Hubungan aktivitas dengan ruh (atau memadukan materi dengan ruh)

2. Hubungan aktivitas dengan ruh (atau memadukan materi dengan ruh)

H izbut Tahr ir mengkr itik pemikir an yang menyatakan bahw a tingginya spritual tidak akan bertemu dengan kecenderungan (keinginan) jasmani. Sebab materi terpisah dari ruh. Keduanya merupakan dua aspek yang ter pisah. D engan ber dasar kan pada dugaan semat a bahw a pertentangan di antara keduanya merupakan perkara yang mendasar secara alamiyah (sifat asal) keduanya, maka mustahil bisa memadukan keduanya. Sehingga setiap usaha memenagkan salah satunya, pasti yang lain harus direndahkan (dikalahkan). Kemudian dibuatlah kesimpulan akibat dari pernyataan ini bahwa orang yang menginginkan akhirat harus memenangkan aspek ruhiyah dan mengalahkan aspek materi.

Kemudian, Hizbut Tahrir menjelaskan bahwa pemikiran ini berasal dar i pemikir an Bar at sew aktu ter jadi konflik antar a as-sult hah az- zamaniyah (kekuasaan par a penguasa) dengan as-sult hah ar-ruhiyah (kekuasaan para tokoh agama dan pendetanya dalam agama N asrani). Dan konflik ini pun berakhir dengan menjadikan para tokoh agama berdiri sendiri dengan sult hah ar-ruhiyah -nya. Selanjutnya, mereka tidak lagi mencampuri urusan as-sult hah az-zamaniyah (kekuasaan para penguasa). Setelah terpengaruh dengan pemikiran Barat, lalu dianalogikan (dikiaskan) Islam dengan N asrani (Kristen) dengan cara generalisasi ( qiyas syumuliy ), atas dasar keduanya sama-sama agama. Dan, analogi semacam ini batil. Sebab, Hizbut Tahrir berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjangkau oleh indera merupakan sesuatu yang sifatnya materi. Sedang aspek ruhiyah

79 Lihat. Mafahim H izb at-Tahrir, hlm. 18.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

Di antara nalur i-naluri ini adalah naluri beragama ( gharizah at - t adayyun ), yaitu perasaan butuh pada Tuhan Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur. Perasaan ini muncul dari kelemahan yang secara alami ada dalam penciptaan manusia. Pemuasan terhadap naluri ini tidak dinamakan aspek ruhiyah dan tidak pula dinamakan aspek madiyah (bersifat materi), ia dinamakan dengan pemuasan saja. Hanya saja, apabila pemuasan terhadap kebutuhan-kebutuhan jasmani ( al-hajat al-udhawiyah ) dan naluri-naluri ( al-gharaiz ) ini dengan sistem (aturan) dari Allah, ber dasar kan atas kesadaran akan hubungan dengan Allah, maka pemuasan itu dikendalikan oleh ruh. Apabila pemuasannya dengan sistem lain, atau dengan sistem dari selain Allah, maka pemuasannya bersifat materi semata yang justru membawa pada celakanya manusia.

N alur i m elangsungkan spesies ( ghar izah an- nau' ), apabila pemuasannya dengan sistem lain, atau dengan sistem dari selain Allah SWT, maka pemuasannya itu justru menjadi sebab celakanya manusia. Apabila dipuaskan dengan sistem pernikahan yang berasal dari Allah SWT. sesuai dengan hukum-hukum Islam, maka akan menjadi pernikahan yang menciptakan ketentraman. Begitu juga halnya dengan naluri beragama ( gharizah at -t adayyun ), apabila pemuasannya dengan sistem lain, atau dengan sistem dari selain Allah SWT, dengan menyembah berhala atau menyembah manusia, maka itu merupakan bentuk kemusyrikan dan kekufur an. Apabila dipuaskan dengan hukum-hukum Islam, maka pemuasan itu merupakan ibadah. Oleh karena itu harus memelihara aspek ruhiyah dalam segala sesuatu, dan menjalankan semua aktivitas ber dasar kan per intah-per int ah Allah dan lar angan-lar angan-N ya, berdasarkan atas kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah SWT., yakni dijalankan berdasarkan ruh. Untuk itu, tidak ada dalam satu aktivitas dua aspek, yaitu aspek ruhiyah dan aspek madiyah . Akan tetapi yang ada hanya satu hal saja, yaitu aktivitas.

Adapun memberi sifat bahwa aktivitas itu madiyah (bersifat materi) belaka, atau dikendalikan dengan ruh, maka pemberian sifat itu tidak datang dari aktivitas itu sendiri, namun datang dari yang mengendalikan

O leh kar ena itu, H izbut Tahrir ber pendapat w ajib hukumnya melenyapkan setiap pernyataan yang berusaha memisahkan aspek ruhiyah dari aspek madiyah . Dalam Islam tidak ada agamawan, tidak ada kekuasaan agama, dengan arti kependetaan, serta tidak ada kekuasaan penguasa yang terpisah dari agama, namun Islam itu agama, di antaranya adalah negara. N egara adalah hukum-hukum syara' sebagaimana hukum-hukum shalat. N egara merupakan metode untuk menerapkan hukum-hukum Islam, dan met ode mengemban dakw ah Islam. Sehingga, w ajib menghapus setiap perasaan yang mengkhususkan agama dengan arti hanya spir it ualit as semat a, dan m embuangnya dar i polit ik dan pemerintahan. 80

Berdasarkan hal ini, maka aktivitas manusia menurut Hizbut Tahrir adalah materi yang dijalankan secara materi. Hanya saja ketika aktivitas itu dilakukan, sedang ia menyadari hubungannya dengan Allah, yakni aktivitas dilakukan berdasarkan halal atau haram, jika halal dilakukan, dan jika har am dit inggalkan. Sesungguhnya kesadar an manusia akan hubungannya dengan Allah ini adalah ruh. Ruh inilah yang mendorong manusia untuk memahami syari'at Allah, untuk membedakan aktivitasnya. Dengan mengetahui syari'at Allah, manusia akan mengenal yang baik dari yang buruk, mengetahui aktivitas-aktivitas yang disenangi Allah dan yang

80 Lihat. N izhom al-Islam , hlm. 31, 70, 73.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

Sungguh ada sebagian penulis yang mengecam definisi Hizbut Tahrir tentang ruh, bahwa ruh adalah kesadaran akan hubungan. Sesungguhnya dalam dir i manusia t idak ada per hat ian-per hat ian spir it ual dan kecenderungan-kecenderungan jasmani. Mereka berpendapat bahwa ruh adalah alat untuk mer ealisaikan hubungan ini dengan Allah, dengan mengubah iman kepada Allah kepada hakikat (fakta) yang terindera…. 82

Bagi saya tampak sekali bahwa mereka para penulis tidak memahami diferensiasi (perbedaan) menurut Hizbut Tahrir antara ruh dalam arti sirrul hayah (nyawa) dengan ruh dalam arti kesadaran akan hubungan. Hizbut Tahrir menjelaskan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan yang menciptakannya adalah hubungan penciptaan. Begitu juga dengan makhluk-makhluk yang lainnya. Hubungan ini ada baik disadarai oleh manusia maupun tidak. Ruh dalam arti sirrul hayah (nyawa) tidak memiliki pengaruh terhadap ada tidaknya kesadaran akan hubungan. Sebab, ruh dalam arti sirrul hayah (nyawa) ada dalam diri orang Mu'min dan orang Kafir. Semua ini menunjukkan bahw a kesadar an akan hubungan merupakan perkara yang adanya sambil lalu dengan usaha manusia. Kesadran akan hubungan ini diperoleh melalui beragam aktivitas berpikir tentang kerajaan langit dan bumi.

Ketika Hizbut Tahrir mengkritik pemikiran bahwa manusia terdiri dari kecenderungan-kecenderungan jasmani dan per hatian-perhatian spiritual. Maka, sesungguhnya pemikiran ini member i kesan bahw a kecenderungan-kecenderungan jasmani dan meresponnya merupakan sesuatu yang tercela, bertentangan dengan aspek ruhiyah (spiritual) yang dimiliki manusia. Padahal Allah SWT. telah menciptakan manusia dan

81 Lihat. M afahim H izb at -Tahrir, hlm. 33. 82 Lihat. Ad- Dakwah al-Islamiyah , hlm. 107; al- Fikr al-Islamiy al-M u'ashir , hlm. 304; dan

H izb at -Tahrir ( M unaqosah 'Ilmiyah li Ahammi M abadi' al-H izb ), hlm. 36.

