Dalil-dalil akidah

2. Dalil-dalil akidah

Hizbut Tahrir menekankan bahwa persoalan-persoalan akidah tidak diambil kecuali dari sesuatu yang memberikan kepastian. Dalil untuk persoalan akidah harus dalil yang qat h'iy (definitif). Sehingga tidak pernah dibolehkan untuk persoalan akidah dalilnya berupa dalil yang zanniy (asumtif). Apabila dalil akidah itu merupakan dalil yang definitif (pasti), maka wajib meyakininya, dan dianggap kafir orang yang mengingkarinya. Sebaliknya, apabila dalil akidah itu merupakan dalil yang asumtif (dugaan), maka har am bagi seorang Muslim meyakininya. Untuk mendukung pendapatnya itu, Hizbut Tahrir mengajukan tiga argumentasi:

Pert ama , bahwa dalil akidah adalah dalil untuk persoalan tertentu. Ia merupakan bukti untuk penetapannya. Sehingga tidak mungkin bukti itu dapat menetapkan sesuatu, kecuali apabila penetapan itu sudah dapat dipastikan. Sebab kalau penetapan itu masih berupa asumtif (dugaan), maka belum ada bukti yang dapat menetapkannya. Oleh kar ena itu membuktikan suatu penetapan harus berupa bukti yang qat h'iy (definitif). Al- Q ur 'an m enggunakan dua kat a bur han (bukt i) dan sul t han (keterangan). Orang yang dengan cermat mengamati penggunaan dua kata itu di semua ayat-ayat dalam al-Qur'an, jelaslah bahwa maknanya adalah dalil yang qat h'iy (definitif). Allah SWT. berfirman:

"Dan barangsiapa menyembah t uhan yang lain di samping Allah, padahal t idak ada suat u dalilpun baginya t ent ang it u, maka sesungguhnya perhit ungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir it u t iada berunt ung". 98

Dan firman-N ya:

_________________ 97 QS. An-N isa' [4] : 150 - 151.

98 QS. Al-Mu'minun [23] : 117.

"Kamu t idak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat -buat nya. Allah t idak menurunkan suat u ket eranganpun t ent ang nama-nama it u" . 99

Dan ayat-ayat yang lainnya. Semuanya datang dengan makna dalil yang q at h'iy (definitif). Berdasarkan hal ini, ketika dalil untuk akidah adalah dalil untuk persoalan tertentu, maka eksistensi dalil, burhan (bukti) dan sult han (keterangan) harua berupa sesuatu yang qat h'iy (definitif).

Kedua , bahwa eksistensi sesuatu itu dikatakan akidah, yakni ia merupakan sesuatu yang pasti. Maka definisi akidah adalah pembenaran yang pasti ( at -t ashdiq al-jazim ) yang sesuai dengan fakta berdasarkan bukti (dalil). Sesuatu agar bisa dikatakan akidah harus mendapat pembenaran yang pasti. Jika yang ada hanya pembenaran saja, maka belum dikatakan akidah. Sementara, kepastian itu dapat terwujudkan apabila dalil atau buktinya sudah pasti. Dengan demikian, maka dalil untuk akidah haruslah berupa dalil yang qat h'iy (definitif). Sebab jika dalilnya bukan dalil yang qat h'iy (definitif), maka ia bukan akidah. Sehingga r ealitas akidah mengharuskan dalilnya berupa dalil yang qat h'iy (definitif).

Ket iga , bahwa Allah SWT. di dalam banyak ayat, benar-benar mencela orang yang mengikuti sangkaan atau dugaan dalam persoalan- persoalan akidah. Allah SWT. berfirman:

"It u t idak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah t idak menurunkan suat u ket eranganpun unt uk (menyembah) nya. Mereka t idak lain hanyalah mengikut i sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya t elah dat ang pet unjuk kepada mereka dari Tuhan mereka". 100

99 QS. Yusuf [12] : 40.

QS. An-N ajm [53] : 23.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

Dan firman-N ya:

"Sesungguhnya orang-orang yang t iada beriman kepada kehidupan

akhirat , mereka benar-benar menamakan malaikat it u dengan nama perempuan. Dan mereka t idak mempunyai sesuat u penget ahuanpun t ent ang it u. M ereka t idak lain hanyalah mengikut i persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan it u t iada berfaedah sedikit pun t erhadap kebenaran". 101 Dan ayat-ayat yang lainnya.

