Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan Melalui Model Pengembangan Agropolitan
PEMBANGUNAN PERDESAAN BERKELANJUTAN MELALUI
MODEL PENGEMBANGAN AGROPOLITAN
DISERTASI
OLEH
SUGIMIN PRANOTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:
PEMBANGUNAN PERDESAAN BERKELANJUTAN MELALUI
MODEL PENGEMBANGAN AGROPOLITAN
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.
Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan
dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 14 Desember 2005
SUGIMIN PRANOTO
NRP P 062034174(3)
SUGI MIN PRANOTO. Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan Melalui Model Pengembangan Agropolitan. Dibimbing oleh M. SYAMSUL MA’ARIF, sebagai Ketua Komisi, SURJONO H. SUTJAHJO, dan HERMANTO SIREGAR masing-masing sebagai anggota komisi.
Pelaksanaan pembangunan selama ini masih menimbulkan kesenjangan antara perkotaan dan perdesaan. Hal ini terjadi karena adanya kebijakan yang kurang berpihak pada pembangunan di daerah perdesaan sehingga timbul berbagai permasalahan ketidak berimbangan kesejahteraan antar wilayah. Selain itu, kegagalan pembangunan di perdesaan telah mengakibatkan terja dinya backwash effect, dan penguasaan pasar kapital serta kesejahteraan lebih banyak dimiliki oleh masyarakat perkotaan. Kondisi masyarakat perdesaan semakin terpuruk, miskin, dan tingkat pengangguran struktural tinggi. Pengembangan agropolitan diharapka n dapat memberikan dampak positif dalam upaya memberdayakan masyarakat, mengurangi kemiskinan, dan mendukung kegiatan ekonomi perdesaan yang berwawasan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan kebijakan perdesaan yang berkelanjutan melalui model pengembangan agropolitan, berdasarkan pada analisis kewilayahan, kelembagaan (ISM), dan sistem dinamis. Pengembangan agropolitan relatif mampu meningkatkan pendapatan perkapita penduduk perdesaan. Analisis sistem dinamik menunjukkan bahwa model agropolitan mengikuti pola dasar Archetype Limit to Success, dengan pertumbuhan produksi sebagai
Leverage factor dari model dinamik. Oleh karena itu orientasi kebijakan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah kebijakan yang dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas produk secara berkelanjutan. Hasil analisis kelembagaan menunjukkan bahwa faktor kunci yang mendukung keberhasilan pengembangan agropolitan adalah SDM yang berkualitas, kemitraan usaha dan pemasaran, dan kinerja lembaga penyedia input. Kendala utama yang dihadapi meliputi kepemilikan lahan sempit dan alih fungsi lahan, lembaga penyuluhan belum efektif, kualitas SDM rendah, perubahan perilaku usaha sulit, dan dukungan lembaga permodalan masih rendah.
Key words: Pembangunan perdesaan, agropolitan, sistem dinamik, ISM, kebijakan pembangunan.
(4)
ABSTRACT
SUGIMIN PRANOTO. Sustainable Rural Development Through Agropolitan Development Model. M. SYAMSUL MA’ARIF, as Chairman. SURYONO H.SUTJAHJO and HERMANTO SIREGAR, as members of the Advisory Committee
The development implemented throughout all this time still reveals an unbalanced development between the urban and rural area. This has occ urred due to the development policy that is less favorable toward the development of rural areas causing various problems of imbalances (inequalities) of welfares among the regions. In addition, the failures of development in the rural areas have caused backwash effect, and the domination of capital market and welfares have been mostly possessed by the urban dwellers. The condition of rural communities have become more deteriorated, poorer, and the level of unemployment becoming higher. The development of agropolitan (agro-based area development) is expected to provide positive impact in the effort to empowering the rural community, reducing poverty, and supporting rural economic activities that are environmentally oriented. This study aims to develop a sustainable rural policy through the agropolitan development model, based on regiona l analysis, institutional analysis (ISM), and dynamic system. The agropolitan development is relatively able to improve the income per capita of the rural population. Dynamic system analysis showed that the agropolitan model follows the basic pattern of dynamic model. Thus, the policy orientation to improve people’s welfare is a policy that able to improve the quantity and quality of products in a sustainable manner. The result of analysis of institutional aspect showed key factors that support successful agropolitan development which are skilled human resources, business partnership and marketing, and the performance of institutions that provide input. The major constraints faced are small size land ow nership and productive agriculture land conversion, extension services agencies that are not yet effective, low quality of human resources, business behavior change not easy, and low support of capital institution.
