Macam-Macam Kepemilikan

2. Macam-Macam Kepemilikan

Berdasarkan penelitian dan kajian yang mendalam terhadap sejumlah dalil tentang kepemilikan, Hizbut Tahrir membagi kepemilikan menjadi tiga macam:

a. Kepemilikan Individu

b. Kepemilikan Umum

c. Kepemilikan N egara. 98

a. Kepemilikan Individu

1). Definisi Kepemilikan Individu Hizbut Tahrir mendefinisikan kepemilikan individu yaitu hukum syara'

at as bar ang dan jasa, yang member inya peluang bagi or ang yang memilikinya untuk memperoleh manfaat serta mendapatkan imbalan dari penggunaannya. D efinisi ini diambil dar i dalil-dalil yang menegaskan kepemilikan individu terhadap segala sesuatu, seperti sabda N abi Saw.:

"Barang siapa yang memasang pagar at as sesuat u, maka sesuat u it u menjadi miliknya." 99

Dan masih banyak lagi nash-nash hadits yang lain. Kepemilikan manusia terhadap sesuatu memungkinkannya untuk memanfaatkan sesuatu ter sebut. Kepemilikan seseorang terhadap roti dan rumah, misalnya, maka dengan kepemilikan itu memungkinkannya unt uk memakannya, menjualnya dan mengambil har ganya. Begit u juga

_____________________ 97 Lihat: N izhom al-Islam , hlm. 115; an- N izhom al-Iqt ishadi , hlm. 67-68; dan M uqaddimah ad- Dust ur ,

hlm. 285. 98 Lihat: N izhom al-Islam , hlm. 115; an- N izhom al-Iqt ishadi , hlm. 68-69; dan M uqaddimah ad- Dust ur ,

hlm. 286. 99 HR. Al-Imam Ahmad. Syu'aib al-Arnaut h berkata "H adits ini hasan li ghairihi. Sedang para raw inya

adalah para raw i shahih, kecuali al-Hasan al-Bashri yang tidak jelas mendengar dari Samurah". Lihat: M usnad Ahmad bin H anbal , vol. ke-5, hlm. 12.

Terkait dengan roti, maka hukum syara' yang ditetapkan atas barang adalah izin untuk mengkonsumsinya. Sedangkan terkait dengan rumah, maka hukum syar a' yang dit et apkan at as jasa adalah izin unt uk menempatinya. Atas dasar ini, maka kepemilikan adalah izin asy-Syari' untuk memanfaatkan barang dan jasa. Dengan demikian, kepemilikan tidak ditetapkan kecuali melalui penetapan asy-Syari' terhadapnya dan penetapannya ter hadap sebab-sebabnya. Jadi, hak kepemilikan atas barang itu tidak lahir dari zat barang itu sendiri, dan tidak pula dari karakteristiknya, yakni tidak dari apakah zat barang itu bermanfaat atau tidak, namun hal itu hanya lahir dari izin asy-Syari' dan dari sebab yang membolehkan untuk pemilikan bar ang, ser ta yang memunculkan musabbab, yaitu pemilikan barang secara syara'. Oleh karena itu, asy- Syari' memberi izin pemilikan sebagian barang dan melarang pemilikan sebagian yang lain; memberi izin pada sebagian akad (kontrak) dan melarang sebagian yang lain. Asy-Syari' melarang seorang muslim memiliki khomer dan babi. Sebagaimana asy-Syari' melarang memiliki harta hasil r iba dan har t a hasil judi. Asy- Syari' mem ber i izin jual-beli, lalu menghalalkannya; dan melar ang r iba, lalu menghar amkannya, dan seterusnya. 100

2). Sebab-Sebab Syara' untuk Kepemilikan Individu Hizbut Tahrir berpendapat bahwa dengan penelitian dan pengkajian

ter hadap sejumlah dalil yang menjelaskan izin asy-Syar i' mengenai pemanfaatan barang, yakni dengan penelitian dan pengkajian terhadap dalil-dalil kepemilikan individu, jelaslah bahw a semua sebab-sebab pemilikan itu masuk kedalam salah satu dari lima perkara berikut ini: w Bekerja (usaha). Dalam hal ini ada tujuh jenis usaha: 1) menghidupkan

tanah (lahan) mati, 2) berbur u; 3) makelaran dan perantar a, 4)

