Menilai Isi Naskah Drama Terjemahan

Kisah-kisah Kehidupan Manusia 329 A berdiri di sampingnya. Keseluruhan bernuansa putih. Kepala gundul. Pensil di telinga. Umur dan fisik tak penting. P di tengah panggung berdiri di atas sebuah balok kayu hitam tinggi 18 inci. Topi hitam dengan pinggiran lebar. Baju panjang hitam sampai mata kaki. Tak bersepatu. Kepala menunduk. Kedua tangan di saku. Umur dan fisik tak penting. D dan A merenung menatap P. Lama diam. A: Akhirnya. Suka tampilannya? D: Ya begitulah. Diam. Untuk apa level kayu? A: Supaya kakinya terlihat. Diam. D: Topinya? A: Membantu menyembunyikan wajah. Diam. D: Baju panjangnya? A: Memberi nuansa hitam pada dirinya Diam. D: Apa yang ada di bawahnya lagi? A bergerak menuju P. Katakan. A berhenti. A: Pakaian malamnya. D: Warna? A: Abu-abu. D mengeluarkan cerutu. D: Korek api. A kembali, menyalakan cerutu, berdiri diam. S mengisapnya. Bagaimana tengkoraknya? A: Kau sudah melihatnya. D: Saya lupa. A bergerak menuju P. Bilang. A berhenti. A: Botak. Mulai tumbuh. D: Warna? A: Abu-abu. Diam. D: Kenapa kedua tangannya di saku? A: Membantu nuansa hitam pada dirinya. D: Tidak harus. A: Saya catat. Dia keluarkam bloknot, mengambil pensil, mencatat. Dua tangan kelihatan. Dia kembalikan bloknot dan pensilnya. D: Bagaimana? A bingung. Cepat marah. Tangannya, bagaimana tangannya? 330 Bahasa Indonesia XII Program Bahasa A: Kau sudah melihatnya. D: Saya lupa. A: Tak berdaya. Proses kemunduran karena usia. D: Seperti cakar binatang? A: Kalau kamu mau. D: Dua cakaran? A: Hanya kalau dia kepalkan tinjunya. D: Tidak harus. A: Kucatat. Dia keluarkan bloknot, mengambil pensil, mencatat. Tangan tak berdaya. Dia kembalikan bloknot dan pensil. D: Korek api. A kembali, menyalakan cerutu, berdiri diam. S mengisapnya. Bagus. Mari kita lihat sekarang. A bingung. Cepat marah. Terus jalan. Lepaskan gaunnya. Ia mengambil stopwatch. Cepatlah, saya ada rapat. A pergi ke P, melepaskan baju panjangnya. P menyerah, tak berdaya. A mundur dengan baju panjang di lengannya. P dengan piyama tua abu-abu, kepala menunduk, mengepalkan tinju. Diam. A: Lebih suka tanpa baju panjang? Diam. Ia menggigil. D: Tidak semua. Topi. A maju, melepas topi, mundur, topi di tangan. Diam. A: Suka tempurung kepalanya? D: Perlu diputihkan. A: Saya catat. Dia keluarkan bloknot, ambil pensil, mencatat. Memutihkan kepala. D: Tangannya. A bingung, cepat marah. Kepalan. Kepalan tangannya. Terus. A maju, melepaskan kepalan, mundur. Dan diputihkan. A: Saya catat. Dia keluarkan bloknot, ambil pensil, mencatat. Memutihkan kedua tangan. Dia kembalikan bloknot, pensil. Mereka merenung menatap P. D: Akhirnya. Ada yang salah. Putus asa. Apanya? A: Malu-malu. Bagaimana kalau kita ... kalau ... mengikatnya. D: Tak ada salahnya mencoba. A maju, menyatukan kedua Kisah-kisah Kehidupan Manusia 331 tangannya, mundur ke belakang. Lebih tinggi. A maju, mengangkat tangan yang terikat setinggi pinggang, mundur. Sedikit lagi. A maju, mengangkat kedua tangan yang terikat sampai dada. Stop A mundur. Lumayan. Lanjutnya. Korek api. A kembali, menyalakan cerutu, berdiri diam. S mengisapnya. A: Ia menggigil. D: Diberkati hatinya. Diam. A: Malu-malu. Bagaimana menurutmu tentang ... sumbat .... Sumbat kecil di mulut? S: Ya Tuhan Keranjingan betul pada kejelasan Semua kutandai ke arah kematian. Sumbat mulut Ya Tuhan A: Anda yakin dia tidak akan bersuara? D: Tidak secicit pun. Ia melihat penunjuk waktu. Sudah waktunya. Saya akan pergi dan melihat bagaimana dari tempat penonton. D keluar, tidak muncul lagi ... A terduduk di kursi berlengan, melompat secepat dia duduk, mengeluarkan