Key words: Rural development, agropolitan (agro-based area development), dynamic system, ISM, development policy
(5)
MODEL PENGEMBANGAN AGROPOLITAN
OLEH
SUGIMIN PRANOTO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(6)
Nama Mahasiswa : SUGIMIN PRANOTO Nomor Pokok : P 062034174
Menyetujui, 1. Komisi pembimbing
Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma’arif, M. Eng Ketua
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Anggota
Dr. Ir. Hermanto Siregar, Dipl.Ag.Ec,M.Ec. Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkunga n
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S.
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
(7)
Penulis lahir pada tanggal 10 Pebruari 1948 di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, dari pasangan Iman Supangat (almarhum) dan Saerah (almarhuma h). Penulis beristrikan Pujihastutiningsih dan berputrakan Pujo Cahyono Agustiyanto, Yuliana Dhiah Pramastuti dan Mahar Agung Triprahasto. Penulis menyelesaikan pendidikan Strata S1 di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan Teknik Yogyakarta, Jurusan Bangunan Gedung; Diploma Degree di Institute of Housing Study,di Rotterdam, Netherland, pada tahun 1984. Menyelesaikan pendidikan Strata S2 di Asian Institute of Technology Thailand, jurusan Human Settlement Development, pada tahun 1986.
Pada bulan Desember tahun 2003, penulis mendapat kesempatan menempuh pendidikan S3 pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dan selesai pada tahun 2005. Penulis sambil menye lesaikan kuliah mulai bekerja dilingkungan Departemen Pekerjaan Umum, di Kantor Kursus Kader Teknik, Pusdiklat Yogyakarta pada tahun 1970. Kemudian bekerja di Kantor Proyek Pusat Informasi Teknik Bangunan (Building Information Centre/BIC), Direktorat Perumahan, Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 1971 – 1974 di Yogyakarta. Pada tahun 1974, penulis pindah ke Jakarta, bekerja di Direktorat Perumahan, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum.
Karir penulis dilingkungan Departemen Pekerjaan Umum dimulai dengan Kepala Seksi dilingkungan Direktorat Perumahan, Ditjen Cipta Karya, pada tahun 1976 – 1991. Pada kurun waktu tersebut penulis juga dipercaya sebagai Kepala Proyek, dilingkungan Direktorat Perumahan Ditjen Cipta Karya. Pada tahun 1991 – 1994, sebagai Kepala Sub Dinas Perumahan, Dinas Cipta Karya, Provinsi Sumatera Utara. Selanjutnya sebagai Kepala Subdit Pelaksanaan Wilayah Barat, Ditjen Cipta Karya pada tahun 1994 – 1999. Pada waktu yang hampir bersamaan penulis ditunjuk sebagai Kepala Ce ntral Project Administrator (CPA) Loan ADB-1352 INO yang menangani proyek air bersih dan sanitasi perdesaan di Sumatera dan Kalimantan pada tahun 1995 – 1999. Pada tahun 1999, diangkat menjadi Direktur Bina Pelaksanaan Wilayah Barat, Ditjen Cipta Karya,Departemen Pekerjaan Umum, Setelah ada perubahan kabinet dan perubahan nama Departemen PU menjadi Departemen Kimbangwil, penulis diangkat
(8)
menjadi Direktur Perdesaan Wilayah Timur, pada tahun 1999 – 2001. Kemudian diangkat menjadi Direktur Perkotaan dan Perdesaan, Departemen Kimpraswil pada tahun 2001 – 2002. Pada tahun 2002 – 2005 diangkat menjadi Sekretaris Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan. Penulis mulai bulan Juni 2005, dipercaya menjadi Staf Ahli Menteri PU, Bidang Pengembangan Keahlian dan Tenaga Fungsional.
Penulis telah menghasilkan beberapa karya tulis di bidang manajemen antara lain yaitu : Reformasi Kebijakan Pembangunan Prasarana dan Sarana Perdesaan untuk mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Karya Tulis Prestasi Perorangan (KTP 2). Diklatpim Tingkat I, angkatan III LAN-RI, Jakarta (2002). E-Community Development in Agropolitan Project in West Java Province. Paper on Regional Workshop on Building E-Community Centres for Rural Development. Asian Development Bank Institute, Bali (2004).
