama sekali. Dan yang pasti keduanya berbeda. Bukti atas hal ini adalah, sesungguhnya dalam diri binatang ada sirrul hayah (nyawa), namun demikian dalam diri binatang tidak ada ruhaniyah dan aspek ruhiyah. Bahkan tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa binatang terdiri dari materi dan ruh. Hal ini membuktikan dengan pasti (jelas) bahwa ruh dengan makna ini, yakni dari sisi ruhaniyah dan aspek ruhiyah bukanlah ruh dalam arti sirrul hayah (nyawa), serta tidak lahir darinya, bahkan di antara keduanya tidak ada hubungan sama sekali. Sebagaimana binatang tidak terdiri dari materi dan ruh, meski pada dirinya terdapat ruh dalam arti sirrul hayah (nyawa), maka begitu juga dengan manusia tidak terdiri dari materi dan ruh, meski pada dirinya terdapat ruh dalam arti sirrul hayah (nyawa). Berdasarkan hal ini, Hizbut Tahrir berpendapat bahwa ruh yang ada pada manusia, dan yang membedakan manusia, tidak terkait dengan ruh dalam arti sirrul hayah (nyawa), serta tidak lahir darinya. Selanjutnya, ruh ini bukanlah bagian dari penciptaan manusia, dengan alasan bahwa dalam diri manusia terdapat ruh dalam arti 75 sirrul hayah (nyawa).