Dalil-dalil Hukum (Al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma' Shahabat dan Qiyas)

2. Dalil-dalil Hukum (Al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma' Shahabat dan Qiyas)

Hizbut Tahrir berpendapat berdasarkan pengkajian dan penelitian terhadap nash-nash syara', jelaslah bahwa dalil-dalil yang ke- hujjah -annya tegak di atas dalil yang qat h'iy (definitif) ada empat, tidak lebih. Yaitu al- Qur'an, as-Sunnah, Ijma' Shahabat dan Qiyas yang memiliki illat yang ditunjukkan oleh nash syara'. Dan selain dari yang empat ini tidak dianggap sebagai dalil-dalil syara'. Sebab tidak dibangun di atas dalil-dalil yang qath'iy. Berdasarkan hal itu, maka pokok-pokok (sumber) hukum syara', yakni dalil-dalil hukum-dalam pandangan Hizbut Tahrir-terbatas pada empat sumber ini saja. Dan selain yang empat ini tidak dianggap sebagai dalil-

28 Lihat: Asy- Syakhshiyah al-Islamiyah , vol. III, hlm. 66, 67, 404. 29 Lihat: Al-M uwafaqat , vol. I, hlm. 29, 31; dan Ijabah as- Sa'il , hlm, 103.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

Dalil Pertama: Al-Qur'an

Sesungguhnya kemu'jizatan al-Qur'an merupakan dalil yang qat h'iy bahwa al-Qur'am merupakan kalam (firman) Allah, bukan berasal dari perkataan manusia. Dalil yang qat h'iy menyakini bahwa al-Qur'an kalam (firman) Allah. Al-Qur'an yang merupakan kalam (firman) Allah dengan pasti menyebutkan bahwa wahyu telah diturunkan kepada Rasulullah SAW.. Allah SWT. berfirman:

"Dan Al Qur'an ini diwahyukan kepadaku". 31

Dan firman-N ya:

"Kat akanlah (hai M uhammad): 'Sesungguhnya aku hanya memberi peringat an kepada kamu sekalian dengan wahyu'." 32

Dan firman-N ya:

"Thaahaa. Kami t idak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah". 33

Dan firman-N ya:

"Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Qur'an dari sisi (Al-

30 Lihat: Asy-Syakhshiyah al- Islamiyah , vol. III, hlm. 67; dan M uqaddimah ad-D ust ur , hlm. 47. 31 QS. Al-An'am [6] : 19. 32 QS. Al-Anbiya' [21] : 45. 33 Q S. Thaha [20] : 1-2.

Dan firman-N ya:

"Sesungguhnya Kami t elah menurunkan Al Qur'an kepadamu (hai M uhammad) dengan berangsur-angsur." 35

Dan firman-N ya:

"Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al Qur'an dalam bahasa Arab." 36

Semua ini merupakan dalil-dalil yang qat h'iy (definitif) bahwa al- Qur'an disampaikan melalui wahyu yang berasal dari Allah SWT.. 37

Dalil kedua: As-Sunnah

Dalil qat h'iy yang menunjukkan bahwa as-Sunnah termasuk wahyu. As-Sunnah maknanya dari Allah, sedang ungkapan lafadznya dari Rasulullah SAW.. Tentang bahwa as-Sunnah termasuk wahyu disebutkan dengan tegas dan jelas di dalam beberapa ayat al-Qur'an. Allah SWT. berfirman:

"Dan t iadalah yang diucapkannya it u (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya it u t iada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." 38

Dan firman-N ya:

34 QS. An-N aml [27] : 6. 35 QS. Al-Insan [76] : 23. 36 QS. Asy-Syura [42] : 7. 37 Lihat: M uqaddimah ad-D ust ur , hlm. 47; dan Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah , vol. III, hlm. 68, 72. 38 QS. An-N ajm [53] : 3-4.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

"Sesungguhnya Kami t elah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kam i t el ah m ember i kan wahyu k epada N uh dan nabi - nabi yang kemudiannya." 39

Dan firman-N ya:

"Kat akanlah: 'Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku'." 40

Dan firman-N ya:

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka t erimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka t inggalkanlah; dan bert akwalah kepada Al- lah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-N ya." 41

Ayat-ayat ini dan yang lainnya menunjukkan dengan tegas dan jelas bahwa as-Sunnah yang diucapkan Rasulullah SAW. tidak lain adalah wahyu dari Allah SWT.. Sebagaimana ditunjukkan dengan tegas dan jelas bahwa Allah SWT, memer intahkan kita agar menaati apa yang Rasulullah perintahkan; dan menjauhi apa yang kita dilarang oleh Rasulullah. Hal ini sifatnya umum. Dalil bahwa as-Sunnah datang melalui wahyu adalah dalil yang qat h'iy (definitif). Kedudukan as-Sunnah sebagai dalil ditetapkan ber dasar kan nash yang sumber nya past i ( qat h'iyut s t subut ), dan petunjuknya atau pengertiannya juga pasti ( qat h'iyud dalalah ). 42