(9)
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya penulisan disertasi ini. Tema yang dipilih adalah Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan Melalui Model Pengembangan Agropolitan.
Orientasi pembangunan yang dilaksanakan selama ini lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi di daerah perkotaan ternyata belum dapat memberikan pengaruh penetesan ke daerah perdesaan. Bahkan yang terjadi adalah banyaknya urbanisasi, pengurasan sumberdaya alam dari perdesaan kedaerah perkotaan yang pada gilirannya terjadi ketimpangan pembangunan antara perkotaan dan perdesaan. Ketimpangan ini kalau tidak diatasi dan diprogramkan penanganannya secara terpadu dan holistik maka akan mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Di sisi lain di daerah perdesaan yang lebih didominasi kegiatan pertanian konsep pembangunan yang selama ini diterapkan lebih diarahkan pada peningkatan produksi pertanian, seperti program kawasan industri masyarakat perkebunan (Kimbun), kawasan usaha peternakan (Kunak), kawasan industri peternakan (Kinak), bimbingan masal (Bimas) dan berbagai program lainnya. Peningkatan produksi pertanian diharapkan dengan sendirinya dapat meningkatkan perekonomian perdesaan. Namun dalam kenyataannya belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani di kawasan perdesaan.
Penelitian ini ingin menjawab apakah model pengembangan agropolitan mampu secara nyata dapat memberikan nilai tambah terhadap peningkatan pendapatan masyarakat di perdesaan. Hasil analisis menunjukkan bahwa model pengembangan agropolitan dapat meningkatkan penghasilan masyarakat dibandingkan dengan desa non agropolitan.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada para pembimbing yaitu: Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Ma’arif, M. Eng, sebagai Ketua Komisi Pembimbing; Dr. Ir. Suryono H. Sutjahjo, MS dan Dr. Ir. Hermanto Siregar, Dipl. Ag. Ec., M.Ec; masing-masing sebagai anggota Komisi Pembimbing. Tanpa arahan, masukan dan dorongan yang diberikan oleh komisi pembimbing selama penelitian dan penulisa n, maka tidak dapat dibayangkan apakah disertasi ini dapat selesai dengan cepat dan baik. Terima kasih dan penghargaan saya sampaikan juga kepada Dr. Ir. Setiahadi, MSc; Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc dan Dr. Ir. Hermanto Dardak, M.Sc; sebagai
(10)
penguji. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis selama mengikuti perkuliahan di Program PSDA dan Lingkungan Kelas S3-Kimpraswil Plus – IPB.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Pimpinan IPB, yaitu Rektor IPB (Prof. Dr. Ir. Ahmad Ansori Mattjik, MSc); Dekan Sekolah Pascasarjana (Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, MSc); dan Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Dr. Ir. Suryono H. Sutjahjo. M.S).
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang besar penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Sunarno. Dipl.HE; Dr. hc. Ir.Djoko Kirmanto, Dipl.HE; Ir.Budiman Arief; Dr. Ir. Roestam Syarief, MNRP; yang telah mengijinkan dan memberi dukungan kepada saya untuk mengikuti kuliah program S3. Ucapan terima kasih saya sampaikan pula ke rekan-rekan kelas S3 – PSL atas dorongan dan kerjasamanya. Kebersamaan dan dukungan rekan-rekan, maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan disertasi dengan cepat. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Kholil; Dr. Ir. Catur Horison, MSc; Ir. Marlis Yunanto; yang telah mendukung penulis untuk menyelesaikan disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada berbagai lembaga yang telah membantu dan menyediakan data yang diperlukan untuk penyusunan disertasi ini.
Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada istri (Pujihastutiningsih) dan ketiga anak (Pujo Cahyono Agustiyanto, Yuliana Dhiah Pramastuti, dan Mahar Agung Tri Prahasto) atas pengertian dan dukungannya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Disertasi ini dengan lancar.
Disertasi ini juga dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan dorongan dan bantuan berbagai pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Pada akhirnya, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan disertasi ini, maka penulis yang bertanggung jawab. Kiranya Tuhan memberikan balasan berkah kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis.