kain lusuh, mengelap bersih sandaran dan tempat duduk, membuangnya, duduk lagi. Diam. D: Dari luar, menggugat. Saya tidak melihat jari kakinya. Cepat marah. Saya duduk di deretan bangku-bangku depan, dan tidak bisa melihat jari kakinya. A: Berteriak. Saya catat.Dia keluarkan bloknot, mengambil pensil, mencatat. Menaikkan kayu penyangga. D: Ada garis bentuk wajah. A: Saya catat. Dia keluarkan bloknot, ambil pensil, mencatat. D: Tundukkan kepalanya. Dia bingung. Cepat marah. Lanjutkan. Tundukkan kepalanya. A mengembalikan bloknot, pensil, pergi ke P, menundukkan kepalanya lebih jauh mundur ke belakang. Lagi. Dia maju, merundukkan kepala lebih dalam lagi. Stop Mundur ke belakang. Bagus. Mulai muncul. Bisa dilakukan dengan ketelanjangan. A: Saya catat. Dia keluarkan bloknot, mau mengambil pensil. D: Lanjutkan Lanjutkan A mengembalikan bloknot, menuju P, 332 Bahasa Indonesia XII Program Bahasa berdiri ragu-ragu. Buka lehernya. A melepaskan kancing- kancing teratas, memisahkan kerahnya, mundur. Kakinya. Tulang kering. A maju, menggulung celana kaki sampai di bawah lutut, mundur. Lainnya. Sama seperti kaki satunya, mundur. Lebih tinggi. Lututnya. A maju, menggulung celana di kedua kakinya di atas lutut, mundur. Dan putihkan. A: Saya catat. Dia mengeluarkan bloknot, mengambil pensil, mencatat. Memutihkan seluruh tubuh. D: Lanjutkan. Luke ada? A: Memanggil. Luke Diam. Lebih keras. Luke L: Dari kejauhan. Saya dengar. Diam. Lebih dekat. Apa kesulitannya sekarang? A: Luke ada. D: Gelapkan panggung. L: Apa? A menyampaikan dengan isyarat-isyarat teknis. Menghilangkan cahaya general. Cahaya hanya di atas P. A dalam bayangan. D: Hanya kepala. L: Apa? A menyampaikan dengan isyarat-isyarat. Menghilangkan cahaya lampu pada tubuh P. Lampu hanya ada di kepala. Diam lama. D: Cantik. Diam. A: Malu-malu. Bagaimana kalau ia... kalau ia ... mengangkat kepalanya ... sejenak ... menunjukkan wajahnya ... hanya sejenak. D: Ya Tuhan Apa lagi? Mengangkat kepalanya? Kau pikir di mana kita? Di Patagonia? Mengangkat kepalanya? Ya Tuhan Diam. Baik Di sanalah bencana kita. Bungkus. Diam. Sekali lagi dan saya selesai. A: Ke L. Sekali lagi dan ia selesai. Cahaya menghilang di atas tubuh P. Diam. Seluruhnya menghilang. D: Stop Diam. Sekarang ... Biar mereka saksikan. Cahaya general menghilang. Diam. Cahaya pada tubuh menghilang. Lampu hanya Kisah-kisah Kehidupan Manusia 333 L atihan 12.4 di kepala. Diam lama. Dahsyat Mereka akan terkagum-kagum karenanya. Saya bisa mendengarnya dari sini. Diam. Dari kejauhan tepukan membahana. P mengangkat kepalanya, memastikan penonton, tepukan terputus-putus. Berhenti. Diam lama. Cahaya di wajah menghilang. Sumber: Sepuluh Drama Pendek Samuel Beckett, penerjemah: Laksmi Notokusumo, April 2006 Perhatikan kembali naskah drama pendek karya Samuel Beckett di atas dan analisislah unsur-unsur intrinsiknya. Setelah menafsirkan unsur intrinsik naskah drama tersebut, tukar hasil kerja kalian dengan kepunyaan teman. Cobalah menilai hasil pekerjaan teman, apakah tafsiran mereka sudah sesuai atau belum Berikan komentar dan argumen untuk memperkuat pendapat kalian Sinopsis suatu karya sastra diperlukan untuk memberi wawasan kepada pembaca kritik atau esai terhadap gambaran karya secara utuh. Sinopsis merupakan garis besar rangkaian cerita atau subject matter materi pokok. Sinopsis disusun sebagai pengantar kritik atau esai sastra. Selanjutnya kritikus atau esais mendeskripsikan unsur-unsur karya sastra dan menilai karya tersebut. Kemudian kritik atau esai sastra diungkapkan dengan menyatakan penilaian terhadap kualitas karya sastra tersebut.