Dalil ketiga: Ijma' Shahabat

Hizbut Tahrir berpendapat bahwa ijma' yang dianggap sebagai dalil syara' hanyalah ijma' shahabat bukan yang lain. Adapun ijma' selain mereka (shahabat) bukanlah dalil syara'. Sedangkan, dalil yang qat h'iy (definitif) tentang ke- hujjah -an ijma' shahabat, bahwa ijma' shahabat adalah ijma' yang diakui sebagai dalil syar a', maka untuk hal ini H izbut Tahr ir

39 QS. An-N isa' [4] : 163. 40 QS. Al-A'raf [7] : 203. 41 QS. Al-Hasyr [59] : 7. 42 Lihat: M uqaddimah ad- Dust u r, hlm. 48; dan Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah , vol. III, hlm. 73.

a. Adanya pujian terhadap mereka, baik dalam al-Qur'an maupun dalam al-Hadits. Adapun al-Qur'an, maka Allah SWT. berfirman:

"M uhammad it u adalah ut usan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras t erhadap orang-orang kafir, t et api berkasih sayang sesama mereka." 43

Dan firman-N ya:

"Orang-orang yang t erdahulu lagi yang pert ama-t ama (masuk Islam) di ant ara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikut i mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai- sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. It ulah kemenangan yang besar." 44

Dan ada beberapa ayat yang lainnya. Sedangkan hadits, maka dari Abi Sa'id al-Khudri berkata: Bersabda Rasulullah SAW.:

43 QS. Al-Fat h [48] : 29. 44 Q S. At -Taubah [9] : 100.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

"Akan dat ang kepada manusia suat u zaman, di mana ada sekelompok di ant ara manusia akan melakukan penyerangan. M ereka berkat a: 'Adakah di ant ara kalian orang yang menemani (menjadi shahabat ) Rasulullah SAW.' M ereka berkat a: 'Ya, ada.' Lalu mereka pun dimenangkan. Kemuadian, akan dat ang kepada manusia suat u zaman, di mana ada sekelompok di ant ara manusia akan melakukan penyerangan. M ereka berkat a: 'Adakah di ant ara kalian orang yang menemani para shahabat Rasulullah SAW. (t abi'in)' Mereka berkat a: 'Ya, ada' Lalu mereka pun dimenangkan. Kemuadian, akan dat ang kepada manusia suat u zaman, di mana ada sekelompok di ant ara manusia akan melakukan penyerangan. M ereka berkat a: 'Adakah di ant ara kalian orang yang menemani orang yang menemani para shahabat Rasulullah SAW. (tabi'ut tabi'in)' Mereka berkata: 'Ya, ada' Lalu mereka pun dimenangkan". 45

Rasulullah SAW. bersabda:

"Sesungguhnya Allah SW T. memilih para shahabat ku unt uk alam semest a selain para N abi dan Rasul". 46

Beliu juga bersabda:

"Tet aplah dan berpegang t eguhlah kepada Allah dengan mengikut i para shabat ku". 47

Pujian dari Allah SWT. dan Rasul-N ya ini menunjukkan bahwa perkataan mereka diperhitungkan; serta menunjukkan bahwa kebenaran mereka merupakan sesuatu yang pasti. Adanya pujian itu saja bukan dalil bahwa ijma' mereka adalah dalil syara'. N amun hal itu menjadi dalil bahwa kebenaran mereka merupakan sesuatu yang pasti. Dengan demikian, perkataan mereka itu diperhitungkan juga merupakan sesuatu yang pasti.

45 HR. Bukhari. Lihat: Shahih Bukhari , vol. III, hlm. 1335, 46 Dalam M ajma' az-Z awaid dikatakan: HR Bazzar. Para raw inya kepercayaan (tsiqah), namun beberapa diperselisihkan. Lihat: M ajma' az-Z awaid wa M anba' al-Fawaid , N uruddin Ali bin Abi Bakar al-Haitsami, Dar al-Fikr, Beirut, 1412 H., vol. IX , hlm. 736.

47 H R. Imam Ahmad dan yang lainnya. Lihat : M usnad al- Imam Ahmad , vol. V, hlm. 45. Syu'aib al- Arnauth berkat a sanadnya dlaif (lemah).

