At-Tafkîr (berpikir)
1. At-Tafkîr (berpikir)
a. Evaluasi H iz but Tahr ir t er hadap U saha- usaha Pendefinisian Akal
Hizbut Tahrir mengkaji tentang fakta akal dan berpikir dengan rinci di banyak bukunya, baik pada buku-buku yang telah diadopsinya ( mut abannat ) maupun yang bukan, bahkan dalam hal ini telah disusun sebuah buku khusus dengan nama " at -Tafkîr ". Meskipun telah banyak orang yang mendefinisikan akal, dan berusaha mengetahui faktanya, baik itu di zaman dahulu kala, seperti para ahli filsafat Yunani, para cendekiawan
8 Diriw ayat kan oleh Muslim. Lihat : Shahih M uslim , vol. I, hlm. 288. 9 Lihat. Tafsir al-Qur'an al-Azhim, Ismail bin Katsir ad-D imasyqi, D ar al-Fikr, Beirut, 1401 H., vol. 2, hlm. 262 - 265. 10 Lihat . At -Tafkir, hlm. 5.
Muslim, atau para intelektual Barat, maupun di zaman modern. Hanya saja, Hizbut Tahrir melihat bahwa usaha-usaha ini, belumlah sesuai. Sebab, Hizbut Tahrir melihat bahwa orang-orang di zaman dahulu kala telah salah ketika mer eka mengira bahwa akal mer upakan anggota tubuh tertentu, atau akal memiliki anggota tubuh, sehingga mereka berusaha menentukan tempatnya, yaitu di kepala, hati, atau di selain itu. Begitu juga, Hizbut Tahrir melihat kersalahan orang-orang di zaman modern ini ketika mereka menjadikan otak sebagai tempat bagi akal, pemahaman ( idrak ) dan pemikiran ( al-fikr ), baik mereka yang mengatakan bahwa al- fikr adalah refleksi fakta ke otak, maupun mereka yang berpendapat sebaliknya.
Hizbut Tahrir menjelaskan ada dua kesalahan terkait pernyataan ini. Pert ama , sesungguhnya tidak ada refleksi (pemantulan) antara materi dengan otak. Sehingga, otak tidak memantul ke materi, sebaliknya materi tidak memantul ke otak. Sebab, pemantulan butuh pada reflektor yang dapat memantulkan sesuatu yang dipantulkan, seperti cermin. Cermin butuh adanya sesuatu yang dapat dipantulkannya. Sedang hal ini tidak terdapat, baik pada otak, maupun pada fakta yang sifatnya materi. Dengan demikian, secara mutlak tidak ada refleksi (pemantulan) antara materi dan otak. Sebab, materi tidak memantul ke otak, dan materi juga tidak berpindah ke otak. N amun, penginderaan materi itulah yang ditransfer ke otak melalu indera. Sedang, transfer penginderaan materi ke otak, tidak sama dengan pemantulan materi ke otak, dan juga bukan pemantulan otak ke materi. Apa yang terjadi hanyalah penginderaan materi.
Sehingga, dalam hal ini, tidak ada bedanya antara mata dengan indera yang lainnya. Penginderaan yang diperoleh melalui indera peraba, indera pencium, indera perasa, indera pendengar, sama seperti yang diperoleh melalui indera penglihat. Jadi, apa yang dihasilkan tentang sesuatu itu bukanlah pemantulan ke otak, melainkan penginderaan sesuatu. Manusia mengindera sesuatu dengan menggunakan indera yang jumlahnya lima. Dengan demikian, tidak ada sesuatu apapun yang memantul ke otaknya.
Kedua , penginderaan saja tidak menghasilkan pemikiran ( al-fikr ). N amun, yang ter jadi hanyalah penginder aan semat a, yakni hanya penginder aan t er hadap fakt a. Sehingga, ber apapun banyaknya penginderaan dilakukan, meski sampai jutaan kali, dan dengan beragam car a penginder aan yang dilakukan, tet ap yang diper oleh hanyalah penginderaan saja, tidak akan menghasilkan pemikiran secara mutlak. Akan tetapi harus ada data-data atau pengetahuan yang terlebih dahulu dimilikinya ( ma'lumat sabiqah ) pada diri manusia, yang dengannya manusia
Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200
Jika diperlihatkan tulisan berbahasa Asyria kepada manusia sekarang, siapapun orangnya, sedang ia selama ini tidak meiliki pengetahuan (data) apa pun terkait bahasa Asyria, meski ia mengindera tulisan itu dengan beragam cara, dengan melihat dan merabanya, maka ia dapat dipastikan tidak akan menger t i w alaupun hanya satu kata saja. Sekalipun ia mengulang-ulang penginderaannya sampai sejuta kali, tetap ia tidak akan mengerti, sampai ia memiliki data (pengetahuan) tentang bahasa Asyria dan yang terkait dengan bahasa Asyria. Ketika itulah, baru ia bisa berpikir dan mengerti. Dengan demikian, kami berpendapat bahwa penting sekali adanya ma'lumat sabiqah pada diri manusia. Oleh karena itu, adanya ma'lumat sabiqah merupakan syarat mendasar dan fundamental untuk terjadinya proses berpikir, yakni syarat mendasar dan fundamental bagi akal. Dan, jika ma'lumat sabiqah itu bukan merupakan syarat mendasar dan fundamental, tentu keledai juga punya akal. Sebab, keledai punya otak, fakta memantul ke otaknya, yakni keledai juga mengindera fakta. Orang-orang dahulu kala berkata, bahwa manusia hewan yang berbicara, yakni hewan yang berpikir, sebab berpikir atau akal khusus bagi manusia. Selain manusia tidak memiliki akal, dan tidak memiliki kemampuan berpikir. 16
