209
4. 5. Rekomendasi Kebijakan Pembangunan Perdesaan Melalui Pengembangan Agropolitan
4. 5.1. Kebijakan Umum
Berdasarkan pola -pola perubahan hasil simulasi model dinamik, terlihat bahwa pola produksi agropolitan memberikan pengaruh terhadap pola
pertumbuhan industri, keuntungan usahatani dan pertambahan limbah. Perubahan yang terjadi pada pola produksi akan memberikan pengaruh pada kegiatan
berikutnya. Hal ini memberikan petunjuk bahwa pertumbuhan produksi agropolitan merupakan leverage factor. Bila melihat pola-pola produksi agropolitan di keempat
daerah penelitian, maka tampak jelas bahwa pertumbuhan produksi agropolitan akan berhenti zero growth setelah periode tertentu sekitar tahun 2020 ke atas.
Untuk mengubah pola pertumbuhan produksi ada dua alternatif yang dapat dilakukan, yaitu: pertama, perluasan lahan, dan kedua, peningkatan input produksi.
Alternatif pertama jelas akan sulit dilaksanakan karena yang terjadi justru pengurangan lahan agropolitan akibat tekanan dari pertambahan penduduk.
Sebagaimana hasil analisis keruangan spatial, ruang yang paling sesuai untuk pengembangan komoditas unggulan di kawasan agropolitan akan menjadi semakin
terbatas. Oleh karena itu maka pemanfaatan lahan yang ada perlu dilakukan secara optimal dengan memperhatikan kelestariannya.
Peningkatan input produksi merupakan alternatif yang paling mungkin dilakukan. Alternatif ini dapat dilaksanakan dengan melakukan perubahan
teknologi penanaman dari tradisional ke teknologi penanaman modern yang didukung dengan teknologi tinggi yang ramah lingkungan sehingga produktivitasnya
menjadi lebih tinggi, kualitas produk meningkat, dan kelestarian lingkungan terjaga. Namun demikian masih banyak persoalan yang dihadapi petani terkait dengan
alternatif tersebut, antara lain: rendahnya produktivitas tanaman, lahan garapan yang terbatas, degradasi lingkungan, permodalan, sumberdaya manusia, kelembagaan,
pemasaran, sarana dan prasarana, dan harga produk. Rendahnya produktivitas dan kualitas produksi mas ih menjadi persoalan
serius bagi para petani di beberapa kawasan agropolitan. Sekalipun produksi beberapa komoditas sudah melampaui produksi rata-rata nasional, tingkat
produktivitas yang dicapai masih jauh lebih rendah dibandingkan potensi produksi
210 komoditas yang bersangkutan. Di beberapa kawasan bahkan masih lebih rendah
dibandingkan produksi rata-rata nasional. Persoalan teknologi budidaya yang dikuasai, ketersediaan dan daya beli terhadap sarana produksi, dan sumberdaya
manusia sangat erat kaitannya dengan rendahnya produktivitas. Degradasi lingkungan, dalam bentuk penurunan tingkat kesuburan tanah,
peningkatan pencemaran tanah, air, dan udara akibat pestisida, peningkatan jenis dan populasi organisme pengganggu, berkurangnya musuh alami, adalah persoalan
besar yang senantiasa akan menjadi pembatas dalam peningkatan produktivitas tanaman. Degradasi lingkungan diakibatkan oleh teknik bercocok tanam yang tidak
memperhatikan aspek kelestarian alam, seperti pengolahan tanah yang sangat intensif tanpa me mperhatikan kelerengan, penggunaan lahan terus-menerus sepanjang tahun,
penggunaan pupuk tak berimbang yang berlebihan, serta penggunaan pestisida anorganik frekuensi tinggi dengan takaran berlebih. Hal tersebut umum dijumpai di
kawasan agropolitan dengan komoditas unggulan tanaman hortikultura semusim. Persoalan luasan lahan garapan merupakan salah satu kendala utama bagi
para petani karena rata-rata luas tanah garapan kurang dari 5000 meter persegi. Implikasi praktisnya adalah rendahnya keuntungan dari aspek ekonomis. Hampir
sebagian besar petani agropolitan juga memiliki keterbatasan modal. Hal ini diindikasikan dengan luasan lahan yang hanya sekitar 1000-5000 m
2
sehingga rata- rata keuntungannya jauh di bawah Rp 10.000.000,- setiap musim tanam.
Aspek pemasaran dan harga masih menjadi kendala bagi para petani agropolitan. Ini terlihat dari panjangnya rantai pemasaran dari produsen ke
konsumen. Bahkan ada kecenderungan petani agropolitan selalu dalam posisi tawar bargaining position yang lemah. Marjin keuntungan yang dinikmati petani
sebagai selisih dari harga jual dan biaya produksi senantiasa relatif lebih rendah dibandingkan dengan marjin pemasaran. Produk komoditas unggulan kawasan
agropolitan umumnya adalah produk primer dengan umur simpan terbatas sehingga harganya berfluktuasi. Peningkatan nilai tambah produk melalui pembuatan produk
primer melalui agroindustri sangat dibutuhkan petani guna meningkatkan harga jual produk. Akan tetapi petani di kawasan agropolitan belum berkemba ng agroindustri.