Sehingga, apabila mer eka ber sepakat at as suat u per kar a, maka kesepakatan (ijma') mereka merupakan kesepakatan yang kebenarannya dapat dipastikan. D an tidak demikian dengan or ang-orang sesudah mereka. Tidak bisa dikatakan bahwa Allah memuji para tabi'in, sehingga perkataan mereka juga dipastikan kebenarannya. Sekali lagi, tidak bisa dikatakan demikian. Sebab pujian terhadap tabi'in tidak datang secara mutlak untuk semua tabi'in, sebagaimana yang datang terkait shahabat, namun datang untuk orang yang mengikuti shahabat dengan baik (ihsan). Untuk tabi'in dibatasi dengan baik (ihsan), tidak mutlak untuk semua tabi'in. Untuk itu, perkataan semua tabi'in tidak dijadikan sesuatu yang dipastikan kebenarannya. N amun, perkataan tabi'in hanya dijadikan sesuatu yang baik saja. Oleh karena itu, apabila mereka bersepakat (berijma') atas suatu perkara, maka kesepakatan mereka tidak dijadikan sesuatu yang dipastikan kebenar annya.

b. Sesungguhnya par a shahabat adalah or ang- or ang yang mengumpulkan al-Qur'an, yang memeliharanya, dan yang menyampaikan kepada kita. Allah SWT. berfirman:

"Sesu ngguhnya Kam i - l ah yang m en ur unk an Al Qur 'an , dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." 49

Karena itu, orang yang menyampaikan al-Qur'an adalah orang yang dipelihara oleh Allah. Ayat ini menunjukkan atas benarnya ijma' mereka dalam m enyam paikan al- Q ur 'an. Sebab Al lah ber j anji unt uk memeliharanya. Sedang mereka, para shahabat adalah orang-orang yang mengumpulkannya, yang memeliharanya, dan yang menyampaikannya persisi seperti yang diturunkan. Dengan demikian, hal itu menjadi dalil atas benarnya ijma' mereka. Memelihara al-Qur'an dalam ayat tersebut artinya menjaganya dari hilang dan berkurang. Sedang, para shahabat adalah orang-orang yang menjaga al-Qur'an dari kurang dan hilang setelah w afat nya Rasulullah SAW.. Par a shahabat t elah memelihar anya, mengumpulkannya dan menyampaikannya kepada kita dengan jalan yang pasti. Dengan demikian, mereka adalah orang-orang yang melakukan pemeliharaan al-Qur'an yang telah dijanjikan oleh Allah. Memeliharanya,

49 QS. Al-Hijr [15] : 9.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

c. Sesungguhnya, tidak must ahil secar a akal par a shahabat bersepakat untuk melakukan kesalahan, sebab mereka bukan orang- orang ma'shum (disucikan dari kesalahan). Melakukan kesalahan bagi mereka merupakan hal lumrah secara individu dan berjamaah. Mereka berijma' atas suatu kesalahan tidak mustahil menurut akal. N amun, menur ut syar a' mustahil mer eka ber ijma' (ber sepakat) atas suatu kesalahan. Sekiranya mereka boleh berijma' atas suatu kesalahan, tentu boleh mereka membuat kesalahan dalam hal agama. Sebab, mereka adalah orang-orang yang menyampaikan agama ini kepada kami, melalui ijma' mereka atas agama yang dibawa oleh Muhammad SAW. ini, dan dari mereka kami mengambil agama kami. Sekiranya ijma' mereka boleh salah, tentu al-Qur'an juga boleh salah. Sebab mereka adalah orang-or- ang yang menyampaikan al-Qur'an kepada kami, melalui ijma' mereka terhadap al-Qur'an yang diturunkan kepada Muhammad SAW., dan dari mereka kami mengambil al-Qur'an. Sebab salah dalam hal agama itu mustahil, maka menjadi dalil yang qath'iy atas kebenarannya. Sebab, salah dalam hal al-Qur'an itu mustahil, maka menjadi dalil bahwa tidak datang kepadanya (Al Q ur 'an) kebat ilan, baik dar i depan maupun dar i belakangnya. Allah SWT. berfirman:

"Yang t idak dat ang kepadanya (Al Qur'an) kebat ilan baik dari depan maupun dari belakangnya." 51

D engan demikian, ijma' shahabat mustahil berijma' atas suatu kesalahan secara syar'iy . 52

d. Sesungguhnya ijma' shahabat kembali kepada nash syara' itu sendiri. Mereka tidak akan berijma' atas suatu hukum, melainkan mereka memiliki dalil syara', baik berupa perkataan Rasulullah, perbuatannya, maupun ketetapannya. Mereka bersandar kepadanya. Dengan demikian, ijma' mereka benar-benar menyingkap dalil. Hal ini tidak mungkin pada selain shahabat. Sebab, mereka adalah orang-orang yang telah menemani

50 Lihat: Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah , vol. III, hlm. 297; dan al-M uqaddimah ad-D ust ur , hlm. 49. 51 QS. Fushshilat [41] : 42. 52 Lihat: Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah , vol. III, hlm. 297, 298; dan al-M uqaddimah ad-Dust ur , hlm. 48, 49.