b. Definisi Akal Menurut Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir mendefinisikan akal, bahwa akah adalah transfer hasil penginderaan fakta melalui indera ke otak, serta adanya ma'lumat sabiqah (data-data atau pengetahuan yang telah dimilikinya) yang ber fungsi menjelaskan fakta ini. 17 Menurut Hizbut Tahrir al-Aql , al-Fikr dan al-Idrak memiliki makna yang sama. Semuanya mer upakan kata-kata yang digunakan untuk satu nama (pengertian). Terkadang, disebutkan kata al- fikr, sedang yang dimaksud at -t afkir , yakni proses berpikir itu sendiri. Dan terkadang, maksudnya adalah hasil berpikir, yakni apa yang dicapai manusia
16 Lihat. N izhom al-Islam , hlm. 40; M afahim H izb at -Tahrir, hlm. 20; asy-Syakhshiyah al-Islamiyah , vol. I, hlm. 122; al-Fikr al-Islami , hlm. 44 - 49; Izalah al-At rubah an al- Judur , hlm. 27; N ida' H ar ila al-M uslimin
min H izb at -Tahrir , dikeluarkan H izbut Tahrir, Khart oum, 20 Rabi'ul Akhir 1385 H./17 Desember 1965 M., hlm. 17, 18; dan at -Tafkir , hlm. 8 - 19. 17 Lihat. At -Tafkir , hlm. 26; N izhom al-Islam , hlm. 42; M afahim H izb at -Tahrir , hlm. 20; asy-Syakhshiyah al- Islamiyah , vol. I, hlm. 122; al-Fikr al-Islami , hlm. 44, 46; Izalah al-At rubah an al- Judur , hlm. 27; dan N ida' H ar , hlm. 18.
Tahrir terhadap akal: Pertama, fakta yang terkait dengan berpikir. Kedua, ma'lumat sabiqah (data-data atau pengetahuan yang telah dimilikinya) yang berfungsi menjelaskan fakta.
Adapun tentang ma'lumat sabiqah (data-data yang telah dimilikinya), maka hal ini telah dibicarakan ketika membahas tentang evaluasi Hizbut Tahrir terhadap usaha-usaha pendefinisian akal. Sedangkan fakta yang terkait dengan berpikir, maka hal ini meliputi fakta yang terindera, kesan dari fakta yang terindera, fakta yang tergambar dalam benak bahwa fakta itu ada, artinya fakta tersebut bukanlah hayalan, atau hipotesa-hipotesa yang tidak memiliki fakta.
Sedangkan, yang dimaksud dengan fakta yang terindera adalah setiap sesuatu yang terjangkau oleh indera manusia secara langsung. Terkait fakta yang seperti ini tentu tidak ada masalah. Adapun terkait dengan kesan dari fakta, maka di sana terdapat perkara-perkara atau sesuatu- sesuatu yang memiliki fakta, hanya saja indera manusia tidak dapat menjangkaunya, sementara yang terjangkau oleh indera adalah kesannya saja. Terkait perkara-perkara dalam jenis ini, mungkin saja dilakukan proses berpikir, yakni bisa menghasilkan proses berpikir. Sebab, kesan dari sesutau merupakan bagian dari adanya sesuatu itu. Sesuatu yang kesannya dapat dijangkau indera, berarti keberadaannya telah terjangkau oleh indera. Oleh karena itu, dibenarkan berpikir terkait perkara-perkara seperti ini, dan dibenarkan berpikir tentang keberadaannya secara mutlak. N amun, yang dibenarkan adalah berpikir tentang keberadaannya bukan tentang hakikat zatnya. Sebab, yang ditransfer ke otak melalui indera hanyalah kesannya, sem ent ar a kesannya it u hanya m enunj ukkan pada keber adaannya saja. D an tidak menunjukkan pada hakikat zatnya. Misalnya, kalau sebuah kapal terbang dengan sangat tinggi sekali, sehingga tidak terlihat oleh mata, namun suaranya terdengar oleh telinga. Maka, kapal yang demikian itu dapat diindera manusia melalui suaranya, sedang suara ini menunjukkan adanya sesuatu, yakni menunjukkan adanya kapal. Dan tidak mungkin menunjukkan pada hakikat zat kapal tersebut. 19
Sedangkan, fakta yang tergambar dalam benak bahwa fakta itu ada, maka akan dikaji ketika membahas tentang berpikir mengenai al-mughibat (perkara-perkara yang tidak terjangkau indera). Disebutkan bahwa di sana ada al-mughibat (perkara-perkara yang tidak terjangkau indera),
18 Lihat. At -Tafkir , hlm. 26; dan al-Fikr al-Islami , hlm. 44, 46. 19 Lihat. Al- Fikr al-Islami, hlm. 45; at -Tafkir , hlm. 59, 62; dan Izalah al-At rubah an al- Judur , hlm.27.
Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200
Berdasarkan semua ini, maka sejarah diangap pemikiran, meski rekamannya, atau pembicaranya telah berlangsung (terjadi) beribu-ribu tahun yang lalu. Pengetahuan-pengetahuan klasik (kuno) dianggap pemikiran, dan bekerjanya otak untuk hal ini dianggap berpikir, meski telah berlangsung (terjadi) beribu-ribu tahun yang lalu. Begitu juga berita- berita yang disampaikan melalui telegram dikatakan pemikiran, dan bekerjanya otak untuk hal ini dianggap berpikir, meski datangnya dari tempat yang jauh. Fakta yang tidak terlihat oleh orang yang berpikir, tidak berarti fakta tersebut termasuk al-mughibat (perkara-perkara yang tidak terjangkau indera), ia tetap merupakan perkara-perkara yang terindera. Sebab, penginderaan tidak disyaratkan bagi orang yang berpikir. N amun, t er kadang fakt a it u sampai kepada or ang yang ber pikir melalui pemberitaan, lalu ia mendengarnya, membacanya, atau dibacakannya.
Adapun perkara-perkara yang tidak terjangkau oleh indera, maka Hizbut Tahr ir menjelaskan, bahwa inilah yang dinamakan dengan al- mughibat . Dalam hal ini perlu diperhatikan, jika al-mughibat itu datang, sedang adanya dan kebenarannya dibuktikan dengan dalil yang pasti ( qat h'iy ), maka ia termasuk pemikiran, dan bekerjanya otak untuk hal ini dianggap berpikir, baik perkara ini datangnya benar-benar sah melalui jalan yang pasti ( qat h'iy ), maupun melalui jalan dugaan kuat ( ghalabah adz-dzan ). Sementara, jika al-mughibat itu datang, sedang adanya tidak dapat dipastikan, begitu juga dengan kebenarannya, maka ia tidak termasuk pemikiran, dan bekerjanya otak untuk hal ini tidak dianggap berpikir,
sesuatu itu ada, adalah khusus mengenai fakta yang sampai kepada seseorang melalui pemberitaan, bukan yang diinderanya langsung, atau fakta yang kesannya dijangkau oleh indera. Fakta dalam jenis ini terbagi menjadi dua: Pertama, fakta yang tidak terlihat oleh indera orang yang berpikir, namun orang lain menginderanya, yang selanjutnya disampaikan pada orang yang berpikir. Kedua, fakta yang memang tidak terlihat oleh indera. Untuk fakta yang seperti ini membutukah penyampaian, dimana adanya dan kebenarannya dapat dibuktikan dengan pasti ( qat h'iy ).
Bagaimanapun faktanya, maka Hizbut Tahrir mensyaratkan dalam proses berpikir apapun harus memenuhi empat perkara: otak yang sehat untuk penghubung fakta, panca indera atau salah satu darinya, fakta yang terindera atau kesannya (obyek), dan ma'lumat sabiqah (data-data atau pengetahuan yang telah dimiliki) yang berfungsi menjelaskan fakta. Jika salah satu dari keempat perkara ini ada yang tidak ada, maka secara mutlak di sana tidak mungkin ada proses berpikir. 21
c. Metode Menghasilkan Proses Berpikir
Hizbut Tahrir berpendapat bahwa pikiran itu timbul dalam diri manusia melalui konjugasi (penghubungan) fakta yang terindera dengan data-data (pengetahuan) yang telah dimilikinya. Apabila disodorkan kepada manusia barang-barang tertentu, yang belum dikenalnya sama sekali, seperti apel, api dan sebagainya, maka gambaran fakta yang terindera ini ditransfer ke otak melalui indera. Gambaran yang dihasilkannya ini sesuai dengan indera yang mentransfer fakta. Jika mata, maka yang ditransfer adalah gambaran fisik; jika telinga, maka yang ditransfer adalah gambaran suaranya; dan jika hidung, maka yang ditransfer adalah gambaran baunya. Begitulah, dimana fakta itu digambarkan seperti apa yang ditransfer ke otak, yakni sesuai dengan gambaran yang ditransfernya. Apabila ia diminta untuk mengenali salah satu dari benda-benda yang disodorkan kepadanya, atau mengenali namanya, benda ini apa, maka sesunguhnya ia tidak akan mengerti sedikit pun, dan tidak mungkin mengetahuinya. Sebab tidak terjadi proses berpikir, dan tidak ada pada dirinya proses berpikir apapun terhadap benda yang manapun. Sementara yang terjadi padanya hanyalah penginderaan terhadap fakta saja, dari aspek apakah fakta itu memuaskan
15 Lihat. Asy-Syakhshiyah al- Islamiyah , vol. I, hlm. 12; al- Fikr al- Islami , hlm. 64, 65, 68; dan at -Tafkir , hlm. 65, 67.