Dari aspek model, salah satu cara untuk mengatasi bentuk archetype limit to success adalah dengan menghilangkan memperpanjang proses pertumbuhan
211 sebagaimana pada pertumbuhan awal Kim, 1997. Dalam kaitan pengembangan
agropolitan proses tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan sarana input produksi dan teknologi, dan peningkatan ketrampilan sumberdaya manusia.
Berdasarkan analisis kelembagaan dan formulasi permasalahan yang telah dilakukan, maka kebijakan umum yang diperlukan dalam pembangunan perdesaan melalui
pengembangan agropolitan antara lain adalah: 1. Merumuskan peraturan perundangan yang berisi tentang pencegahan alih
fungsi lahan dari peruntukan lahan pertanian ke non pertanian. Kebijakan ini harus didukung dengan pene gakan hukum law enforcement bagi yang
melanggar baik perorangan maupun lembaga. Kekawatiran ini juga dinyatakan oleh Sitorus 2002 bahwa selama proses keagrariaan masih di
kendalikan oleh kekuatan politik, maka tidak ada lagi bagi masyarakat untuk memiliki tanah sendiri kecuali menyewa.
2. Memberdayakan dan meningkatkan peran aktif lembaga -lembaga teknis dalam rangka memperbaiki teknik budidaya petani sehingga lebih maju,
efisien dan ramah lingkungan. Pelatihan-pelatihan terhadap petani perlu digiatkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kebijakan ini
harus diwujudkan dalam bentuk paket-paket program yang dalam pelaksanaanya perlu pengawasan dan evaluasi yang ketat.
3. Melakukan pembinaan terhadap petani untuk melakukan teknik budidaya tanaman ya ng ramah lingkungan dengan melibatkan berbagai instansi teknis
terkait secara berkesinambungan. Pemberian insentif bagi petani yang menerapkan teknik budidaya ramah lingkungan, seperti pengolahan tanah
yang mengacu konsep konservasi, penggunaan pupuk ber imbang, penggunaan pestisida secara selektif dan terkendali, penerapan teknik
pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, perlu dilakukan. 4. Menumbuhkan sistem pengelolaan lahan bersama farm community di
kalangan petani guna mengatasi keterbatasan pemilikan lahan sehingga biaya operasionalnya akan menjadi lebih rendah dan secara ekonomis
menguntungkan. Pemerintah setempat perlu memberikan insentif bagi petani yang termasuk kedalam kelompok farm community pada produk
agropolitan.
212 5. Merumuskan skim-skim pembiayaan usahatani dengan melibatkan lembaga-
lembaga keuangan yang ada guna mempermudah petani mendapat akses modal usahatani. Lembaga Keuangan Mikro LKM merupakan lembaga
yang dapat melayani petani termasuk kebutuhan masyarakat perdesaan . LKM tidak secara resmi berfungsi sebagai Bank, tapi lembaga keuangan ini
cocok untuk memenuhi kebutuhan masyarakat perdesaan Siregar et al, 2004. Kebijakan ini harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat
sehingga program pembiayaan tersebut tepat guna dan tepat sasaran. Insentif perlu diberikan kepada lembaga keuangan yang bersedia memberikan skim
pembiayaan usahatani. 6. Menumbuhkan kemitraan usaha antara petani dan pengusaha. Kemitraan
diperlukan untuk mengatasi kendala kekurangan modal usahatani yang dihadapi pe tani. Kemitraan juga diperlukan untuk membantu petani
memasarkan produk yang dihasilkan sehingga dapat diperoleh harga yang lebih baik.
7. Meningkatkan peran pemerintah sebagai regulator dalam memberikan akses informasi pasar dan harga kepada petani agropolitan sehingga petani dapat
jaminan kepastian harga produk yang lebih baik. Kendala-kendala sisi penawaran, terutama ketersediaan infrastruktur tranportasi, jaringan
telekomunikasi serta hambatan komunikasi lainya perlu segera diatasi Romdhon dan Siregar, 2004.
8. Menarik investor untuk mengembangkan agroindustri di kawasan agropolitan untuk meningkatakan nilai tambah produk komoditas unggulan. Memberikan
insentif terhadap investor yang mau berinvestasi dalam agroindustri di kawasan agropolitan. Berkembangnya agroindustri akan menyerap tenaga
kerja lokal yang pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian di kawasan agropolitan. Sebagaimana dikemukakan juga oleh Banerjee dan Siregar
2002 bahwa peran kemitraan swasta dalam pembangunan perekonomian perdesan sangat penting.
9. Mengembangkan sumberdaya manusia para petani agropolitan melalui community development tentang agrobisnis dan agroindustri sehingga dapat
terbentuk petani-petani berwawasan luas.
213 10. Membangun sarana dan prasarana transportasi, pemasaran, dan
telekomunikasi di seluruh desa di kawasan agropolitan untuk meningkatkan produktivitas petani dan mempermudah pemasaran produk pertanian. Pada
akhirnya maka perekonomian kawasan dapat berkembang. Hal ini sejalan dengan Agusta et al. 2003, yang menyatakan bahwa pembangunan
infrastruktur di perdesaan dapat mendukung keberhasilan dalam mengurangi tingkat kemiskinan di perdesaan dengan mengembangkan sektor ekonomi.
4. 5.2. Kebijakan Spesifik Kawasan a. Kawasan Agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur