Membaca dan Menanggapi Cerpen
Mengisi Hidup dengan Berkreasi
107
Darah membasahi pipinya membasahi bajunya membasahi celananya membasahi
sepatunya dan mengalir pelan-pelan di lantai ruang pengadilan yang sebetulnya sudah
dipel bersih-bersih dengan karbol yang baunya bahkan masih tercium oleh para
pengunjung yang kini menjadi gempar dan berteriak-teriak dengan emosi meluap-luap
sementara para wartawan yang selalu menanggapi peristiwa menggemparkan
dengan penuh gairah segera memotret Saksi Mata itu dari segala sudut sampai menungging-nungging sehingga
lampu kilat yang berkeredup membuat suasana makin panas.
Terlalu Edan
Sadis Bapak Hakim yang Mulia, yang segera tersadar, mengetuk-
ngetukkan palunya. Dengan sisa wibawa yang masih ada ia mencoba menenangkan keadaan.
Tenang saudara-saudara Tenang Siapa yang mengganggu jalannya pengadilan akan saya usir keluar ruangan
Syukurlah para hadirin bisa ditenangkan. Mereka juga ingin segera tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi.
Saudara Saksi Mata. Saya Pak.
Di manakah mata saudara? Diambil orang Pak.
Diambil? Saya Pak.
Maksudnya dioperasi? Bukan Pak, diambil pakai sendok.
Haa? Pakai sendok? Kenapa? Saya tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng.
Dibikin tengkleng? Terlalu Siapa yang bilang? Yang mengambil mata saya Pak.
Tentu saja, bego Maksud saya siapa yang mengambil mata saudara
pakai sendok? Dia tidak bilang siapa namanya Pak.
Sumber: www.ukzn.ac.za
Gambar 5.1 Seno Gumira
Ajidarma
108
Bahasa Indonesia XII Program Bahasa
Saudara tidak tanya bego? Tidak Pak.
Dengar baik-baik bego, maksud saya seperti apa rupa orang itu?
Sebelum mata saudara diambil dengan sendok yang katanya untuk dibuat tengkleng atau campuran sop kambing barangkali, mata saudara
masih ada di tempatnya kan?
Saya Pak. Jadi saudara melihat seperti apa orangnya kan?
Saya Pak. Coba ceritakan apa yang dilihat mata saudara yang sekarang
mungkin sudah dimakan para penggemar tengkleng itu. Saksi Mata itu diam sejenak. Segenap pengunjung di ruang
pengadilan menahan napas. Ada beberapa orang Pak.
Berapa? Lima Pak.
Seperti apa mereka? Saya tidak sempat meneliti mereka Pak, habis mata saya keburu
diambil sih. Masih ingat pakaiannya barangkali?
Yang jelas mereka berseragam Pak. Ruang pengadilan jadi riuh kembali. Seperti dengungan seribu lebah.
Hakim mengetuk-ngetukkan palunya. Suara lebah menghilang. Seragam tentara maksudnya?
Bukan Pak. Polisi?
Bukan juga Pak. Hansip barangkali?
Itu lho Pak, yang hitam-hitam seperti di film. Mukanya ditutupi?
Iya Pak, cuma kelihatan matanya. Aaah, saya tahu Ninja kan?
Nah, itu Pak, ninja Mereka itulah yang mengambil mata saya
dengan sendok Lagi-lagi hadirin ribut dan saling bergunjing seperti di warung kopi.
Lagi-lagi Bapak Hakim yang Mulia mesti mengetuk-ngetukkan palu supaya orang banyak itu menjadi tenang.
Mengisi Hidup dengan Berkreasi
109
Darah masih menetes perlahan-lahan tapi terus-menerus dari lobang hitam bekas mata Saksi Mata yang berdiri seperti patung di ruang
pengadilan. Darah mengalir di lantai ruang pengadilan yang sudah dipel dengan karbol. Darah mengalir memenuhi ruang pengadilan sampai
luber melewati pintu menuruni tangga sampai ke halaman.
Tapi orang-orang tidak melihatnya. ..........................................................
Dalam perjalanan pulang, Bapak Hakim yang mulia berkata pada sopirnya.
Bayangkanlah betapa seseorang harus kehilangan kedua matanya demi keadilan dan kebenaran. Tidakkah aku sebagai hamba hukum
mestinya berkorban lebih besar lagi? Sopir itu ingin menjawab dengan sesuatu yang menghilangkan rasa
bersalah, semacam kalimat, Keadilan tidak buta. Namun Bapak Hakim yang Mulia telah tertidur dalam kemacetan jalanan yang menjengkelkan.
Darah masih mengalir perlahan-lahan tapi terus-menerus sepanjang jalan raya sampai kota itu banjir darah. Darah membasahi segenap
pelosok kota bahkan merayapi gedung-gedung bertingkat sampai tiada lagi tempat yang tidak menjadi merah karena darah. Namun ajaib,
tiada seorang pun melihatnya.
Ketika hari sudah menjadi malam, Saksi Mata yang sudah tidak bermata itu berdoa sebelum tidur. Ia berdoa agar kehidupan di dunia
yang fana ini baik-baik saja adanya, agar segala sesuatu berjalan dengan mulus dan semua orang berbahagia.
Pada waktu tidur lagi-lagi ia bermimpi, lima orang berseragam ninja mencabut lidahnya -- kali ini menggunakan catut.
Jakarta, 4 Maret 1992
Sumber: Saksi Mata, Seno Gumira Ajidarma, 1994
L atihan
5.3
Kerjakan latihan berikut bersama teman kelompok belajar kalian 1.
Analisislah standar budaya yang terdapat pada cerpen di atas 2.
Bagaimana tanggapan kalian terhadap gambaran masyarakat yang terdapat di dalam cerpen?
3. Mengapa cerpen “Saksi Mata” dapat dianggap sebagai
karya sastra penting pada periodenya?
110
Bahasa Indonesia XII Program Bahasa
Kalian telah mempelajari bagaimana mengubah teks aksara Arab- Melayu ke dalam aksara Latin. Untuk kali ini, kalian kembali berlatih
mentransliterasikan naskah berabjad Arab-Melayu ke dalam abjad Latin. Perhatikan kutipan naskah hikayat serta transliterasinya berikut ini