Bogor, 14 Desember 2005
Sugimin Pranoto
(11)
iii
Prakata ... i
Daftar Isi ... iii
Daftar Tabel ... v
Daftar Gambar ... viii
Daftar Lampiran ... xii
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1
1.2. Tujuan Penelitian ... 3
1.3. Kerangka Pemikiran ... 3
1.4. Perumusan Masalah ... 7
1.5. Kebaruan dan ManfaatPenelitian ... 11
1.5.1. Kebaruan Penelitian... 11
1.5.2. Manfaat Penelitian ... 11
1.6. Keterbatasan Penelitian ... 12
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Model dan Analisis Kebijakan ... 13
2.1.1. Penggunaan Model ... 13
2.1.2. Analisis Kebijakan ... 14
2.2. Pembangunan Perdesaan ... 15
2.3. Pembangunan Berkelanjutan ... 18
2.3.1. Konsep dan Definisi ... 18
2.3.2. Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan ... 21
2.4. Pengembangan Wilayah ... 22
2.5. Agropolitan ... 27
2.5.1. Pengertian ... 28
2.5.2. Batas Kawasan Agropolitan ... 29
2.6. Pemberdayaan Ekonomi Perdesaan ... 32
2.6.1. Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan ... 32
2.6.2. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat yang Berkelanjutan ... 34
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 37
3.2. Rancangan Penelitian ... 38
3.2.1. Analisis Kinerja Kawasan Agropolitan ... 38
3.2.2. Analisis Dampak Pengembangan Kawasan Agropolitan terhadap Pendapatan Petani ... 50
3.2.3. Analisis Sistem Dinamis Pengembangan Model Pembangunan Perdesaan Melalui Pengembangan Agropolitan ... 51
(12)
iv BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Kondisi Wilayah dan Lingkungan Lokasi
Penelitian ... 59
4.1.1. Kawasan Agropolitan Cianjur ... 59
4.1.2. Kawasan Agropolitan Brebes-Larangan Kabupaten Brebes 69
4.1.3. Kawasan Agropolitan Belik-Pulosari Pemalang ... 81
4.1.4. Kawasan Agropolitan Turi-Pakem-Cangkringan Kabupaten Sleman ... 92
4.2. Kinerja Kawasan Agropolitan ... 103
4.2.1. Perkembangan Wilayah Berdasarkan Analisis Skalogram 103
4.2.2. Kemajuan Wilayah Berdasarkan Indeks Perkembangan Wilayah (IPD) ... 109
4.2.3. Keragaan Usahatani ... 116
4.2.4. Analisis Kuadran ... 123
4.2.5. Analisis Tipologi di Dalam Kawasan Agropolitan ... 126
4.2.6. Analisis Spasial... 136
4.2.7. Analisis Kelembagaan dan Kendala dalam Pengembangan Agropolitan ... 153
4.2.8. Ikhtisar Kinerja Kawasan Agropolitan ... 182
4.3. Dampak Pengembangan Kawasan Agropolitan terhadap Pendapatan Petani ... 187
4.4. Model Pembangunan Perdesaan Melalui Pengembangan Agropolitan ... 191
4.4.1. Pengembangan Model Pembangunan Perdesaan... 191
4.4.2. Pengembangan dan Simulasi Model ... 197
4.4.3. Verifikasi Model ... 201
4.4.4. Sintesa Hasil ... 206
4.5. Rekomendasi Kebijakan Pembangunan Perdesaan Melalui Pengembangan Agropolitan ... 209
4.5.1. Kebijakan Umum ... 209
4.5.2. Kebijakan Spesifik Kawasan ... 213
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 217
5.2. Saran ... 219
DAFTAR PUSTAKA... 221
(13)
v
Tabel 1. Karakteristik Kawasan Agropolitan yang Digunakan Sebagai Objek
Penelitian... 37 Tabel 2. Indikator -indikator Utama Kawasan dan Variabel Operasionalnya
dalam Penentuan Karakteristik dan Tipologi Kawasan Agropolitan... 40 Tabel 3. Model Tabulasi Data dalam Analisis Skalogram dengan Indeks
Sentralitas ... 44 Tabel 4. Kebutuhan dari Pelaku Pengembangan Agropolitan... 55 Tabel 5. Produktivitas Tanaman Komoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur ... 65 Tabel 6. Produktivitas Tanaman Komoditas Unggulan di Kawasan Pertanian
Brebes-Larangan, Kabupaten Brebes Tahun 2005... 75 Tabel 7. Produktivitas Tanama n Komoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan
Belik -Pulosari, Kabupaten Pemalang Tahun 2005 ... 87 Tabel 8. Produktivitas Tanaman Komoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan Turi-Cangkringan-Pakem Kabupaten Sleman Tahun 2005 ... 99 Tabel 9. Hierarki Wilayah Desa Berdasarkan Analisis Skalogram di Kawasan
Agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur ... 105 Tabel 10. Hierarki Wilayah Desa Berdasarkan Analisis Skalogram di Kawasan
Agropolitan Brebes-Larangan Kabupaten Brebes ... 106 Tabel 11. Hierarki Wilayah Desa Berdasarkan Analisis Skalogram di Kawasan
Agropolitan Belik -Pulosari Kabupaten Pemalang ... 107 Tabel 12. Hierarki Wilayah Desa Berdasarkan Analisis Skalogram di Kawasan
Agropolitan Sleman... 109 Tabel 13. Resume Hasil Analisis Indeks Perkembangan Desa di Setiap Kawasan
Agropolitan... 111 Tabel 14. Daftar Kelompok Desa Berdasarkan Tipe Perkembangan Wilayah
untuk Desa-Desa di Kawasan Agropolitan Cianjur ... 112 Tabel 15. Daftar Kelompok Desa Berdasarkan Tipe Perkembangan Wilayah
untuk Desa-desa di Kawasan Agropolitan Brebes -Larangan
Kabupaten Brebes ... 114 Tabel 16. Daftar Kelompok Desa Berdasarkan Tipe Perkembangan Wilayah
untuk Desa-desa di Kawasan Agropolitan Belik-Pulosari Kabupaten Pemalang... 115 Tabel 17. Daftar Kelompok Desa Berdasarkan Tipe Perkembangan Wilayah
untuk Desa-desa di Kawasan Agropolitan Sleman... 116 Tabel 18. Hubungan Antara Lembaga Agribisnis dan Nilai Rasio R/C... 125
(14)
vi
Tabel 20. Pengelompokan Desa-desa di Kawasan Agropolitan Brebes dan
Karakteristik dari Setiap Kelompok ... 131 Tabel 21. Pengelompokan Desa-desa di Kawasan Agropolitan Pemalang dan
Karakteristik dari Setiap Kelompok ... 133 Tabel 22. Pengelompokan Desa-desa di Kawasan Agropolitan Sleman dan
Karakteristik dari Setiap Kelompok ... 135 Tabel 23. Prioritas Lahan Hasil Analisis Spasial Berdasarkan Kesesuaian untuk
Pengembangan Komoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur... 141 Tabel 24. Prioritas Lahan Hasil Analisis Spasial Berdasarkan Kesesuaian Ruang
untuk Pengembangan Komoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan Brebes-Larangan Kabupaten Brebes ... 143 Tabel 25. Prioritas Lahan Hasil Analisis Spasial Berdasarkan Kesesuaian Ruang
untuk Pengembangan Komoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan Belik -Pulosari Kabupaten Pemalang... 146 Tabel 26. Prioritas Lahan Hasil Analisis Spasial Berdasarkan Kesesuaian Ruang
untuk Pengembangan Komoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan Turi-Pakem-Cangkringan Kabupaten Sleman... 150 Tabel 27. Hasil Reachability Matriks Final dari Elemen Tujuan Program
Kawasaan Agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur ... 154 Tabel 28. Hasil Reachability Matriks Final dari Elemen Kebutuhan Program
Kawasaan Agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur ... 157 Tabel 29. Hasil Reachability Matriks Final dari Elemen Kendala Program
Kawasaan Agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur ... 159 Tabel 30. Hasil Reachability Matriks Final dari Elemen Tujuan Progarm
Kawasan Agropolitan Brebes-Larangan Kabupaten Brebes ... 161 Tabel 31. Hasil Reachability Matriks Final dari Elemen Kebutuhan Program
Kawasan Agropolitan Brebes-Larangan Kabupaten Brebes ... 164 Tabel 32. Hasil Reachability Matriks Final dari Elemen Kendala Program
Kawasan Agropolitan Brebes-Larangan Kabupaten Brebes ... 166 Tabel 33. Hasil Reachability Matriks Final dari Elemen Tujuan Program
Kawasan Agropolitan Belik -Pulosari Kabupaten Pemalang... 168 Tabel 34. Hasil Reachabil ity Matriks Final dari Elemen Kebutuhan Program
