Hubungan pemikiran dengan mafahim dan tingkah laku

2. Hubungan pemikiran dengan mafahim dan tingkah laku

Hizbut Tahrir berpendapat bahwa pemikiran punya hubungan yang erat dengan persepsi ( mafahim ) dan tingkah laku. Sebab, persepsi menurut Hizbut Tahrir adalah pengertian-pengertian yang dipahami, dan yang memiliki fakta dalam benak. Dalam hal ini, sama saja, apakah fakta itu merupakan sesuatu yang terindera di luar, maupun sesuatu yang diyakini bahwa ia ada di luar berdasarkan atas fakta yang terindera. Sementara, pengertian, kata dan kalimat yang selain itu tidak dikatakan persepsi, melainkan hanya sekedar pengetahuan (data atau informasi) saja. Sebab, kata dalam suatu kalimat menunjukkan atas suatu pengertian. Akan tetapi, pengertian ini terkadang ada dalam fakta, dan terkadang tidak. Hal ini, ber beda dengan penger tian bagi suat u pemikir an, maka ia har us menunjukkan pada pengertian tertentu. 44

N amun, masalahnya, apakah hanya sekedar melakukan pr oses berpikir, memenuhi syarat dan rukunnya, serta diperolehnya pemahaman suatu fakta yang terkait dengan proses berpikir itu, lalu fakta yang dipahami itu menjadi sebuah per sepsi ( mafhum ), seper ti yang tampak dalam pernyataan di atas, atau tidak cukup hanya dengan semua itu, melainkan masih membutuhkan sesuatu yang lain?

Sesungguhnya hasil proses berpikir, jika telah memenuhi syarat dan rukunnya yang empat, maka ia dapat dibenarkan (dipercaya). N amun, ketika hasil proses berpikir itu merupakan hukum atas fakta apapun bahwa "hukumnya begini", maka seorang yang berpikir terkadang membenarkan hasil berpikir yang telah dicapai, dan terkadang tidak. Hizbut Tahrir menyatakan persoalan ini ketika Hizbut Tahrir membicarakan tentang persepsi. Sebab, Hizbut Tahrir mensyaratkan agar pemikiran itu menjadi persepsi haruslah dibenarkan. Hizbut Tahrir menyatakan: "Adapun makna pemikiran, maka apabila makna yang didalamnya terdapat kata ini memiliki fakta yang terjangkau indera, tergambarkan oleh pikiran sebagai sesuatu yang terindera, serta dibenarkan, maka makna (pengertian) ini merupakan persepsi ( mafhum ) bagi orang yang menginderanya, menggambarkannya

37 QS. Al-Baqarah [2] : 164. 38 Lihat . N izhom al-Islam, hlm. 6, 8; dan asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, vol. I, hlm. 33. 39 Lihat . N izhom al-Islam, hlm. 4; asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, vol. I, hlm. 11, 12; dan al-Fikr al- Islami, hlm. 46, 48, 52, 67, 68.

terhadap tingkah laku, kecuali apabila ia telah dibenarkan oleh manusia, dan pembenaran ini berhubungan dengan potensi, yakni kecuali apabila pemikiran itu telah menjadi persepsi di antara persepsi-persepsi ( mafahim ) seseorang…. Adapun pernyataan bahwa manusia memiliki dua persepsi (pemahaman) yang berbeda terhadap satu realitas, maka ia merupakan pernyataan yang salah. Sebab, tidak mungkin manusia, kecuali hanya memiliki satu persepsi saja, yaitu hanya pemikiran yang pembenarannya berhubungan dengan potensi, sementara yang lain adalah pemikiran, bukan persepsi". 46

Artinya bahwa pemikiran akan menjadi persepsi bagi orang yang membenarkannya, bukan bagi or ang yang tidak membenar kannya. Contoh yang pas untuk ini adalah kisah al-Walid bin al-Mughirah terhadap al-Qur'an. Sesungguhnya, setelah ia mendengarkan ayat-ayat al-Qur'an al-Kar im, ia menyimpulkan bahw a ayat-ayat al-Q ur'an ini bukanlah perkataan manusia, namun ia tidak membenarkannya. 47