Lihat: N izhom al-Islam , hlm. 115; an- N izhom al-Iqt ishadi , hlm. 71; dan M uqaddimah ad-Dust ur , hlm. 28 7.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

w Warisan w Kebutuhan mendesak terhadap harta untuk mempertahankan hidup w Pemberian (subsidi) negara kepada rakyat dari harta kepemilikan

negar a, seper ti pembagian tanah dan pember ian har t a untuk membayar hutang atau menolong para petani, dan lain sebagainya.

w Harta benda yang diperoleh seseorang tanpa mengeluarkan harta (biaya) atau tenaga. Dalam hal ini ada lima kondisi: 1) ikatan antar individu, seperti hadiah, hibah, wasiat, 2) hak mendapat harta sebagai ganti rugi, seperti denda untuk orang yang dibunuh dan dilukai, 3) hak mendapat maskawin dan segala yang menyertainya, 4) harta temuan, dan 5) kompensasi untuk khalifah, mu'awin, wali (gubernur), dan penguasa-penguasa yang lain.

Dalam hal ini, sungguh Hizbut Tahrir telah mengkaji satu persatu dari lima sebab tersebut dengan menjelaskan realita serta dalil syara'nya. 101

Hizbut Tahrir juga telah menjelaskan perbedaan antara sebab-sebab pemilikan yang terbatas pada lima hal seperti tersebut diatas, yakni sebab- sebab memper oleh asal har ta, yaitu sebab yang dengannya timbul kepemilikan harta bagi seseorang yang semula belum dimiliki menjadi sempurna, serta menjelaskan sebab-sebab pengembangan kepemilikan, yakni sebab-sebab penambahan harta yang dimilikinya, seperti dengan jual beli (berdagang), bertani, dan berproduksi. 102

b. Kepemilikan Umum

1). Definisi Kepemilikan Umum Hizbut Tahrir mendefinisikan kepemilikan umum yaitu izin asy-Syari'

(pembuat hukum) kepada jama'ah (masyarakat) untuk memanfaatkan barang-barang secara bersama-sama. Dalil untuk definisi ini adalah nash- nash yang menjelaskan tentang kepemilikan umum, seperti sabda N abi Saw.:

"Kaum muslim bersekut u dalam t iga perkara: air, rumput dan api." 103

Lihat: N izhom al-Islam , hlm. 116; an- N izhom al-Iqt ishadi , hlm. 75, 124; dan M uqaddimah ad-Dust ur , hlm. 290, 295.

Lihat: An-N izhom al-Iqt ishadi , hlm. 126; dan M uqaddimah ad-Dust ur , hlm. 290.

HR. Al-Imam Ahmad. Syu'aib al-Arnauth berkata "Sanad hadits ini shahih". Lihat: M usnad Ahmad bin

Dan sabda N abi Saw.:

"M ina adalah t empat singgah orang yang pert ama dat ang." 104

Mina adalah tempat yang populer di tanah Hijaz, yaitu tempat singgah orang-orang haji setelah melaksanakan ibadah wukuf di Arafah. Mina adalah untuk semua orang, sehingga siapa saja yang pertama kali datang boleh menempatkan untanya disana. N abi Saw. benar-benar telah menetapkan bahwa manusia bersekutu atas jalan umum. Mengingat, nash- nash tersebut menunjukkan bahwa asy-Syari' benar-benar telah memberi izin kepada manusia untuk memanfaatkan barang-bar ang ter sebut bersama-sama. Maka, dari sinilah digali definisi kepemilikan umum. 105

2). Perkara-perkara yang menjadi kepemilikan umum Hizbut Tahrir telah menetapkan sejumlah perkara yang terkatagori

kepemilikan umum berdasarkan pada penelitian dan kajian atas sejumlah dalil yang menunjukkan kepemilikan umum. Perkara-perkara itu ada tiga katagori: w Setiap sesuatu yang dibutuhkan jama'ah (masyarakat) umum, seperti

lapangan. w Sumber alam (barang tambang) yang jumlahnya tidak terbatas seperti sumber minyak. w Benda-benda yang sifatnya tidak dapat dimonopoli oleh individu tertentu, seperti sungai.

Sedangkan untuk katagori yang pertama, yaitu setiap sesuatu yang dibutuhkan jama'ah (masyarakat) umum, seperti lapangan, maka dalil untuk hal ini adalah sabda Rasulullah Saw.:

"Kaum muslim bersekut u dalam t iga perkara: air, rumput dan api." 106

H anbal , vol. ke-5, hlm. 364. Juga diriw ayat kan oleh Abu Daw ud, vol. ke-2, hlm. 300; dan Ibnu Majah, vol. ke-2, hlm. 826.

HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Lihat: Sunan at -Tirmidzi , vol. ke-3, hlm. 288; dan Sunan Ibnu M ajah , vol. ke-2, hlm. 1000.

Lihat: N izhom al-Islam , hlm. 116; an-N izhom al-Iqt ishadi , hlm. 218; dan M uqaddimah ad-Dust ur , hlm. 28 8.

HR. Al-Imam Ahmad. Syu'aib al-Arnauth berkata "Sanad hadits ini shahih". Lihat: M usnad Ahmad bin H anbal , vol. ke-5, hlm. 364. Juga diriw ayat kan oleh Abu D aw ud, vol. ke-2, hlm. 300; dan Ibnu M ajah ,vol. ke-2, hlm. 826.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

Dan sabda N abi Saw.:

"Tiga perkara t idak boleh dicegah: air, rumput dan api". 107

Hadits ini menerangkan alasan larangan Rasulullah-memiliki secara pribadi barang-barang tersebut, yaitu karena tiga perkara itu menjadi kebutuhan jama'ah (masyarakat) umum. Rasulullah Saw. membolehkan kepemilikan air di Thaif dan Khaibar bagi individu-individu manapun. Mereka semua memilikinya secara riil untuk mengairi persawahan dan perkebunan mereka tanpa ada larangan dari individu lain. Andai saja persekutuan pada air itu tidak mutlak, tentu beliau N abi Saw. tidak membolehkan kepada individu-individu untuk memilikinya. Maka dari sabda Rasulullah Saw. "Manusia itu bersekutu dalam tiga perkara: air, …." dan dari sikap beliau yang membolehkan kepada individu-individu untuk memiliki air, fakta ini menjadi illat (alasan) kepemilikan bersama atas air, rumput dan api di- ist inbat h -kan (digali), yaitu keberadaan perkara-perkara itu menjadi kebutuhan jama'ah (masyarakat) umum, dimana mereka semua sangat membutuhkannya. Dengan demikian, setiap perkara yang keberadaannya dibutuhkan jama'ah (masyarakat) umum, seperti alun- alun, lapangan, hut an t empat mencar i kayu bakar, dan t em pat menggembala ternak, maka semuanya adalah menjadi kepemilikan umum.

Sedangkan untuk katagori yang kedua, yaitu sumber alam (barang tambang) yang jumlahnya tidak terbatas, seperti sumber minyak, maka dalilnya adalah hadits yang datang dari Abyadh bin Hamal:

"Dia pernah dat ang kepada Rasulullah Saw.. Dia memint a ladang garam kepada Rasulullah, lalu beliau pun memberinya. Kemudian set elah dia pergi, maka ada seseorang dari majelis it u berkat a: 'Tahukah apa yang t elah Engkau berikan kepdanya? Sungguh Engkau t elah memberinya air yang banyak (t idak

HR. Ibnu Majah. Lihat: Sunan Ibnu M ajah , vol. ke-2, hlm. 826. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam at-Talhish berkata: "Sanadnya shahih". Lihat: Talhish al-H abir fi Ahadit si ar-Rafi'i al-Kabir, Ahmad bin Ali bin H ajar al- 'Asqalani . Ditahqiq oleh as-Sayyid Abdullah Hasyim al-Yamani al-Madani, al-Madinah al-Munaw w arah,

1384 H./1964 M., vol. ke-2, hlm. 65.

Air yang banyak (tidak terbatas) adalah air yang terus mengalir. Tambang garam disamakan dengan air tersebut, karena tidak terputus. Sedangkan yang dikehendaki disini bukan gar amnya, melainkan tambangnya. Dalilnya adalah keputusan beliau yang melarangnya setelah beliau mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan sesuatu yang tidak terbatas, padahal beliau mengetahui pada saat pertama memberinya bahwa tambang itu adalah garam. Dengan demikian, larangan itu lebih karena keberadaannya sebagai tambang yang tidak terbatas.

Abu Ubaid berkata : "Ketika telah jelas kepada N abi Saw bahwa tambang tersebut adalah air yang banyak (tidak terbatas), maka N abi menariknya kembali darinya. Sebab, sunnah Rasulullah Saw. mengenai air, rumput dan api adalah menjadi milik bersama. Beliau tidak suka mejadikannya hanya dikuasai (dimiliki) oleh individu tertentu, tidak dengan yang lain."