D. Menulis Kritik Karya Sastra dan Esai

Setelah mempelajari materi pembelajaran ini kalian diharapkan mampu: 1. menyusun sinopsis karya sastra, 2. mendeskripsikan unsur-unsur pembentuk cerita dalam karya sastra, 3. membahas hal-hal menarik dari karya sastra, 4. menulis kritik dan esai. 334 Bahasa Indonesia XII Program Bahasa

1. Menyusun Sinopsis Karya Sastra

Karya sastra yang bisa disusun sinopsisnya adalah bentuk prosa fiksi dan naskah drama, karena mengandung rangkaian cerita. Sebuah cerita konvensional umum tentu memiliki tema, penokohan, latar, alur, dan amanat. Faktor-faktor intrinsik itulah yang dikedepankan dalam sinopsis. Sinopsis berbentuk deskripsi naratif yang singkat dan padat. Sinopsis secara umum ditulis dengan identitas buku yang terdiri atas judul buku, nama pengarang, tahun terbit, kota penerbitan, tahun terbit. Bisa ditambahkan jumlah halaman, cetakan ke- …, dan harga buku. Perhatikan kutipan sinopsis novel berikut ini Di Bawah Lindungan Ka’bah Pengarang: HAMKA Penerbit : Bulan Bintang Tahun : 1938; Cetakan XIII, 1978 Tanpa memberi tahu siapa pun, Hamid meninggalkan kampungnya menuju Siantar, Medan. Kepergiannya kali ini bukan lagi untuk menuntut ilmu di sekolah, seperti yang ia lakukan beberapa tahun yang lalu. Hamid, ibarat orang sudah jatuh tertimpa tangga pula. Setelah Haji Jafar, orang yang selama ini banyak menolongnya, berpulang ke Rahmatullah, tak lama kemudian ibu kandung yang dicintainya menyusul pula ke alam baka. Hamid kini tinggal sebatang kara. Ayahnya telah meninggal ketika ia berusia empat tahun. Dalam kemalangannya itu, mamak Asiah dan anaknya, Zainab, tetap menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Oleh karena itu, Mak Asiah begitu yakin terhadap Hamid untuk dapat membujuk Zainab agar mau dikawinkan dengan saudara dari pihak mendiang suaminya. Dengan berat hati, Hamid mengutarakan maksud itu walaupun yang sebenarnya, ia sangat mencintai Zainab. Namun, karena Zainab anak orang kaya di kampung itu, ia tak berani mengutarakan rasa cintanya itu. Setibanya di Medan, Hamid sempat menulis surat kepada Zainab. Isi surat itu mengandung arti yang sangat dalam tentang perasaan hatinya. Namun, apa mau dikata, ibarat bumi dengan langit; rasanya tak mungkin keduanya dapat bersatu. Meninggalkan kampung halamannya berikut orang yang dicintainya adalah salah satu jalan terbaik. Begitu menurut pikiran Hamid.