Adapun tingkah laku ( suluk ), maka ia merupakan aktivitas-aktivitas manusia yang dijalankan untuk memuaskan potensi kehidupannya, yang berupa al-hajat al-udhawiyah (kebutuhan-kebutuhan jasmani), dan al- gharaiz (nalur i-nalur i). Kebutuhan-kebut uhan jasmani mendor ong manusia dan menuntut pemuasan, lalu manusia bangkit ber ger ak (melakukan sesuatu) dengan perkataan atau perbuatan untuk pemuasan ini.

Hanya saja, Hizbut Tahrir berpendapat bahwa tingkah laku manusia terikat erat dengan pemahaman atau persepsinya. Artinya, bahwa yang menentukan tingkah laku ini adalah persepsi (pemahaman), bukan pemikir an saja. Pemikiran tidak ber pengaruh terhadap tingkah laku, kecuali apabila pemikir an itu telah dibenar kan oleh manusia, dan pembenaran ini terkait erat dengan potensi kehidupan, yakni kecuali apabila pemikiran itu telah menjadi persepsi (pemahaman) di antara per sepsi-persepsi ( mafahim ) seseorang. Sebagaimana Hizbut Tahrir ber pendapat bahw a hubungan antara tingkah laku manusia dengan per sepsinya adalah hubungan yang sifat nya past i (har us). D an

45 Lihat. Asy- Syakhshiyah al-Islamiyah , vol. I, hlm. 12; dan Jaw ab Soal, 9 Rabi'uts Tsani 1391 H./2 Juni 1971 M..

46 Lihat. Jaw ab Soal, 9 Rabi'uts Tsani 1391 H./2 Juni 1971 M.. 47 Lihat . Al- M ust adrak ala ash- Shahihain , Muhammad bin Abdullah an-N aisaburi (al-Hakim), dit ahkik oleh Mushtafa Qadir Ata, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, cet. I, 1441 H./1990 M., vol. II, hlm. 550; dan al- Jami' li Ahkam al- Qur'an , Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar al-Q urt hubi, dit ahkik oleh Ahmad Abdul Alim al-Barduni, Dar asy-Sya'b, Kairo, cet. II, vol. X IX , hlm. 74, 75.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

Saya ber pendapat bahw a penegasan H izbut Tahr ir ter hadap hubungan antara persepsi dengan tingkah laku sebagai hubungan yang sifatnya pasti (harus) adalah kurang akurat. Sebab konsekwensinya bahwa tingkah laku itu tidak akan bertentangan dengan persepsi (pemahaman), dan harus sesuai dengannya. Masalahanya, ternyata tidak demikian, sebab tidak sedikit di antara kaum Muslim yang terlihat melakukan perbuatan- perbuatan yang bertentangan dengan eksistensi mereka sebagai kaum Muslim, seperti melakukan beberapa perbuatan maksiat. Berdasarkan hal itu, maka terkadang persepsi (pemahaman) itu terpisah dari tingkah laku. Sement ar a H izbut Tahr ir sendir i menyat akan kemungkinan terpisahnya tingkah laku dari persepsi. Hal ini oleh Hizbut Tahrir disebut dengan nama at s-t sughrat fi as-suluk (penyimpangan-penyimpangan dalam

tingkah laku). 49 Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa hubungan antara persepsi dan tingkah laku harus dinyatakan sebagai hubungan yang

sifatnya alamiyah (sifat asli atau pembawaan), bukan hubungan yang sifatnya pasti (harus). Artinya, secara alamiyah bahwa tingkah laku manusia terkait erat dan selalu sesuai dengan pemahamannya, namun terkadang terjadi perbedaan.