Politik Umum Ekonomi

3. Politik Umum Ekonomi

Hizbut Tahrir telah menentukan politik (kebijakan) umum ekonomi dalam Daulah Islamiyah melalui dua ketentuan asasi (dasar) yaitu:

a. Memperhatikan apa yang menjadi kewajiban masyarakat ketika memandang pemenuhan kebutuhan.

b. Memper hatikan setiap individu, bukan ter hadap kumpulan individu yang hidup di berbagai negeri. Atas dasar itu, sesungguhnya politik ekonomi Islam sebagaimana pandangan Hizbut Tahrir itu adalah tidak hanya untuk mengangkat taraf kehidupan di berbagai negeri saja tanpa memperhatikan jaminan perolehan

__________________ 59 Q S. Al- Jatsiyah [45] : 13.

60 Lihat: N izhom al- Iqt ishadi , hlm. 57, 59.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

Ketika Islam membuat hukum-hukum ekonomi bagi manusia, maka pembuatan hukum-hukum itu ditujukan untuk individu. D an ketika beraktivitas untuk menjamin hak hidup serta memberikan kesempatan hidup makmur, maka Islam menjadikannya hal itu dapat terwujud dalam masyarkat tertentu, yang memiliki pola hidup tertentu. Oleh karena itu, kami dapat i bahw a hukum-hukum syar a' benar-benar menjamin kesempur naan pemenuhan semua kebutuhan asasi (primer ) dengan pemenuhan yang menyelur uh bagi semua individu r akyat D aulah Islamiyah, baik sandang, pangan, maupun papan. Semua itu terwujudkan melalui kewajiban bekerja atas laki-laki yang mampu bekerja, sehingga ia dapat memenuhi kebutuhan primernya dengan sempurna, dan memenuhi kebutuhan pr imer bagi or ang yang menjadi tanggungannya. Islam mewajibkan tangung jawab nafkah (biaya hidup) kepada anak dan ahli warisnya ketika ia tidak lagi mampu bekerja, atau terhadap Baitul Mal ketika tidak ada pihak yang wajib memberi nafkah kepadanya. Dengan demikian, Islam telah menjamin setiap individu, sebagai individu, untuk bisa memenuhi kebutuhannya, dimana dia sebagai manusia yang harus memenuhi kebut uhannya, yaitu sandang, pangan, dan papannya. Kemudian Islam memotivasi setiap individu untuk menikmati rizki yang baik-baik lagi halal, dan mengambil perhiasan kehidupan dunia selagi punya kemampuan. 61

b. Problem Ekonomi

Hizbut Tahrir telah membatasi problem ekonomi dalam dua hal:

1. Buruknya pendistribusian kekayaan (kemiskinan individu)

2. Tidak adanya pemberian kesempatan kepada setiap individu rakyat untuk memperoleh kekayaan serta memanfaatkannya.

_____________________ 61 Lihat: N izhom al- Islam , hlm. 115; an- N izhom al-Iat ishadi , hlm. 60-66; dan M uqaddimah ad-D ust ur ,

hlm. 271, 272, 280, 284.

1. Buruknya Pendistribusian Kekayaan (kemiskinan individu). Yang dimaksud dengan buruknya pendistribusian kekayaan adalah tidak sampainya kekayaan negeri kepada setiap individu rakyat, dimana sebagian individu bisa memperoleh kekayaan dan sebagian individu lain tidak. Sehingga hal inilah di antara yang menyebabkan kemiskikan. Sebab, banyak ayat dan hadits yang datang menyinggung urusan fakir, miskin, dan ibnu sabil (orang yang sedang dalam perjalanan)…. Ayat dan hadits dalam hal ini banyak dan beragam yang memperhatikan dengan seksama betapa pentingnya pemecahan pr oblem ini. Adapun ayat-ayat yang menjelaskan hal ini, maka Allah SWT berfirman:

"Dan (sebahagian lagi) berikanlah unt uk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir." 62

Dan firman-N ya:

"Sesungguhnya zakat -zakat it u, hanyalah unt uk orang-orang fakir, or- ang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat , para mu'allaf yang dibujuk hat inya, unt uk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhut ang, unt uk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuat u ket et apan yang diwajibkan Allah; dan Allah M aha M enget ahui lagi M aha Bijaksana." 63

Dan firman-N ya:

"Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yat im dan orang yang dit awan." 64

______________________ 62 QS. Al-Hajj [22] : 28.

63 Q S. At-Taubah [9] : 60. 64 QS. Al-Insan [76] : 8.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

Dan firman-N ya:

"At au memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yat im yang ada hubungan kerabat , at au orang miskin yang sangat fakir." 65

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang lain. Sedangkan di antara hadits- hadits yang menjelaskan hal ini, maka dari Anas bin Malik ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

"Tidak beriman denganku orang yang bermalam dalam keadaan kenyang sedangk an t et an ggan ya k el ap ar an di sam p i ngn ya, padahal i a menget ahuinya". 66

Ayat-ayat dan hadits-hadits ini, dan semua ayat yang dat ang mengenai infak, hukum-hukum sadaqah, hukum-hukum zakat, ser ta berulang-ulangnya anjuran agar membantu menanggung biaya hidup or- ang-orang fakir, miskin, ibnu sabil, dan orang yang meminta-minta, yakni orang yang telah memiliki kriteria fakir dan miskin, maka semuanya menunjukkan dengan sangat jelas bahw a problem ekonomi adalah kemiskinan individu, yakni buruknya pendistribusian kekayaan kepada semua individu sebagai faktor terjadinya kemiskinan individu. Dengan demikian, problemnya adalah ada pada pendistribusian kekayaan kepada setiap individu rakyat. Untuk itu, pendistribusian ini wajib diselesaikan sehingga kekayaan tersebut bisa sampai kepada setiap individu. Dalil- dalilnya telah datang menjelaskan bahwa pendistribusian ini wajib mengenai (sampai) kepada setiap individu. Selanjutnya, agar bisa mengenai (sampai) pada setiap individu, maka orang-orang yang terhalang dari pendistribusian itu wajib diselesaikan, artinya wajib menyelesaikan problem orang-orang

65 QS. Al-Balad [90] : 14 - 16. 66 HR. ath-Thabarani. Lihat: al-M u'jam al-Kabir , Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub ath-Thabarani. Ditahqiq

oleh H amdi bin abdul Majid as-Salafi, Maktabah al-Ulum w a al-H ikam, Moushol, Irak, cet . ke-2, 1404 H ./1983 M., vol. ke-1, hlm. 259. Al-Mundziri berkat a: "H adit s ini diriw ayatkan oleh at h- Thabarani dan al-Bazzar dengan sanad hasan". Lihat : at -Targhib wa at -Tarhib min al- H adit s asy-Syarif, Abdul Azim bin Abdul Qawi al-mundziri.

D itahqiq oleh Ibrahim Syamsuddin, Dar al-Kut ub al-Ilmiyah, Beirut, cet . ke-1, 1417 H., vol. ke-3, hlm. 243.

2. Tidak Adanya Pemberian Kesempatan Kepada Setiap Individu Rakyat Untuk Memperoleh Kekayaan Serta Memanfaatkannya. Sesungguhnya Allah Sw t . benar- benar t elah m embolehkan kepemilikan secara umum pada setiap sebab (jalan) yang kepemilikannya dibolehkan. Allah Swt. berfirman:

"Dihalalkan bagimu binat ang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan." 68

Rasulullah Saw. bersabda:

"Barang siapa yang memasang pagar at as sesuat u, maka sesuat u it u menjadi miliknya." 69

Bolehnya kepemilikan dan keumuman bolehnya kepemilikan tersebut bagi setiap individu rakyat, muslim maupun dzimmi itu sama, sehingga hal ini menunjukkan atas pember ian kesempatan kepada semuanya dalam memper oleh kepemilikan dan dalam ber usaha mendapatkannya. Begitu juga, telah datang dalil-dalil tentang pemanfaatan kekayaan dengan memakannya, memakainya, mendiaminya, dan menikmatinya dengan bentuk umum. Allah SWT berfirman:

"H ai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang t erdapat di bumi." 70

67 Lihat : N i zhom al-Islam , hlm. 115; an- N izhom al- Iqt i shadi , hlm. 30, 32, 60, 61, 214, 215; dan M uqaddimah ad-Dust ur , hlm. 273, 274.

68 QS. Al-Maidah [5] : 96. 69 HR. Al-Imam Ahmad. Syu'aib al-Arnaut h berkata "H adits ini hasan li ghairihi. Sedang para raw inya adalah para raw i shahih, kecuali al-Hasan al-Bashri yang tidak jelas mendengar dari Samurah". Lihat: M usnad Ahmad bin H anbal , vol. ke-5, hlm. 12. 70 QS. Al-Baqarah [2] : 168.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

Allah SWT berfirman:

"M akanlah dari makanan yang baik-baik yang t elah Kami berikan kepadamu." 71

Dan Rasulullah Saw. bersabda:

"Tidaklah seseorang memakan makanan yang paling baik dari pada memakan hasil pekerjaan t angannya." 72

Dalil-dalil ini dan yang lainnya, semuanya datang dengan bentuk umum. Keumuman bolehnya kepemilikan ini mencakup pemanfaatan kekayaan oleh setiap individu rakyat, baik muslim maupun kafir dzimmi.

D an semua ini ber ar ti bahw a syar i'at benar-benar telah member i kesempatan kepada setiap individu rakyat dalam memperoleh harta dan memanfaatkannya. 73

Kemudian Hizbut Tahrir berkata: "Dan atas dasar ini, maka dalil- dalil syar a' dat ang dan menjelaskan pr oblem mendasar dengan menjelaskan solusinya. Dalil-dalil itu menjelaskan bahwa problem tersebut adalah kemiskinan individu dan ketiadaan pemberian kesempatan kepada setiap individu rakyat dalam memperoleh harta dan memanfaatkannya. Ketika dalil-dalil itu datang, maka ia telah mencurahkan solusinya terhadap kemiskinan individu, dan membolehkan kepadanya dalam memperoleh harta serta memanfaatkannya dengan bentuk umum. Selanjutnya, syara' menjadikan bolehnya kepemilikan ini sebagai asas dalam urusan ekonomi. Inilah problem ekonomi yang mendasar. Dengan kata lain, problem ekonomi yang mendasar ada pada pendistribusian kekayaan, bukan pada produksi kekayaan. Sebab, problem ekonomi yang mendasar adalah kemiskinan individu rakyat dan ketiadaan pemberian kesempatan kepada mereka dalam memperoleh kekayaan dan memanfatkannya, bukan pada kemiskinan negeri serta kebutuhannya terhadap kekayaan. Oleh karena it u, pr oblem ekonomi it u ada pada pendist r ibusiannya, bukan

71 QS. Al-Baqarah [2] : 57. 72 HR. Bukhari. Lihat : Shahih al-Bukhari , vol. ke-2, hlm. 730. 73 Lihat: N izhom al-Islam , hlm. 115; an-N izhom al-Iqt ishadi , hlm. 62, 63; dan M uqaddimah ad-Dust ur , hlm. 275.

lem ekonomi berupa pendistribusian kekayaan itu tidak hanya ditunjukkan oleh dalil-dalil syara' semata, melainkan realita kehidupan ekonomi juga menunjukkan hal itu dengan gamblang dan tidak ada yang mengingkari, bahwa setiap negeri telah mengalami kegoncangan ekonomi akibat buruknya pendistribusian, bukan karena sedikitnya produksi (barang dan jasa). Sistem sosialis termasuk sistem komunis itu tidak lahir kecuali sebagai respons atas kezaliman yang dialami masyarakat akibat diterapkannya sistem kapitalis, yaitu sebagai konsekuensi buruknya pendistribusian. Sementara, tambal sulam yang dimasukkan oleh para kapitalis kedalam sistem mereka semuanya terkait erat dengan pendistribusian. Begitu juga berbagai upaya yang ditawarkan sosialisme juga hanya menyentuh masalah pendistribusian. Sedangkan negeri-negeri yang mereka namakan dengan negeri-negeri teringgal, seperti yang dialami negeri-negeri Islam sekarang ini, maka keterbelakangan ini terjadi tidak lain karena faktor buruknya pendistribusian kekayaan, bukan karena miskinnya negeri.

Oleh karena itu, realita problem ekonomi yang mendasar tidak lain adalah buruknya pendistribusian, bukan faktor sedikitnya produksi. Realita ini merupakan perkara yang dapat dirasakan oleh setiap manusia, baik ia muslim, kapitalis, maupun sosialis. Sebab, seluruh dunia memiliki produksi (kekayaan) yang lebih diatas kebutuhan manusia. Akan tetapi, buruknya pendistribusian hasil produksi telah menjadikan sebagian manusia kaya raya, sebaliknya sebagian manusia yang lain menjadi miskin papa. Bahkan negeri-negeri yang sedang mengalami kekuarangan produksi sekalipun, buruknya pendistribusian menempati posisi teratas problem ekonomi yang mendasar yang menyelimutinya, baru setelah itu faktor sedikitnya produksi. Berdasarkan hal ini, sesungguhnya realita kehidupan ekonomi menunjukkan bahwa problem ekonomi yang mendasar adalah ada pada

pendistribusian, bukan pada produksi. 75

c. Kebutuhan Primer dan Kebutuhan Sekunder

1. Kebutuhan Primer Hizbut Tahrir telah menetapkan tiga perkara sebagai kebutuhan primer, yaitu sandang, pangan dan papan. Sedang yang menjadi dalil atas hal-hal tersebut adalah sabda N abi Saw.:

74 Lihat: M uqaddimah ad-Dust ur , hlm. 276; dan an-N izhom al-Iqt ishadi , hlm. 28, 29. 75 Lihat: M uqaddimah ad-Dust ur , hlm. 279.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