Berdasarkan semua itu, maka setiap tambang yang terkatagori tambang-tambang yang tidak terbatas jumlahnya, menjadi kepemilikan umum. Sedangkan, apabila jumlahnya terbatas, maka ia tidak menjadi kepemilikan umum, berdasarkan pemahaman terhadap hadits tersebut- hadits dari Abyadh bin Hamal di atas.

Sedangkan untuk katagori yang ketiga, yaitu segala sesuatu yang sifatnya tidak dapat dimonopoli oleh individu tertentu, seperti sungai, maka dalilnya adalah ketetapan Rasulullah Saw. atas kepemilikan manusia secara bersama-sama terhadap jalan umum. Begitu juga halnya sabda N abi Saw.:

"M ina adalah t empat singgah orang yang pert ama dat ang." 109

Artinya, Mina adalah tempat yang terkenal di Hijaz (Mekah dan Madinah). Mina adalah milik bagi semua manusia, sehingga siapa saja yang datang pertama dan ia mengistirahatkan untanya di sana, maka tempat itu menjadi haknya. 110

HR. At-Tirmidzi. Lihat: Sunan at -Tirmidzi, vol. ke-3, hlm. 664.

HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Lihat: Sunan at -Tirmidzi , vol. ke-3, hlm. 288; dan Sunan Ibnu M ajah , vol. ke-2, hlm. 1000.

Lihat: N izhom al-Islam , hlm. 117; an-N izhom al-Iqt ishadi , hlm. 217, 222; dan M uqaddimah ad-Dust ur , hlm. 326, 327.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

O leh kar ena it u, kami ber pendapat bahw a har t a zakat it u penggunaannya tidak diserahkan kepada pendapat dan ijtihad khalifah, melainkan telah ditetapkan pihak-pihak yang ber hak mener imanya, sementara penggunaannya untuk pihak-pihak tersebut berdasarkan pendapat dan ijtihad khalifah. Sebab, harta zakat tidak termasuk harta negara, sedang negara hanya mengatur pendistribusiannya saja. Dengan demikian, setiap per kar a dimana asy-Syari' (pembuat hukum) telah menyer ahkan kepada imam untuk menggunakannya ber dasar kan pendapat dan ijtihadnya, maka nash (ketetapan) asy-Syari' ini adalah izin bagi imam (khalifah) untuk menggunakannya. Sedangkan keberadaan izin yang sifatnya mutlak, tidak menetapkan pihak-pihak tertentu, maka hal ini mer upakan izin bagi imam (khalifah) untuk menggunakannya berdasarkan pendapat dan ijtihadnya. Jadi, harta fa'i, kharaj, jizyah, dan yang sejenisnya diantaranya harta dari pajak, serta pendapatan negara yang lainnya, maka semuanya adalah harta milik negara sesuai definisi yang di- ist inbat h -kan (digali) dar i per buatan Rasulullah Saw., ser ta berdasarkan keumuman sejumlah nash yang memerintahkan penggunaan harta tersebut. 111

Lihat: N izhom al-Islam , hlm. 116; an-N izhom al-Iqt ishadi , hlm. 223, 224; dan M uqaddimah ad-Dust ur , hlm. 289.

3. N egara Tidak Boleh Mengalihkan Kepemilikan Individu Menjadi Kepemilikan Umum Hizbut Tahrir melarang negara mengalihkan kepemilikan individu menjadi kepemilikan umum. Sebab, dalam pandangan Hizbut Tahrir kepemilikan umum itu telah ditetapkan berdasarkan tabiat dan sifatnya, bukan berdasarkan pendapat negara. Dalam hal ini, Hizbut Tahrir berdalil dengan sabda N abi Saw.:

"Tidak halal hart a seseorang kecuali dengan kerelaan hat i darinya". 112

Hadits ini umum mencakup semua manusia. Sehingga, tidak halal mengambil hartan siapa pun, baik ia muslim maupun non muslim, kecuali dengan sebab yang telah disyari'atkan. Begitu juga, haram atas negara mengambil harta siapa pun, kecuali dengan sebab yang dibenarkan syara'. Oleh karena itu, haram atas negara mengambil harta milik individu yang manapun untuk dijadikan sebagai kepemilikan negara dengan alasan untuk kemaslahatan, dijadikan sebagai kepemilikan umum dengan alasan kemaslahatan umat. Sebab, hadits di atas telah mengharamkan hal yang demikian.