Kami mengingatkan bahwa apabila telah menyusup masuk kepada sebagian kaum Muslim sesuatu yang serupa dengan pemikiran ini, yakni bahwa merespon apa yang telah diciptakan Allah dalam diri manusia, seperti naluri-naluri ( al-gharaiz ) dan kebutuhan-kebutuhan jasmani ( al- hajat al-udhawiyah )-yakni memisahkan materi dari ruh-atau tingginya ruhiyah (spiritual) bertentangan dengan respon terhadap naluri-naluri ( al- gharaiz ) dan kebutuhan-kebutuhan jasmani ( al-hajat al-udhawiyah ). Sekali lagi, kami mengingatkan bahwa Rasulullah SAW. sangat melarang hal itu.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: Telah datang tiga orang ke rumah-rumah istri N abi SAW.. Mereka menanyakan tentang ibadah N abi SAW.. Setelah mereka diberitahu, mereka merasa bahwa ibadahnya tidak ada artinya sama sekali. Mereka berkata: Siapa kita ini di banding dengan N abi SAW.? Allah telah mengampuni dosa-dosa beliau, baik yang sudah-sudah maupun yang belum. Salah seorang dari mereka berkata: Saya akan melakukan shalat malam selamanya. Yang lain berkata: Saya akan berpuasa sepanjang tahun, tanpa berbuka. Sedang yang satunya lagi berkata: Saya akan menjauhi perempuan dan tidak akan menikah selamanya. Kemudian, Rasululah SAW. datang dan bersabda:

"Kalian yang t elah berkat a begini dan begit u? Demi Allah, saya lebih t akut dan lebih bert akwa kepada Allah dari pada kalian. N amun begit u,

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

Dalam kondisi apapun, persoalan tidak akan keluar dari sebuah terminologi. Sebagaimana dikatakan terminologi tidak perlu dipersoalkan. Kami tidak dapat menyalahkan Hizbut Tahrir ketika menyatakan hubungan (eksistensi manusia dan segala sesuatu yang ada merupakan makhluk bagi Allah) adalah sebuah terminologi untuk aspek ruhiyah (spiritual). Penyat aan t ent ang kesadar an akan hubungan ini adalah sebuah terminologi untuk ruh. Dan pernyataan tentang pengaruh yang dihasilkan dari kesadaran akan hubungan ini adalah terminologi untuk ruhaniyah. Jika tidak, maka mer eka par a penulis akan disalahkan mengenai pernyataan (terminologi) mereka tentang ruh, bahwa ruh adalah alat untuk merealisasikan hubungan. Kemudian saya ber pendapat bahwa terminologi yang telah dicapai Hizbut Tahrir adalah terminologi yang lebih detail dan lebih dekat pada kebenaran dibanding yang lainya. Sebab, kami sepakat tentang penyebutan ruhaniyah atas sesuatu yang dirasakan oleh manusia yang beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Pencipta, ketika ia sedang di hadapan-N ya. Sehingga ia merasa takut dan senang, tunduk dan patuh, merendahkan diri, dan menyerahkan diri, sampai akhirnya ia menangis. N amun, pertanyaannya, apakah perasaan ini dihasilkan dari ruh yang berupa sirrul hayah (nyawa)?

Inilah yang ditolak oleh Hizbut Tahrir. Dalam hal ini Hizbut Tahrir benar. Sebab, kalau perasaan ini dihasilkan oleh ruh dalam arti sirrul hayah (nyawa), tentu sama perasaan yang sedang dirasakan oleh seorang Mukmin ketika sedang di hadapan Allah SWT. dengan apa yang dirasakan oleh penganut Budha, penyembah Salib, dan sebagainya, seper ti sikap merendahkan diri, dan perasaan bangkit kembali di hadapan patung- patung yang mereka sembah, bahkan terkadang sampai membuat mereka menangis dan merendahkan dir i. Sebab, ruh dalam arti sirrul hayah (nyawa) ada dalam diri orang yang beriman kepada Allah, dan juga dalam diri orang yang tidak beriman kepada Allah. Hizbut Tahrir menjelaskan bahwa apa yang dirasakan oleh orang yang beriman kepada Allah, ketika ia sedang berada di hadapan Allah SWT., tidak lain merupakan bentuk kesadar annya bahw a dir inya adalah makhluk (cipt aan) bagi Allah.

83 M ut t afaqun 'alaihi. Lafadz matan menurut Bukhari. Lihat. Shahih Bukhari , vol. I, hlm. 1949; dan Shahih M uslim , vol. II, hlm. 1020.

Sementara apa yang dirasakan oleh orang yang tidak beriman kepada Allah, tidak lain hanyalah reaksi naluri yang timbul dari perasaan bahwa dirinya penuh kekurangan dan butuh pada yang lain. Tentu, kami tidak mengatakan apa yang dirasakan oleh orang yang tidak beriman kepada Allah itu ruhaniyah. Dengan demikian, ruhaniyah adalah pengaruh yang dihasilkan dari kesadaran seorang Mukmin akan hubungan dirinya dengan Allah, Tuhan Yang Maha Pencipta. Ketika ruhaniyah adalah pengaruh yang dihasilkan dari kesadaran akan hubungan, maka kesadaran akan hubungan itu adalah ruh. Dan ruh di sini bukanlah ruh dalam arti sirrul haya h (nyawa). W allahu a'lam bish-shawab.