Rasulullah SAW.. D an dar i mer eka kami mengambil agama kami. Karenanya, ijma' mereka adalah hujjah (dalil). Sedang ijma' yang selainnya bukanlah hujjah . Sebab, shahabat tidak ber ijma' atas sesuatu kecuali memiliki dalil syara' atas hal itu yang belum mereka riwayatkan. Dengan demikian, ijma' shahabat sebagai dalil syara' yang kapasitasnya menyingkap tentang dalil, bukan sebagai pendapat mereka. Kesepakan pendapat shahabat atas suatu perkara tidak dianggap sebagai dalil syara'. Bahkan ijma' mereka atas satu pendapat di antara pendapat-pendapat mereka tidak dianggap sebagai dalil syara'. N amun ijma' mereka atas hukum ini adalah hukum syara', hukum syara' atas realitas ini adalah begini, atau hukum realitas fulan menurut syara' adalah begini. Ijma' seperti ini adalah dalil syara'. Ijma' shahabat yang diakui hanyalah ijma' atas suatu hukum di antara hukum-hukum bahwa ia merupakan hukum syara'. Ijma' seperti ini menyingkap bahwa di sana ada dalil syara' untuk hukum ini. Dalam hal ini , sesungguhnya m er ek a it u m enyam paik an hukum buk an menyampaikan dalil. 53

Setelah itu Hizbut Tahrir menyatakan bahwa semua perkara ini merupakan dalil yang qath'iy bahwa ijma' shahabat merupakan dalil syara', dan cukup menjadi dalil bahwa ijma' mereka adalah hujjah karena mereka secara syar'iy (menurut syara') mustahil melakukan kesalahan dalam ijma' mereka. Sungguh ini merupakan dalil yang qat h'iy bahwa ijma' mereka merupakan dalil syara'. Dan hal ini tidak ada pada ijma' selain ijma' mereka. Dengan demikian, telah terbukti dengan pasti bahwa ijma' shahabat adalah dalil syara'. 54

Demikianlah yang kami lihat bahwa Hizbut Tahrir membatasi ke- hujjah-an ijma' itu hanya pada ijma' shahabat saja. Hal ini kembali-seperti yang telah jelas-pada beberapa dalil yang datang menetapkan ke-hujjah- an ijma' secara qath'iy. Sebab pujian kepada mereka yang terdapat dalam al-Qur'an dan as-Sunnah dengan bentuk yang mutlak (umum). Dan hal ini tidak terjadi pada selain mereka. Hizbut Tahrir menjawab tentang pujian dalam ayat yang sama kepada tabi'in, bahwa pujian terhadap tabi'in tidak dengan bentuk yang mutlak atas semua mereka, sebagaimana yang datang terkait dengan shahabat. N amun pujian itu datang hanya untuk mereka yang mengikuti shahabat dengan ihsan (baik). Untuk tabi'in dibatasi dengan ihsan (baik) tidak mutlak untuk semua tabi'in. Oleh karena itu, perkataan semua tabi'in tidak dijadikan sebagai sesuatu yang dipastikan kebenarannya.

53 Lihat : Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, vol. III, hlm. 298, 300; dan al-Muqaddimah ad-D ust ur, hlm. 49, 50.

54 Lihat: Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, vol. III, hlm. 300.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

Perkataan tabi'in hanya dijadikan sebagai sesuatu yang baik saja. Karenanya jika mer eka berijma atas suatu persoalan, maka ijma' mereka tidak dijadikan sebagai sesuatu yang dipastikan kebenarannya.

Adapun sebagian pernyataan yang mengatakan bahwa Allah SWT. memuji individu-individu tertentu di antara para shahabat. Ini artinya bahwa perkatan mereka adalah hujjah. Begitu juga terdapat pujian atas umat Islam secara umum. Hizbut Tahrir menjawab bahwa pujian terhadap individu-individu tertentu di antara para shahabat datang dengan dalil yang zanniy (asumtif), bukan dengan dalil yang qat h'iy (definitif). Agar perkataan orang yang dipujinya itu dipastikan kebenarannya, harus datang dengan dalil yang qath'iy. Sementara itu, pujian terhadap umat Islam, dan pujian terhadap individu-individu tertentu di antara para shahabat datang dengan hadits-hadits ahad dan keduanya tidak datang dengan hadits-hadits mutawatir, keduanya tidak datang dalam al-Qur'an dan tidak pula dalam hadits mutawatir. Oleh karena pujian itu datang dengan khabar ahad, maka perkataan orang yang dipujinya itu tidak dijadikan sebagai sesuatu yang dipastikan kebenar annya. Ber beda dengan shahabat dalam kapasitasnya sebagai shahabat, maka pujian terhadap mereka datang dengan al-Qur'an, sedang al-Qur'an merupakan dalil yang qath'iy. 55 Oleh karena itu, ijma' shahabat sesuatu yang dipastikan kebenarannya. Dan juga, ketika Hizbut Tahrir men- t abanni (mengadopsi) bahwa ijma' bukan dalil dengan sendirinya, ijma' tidak lain adalah menyingkap dalil. Para shahabat tidak akan berijma' atas suatu hukum melainkan mereka memiliki dalil syar a' di ant ar a per kat aan Rasulullah, per buat annya, at au ketetapannya, dan mereka benar-benar bersandar kepadanya. Dengan demikian, ijma' mereka adalah menyingkap dalil. Dan hal ini tidak mungkin ada pada selain shahabat. Sebab mereka adalah orang-orang yang telah menemani Rasulullah SAW. dan dari mereka kami mengambil agama kami. Maka dari itu, ijma' mereka adalah hujjah (dalil).

