Dalil-dalil Hukum harus qath'iy .

1. Dalil-dalil Hukum harus qath'iy .

Hizbut Tahrir berpendapat bahwa dalil-dalil hukum ke-hujjah-annya harus ditetapkan berdasarkan dalil yang qat h'iy (definitif/pasti). Hizbut Tahrir menyebutkan ada tiga sebab mengapa dalil-dalil hukum harus qat h'iy (definitif/pasti):

a. Sesungguhnya hukum yang wajib dijalankan seorang muslim adalah hukum berdasarkan syara', bukan hukum berdasarkan akal. Artinya ia merupakan hukum Allah dalam suatu masalah, dan bukan hukum yang dibuat oleh manusia. Oleh karena itu, dalil yang darinya digali hukum harus dibawa oleh wahyu.

b. Menetapkan bahwa dalil yang darinya digali hukum itu benar- benar dibawa oleh wahyu harus dengan penentapan yang dapat dipastikan, yakni harus dalil yang darinya digali hukum itu benar- benar dibawa oleh wahyu berdasarkan dalil yang qat h'iy (definitif), bukan dalil yang zanniy (asumtif). Sebab, ia di antara persoalan- per soalan ushul (pokok), bukan per soalan-per soalan furu' (cabang). Sehingga dalam hal ini tidak cukup sekedar zann (asumsi/dugaan), sebab ia termasuk persoalan-persoalan akidah, bukan persoalan-persoalan hukum syara'. Sebab yang dituntut untuk digali hukum darinya adalah dalil yang dibawa oleh wahyu, tidak sembarang dalil. Sehingga harus ditetapkan bahwa dalil itu benar-benar dibawa oleh wahyu. Sedang menetapkan bahwa dalil itu dibaw a oleh wahyu ter masuk persoalan-persoalan akidah, bukan persoalan-persoalan hukum syara'. Jadi, harus berupa dalil yang ditetapkan bahwa dalil itu dibawa oleh wahyu berdasar kan dalil yang qat h'iy (definitif). Sebab per soalan- persoalan akidah tidak diambil melainkan dari sesuatu yang memberi keyakinan, seperti yang ditetapkan sebelumnya.

c. Ketika hukum-hukum itu digali berdasarkan ghalabah az-zann (dugaan kuat), maka hal itu dikhawatirkan jika tidak ditegaskan bahwa pokok (dasar) hukum-hukum harus benar-benar dibawa oleh w ahyu akan ber munculan di t engah-t engah umat

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

Dalam kitab asy-Syakhshiyah al-Islamiyah juz ketiga dikatakan: Dalil- dalil syara' merupakan pokok-pokok (dasar-dasar) bagi hukum-hukum syara'. Sehingga ia sama persis dengan ushuluddin (pokok-pokok agama), yakni persoalan-persoalan akidah. Pokok-pokok agama harus bersifat pasti ( qat h'iy ), bukan bersifat dugaan ( zanniy ). Begitu juga dengan pokok- pokok syari'at, baik pokok-pokok agama ( ushuluddin ) maupun pokok- pokok hukum ( ushulul ahkam ). Dalil-dalil syara' itu harus berupa dalil- dalil yang qat h'iy (definitif/pasti), dan tidak boleh berupa dalil-dalil yang zanniy (asumtif/dugaan). Sebab Allah SWT. berfirman:

"Dan janganlah kamu mengikut i apa yang kamu t idak mempunyai penget ahuan t ent angnya". 26

Dan firman-N ya:

"Dan kebanyakan mereka t idak mengikut i kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan it u t idak sedikit pun berguna unt uk mencapai kebenaran". 27

Mayoritas ( jumhur ) ulama telah menetapkan bahwa ushul (pokok) dasar hukum harus berupa dalil-dalil yang qat h'iy (definitif/pasti) …. Sebab ayat-ayat al-Qur'an dengan tegas melarang penggunaan zann (dugaan)

25 Lihat: M uqaddimah ad-Dust ur , hlm. 46, 47. 26 QS. Al-Isra' [17] : 36. 27 QS. Yunus [10] : 36

maka tidak dianggap sebagai dalil syara'. 28 Pendapat Hizbut Tahrir bahwa ushul fiqih tidak ditetapkan melainkan

dengan dalil yang qat h'iy (definitif) tidak keluar dari apa yang telah menjadi ketetapan para ulama. Imam asy-Syathibi berkata: "Sesungguhnya ushul (pokok-pokok) fiqih dalam agama harus berupa sesuatu yang qat h'iy , bukan yang zanniy. Dalil atas hal itu kembali kepada integritas syari'at. Sedang integritas syari'at adalah sesuatu yang qat h'iy …. Sekiranya boleh berpegang teguh pada zann (asumsi) tentang integritas syari'at, tentu boleh juga berpegang teguh pada zann (asumsi) tentang pokok-pokok ( ushu l) syari'at, sebab integritas itu yang pertama, namun ternyata hal itu tidak boleh…. Sekir anya boleh menjadikan zann (asumsi) sebagai sumber pokok-pokok ( ushul ) fiqih, tentu juga boleh menjadikan zann (asumsi) sebagai sumber pokok-pokok agama. N amun semua sepakat bahwa yang demikian itu tidak boleh. Begitu juga di sini, karena ushul fiqih merupakan

pokok-pokok syari'at, maka ia sama dengan pokok-pokok agama". 29