Kawasan Agropolitan Belik -Pulosari Kabupaten Pemalang... 171 Tabel 35. Hasil Reachability Matriks Final dari Elemen Kendala Program
(15)
vii
Kabupaten Sleman... 175 Tabel 37. Hasil Reachablity Matriks Final dari Sub Elemen Kebutuhan Program
Kawasan Agropolitan Turi-Pakem-Cangkringan Kabupaten Sleman ... 177 Tabel 38. Hasil Reachability Matriks Final dari Elemen Kendala Program
Kawasan Agropolitan Turi-Pakem-Cangkringan Kabupaten Sleman ... 179 Tabel 39. Rangkuman Hasil Analisis Kelembagaan di Empat Kawasan
Agropolitan ... 181 Tabel 40. Perbandingan Tingkat Rata-rata Pendapatan Petani per Tahun pada
(16)
viii
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan Melalui
Model Pengembangan Agropolitan ... 6
Gambar 2. Diagram Perumusan Masalah Pembangunan Perdesaan... 9
Gambar 3. Unsur-unsur Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan... 36
Gambar 4. Diagram Alir Metode Penelitian... 39
Gambar 5. Pemetaan Kawasan Kajian Dalam Analisis Kuadran ... 49
Gambar 6. Siklus Permodelan ... 52
Gambar 7. Causal Loop Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan Melalui Model Pengembangan Agropolitan ... 52
Gambar 8. Diagram Black Box (INPUT-OUTPUT) Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan Melalui Model Pengembangan Agropolitan... 53
Gambar 9. Peta Administrasi Kawasan Agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur ... 60
Gambar 10. Peta Penggunaan Lahan Kawasan Agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur ... 61
Gambar 11. Proporsi Penggunaan Lahan di Kawasan Agropolitan Pacet, Kabupaten Cianjur ... 62
Gambar 12. Peta Administrasi Kawasan Agropolitan Brebes-Larangan Kabupaten Brebes ... 70
Gambar 13. Peta Penggunaan Lahan Kawasan Agropolitan Brebes-Larangan Kabupaten Brebes ... 73
Gambar 14. Proporsi Penggunaan Lahan di Kawasan Agropolitan Larangan- Brebes, Kabupaten Brebes ... 74
Gambar 15. Peta Administrasi Kawasan Agropolitan Belik -Pulosari Kabupaten Pemalang... 82
Gambar 16. Pola Penggunaan Lahan di Kawasan Agropolitan Belik-Pulosari, Kabupaten Pemalang ... 83
Gambar 17. Peta Penggunaan Lahan di Kawasan Agropolitan Belik-Pulosari Kabupaten Pemalang ... 84
Gambar 18. Peta Administrasi Kawasan Agropolitan Turi-Pakem-Cangkringan Kabupaten Sleman... 94
Gamber 19. Peta Penggunaan Lahan di Kawasan Agropolitan Turi-Pakem- Cangkringan Kabupaten Sleman... 95
Gambar 20. Pola Penggunaan Lahan di Kawasan Agropolitan Turi- Pakem- Cangkringan, Kabupaten Sleman ... 96
Gambar 21. Analisis Kuadran Berdasarkan Kelengkapan Lembaga Penunjang dan Keragaan Usahatani Komoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan.. 125
(17)
ix
Gambar 23. Peta Hasil Analisis Spasial untuk Prioritas Pengembangan Komoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur ... 140 Gambar 24. Peta Hasil Analisis Spasial Berdasarkan Slope dan Elevasi Kawasan
Agropolitan Brebes-Larangan Kabupaten Brebes ... 142 Gambar 25. Peta Hasil Analisis Spasial untuk Prioritas Pengembangan
Komoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan Brebes-Larangan
Kabupaten Brebes ... 144 Gambar 26. Peta Hasil Analisis Spasial Berdasarkan Slope dan Elevasi Kawasan
Agropolitan Belik -Pulosari Kabupaten Pemalang ... 147 Gambar 27. Peta Hasil Analisis Spasial untuk Prioritas Pengembangan
Komoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan Belik-Pulosari
Kabupaten Pemalang ... 148 Gambar 28. Peta Hasil Analisis Spasial Berdasarkan Slope dan Elevasi Kawasan