16 Lihat . Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, vol. I, hlm. 12; al-Fikr al-Islami, hlm. 64, 65, 68; at-Tafkir, hlm. 25, 26; dan Izalah al-Atrubah an al- Judur, hlm. 27.
Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200
manusia dan hewan. Begit u juga, apabila diber ikan kepada seseor ang dat a-dat a (pengetahuan) tentang benda-benda, dan nama-namanya, namun tidak dihubungkan dengan faktanya, bahka ia telah menghafalnya dengan baik sekali, maka yang terjadi, ia hanya bisa menyebutnya seperti adanya, dan tidak terjadi padanya proses berpikir, meskipun disodorkan kepadanya sesuat u, setelah ia menghafalnya dan set elah memper oleh dat a (pengetahuan), sesungguhnya tidak akan terjadi padanya proses berpikir apapun. Sebab, ia tidak diberi data-data (pengetahuan) yang disertai dengan fakta yang ditunjukkannya, sehingga apa yang dimilikinya itu tetap hanya sekedar data (pengetahuan) saja.
Adapun, apabila disodorkan kepada seseorang beragam benda, sambil dikatakan kepadanya, ini apel, apel ini bisa dimakan; ini api, api ini bisa membakar; dan seterusnya, maka padanya terjadi proses berpikir tentang benda-benda tersebut, sebab penginderaannya terhadap fakta disertai dengan data-data (pengetahuan) yang dimilikinya, baik data-data (pengetahuan) itu diperolehnya pada saat penginderaan terhadap fakta, seperti contoh di atas, maupun diperolehnya sebelum penginderaan terhadap fakta, seperti seseorang yang sebelumnya telah memiliki data (pengetahuan) bahwa apel itu bisa dimakan, baru kemudian disodorkan kepadanya sesutau dan dikatakan ini apel, atau sebelumnya ia telah mengindera fakta tersebut. Seperti itu juga, kalau disodorkan kepadanya sesutau dan dikatakan ini apel, tidak lama kemudian ada orang lain yang berkata kepadanya sesungguhnya apel itu bisa dimakan, maka pada seseorang tersebut berlangsung aktivitas penghubungan (konjugasi) antara fakta yang terindera dengan data-data yang telah dimilikinya, dan di situlah akan dihasilkan pemikiran. Ini artinya, bahwa di sana ada perbedaan antara eksisntensi sesuatu itu dapat memuaskan atau tidak, maka ia hanya sekedar penginderaan hasil dari identifikasi naluri, dengan eksisntensi sesuatu itu adalah apel, dapat memuaskan dan dapat dimakan, maka ia
___________________ 22 Penggunaan kat a ident ifikasi naluri dalam hal ini termasuk katagori at -t aghlib (mengutamakan salah
satu dari dua kata atas kata yang lain). Sebab, di antara perkara-perkara ini ada yang kembali pada al- H ajat al-Udhawiyah (kebut uhan-kebut uhan jasmani), dan di ant aranya lagi kembali pada al- Gharaiz (naluri-naluri).
dengan cara menghubungkan data-data dengan fakta ketika membangun pemikiran, atau menyampaikan pemikiran-pemikiran melalu fakta yang terindera oleh orang yang sedang mengambil pemikiran, sehingga data- data (pengetahuan) itu nyambung dengan fakta. Dengan begitu, akan
terbentuklah proses berpikir". 24
d. Hasil Berfikir
Sebelumnya telah disebutkan bahwa al-fikr (pemikiran) terkadang disebutkan, namun yang dimaksud dengannya adalah at -t afkir (berpikir), yakni proses berpikir itu sendiri. Dan terkadang al-fikr (pemikiran) itu disebutkan, namun yang dimaksud dengannya adalah nat ijah at -t afkir ( hasil berpikir), yakni sesuatu yang diperoleh manusia dari proses berpikir. Hanya saja manusia, terkadang terdorong untuk berpikir, namun ada yang tidak beres dengan salah satu dari rukun-rukun proses berpikir, sehingga tidak sampai pada hasil, seperti tidak adanya data-data (pengetahuan) yang telah milikinya, maka penginderaannya terhadap fakta hanya sekedar penginderaan, atau ia telah memiliki data-data (pengetahuan) terlebih dahulu, namun data-data itu tidak dihubungkan dengan fakta, agar menghasilkan proses berpikir, serta menghasilkan pemikiran, sehingga data-data yang dimilikinya pun hanya sekedar pengetahuan juga.
Terkadang, dar i proses berpikir itu manusia sampai pada hasil (pemikiran) tertentu. Dan pemikiran yang dihasilkannya itu pun beragam, ada yang definit if (sudah pasti), ada yang asumt if (masih dugaan), ada yang benar, dan ada yang salah. Sebab, hasil berpikir itu sesuai penginderaan yang ditransfer ke otak, serta sesuai data-data yang berfungsi menjelaskan fakta. Apabila penginderaan terhadap fakta dan data-data yang berfungsi menjelaskan fakta itu qat h'iy (pasti), maka hasil berpikir pun juga pasti ( definit if) . Dan apabila zhonniy (dugaan), maka hasilnya pun juga dugaan ( asumt if ). Ketika hasil ber pikir itu masih dugaan ( asumt if ), maka kemungkinan salah dan benar masih terbuka lebar. Sebab, hasil berpikir tergantung pada fakta yang terindera beserta data-data, sehingga dalam hal ini, adanya kesalahan hasil berpikir sangat mungkin sekali. Kesalahan hasil berpikir ini banyak terlihat pada sebagian besar pemikiran-pemikiran filsafat, pada sebagian sekte (aliran) yang dinisbatkan pada Islam, seperti
23 Lihat. N izhom al- Islam , hlm. 42; al-Fikr al-Islami, hlm. 45 - 49; N ida' H ar, hlm. 18; dan at -Tafkir , hlm. 20 - 24.