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang ijma' yang dapat dijadikan hujjah. Sebagian ber pendapat bahw a ijma' umat adalah dalil syar a'. Berdasarkan atas hal ini mereka mendefinisikannya bahwa ijma' adalah pernyataan tentang kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatau persoalan di antara persoalan-persoalan agama. Ini merupakan pendapat asy-Syafi'i dan beberapa pengikutnya seperti al-Ghazali. Ini merupakan pilihan Abu al-Husain al-Bashri dar i Mu'tazilah, Syamsul

55 Lihat: Asy- Syakhshiyah al-Islamiyah , vol. III, hlm. 294, 296; dan al-M uqaddimah ad- Dust ur, hlm. 57, 59 .

Aimmah as-Sarkhasi dari Hanafiyah, dan Ibnu Taimiyah dari Hanabilah. Sebagian berpendapat bahwa ijma' ahlul halli wal aqdi adalah dalil syara'. Berdasarkan atas hal ini mereka mendefinisikan ijma' bahwa ijma' adalah pernyataan tentang kesepakatan ahlul halli wal aqdi di antara umat Muhammad pada suatau masa di antara masa-masa atas hukum suatau realitas di antara bebera realitas. Hal ini dikemukakan oleh al-Baidlawi, al-Qarafi, dan al-Amidi.

Sebagian berpendapat bahwa ijma' para mujtahid atau ulama di antara umat Muhammad SAW. adalah dalil syara'. Mereka berkata bahwa kesepakatan ulama dan mujtahid di suatu masa dari beberapa masa atas perkara agama adalah ijma'. Yang mengatakan demikian adalah sejumlah ulama di antaranya: Abu Ishak asy-Syairazi, Imam al-Haramain al- Juwaini, dan al-Asnawi dari kalangan Syafi'iyah; Kamal bin Hamam, Umar bin Muhammad al-Khubazi, dan Muhammad bin N izomuddin al-Anshari dari kalangan Hanafiyah; Ibnu al-Hajib dari kalangan Malikiyah; sedang dari kalangan Hanabilah adalah Ibnu al-Laham. Ini merupakan pilihan asy- Syaukani.

Sebagian berpendapat bahwa ijma' penduduk Madinah adalah dalil syara'. Ini merupakan pendapat madzhab Imam Malik. Sebagian berpendapat bahwa ijma' al-'It rah (keluarga N abi) adalah dalil syara'. Ini merupakan pendapat madzhab Syi'ah. Sebagian berpendapat bahwa ijma' Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali adalah dalil syara'. Ini merupakan pendapat al- Qadli Abu Hazim dan Imam Ahmad dalam beberapa riwayat.

Sebagian berpendapat bahwa ijma' adalah ijma' shahabat saja. Ini merupakan pendapat Dawud ad-Dzahiri, Ibnu Hazem, dan Ahmad bin Hambal dalam beberapa riwayat. Dan yang jelas ini merupakan pendapat Ibnu hayyan dan asy-Syathibi. 56

Dan yang jelas dari pendapat-pendapat ini bahwa jumhur ulama sepakat atas ke-hujjah-an ijma' shahabat . N amun mer eka t idak mengkhususkan ijma' hanya dengan ijma' shahabat, tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal ini sebagaimana pendapat di atas. Wallahu a'lam.

Dalil keempat: Qiyas

Dalil yang qat h'iy bahwa qiyas itu adalah hujjah dalam menentukan hukum berangkat dari tempat yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara', dalam hal ini tidak lain adalah nash itu sendiri yang menjadi rujukan qiyas.

56 Lihat : Al- Ijma' al- M u't abarah , Muhammad as-Syuw aiki, Mat hba'ah al-Amal, Bait al Maqdis, cet . I, 1410 H ./1990 M., hlm. 11, 13.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