Kemaslahatan tidak bisa mengubah perkara haram menjadi halal. Sebab, menentapkan perkara itu halal butuh pada dalil syara'. Tidak dapat dikatakan bahwa imam (khalifah) berhak melakukan hal itu dalam rangkan pemeliharaan terhadap kemaslahatan kaum muslimin dengan mengklaim bahwa dia memiliki hak memelihara urusan. Sungguh, pernyataan ini tidak benar, sebab memelihara urusan itu adalah melaksanakan kemaslahatan manusia sesuai hukum-hukum syar a', bukan ber dasar kan pendapat khalifah. Sehingga, apa pun yang telah diharamkan Allah, khalifah tidak dapat menjadikannya halal secara mutlak. Apabila khalifah melakukannya, maka ia telah melakukan kezaliman yang menjadikannya dapat diadili dipengadilan, dan harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya.

Ber dasarkan hal ini, apa yang dinamakan dengan nasionalisasi sedikitpun tidak sesuai dengan syara'. Sebab, apabia harta itu memiliki tabiat dan sifat sebagai kepemilikan umum, maka wajib atas negara menjadikannya sebagai kepemilikan umum. Dalam hal ini tidak ada pilihan. Yang menetapkan harta itu sebagai kepemilikan umum bukan negara, melainkan tabiat dan sifatnya yang menetapkan hal itu. Sehingga haram

HR. Al-Imam Ahmad. Lihat: M usnad Ahmad bin H anbal , vol. ke-5, hlm. 72.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

4. Praktek Peredaran Harta Kekayaan N egaralah yang beraktivitias mengedarkan harta kekayaan di antara rakyat. Dan negara pulalah yang berupaya mencegah peredaran harta kekayaan hanya di antar kelompok tertentu saja. Dalam hal ini Allah Swt. berfirman:

"Supaya hart a it u jangan hanya beredar di ant ara orang-orang kaya saja di ant ara kalian." 114

'Illat (alasan) ayat di at as dijelaskan oleh N abi Saw. dengan memberikan harta fa'i dari Bani N adhir hanya kepada kaum Muhajirin, tidak kepada kaum Anshar, padahal harta fa'i itu milik semua kaum muslimin. Beliau tidak memberikan harta fa'i itu kepada seorang pun di antara kaum Anshar, kecuali dua orang yang fakir yang keadaannya seperti kaum Muhajirin, kedua orang itu adalah Abu Dujanah dan Sahal bin Hanif. 'Illat (alasan)nya adalah supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. Ini adalah 'illat syar'iyah yang berjalan beserta ma'lul- nya ketika ada maupun ketika tidak adanya.

Oleh karena itu, ketika terjadi kesenjangan sosial, dimana antara yang kaya dan yang miskin terdapat jurang yang menganga, maka Khalifah ber kewajiban mewujudkan keseimbangan di antara mereka, sebagai wujud pengamalan terhadap ayat di atas, sebab dari satu sisi ayat itu memberi alasan untuk dilakukannya hal yang demikian, disamping karena

Lihat: N izhom al-Islam , hlm. 117; an-N izhom al-Iqt ishadi , hlm. 225, 226; dan M uqaddimah ad-Dust ur , hlm. 330.

Q.S. Al-Hasyr [59] : 7.

"Pelajaran it u diambil berdasarkan umumnya lafadz, bukan berdasarkan sebabnya yang khusus".

Oleh karena itu, ayat tersebut berlaku sepanjang zaman. Sehingga, negara memberikan harta kekayaan, baik berupa harta yang bergerak atau yang tidak bergerak di antara harta-harta kepemilikan negara di Baitul Mal, harta fa'i dan semacamnya. N egara membagikan tanah tempat tinggal untuk orang yang tidak memiliki tanah cukup. N egara memberikan harta kepada orang-orang yang tidak mampu bertani karena kekurangan biaya agar mereka mampu bertani dengan baik. N egara melunasi tanggungan hutang orang-orang yang tidak mampu membayarnya yang diambil dari harta zakat, harta fa'i dan semacamnya. Dan negara memberi orang yang butuh dan yang t idak butuh dar i har ta kepemilikan umum sesuai kebijaksanaannya untuk member ikan kesempatan ber sama dalam m em enuhi k ebut uhan sek under nya, dan unt uk m ew ujudk an keseimbangan di antara mereka. 115