24 Lihat. Al-Fikr al-Islami , hlm. 49.
Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200
Jabariyah dan lainnya, begitu juga halnya dengan sebagian besar pemikiran- pemikiran modern yang dibangun di atas pemikiran komunisme dan kapitalisme. 25
e. Pemikiran Dasar dan Pemikiran Cabang
Hizbut Tahrir membagi pemikiran menjadi dua jenis, yaitu pemikiran dasar, dan pemikiran cabang. Adapaun pemikiran dasar adalah pemikiran yang secara mutlak tidak ada pemikiran lain sebelumnya, dimana darinya dan diatasnya dibangun pemikiran-pemikiran lain. Hizbut Tahrir berpendapat bahwa pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta (cosmos), manusia dan kehidupan mer upakan pemikiran dasar, yaitu akidah. Hanya saja, dalam akidah disyaratkan agar menjadi pemikiran dasar, yang darinya lahir pemikiran, dan diatasnya dibangun pemikiran, hendaknya pemikiran itu hasil dari kajian rasional ( bahs[ un] aqliy[ un] ), yakni manusia sampai pada pemikiran itu melalui jalan akal (proses berpikir rasional). Sementara, apabila akidah itu sifatnya t aslim[ an] dan t a’qiy[ an] (dogmatis), maka akidah itu bukan pemikiran, dan tidak dinamakan pemikiran menyeluruh, meski sah-sah saja dinamakan akidah. Sedangkan pemikiran cabang adalah pemikiran- pemikiran yang lahir dari pemikiran dasar dan dibangun diatas pemikiran dasar, yaitu berupa solusi-solusi yang mengatur penyelesaian persoalan- persoalan manusia yang kompleks. 26
Berdasarkan semua itu, maka pengharaman riba, dalam sistem Is- lam, misalnya, adalah pemikiran cabang yang dibangun dan lahir dari keimanan kepada Allah SWT., al-Qur'an al-Karim, dan Rasulullah SAW.. Tidak mungkin mengatakan haramnya riba jika tidak beriman kepada apa yang disebutkan di atas. Pemikir an bahw a manusia adalah yang membuat sistem (aturan) yang akan dijalankannya di tengah-tengah masyarakat merupakan pemikiran cabang dari pemikiran dasar dalam kapitalisme, yang menyatakan bahwa Allah SWT. adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, namun tidak Maha Mengatur, yakni fashluddin anil hayah (memisahkan agama dari kehidupan).
f. Tingkatan Berpikir Hizbut Tahrir membagi berpikir menjadi tiga tingkatan, as-sat hhiy (dangkal), al-amiq (mendalam), dan al-must anir (cemerlang).
20 Lihat. Tesis ini halaman 201; M afahim H izb at -Tahrir , hlm. 60; asy-Syakhshiyah al-Islamiyah , vol. I, hlm. 15; al-Fikr al- Islami , hlm. 46, 48, 68, 70, 79, 90; dan at -Tafkir , hlm. 29, 48, 56, 82, 86, 142.
21 Lihat. N izhom al-Islam , hlm. 4, 5, 12, 24, 25; asy-Syakhshiyah al-Islamiyah , vol. I, hlm. 15, 196; al-Fikr al-Islami , hlm. 7; dan M uqaddimah ad-D ust ur , hlm. 18.
Adapun ber pikir dangkal ( at - t afkir as-sat hhiy ) adalah hanya mentransfer fakta saja ke otak tanpa mengkaji yang lainnya, tanpa ber usaha m enginder a apa yang t er kait dengannya, dan hanya menghubungkan penginder aan ini dengan dat a-dat a yang t er kait dengannya saja, tanpa mengkaji data-data lain yang juga berhubungan dengannya. Kemudian dikeluarkanlah keputusan yang sifatnya dangkal.
Sedangkan berpikir mendalam ( at -t afkir al-amiq ) adalah mendalam dalam berpikir, yakni mendalam dalam mengindera fakta, serta mendalam mengenai data-data yang dihubungkan dengan penginderaan ini untuk bisa memahami fakta dengan baik.