Sebab illat dalam qiyas t idak diambil kecuali apabila syar a' t elah menunjukkannya. Dengan demikian menganggap qiyas sebagai dalil syara' merupakan suatu keharusan. Qiyas pada hakikatnya kembali pada nash itu sendiri. Oleh karena itu, qiyas dikatakan dengan ma'qul an-nash (yang dipahami dari nash). Atas dasar ini, maka qiyas dalilnya adalah nash itu sendiri yang telah menunjukkan kepada illat, yakni penyebab timbulnya hukum. Sehingga, apabila dalil illat adalah al-Qur'an, maka dalil qiyas ini adalah al-Qur'an. Apabila dalil illat adalah as-Sunnah, maka dalil qiyas ini adalah as-Sunnah. Apabila dalil illat adalah ijma' shahabat, maka dalil qiyas ini adalah ijma' shahabat. Dengan demikian, dalil qiyas adalah dalil yang qath'iy. Qiyas sama dengan dalil nash yang menunjukkan pada penyebab timbulnya hukum, yakni sama dengan dalil-dalil al-Qur'an, as-Sunnah, dan ijma' shahabat. Sedang dalil-dalil itu merupakan dalil-dalil yang qath'iy. Berdasarkan hal ini, maka dalil syara' bahwa qiyas merupakan hujjah syara' adalah kumpulan dalil-dalil yang menunjukkan bahw a al-Qur 'an, as- Sunnah, dan ijma' shahabat merupakan hujjah syara'. Oleh karena itu dalil qiyas adalah dalil yang qath'iy. 57

3. Sikap Hizbut Tahrir terhadap dalil-dalil ushul yang lain Adapun dalil-dalil yang lain yang disebutkan sebagai dalil-dalil hukum, seperti ijma' kaum Muslim, syar'u man qablana (syari'at sebelum N abi Muhammad), madzhab shahabat, istihsan, mashalih mursalah, dan lainnya, maka H izbut Tahr ir t idak menganggapnya sebagai hujjah dalam m enet apkan hukum- hukum syar a'. Akan t et api H izbut Tahr ir menyebutnya dengan 'Sesuatu yang disangka dalil padahal sebenarnya bukan dalil'. Adapun sebab Hizbut Tahrir tidak menganggap semua itu sebagai hujjah dalam menetapkan hukum-hukum syara', maka kembali pada dua hal:

a. Semua itu datang dengan sesuatu yang menunjukkannya sebagai dalil, namun dengan jalan yang zann (dugaan) bukan jalan yang qat h' (pasti).

b. Penetapan ke-hujjah-annya tidak sesuai dengan kesimpulannya. Dalam hal ini, Hizbut Tahrir benar-benar telah mengkaji masing-

masing dari semua persoalan tersebut, dan menjelaskan secara rinci tentang batalnya menganggap semua itu sebagai hujjah dalam menetapkan

____________________ hukum-hukum syara'.

57 Lihat: Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah , vol. III, hlm. 320; dan al-M uqaddimah ad-D ust ur , hlm. 52. 58 Lihat: Asy- Syakhshiyah al-Islamiyah , vol. III, hlm. 405, 427; dan al-M uqaddimah ad-D ust ur , hlm. 55,

Meskipun Hizbut Tahrir tidak menganggap dalil selain al-Qur'an, as- Sunnah, ijma' shahabat, dan qiyas dengan illat, namun Hizbut Tahrir menyatakan: "Hanya saja, berdalil (beristidlal) dengan selain dari keempat dalil ini, di antara sesuatu yang termasuk syubhat ut dalil (dalil yang masih diperselisihkan) dianggap berdalil dengan syara'. N amun bagi yang tidak menganggapnya sebagai dalil, maka baginya tidak termasuk hukum syara', tetapi dalam pandangannya itu merupakan hukum syara', sebab masih ada syubhat ut dalil ". 59

Hizbut Tahrir juga menyatakan: "Hanya saja wajib diketahui dengan jelas bahwa hukum-hukum yang digali dari dalil-dalil selain yang empat, di antara yang diakui oleh para imam adalah hukum-hukum syara' dalam pandangan mer eka yang menganggapnya dalil dan dalam pandangan mer eka yang menolaknya, sebab di sana ada syubhat ut dalil yang dianggapnya bagian dari dalil. Siapa saja yang menganggap ijma' umat sebagai dalil syara', dan darinya digali hukum, maka hukum ini merupakan hukum syara' dalam pandangannya dan hukum syara' bagi dirinya, sehingga ia tidak boleh mengambil hukum dari yang lain. Begitu juga merupakan hukum syara' dalam pandangan mereka yang menolaknya, namun ia bukan hukum syara' bagi dirinya. Dan seperti itu juga syar'u man qablana (syari'at sebelum N abi Muhammad), mashalih mursalah , ist ihsan , dan yang lainnya.