"Barang siapa yang pagi-pagi sehat badannya, aman kelompoknya, memiliki makanan kesehariannya, maka seakan-akan ia memperoleh dunia". 76

Begitu juga nash-nash syara' yang membicarakan masalah nafkah menjelaskan bahwa nafkah itu berupa sandang, pangan dan papan. Allah SWT berfirman:

"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma` ruf." 77

Dan firman-N ya:

"Tempat kanlah mereka (para ist eri) di mana kamu bert empat t inggal menurut kemampuanmu." 78

Melalui firman-N ya ini, Allah Swt. menjelaskan bahwa sandang, pangan, dan papan adalah nafkah. Sementara itu, Rasulullah Saw. bersabda mengenai kaum perempuan, yakni para istri: bersabda:

"Ingat , sedangkan hak mereka yang harus kalian penuhi adalah berbuat baik kepada mereka mengenai pakaian mereka dan makanan mereka". 79

__________________________ 76 HR. ath-Thabarani. Berkata: Hadits ini tidak diriw ayatkan dari Fudhail, kecuali Abdurrahman sendirian".

Lihat : al-M u'jam al- Aust ah , vol. ke-2, hlm. 230. D alam M ajma' az- Z awaid dikat akan: H adit s ini diriw ayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Ausath yang di dalamnya ada Ali bin Abis, dia it u lemah. Lihat: M ajma' az- Z awaid , vol. ke-10, hlm. 517. 77 QS. Al-Baqarah [2] : 233. 78 Q S. At h-Thalaq [65] : 6. 79 HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Lihat: Sunan at -Tirmidzi , vol. ke-3, hlm. 647; dan Sunan Ibnu M ajah , vol. ke-1, hlm. 594.

Dan bersabda: bersabda:

"Dan hak mereka yang harus kalian penuhi adalah memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang baik". 80

Ini adalah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa nafkah itu adalah berupa sandang, pangan dan papan. Semua ini merupakan kebutuhan

primer. 81 Kebutuhan primer ini wajib dipenuhi. Alasannya adalah karena syara'

telah mendorong agar bekerja, mencar i rizki, dan mengusahannya. Bahkan Allah Swt. telah menjadikan bekerja untuk mencari rizki sebagai kewajiban. Allah Swt. berfirman:

"M aka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-N ya." 82

Dan firman-N ya:

"Apabila t elah dit unaikan sembahyang, maka bert ebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah." 83

Dalil ini merupakan hukum asal dalam menjamin pemenuhan semua kebutuhan primer manusia dari hasil usahanya. Allah Swt. benar-benar telah mewajibkan bekerja kepada kaum laki-laki yang mampu bekerja agar bisa memenuhi kebutuhannya. Ini ber ar t i beker ja it u har us dipaksakan terhadap orang yang mampu bekerja. Sehingga, apabila ia

80 HR. Muslim. Lihat: Shahih M uslim , vol. ke-2, hlm. 886. 81 Lihat: N izhom al- Islam , hlm. 115; an-N izhom al-Iqt ishad

i, hlm. 60-66; dan M uqaddimah ad- Dust ur , hlm. 283. 82 QS. Al-Mulk [67] : 15. 83 QS. Al-Jumu'ah [62] : 10.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

"Dan ahli waris pun berkewajiban demikian 84 ."

Dan firman-N ya:

"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma` ruf." 85

Demikian juga, syara' telah mewajibkan nafkah untuk orang yang lemah dan miskin menjadi tanggung jawab kerabatnya. Apabila tidak ditemukan orang yang berkewajiban memberi nafkah, atau ditemukan namun ia tidak mampu memberi nafkah, maka syara' telah mewajibkan nafkah tersebut menjadi tanggung jawab Baitul Mal, yakni menjadi tanggung jawab negara. Rasulullah Saw. bersabda:

"Barang siapa yang meninggalkan hart a, maka hart a it u bagi ahli warisnya. Dan barang siapa meninggalkan kalla, maka ia menjadi t anggung jawab kami". 86

84 QS. Al-Baqarah [2] : 233. 85 QS. Al-Baqarah [2] : 233. 86 HR. Bukhari dan Muslim. Lafal matan menurut Bukhari. Lihat: Shahih al-Bukhari , vol. ke-2, hlm. 845; dan Shahih M uslim , vol. ke-3, hlm. 1237.

Al-Kall adalah orang yang lemah yang tidak memiliki anak dan tidak pula memiliki ayah. Semua ini mer upakan dalil bahw a syara' telah mewajibkan jaminan pemenuhan kebutuhan primer bagi setiap individu satu per satu, dan syara' telah menentukan sumber pemasukkan yang m enj am in pelaksanaan pem enuhan ini , juga syar a' m enj am in pelaksanaanya sekaligus keberlangsungannya. 87