Sementara berpikir cemerlang ( at -t afkir al-must anir ) adalah berpikir mendalam itu sendiri, ditambah berpikir tentang apa saja yang ada di sekitar fakta, dan apa saja yang terkait dengan fakta untuk bisa sampai pada kesimpulan (pemikiran) yang benar. Artinya, berpikir mendalam adalah ber pikir nya itu sendir i sudah mendalam. N amun, ber pikir cemerlang, disamping mendalam dalam berpikir, juga berpikir tentang apa saja yang ada di sekitarnya dan apa saja yang terkait dengannya, untuk tujuan tertentu, yaitu sampainya pada hasil (kesimpulan) yang benar. Oleh karena itu, setiap berpikir cemerlang adalah berpikir mendalam, dan tidaklah mungkin berpikir cemerlang datang dari berpikir dangkal. Hanya saja, tidak setiap berpikir mendalam adalah berpikir cemerlang. Misalnya, seorang ahli atom ketika meneliti tentang pembelahan atom, seorang ahli kimia ketika meneliti tentang komposisi (susunan) benda, dan seterusnya, maka sesungguhnya mereka, dan orang-orang yang seperti mereka adalah sangat mendalam ketika sedang meneliti sesuatu, sebab kalau tidak mendalam tentu mereka tidak sampai pada hasil-hasil yang gemilang. N amun, ini tidak berarti bahwa berpikirnya mereka adalah berpikir cemerlang, sebab tidak sedikit kami temukan bahwa ada seorang ahli atom yang menyembah potongan kayu, padahal dengan berpikir cemerlang tampak sekali bahwa potongan kayu itu tidak memberikan manfaat dan tidak mendatangkan mudarat. Dengan begitu, ia bukan sesuatu yang pantas untuk disembah. 27
g. Metode Berpikir Rasional Adalah Metode al-Qur'an
Hizbut Tahrir menetapkan bahwa metode berpikir rasional adalah metode al-Qur'an. Selanjutnya, sebagai metode Islam. Sebab, sepintas melihat al-Qur'an tampak sekali bahwa al-Qur'an menempuh metode ini. Allah SWT. berfirman:
__________________ 27 Lihat. At -Tafkir , hlm. 105, 113.
Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200
"M ak a hendakl ah m anusia mem per hat i kan dari apak ah di a dicipt akan?" 28
Allah SWT. berfirman:
"M aka apakah mereka t idak memperhat ikan unt a bagaimana dia dicipt akan". 29
Allah SWT. berfirman:
"Allah sekali-kali t idak mempunyai anak, dan sekali-kali t idak ada t uhan (yang lain) besert a-Nya, kalau ada t uhan besert a-Nya, masing-masing t uhan it u akan membawa makhluk yang dicipt akannya, dan sebagian dari t uhan- t uhan it u akan mengalahkan sebagian yang lain. M aha Suci Allah dari apa yang mereka sifat kan it u". 30
D an masih banyak lagi ayat-ayat yang lainnya, yang semuanya memerintahkan penggunaan indera untuk mentransfer fakta agar manusia sampai pada kesimpulan (pemikiran) yang benar dan definitif (pasti). 31
h. Berpikir yang boleh menggunakan akal dan yang tidak Meskipun telah jelas, bahwa berpikir yang bagaimana yang boleh menggunakan akal dan yang tidak. Hanya saja Hizbut Tahrir masih melihat ada banyak kompleksitas, dan tergelincirnya banyak orang, sekalipun ia seorang intelektual. Sebab, makna akal-seperi yang dipahami Hizbut Tahrir-menuntut kejelasan, bahwa berpikir hanya terjadi pada fakta yang terindera saja, atau pada kesannya. Sehingga, tidak benar berpikir pada
__________________ 28 Q S. Ath-Thariq [86] : 5.
29 Q S. Al-Ghasyiyah [88] : 17. 30 QS. Mu'minin [23] : 91. 31 Lihat. Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah , vol. I, hlm. 52, 123; dan at -Tafkir , hlm. 55.
Misalnya, per nyat aan tent ang akal per t ama, akal kedua dan seterusnya adalah hanya sekedar hayalan dan asumsi, semuanya bukan fakta yang terjangkau indera, bahkan tidak mungkin terjangkau indera. Karena itu, hayalan tetaplah hayalan; asumsi tetaplah asumsi teoritis, dan hasil yang dicapaipun bukan hasil dari proses berpikir rasional. Sebab, berhayal tidak sama dengan berpikir. Begitu juga membangun bukti-bukti logis atas sifat-sifat Allah SWT. dan semua yang sejenis dengan itu, meski dalam hal ini telah disusun langkah-langkah kajian rasional dan bukti-bukti rasional, maka ia tetap bukan pemikiran, dan bukan hasil berpikir. Sebab, dalam hal ini tidak terjadi proses berpikir. Karena yang dikaji adalah sesuatu
yang tidak dijangkau oleh akal. 32 O r ang yang mengkaji t er bit an-t er bit an H izbut Tahr ir akan
menemukan metode berpikir ini dengan jelas, serta akan menemukan dorongan penggunaan akal, sekaligus juga larangan penggunaan akal pada sesuatu yang memang tidak boleh menggunakan akal, misalnya, setelah Hizbut Tahrir menjelaskan pentingnya penggunaan akal untuk sampai pada iman kepada Allah SWT., Hizbut Tahrir melarang penggunaan akal pada sesuatu yang tidak ter jangkau akal, atau sesuatu yang berada diluar jangkauan indera dan akal. Alasan Hizbut Tahrir, bahwa akal manusia sangat terbatas. Sementara, sesuatu yang kekuatannya terbatas, betapapun tinggi dan besarnya, akal tetap tidak akan mampu keluar dari keterbatasannya. Oleh karena itu, akal manusia kemampuan dan jangkauannya terbatas. Sehingga, mustahil akal manusia yang terbatas mampu menjangkau Zat
32 Lihat. Asy-Syakhshiyah al- Islamiyah , vol. I, hlm. 122; al- Fikr al- Islami , hlm. 45, at -Tafkir , hlm. 57, 59; dan Izalah al-At rubah an al- Judur , hlm. 27.
Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200
Allah, dan memahami hakikat-N ya. Sebab, Allah berada dibalik alam semesta, manusia, dam kehidupan. Sedang, akal manusia tidak mampu menjangkau hakikat sesuatu yang ada dibalik manusia. Oleh karena itu, akal manusia mustahil mampu menjangkau Zat Allah SWT..
Sedangkan unt uk menjaw ab ker aguan, "Bagaimana mungkin beriman kepada Allah secara akal (rasional), sementara akal manusia tidak mampu menjangkau Zat Allah?" Hizbut Tahrir menjawabnya, iman kepada Allah adalah iman dengan adanya Allah, sementara adanya Allah dapat dijangkau akal, melalui adanya makhluk-makhluk-N ya, yaitu alam semesta, manusia dan kehidupan. Makhluk-makhluk ini masuk kedalam batas-batas (wilayah) yang dijangkau akal, sehingga akal mampu menjangkaunya. Dengan akal mampu menjangkaunya, maka akal pun menjangkau adanya yang menciptakannya, yaitu Allah SWT.. Untuk itu, beriman terhadap adanya Allah adalah rasional, dan berada dalam batas-batas (wilayah) jangkauan akal. Berbeda dengan menjangkau Zat Allah, sesungguhnya itu hal yang mustahil, sebab Zat Allah berada dibalik alam semesta, manusia dan kehidupan. Dengan begitu, Zat Allah berada dibalik akal, sedang akal tidak mungkin menjangkau hakikat sesuatu yang ada dibalik akal. Mengingat, keterbatasan akal untuk menjangkau sesuatu yang ada di luar
jangkauannya. 33 Begitu juga, setelah ditetapkan bahwa iman kepada Allah, al-Qur'an
dan Rasul itu berdasarkan dalil aqliy (rasional), Hizbut Tahrir menyatakan: Setelah iman kepada Allah, al-Qur'an dan Rasul ini benar-benar telah ditetapkan dan dibuktikan, dan beriman kepadanya meruapakan suatu keharusan, maka bagi setiap Muslim harus beriman juga dengan seluruh syari'at Islam. Sebab, semuanya terdapat di dalam al-Qur'an al-Karim, dan dibawa oleh Rasulullah SAW.. Jika tidak, maka ia kafir. Oleh karena itu, mengingkari hukum-hukum syara' secara totalitas (keseluruhan), atau hukum-hukum qat h'iy (definitif) secara terperinci, dapat menyebabkan kekafiran, baik hukum-hukum itu terkait dengan persoalan-persoalan ibadah, muamalah (kepentingan bersama), ukubat (sanksi) maupun yang terkait dengan makanan. Dengan demikian, mengingkari ayat:
"Dan dirikanlah shalat ". 34
Maka hukumnya sama seperti mengingkari ayat:
33 Lihat. N izhom al-Islam, hlm. 8. 34 QS. Al-Baqarah [2] : 43.
"Allah t elah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba". 35
Juga, hukumnya sama seperti mengingkari ayat:
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, pot onglah t angan keduanya". 36
Beriman terhadap syari'at tidak tergantung dengan akal, yakni rasional (diterima akal) atau tidak. N amun, dalam hal ini harus menerima (tunduk) secara mutlak dengan semua yang datang dari Allah SWT.. 37
Kemudian, disebutkan firman Allah SWT.:
"M aka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekat nya) t idak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka t idak merasa keberat an dalam hat i mereka t erhadap put usan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya". 38
Hizbut Tahrir juga menyatakan: Adapun hukum-hukum syara', maka dalilnya tidak ada lain, selain dalil sam'iy (wahyu). Akal tidak boleh dijadikan dalil untuk hukum-hukum syara'. Sebab, menetapkan dalil untuk suatu hukum, berarti menetapkan bahwa hukum itu ada berdasarkan dalil, yakni menetapkan bahwa hukum itu termasuk di antara yang dibawa oleh wahyu. Maka, menjadikan akal sebagai dalil atas suatu hukum, berarti tidak menetapkan hukum berdasarkan wahyu, melaikan menetapkan hukum berdasarkan akal. Dengan begitu, hukum itu tidak lagi syar'iy (hukum syara'), melainkan aqliy (hukum akal). Agar hukum itu dikatakan syar'iy (hukum syar a'), maka har us dit et apkan bahw a hukum it u berdasarkan dalil syara', yakni berdasarkan wahyu. Dan hal semacam ini _________________