4. Bentuk Perintah dan Larangan serta Penunjukannya Di antara topik-topik penting yang telah dikaji Hizbut Tahrir dalam pembahasan-pembahasan ushul fiqih adalah topik dalalah al-amr wa an- nahy (penunjukan perintah dan larangan). Sebab Hizbut Tahrir telah men- t abanni (mengadopsi) bahw a hukum asal per intah adalah tuntutan melakukan per but an, dan hukum asal lar angan adalah t unt ut an meninggalkan perbuatan, sehingga datang dalil yang menentukan jenis t unt ut an melakukan per butan at au jenis t unt utan meninggalkan perbuatan. 60

a. Bentuk Perintah dan Penunjukannya Hizbut Tahrir berpendapat bahwa asy-Syari' (pembuat hukum) tidak membuat istilah tertentu untuk shighat al-amr (bentuk perintah). Apa yang dipakai dalam bahasa itulah yang diakui menurut syara', yaitu bentuk uf'ul atau apa yang menempati tempatnya. Hizbut Tahrir menjelaskan bahw a shighat al-amr (bentuk per intah) datang dengan enam belas

59 Lihat: Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, vol. III, hlm. 404. 60 Lihat : Al-Muqaddimah ad-D ust ur, hlm. 74, 75.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

Adapun penunjukan atas setiap penger tian dar i penger tian- pengertian di atas, maka tidak lain penunjukannya atas tuntutan disertai indikasi yang menjelaskan maksud tuntutan. Misalnya, Allah SWT. berfirman:

"Dan makanlah dari apa yang Allah t elah rezkikan kepadamu". Ini memberi pengertian al-imt inan (penganugerahan). Pengertian

ini tidak diambil dar i shighat al-amr (bentuk per intah) dalam kulu (makanlah) dan tidak diambil dari kalimat mimma razaqakumullah (dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu), melainkan diambi dari gabungan kalimat kulu dengan mimma razaqakumullah . Fir man Allah mimma razaqakumullah adalah qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa yang dimaksud bukan perintah makan kepada mereka melaian penganugerahan kepada mereka dengan apa yang telah direzkikan kepada mereka. Dan firman Allah SWT.:

"M asuklah ke dalamnya dengan sejaht era lagi aman". 62

Ini memberi pengertian penghormatan. Pengertian itu diperoleh

61 QS. Al-Maidah [5] : 88. 62 QS. Al-H ijr [15] : 46.

Berdasarkan hal ini, maka enam belas pengertian yang disebutkan oleh Hizbut Tahrir adalah pengertian-pengertian yang dimaksud dengan tuntutan, yakni jenis tuntutan. Pengertian-pengertian ini bukan pengertian untuk shighat al-amr (bentuk perintah). Shighat al-amr (bentuk perintah) menurut Hizbut Tahrir datang untuk tuntutan dan disertai dengan qarinah (indikasi) yang m enunjukkan at as m aksud t unt ut an. Sehingga berkumpulnya shighat al-amr (bentuk perintah) dengan qarinah (indikasi) itulah yang menunjukkan atas wajib, anjuran, kebolehan, pelemahan, penghinaan, dan seterusnya. Adapun shighat al-amr (bentuk perintah) saja tanpa disertai qarinah (indikasi) itu hanya menunjukkan atas tuntutan saja tidak yang lain. Dan tanpa qarinah (indikasi), shighat al-amr (bentuk perintah) tidak akan menunjukkan pada sesuatu secara mutlak selain pada tuntutan semata.

Para ulama berselisih tentang penunjukan (makna) perintah ( dilalat ul amr ) menjadi beberapa pendapat: Sebagian ber pendapat bahw a al-amr (perintah) itu musyt arak (pengertianya banyak). Kemudian mereka berselisih, di mana sebagian dari mereka berpendapat bahwa perintah itu pengertiannya banyak antara wajib, anjuran ataupun kebolehan, dengan banyaknya pengertian yang sifatnya lafadz. Sehingga pengertian yang dimaksud tidak akan jelas kecuali dengan cara ment arjih (menganalisa), seperti halnya dalam lafadz (kata) yang musyt arak (memiliki arti majemuk). Sedang sebagian yang lain berpendapat bahwa al-amr (perintah) itu musyt arak antara wajib dan anjuran saja, dengan banyaknya pengertian yang sifatnya lafadz . Karenanya harus dilakukan t arjih (analisa) untuk menentukan salah satu dari dua pengertian itu.

Sebagian yang lain, di antaranya al-Imam Ghazali berkata: Apakah ia bermakna hakikat (sebenarnya) untuk wajib saja, anjuran saja, atau untuk keduanya secara bersama-sama. Menurut mereka hukum asal perintah itu tidak ada tanpa qarinah (indikasi), melainkan dibiarkan dulu sampai jelas apa yang dituntut oleh perintah ( al-amr ) tersebut. Sebab al-amr (per intah) ter masuk bagian dar i mujmal (global) karena banyaknya

63 Lihat: Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, vol. III, hlm. 207, 214.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200