e. Baitul Mal

1. Sumber Pemasukan Baitul Mal Hizbut Tahrir telah menentukan sumber pendapatan Baitul Mal melalui beberapa pos berikut ini: a) fa'i, b) jizyah, c) kharaj, d) seperlima harta rikaz, e) zakat, f) harta yang dihasilkan dari kepemilikan umum atau kepemilikan negara, g) harta warisan dari orang yang tidak memiliki ahli waris, h) harta orang murtad, dan i) harta yang diambil dari kantor cukai disepanjang perbatasan negara.

2. Pengeluaran Baitul Mal Adapaun pengeluar an Bait ul Mal, maka H izbut Tahr ir telah menentukan beberapa pos untuk pengeluaran tersebut, yaitu:

a. Delapan golongan yang berhak menerima zakat. Mereka berhak mendapatkannya dari pos pemasukan zakat di Baitul Mal. Apabila tidak ada pemasukan zakat di Baitul Mal, maka mereka tidak mendapat sesuatu

Lihat: N izhom al-Islam , hlm. 121; an-N izhom al-Iqt ishadi , hlm. 248-250; dan M uqaddimah ad-Dust ur , hlm. 386-389.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

b. Or ang-or ang fakir, miskin, ibnu sabil, kebutuhan jihad, dan gharimin (orang yang dililit hutang). Apabila kas dari harta zakat tidak ada, maka diberikan dari sumber pemasukan Baitul Mal yang tetap lainnya. Dan apabila sumber pemasukan Baitul Mal tidak ada dana sama sekali, maka gharimin tidak mendapat sesuatu apapun. Sedangkan orang-orang fakir, miskin, ibnu sabil, dan kebutuhan jihad, maka kebutuhannya dipenuhi dari memungut pajak. Bahkan negara harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan tersebut apabila situasi dikhawatirkan menimbulkan bencana atau malapetaka.

c. Orang-orang yang menjadi pelayan negera, seperti para pegawai dan tentara. Mereka ini mendapatkan gaji dari Baitul Mal. Dan ketika dana Baitul Mal tidak mencukupi, maka segera menarik pajak untuk memenuhi biaya ter sebut . Bahkan negar a har us ber hutang untuk memenuhi kebutuhan tersebut apabila situasi dikhawatirkan menimbulkan bencana atau malapetaka.

d. Untuk membangun sarana pelayanan masyarakat umum yang vital, seperti jalan raya, masjid, rumah sakit, dan sekolah. Semuanya ini mendapatkan pembiayaan dari Baitul Mal. Apabila dana di Baitul Mal tidak mencukupi, maka dalam kondisi ini seger a dipungut pajak unt uk memenuhi kebutuhan tersebut.

e. Untuk membangun sarana pelayanan pelengkap. Pembangunan untuk hal ini pun pendanaannya juga dari Baitul Mal. Apabila dana di Baitul Mal tidak mencukupi, maka pendanaannya ditangguhkan.

f. Bencana alam mendadak, seperti gempa bumi dan angin topan, biayanya ditanggung Baitul Mal. Apabila dana di Baitul Mal tidak mencukupi, maka negara mengusahakan pinjaman secepatnya, yang kemudian dibayar dari hasil pungutan pajak yang telah dikumpulkan.

Apabila dana di Baitul Mal dalam kondisi tidak mencukupi, maka untuk menutupi kekurangan tersebut negara boleh menarik pajak dari kaum muslimin yang menjadi warga negara sesuai kadar kebutuhan dan dalam batas-batas tertentu. 116

Disamping apa yang telah dikemukakan di atas, masih banyak lagi masalah-masalah seputar ekonomi yang telah dikaji oleh Hizbut Tahrir, seperti hukum-hukum tentang perindustrian dan pabrik, pertanian dan pertanahan, perdagangan, zakat, perpajakan, kharaj, penimbunan harta, per bankan, per ser oan, sistem moneter D aulah Khilafah, pajak dan

Lihat: N izhom al-Islam , hlm. 119; an-N izhom al-Iqt ishadi , hlm. 232-247; dan M uqaddimah ad-Dust ur , hlm. 386-389; dan Ajhizah Daulah al-Khilafah, hlm.142.