Kebutuhan Sekunder

2. Kebutuhan Sekunder

Kebutuhan sekunder adalah setiap kebutuhan selain kebutuhan pr imer yang telah diterangkan di atas. Dalam hal ini, H izbut Tahr ir berpendapat bahwa N egara harus memberi kesempatan kepada semua individu rakyat untuk memenuhi kebutuhan sekundernya. Hizbut Tahrir mengangngap bahwa syara' yang telah mewajibkan bekerja atas kaum laki-laki yang mampu bekerja sebagai dalil atas pemberian kesempatan terhadap pemenuhan kebutuhan sekunder, sebagaimana hal itu layak menjadi dalil atas pemenuhan kebutuhan primer. Sebab, syara' telah memutlakkan anjur an mencari r izki dan tidak membatasinya hanya dengan pemenuhan kebutuhan pr imer saja. Maka kemutlakan ini merupakan dalil bahwa syara' telah memberi kesempatan kepada laki- laki yang mampu bekerja untuk memenuhi kebutuhan sekundernya dari hasil kerjanya. Dan juga bolehnya menikmati yang baik-baik adalah dalil atas pemberian kesempatan terhadap pemenuhan kebutuhan sekunder. Allah SWT berfirman:

"M akanlah dari makanan yang baik-baik yang t elah Kami berikan kepadamu." 88

Dan Allah berfirman:

"Kat akanlah: 'Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang t elah dikeluarkan-N ya unt uk hamba-hamba-N ya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?'." 89

87 Lihat: N izom al-Islam , hlm. 115; an-N izom al-Iqt ishadi , hlm. 60-66; dan M uqaddimah ad-Dust ur , hlm. 280-282.

88 QS. Al-Baqarah [2] : 57. 89 QS. Al-A'raf [7] : 32.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa syara' telah membolehkan kepada setiap individu untuk memenuhi kebutuhan sekundernya. Sehingga dengan ini syara' telah memberi kesempatan pemenuhan kepdanya. Apalagi syara' telah datang dengan larangan berlaku bakhil (kikir), serta teguran terhadap orang yang melarang bersenang-senang dengan rizki yang baik-baik. Semua ini menunjukkan dengan sangat jelas atas pemberian kesempatan untuk pemenuhan kebutuhan sekunder. 90

d. Hukum Asal Kepemilikan dan Macam-Macamnya

1. Hukum Asal kepemilikan Hizbut Tahrir berpendapat bahwa hukum asal kepemilikan harta adalah milik Allah Swt.. Sebab, Allah Swt. berfirman:

"Dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari hart a Allah yang dikaruniakan-N ya kepada kalian." 91 Dalam ayat tersebut di atas, Allah telah menisbatkan harta sebagai milik-N ya. Dan firman-N ya:

"Dan Dia menolong kalian dengan hart a benda dan anak-anak." 92

Dalam ayat ini pula, Allah telah menisbatkan pemberian bantuan har t a benda kepada manusia it u juga dinisbat kan kepada-N ya. Sebagaimana Firman-N ya:

"Dan nafkahkanlah sebagian dari hart amu yang Allah t elah menjadikan kamu menguasainya." 93

Dalam ayat ini Allah telah menjadikan mereka sebagai orang-orang yang menguasai harta benda sebagai wakil dari-N ya. Allah Swt. adalah

90 Lihat: N izhom al- Islam , hlm. 115; a n- N izhom al- Iqt ishadi , hlm. 60-66; dan M uqaddimah ad- Dust ur , hlm. 284.

91 QS. An-N ur [24] : 33. 92 QS. N uh [71] : 12. 93 QS. Al-H adid [57] : 7.

Zat yang telah menjadikan mereka menguasai harta benda. Jadi, harta benda itu asalnya adalah milik Allah Swt.. Kepemilikan harta pada dasarnya adalah kepemilikan bagi Allah, bukan bagi manusia. N amun, ketika Allah menjadikan manusia yang menguasai harta, maka dia telah menjadikan hak kepemilikan harta itu kepada manusia. Kar ena itu, ayat tentang pember ian kekuasaan har ta bukan dalil atas kepemilikan individu, melainkan sebagai dalil bahwa manusia dari aspek manusianya memiliki hak kepemilikan harta. Sedangkan kepemilikan individu secara riil, yakni penguasaan manusia atas harta sebagai miliknya secara riil, maka dalam hal ini dipahami dari dalil lain, yaitu sebab yang dibolehkan individu memiliki harta secara riil, seperti firman Allah Swt.:

" Bagi laki-laki ada hak bagian dari hart a peninggalan ibu-bapak dan kerabat nya, dan bagi wanit a ada hak bagian (pula) dari hart a peninggalan ibu-bapak dan kerabat nya." 94

Dan seperti sabda N abi Saw.:

"Barang siapa yang memasang pagar at as sesuat u, maka sesuat u it u menjadi miliknya." 95

Dan sabda N abi Saw.:

"Barang siapa yang menghidupkan t anah (lahan) mat i, maka t anah it u menjadi miliknya." 96

94 QS. An-N isa' [4] : 7. 95 HR. Al-Imam Ahmad. Syu'aib al-Arnauth berkat a "Hadit s ini hasan li ghairihi. Sedang para raw inya adalah para raw i shahih, kecuali al-Hasan al-Bashri yang tidak jelas mendengar dari Samurah". Lihat: M usnad Ahmad bin H anbal , vol. ke-5, hlm. 12. 96 HR. Al-Imam Ahmad. Syu'aib al-Arnauth berkata "Hadits ini sanadnya shahih menurut syarat Bukhari Muslim. Lihat: M usnad Ahmad bin H anbal , vol. ke-3, hlm. 338. Hadits ini juga diriw ayatkan oleh Abu

D aw ud, vol. ke-2, hlm. 194; at h-Thirmidzi, vol. ke-3, hlm. 663. Sebagaimana diriw ayat kan oleh Bukhari secara mauquf kepada U mar bin Khaththab, vol. ke-2, hlm. 822.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

Dan masih banyak lagi nash-nash yang lain. Dengan demikian, hak kepemilikan itu telah tetap bagi setiap manusia atas segala sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah. Kepemilikan secara riil itu membutuhkan izin dari asy-Syari' (pembuat hukum) tentang cara memilikinya, dan mengenai harta yang hendak dimilikinya. Artinya, bolehnya kepemilikan ini secara riil butuh pada dalil syara'. 97