35 QS. Al-Baqarah [2] : 275. 36 QS. Al-Maidah [5] : 38. 37 Lihat. N izhom al-Islam , hlm. 13. 38 QS. An-N isa' [4] : 65.
Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200
(wahyu). 39
Sementara fungsi akal terhadap nash-nash syara' (al-Qur'am dan as- Sunnah), maka Hizbut Tahrir membatasinya dengan menyatakan: Benar, sesungguhnya beriman, bahwa al-Qur'an itu kalamullah (firman Allah) dibangun berdasarkan akal saja. N amun, al-Qur'an itu sendiri setelah diimaninya menjadi asas keimanan untuk setiap yang terdapat di dalamnya, dan bukan lagi akal. Dengan demikian, apabila terdapat ayat-ayat dalam al-Qur'an, maka tentang benar tidaknya kandungan ayat-ayat tersebut, tidak boleh diputuskan oleh akal, namun diputuskan oleh ayat-ayat itu sendiri, sebab dalam hal ini, fungsi akal hanya untuk memahaminya saja. 40
M eskipun m et ode H i zbut Tahr ir begit u jelasnya dal am menempatkan akal dan dalam membatasi pengertiannya, namun ada sebagian penulis yang menuduh bahwa Hizbut Tahrir telah memberikan akal fungsi yang lebih dalam membentuk kepribadian dan dalam aspek- aspek akidah. Hizbut Tahrir lebih mengedepankan akal dari pada naql (wahyu). Bahkan, Hizbut Tahrir menolak selain akal sebagai dalil keimanan terhadap adanya Allah, eksistensi al-Qur'an sebagai wahyu (firman) Al- lah, dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah. 41
Bagi seor ang penelit i yang jujur dan adil tidak akan per nah menemukan fakta apapun terkait tuduhan yang diarahkan kepada Hizbut Tahrir ini, sebab Hizbut Tahrir telah mengkaji tentang konsep akal, menjelaskan faktanya, definisinya, serta cara menghasilkan proses berpikir. Dalam menyoroti persoalan ini, Hizbut Tahrir telah membatasi peranan akal, yaitu digunakan hanya untuk fakta-fakta yang terindera saja, dan mustahil digunakan untuk selain itu. Sesungguhnya, peran akal terbatas hanya untuk memahami nash-nash syara', setelah manusia mewujudkan (membuktikan) keimanannya kepada Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagai N abi dan Rasul, dan al-Qur'an kalamullah (firman Allah) melalui jalan akal. Begitu juga halnya dengan kecaman terhadap Hizbut Tahrir, sebab Hizbut Tahrir menyatakan bahwa iman kepada Allah, Rasul dan al- Qur'an tidak mungkin terwjudkan selain dari jalan akal. Maka, ini justru merupakan sikap yang aneh dan mengherankan jika kecaman itu datang dari mereka, para penulis. Sebab, bagaimana mungkin iman terhadap adanya Allah Yang Maha Pencipta melalui jalan naql (wahyu)! Apakah
39 Lihat . Izalah al-Atrubah an al- Judur, hlm. 10. 40 Lihat . Asy-Syakhshiyah, vol. I, hlm. 64. 41 Lihat. H izb at-Tahrir (Munaqasah Ilmiyah li Ahammi Mabadi' al-Ashriyah), hlm. 11, 35; Jamaat al- Islamiyah fi D hau'i al-Kit ab w a as-Sunnah, Salim al-H ilali, Markaz ad-D irasat al-Manhajiyah as- Salafiyah, cet . VI, 1419 H./1998 M., hlm. 293; at h-Thariq ila Jama'ah al-Muslimin, Tesis Master, Husein Muhammad Jabir, D ar ad-Da'w ah, Kuw ait , tanpa t ahun, hlm. 302, 314; dan al-Mausu'ah al- Muyassarah fi al-Adyan w a al-Madzahib al-Mu'ashirah, hlm. 138.
Tampak sekali bagi saya, bahwa sebagian mereka, para penulis tidak membedakan antara berargumentasi dengan al-Qur'an dan as-Sunnah an-N abawiyah untuk menetapkan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta, dengan mengunakan dalil-dalil rasional ( aqliyah ) yang disebutkan al-Qur'an al-Karim untuk membangun argumentasi (membuktikan) kepada mereka, orang-orang yang mengingkari adanya Tuhan Yang Maha Pencipta. Ayat- ayat ini, yang dijadikan dasar penar ikan kesimpulan ( ist idlal ) untuk menetapkan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta, bukan termasuk konklusi melalui dalil sam'iy (wahyu) atas penetapan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta, namun termasuk konklusi melalui dalil aqliy (rasional) yang telah disebutkan al-Qur'an. Sebagaimana firman Allah SWT.:
"Sesungguhnya dalam pencipt aan langit dan bumi, silih bergant inya malam dan siang, baht era yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah t urunkan dari langit berupa air, lalu dengan air it u Dia hidupkan bumi sesudah mat i (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi it u segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan ant ara langit dan bumi; Sungguh (t erdapat ) t anda-t anda
Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200
(keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan". 42
Hizbut Tahrir telah menempuh metode ini lebih dari satu tempat di antara buku-buku yang dikeluarkannya. 43