Sebagian kalangan pengikut Imam Malik berkata: Sesungguhnya ia berpengertian kebolehan ( al-ibahah ). Sebab al-amr (perintah) menuntut adanya perbuatan. Dan yang paling mendekati keyakinan adalah pengertian kebolehannya. Sebagian berkata: Sesungguhnya ia berpengertian anjuran ( an-nadb ). Ini merupakan salah satu dua pendapat Imam Syafi'i. sebab, al- amr (per intah) dibuat untuk menuntut per buatan. Sehingga aspek perbutan harus dimenangkan atas aspek meninggalkan. Sedang yang pal- ing mendekatinya adalah pengertian anjuran. Karena dua sisi melakukan dan meninggalkan itu sama dalam kebolehannya, maka ia tidak untuk pengertian kebolehan. Sedang sebagian besar dar i mer eka berkata: Sesungguhnya ia berpengertian wajib ( al-wujub ). Artinya, sesungguhnya al-amr (perintah) secara mutlak dibuat untuk penunjukan wajib. Pengertian wajib ini adalah pengertian yang sebenarnya, sementara pengertian yang lain adalah kiasan. Sehingga al-amr (perintah) tidak untuk selain pengertian wajib kecuali dengan qarinah (indikasi). Jika qarinah menunjukkan pada anjuran ( an-nadb ), maka tuntutan perintah itu adalah anjuran. Jika qarinah menunjukkan pada kebolehan, maka tuntut an per int ah itu adalah kebolehan. Demikian seterusnya. 64

Yang jelas, apa yang telah di- t abanni (diadopsi) oleh Hizbut Tahrir bahw a al-amr (perintah) menunjukkan pada tuntutan secara mutlak (umum) sangat dekat dengan apa yang telah menjadi pendapat Imam Ghazali dan orang-orang yang sependapat dengan beliau.

b. Bentuk Larangan dan Penunjukannya

H izbut Tahr ir menyebutkan bahw a shighat an-nahy (bentuk larangan) datang dengan sembilan pengertian, yaitu: at -t ahrim (haram),

______________________

64 Lihat: al-Must ashfa fi Ilm al-Ushul, Abu H amid al-Ghazali, dit ahkik oleh: Muhammad Abdus Salam Abdusy Syafi, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, cet. I, 1413 H., hlm. 204, 211; dan al-Wajiz fi Ushul

al-Fiqh, DR. Abdul Karim Zaidan, Muassasah ar-Risalah, Beirut, cet. I, 1405 H ./1985 M., hlm. 292, 29 4.

344

al - k ar ahah (m akr uh), at - t ahqir (penghianaan), bayan al - aqi bah (menjelaskan akibat), ad-du'a (do'a), al-ya'su (keputusasaan), al-irsyad (petunujuk), at -t asliyah (hiburan), dan asy-syufqah (belas kasih). Hizbut Tahrir menyertakan contoh-contohnya untuk pengertian-pengertian ini, baik dari al-Qur'an, as-Sunnah maupun dari syi'ir (puisi). Pengertian- pengertian ini dipahami dari shighat an-nahy (bentuk larangan) yang ada dalam nash-nash. Hal ini menunjukkan bahwa shighat an-nahy (bentuk lar angan) digunakan untuk banyak penger tian. Mengingat an-nahy (lar angan) mer upakan lawan dari al-amr (perintah), maka apa yang dikatakan Hizbut Tahrir tentang al-amr (perintah), dikatakan pula untuk an-nahy (larangan). Penjelasan Hizbut Tahrir tentang an-nahy (larangan) sama dengan penjelasan tentang al-amr (perintah). An-N ahy (larangan) pengertian sebenarnya adalah tuntutan untuk meninggalkan, tidak untuk penger t ian at - t ahri m (har am ), al - k ar ahah (m akr uh), at - t ahqi r (penghianaan), dan bayan al-aqibah (menjelaskan akibat). Pengertian- pengertian ini tidak lain diambil dari shighat an-nahy (bentuk larangan) ditambah dengan qarinah (indikasi). Larangan yang terdapat dalam nash- nash syara', baik al-Qur'an maupun as-Sunnah tidak menunjukkan kecuali tunt utan meninggalkan, sementar a qarinah (indikasi) adalah yang menetapkan jenis tuntutan. Sedang hadits-hadits yang datang yang menunjukkan bahw a lar angan di dalamnya mengandung pengertian haram, seperti hadits tentang mata air Tabuk, dan celaan Rasulullah ter hadap dua orang yang melanggar lar angan beliau. Sesungguhnya penunjukan pengertian haram ini datang melalui qarinah (indikasi) bersama dengan shighat an-nahy (bentuk larangan). Bukan dari shighat an-nahy (bentuk larangan) semata.

Adapun firman Allah SWT.:

" Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka t erimalah dia. Dan apa ng

dilarangnya bagimu maka t inggalkanlah 65 ".

Hal ini tidak menunjukkan bahwa larangan hakekatnya adalah haram. Akan tetapi menunjukkan untuk meninggalkan seperti apa yang telah dilarang. Jika larangan itu merupakan larangan yang jazim (tegas), maka menunjukkan pada keharaman. Dan jika larangannya tidak jazim (tegas), maka menunjukkan pada kemakruhan. Sedang, syubhat (keraguan) atas

65 QS. Al-Hasyr [59] : 7.

Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200 Tsaqofah dan M etode Hizbut Tahrir 200