Ayat-ayat ini jelas sekali menunjukkan adanya celaan kepada orang yang mengikuti sangkaan atau dugaan, serta celaan kepada orang yang mengikuti tanpa keterangan, yakni tanpa dalil yang qat h'iy (definitif). Celaan dan kecaman terhadap mereka ini adalah dalil atas larangan yang tegas mengikuti zann (sangkaan atau dugaan), ser ta lar angan yang tegas mengikuti sesuatu yang tidak dibuktikan dengan dalil qat h'iy (definitif). Dengan demikian, dalil syar'iy menunjukkan bahwa di dalam persoalan- persoalan akidah tidak diperbolehkan menggunakan dalil yang masih zanniy

(asumtif). 102

D engan demikian, seor ang Muslim har us membatasi apa yang menjadi keyakinannya hanya pada sesuat u yang t elah dit et apkan berdasarkan dalil yang qat h'iy (definitif). Hal ini meliputi sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil 'aqliy (rasional), atau dalil sam'iy (wahyu) yang sifatnya memberikan kenyakinan dan kepastian-yakni sesuatu yang ditetapkan berdasarkan al-Qur'an al-Karim dan al-Hadits yang qat h'iy (definitif) yaitu Hadits Mutawattir. Maka, sesuatu yang belum ditetapkan berdasarkan dua jalan ini: (1) akal, dan (2) nash al-Qur'an dan hadits yang qat h'iy , haram bagi seorang Muslim meyakininya. Dan fakta obyek yang t er kait dengan akidah adalah yang menent ukan jenis dalil yang dikehendakinya, dalil 'aqliy (rasional) atau dalil sam'iy (wahyu). Jika ia memiliki fakta yang terindera, maka diserahkan kepada indera, sehingga dalilnya berupa dalil 'aqliy (rasional). N amun, jika ia bukan sesuatu yang terjangkau oleh indera, maka dalilnya harus berupa dalil sam'iy (wahyu).

Oleh karena itu, Hizbut Tahrir membagi per kara-perkara yang

QS. An-N ajm [53] : 27 - 28.

vol. III, Taqiyuddin an-N abhani , dikeluarkan Hizbut Tahrir, Dar al-Ummah, Beirut, cet. III (Mu'tamadah), 1426 H./2005 M., hlm. 66; dan Izalah al-At rubah an al- Judzur , hlm. 4, 5.

Adapun bagian yang kedua adalah iman berdasarkan dalil sam'iy (wahyu) yang sifatnya memberikan kenyakinan dan kepastian. Iman dalam bagian ini meliputi selain dari yang tersebut sebelumnya-iman kepada Allah, al-Qur'an dan Rasul-seperti iman kepada para malaikat, kitab-kitab samawi (dar i Allah) selain al-Q ur 'an, para Rasul dan N abi selain Rasulullah, Muhammad SAW., hari akhir, surga, neraka, dan sebaginya. Iman kepada semua ini dibangun di atas dalil sam'iy (wahyu) yang sifatnya memberikan

kenyakinan dan kepastian. 103 Setelah apa yang dijelaskan di atas, maka kami mengerti apa yang

dimaksud Hizbut Tahrir ketika menyatakan bahwa seorang Muslim wajib menggunakan akalnya secara mutlak dalam beriman kepada Allah SWT., serta ketika menyatakan bahwa akidah Islam adalah akidah rasional, dan yang lainnya. 104 Artinya bahwa akidah Islam secara asas bersandar pada

akal. Masing-masing dari iman kepada Allah, al-Qur'an dan Rasul dalil yang menjadi dasar keimanan adalah dalil 'aqliy (rasional), dan tidak mungkin kecuali dalil 'aqliy (rasional). Begitu juga iman terhadap perkara-perkara transendental ( gaib ), seper ti surga, ner aka, har i kebangkitan, hisab (per hit ungan amal), par a malaikat, set an, dan set er usnya, maka sesungguhnya iman dengan semua itu di bangun di atas dalil sam'iy (wahyu)

Lihat: Asy- Syakhshiyah al-Islamiyah , vol. I, hlm. 29-44, 77-97; N izom al- Islam , hlm. 8-12; dan Izalah al-At rubah an al- Judzur , hlm. 6, 7, 10.

Hizbut Tahrir menggunakan istilah ini di sejumlah peulikasi-publikasinya, seperti dalam N izom al- Islam , hlm. 8, 12; asy-Syakhshiyah al- Islamiyah , vol, I, hlm. 15, 20, 21, 29: dan yang lainnya.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200