Agropolitan Turi-Pakem-Cangkringan Kabupaten Sleman... 151 Gambar 29. Peta Hasil Analisis Spasial untuk Prioritas Pengembangan
Komoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan Turi-Pakem-
Cangkringan Kabupaten Sleman... 152 Gambar 30. Hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) pada Elemen
Tujua n Program Kawasaan Agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur ... 155 Gambar 31. Diagram Model Struktur Hirarki Sub Elemen Tujuan Program
Kawasaan Agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur... 156 Gambar 32. Hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) pada Elemen
Kebutuhan Program Kawasaan Agropolitan Pacet Kabupaten
Cianjur ... 157 Gambar 33. Diagram Model Struktur Hirarki Sub Elemen Kebutuhan Program
Kawasaan Agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur... 158 Gambar 34. Hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) pada Elemen
Kendala Program Kawasan Agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur ... 160 Gambar 35. Diagram Model Struktur Hirarki Sub Elemen Kendala Program
Kawasaan Agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur... 160 Gambar 36. Hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) pada Element
Tujuan Program Kawasan Agropolitan Brebes-Larangan Kabupaten Brebes ... 162 Gambar 37. Diagram Model Struktur Hirarki Sub Elemen Kendala Program
(18)
x
Kabupaten Brebes ... 164 Gambar 39. Diagram Model Struktur Hirarki Sub Elemen Kebutuhan Program
Kawasan Agropolitan Brebes-Larangan Kabupaten Brebes ... 165 Gambar 40. Hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) pada Elemen
Kendala Program Kawasan Agropolitan Brebes-Larangan Kabupaten Brebes ... 167 Gambar 41. Diagram Model Struktur Hirarki Sub Elemen Kendala Program
Kawasan Agropolitan Brebes-Larangan Kabupaten Brebes ... 167 Gambar 42. Hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) pada Elemen
Tujuan Program Kawasan Agropolitan Belik-Pulosari Kabupaten Pemalang ... 169 Gambar 43. Diagram Model Struktur Hirarki Sub Elemen Tujuan Program
Kawasan Agropolitan Belik -Pulosari Kabupaten Pemalang ... 170 Gambar 44. Hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) pada Elemen
Kebutuhan Program Kawasan Agropolitan Belik -Pulosari Kabupaten Pemalang... 171 Gambar 45. Diagram Model Struktur Hirarki Sub Elemen Kebutuhan Program
Kawasan Agropolitan Belik -Pulosari Kabupaten Pemalang ... 172 Gambar 46. Hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) pada Elemen
Kendala Program Kawasan Agropolitan Belik-Pulosari Kabupaten Pemalang... 174 Gambar 47. Diagram Model Struktur Hirarki Sub Elemen Kendala Program
Kawasan Agropolitan Belik -Pulosari Kabupaten Pemalang ... 174 Gambar 48. Hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) pada Elemen
Tujuan Program Kawasan Agropolitan Turi-Pakem-Cangkringan Kabupaten Sleman... 176 Gambar 49. Diagram Model Struktur Hirarki Sub Elemen Tujuan Program
Kawasan Agropolitan Turi-Pakem-Cangkringan Kabupaten Sleman 176 Gambar 50. Hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) pada Elemen
Kebutuhan Program Kawasan Agropolitan Turi-Pakem-Cangkringan Kabupaten Sleman... 178 Gambar 51. Diagram Model Struktur Hirarki Sub Elemen Kebutuhan Program
Kawasan Agropolitan Turi-Pakem-Cangkringan Kabupaten Sleman 178 Gambar 52. Hubungan Driver Power (DP) dan Dependence (D) pada Elemen
Kendala Program Kawasan Agropolitan Turi-Pakem-Cangkringan Kabupaten Sleman... 180
(19)
xi
Gambar 54. Rata-rata Pendapatan Total Petani di Kawasan Agropolitan dan
Nonagropolitan di Empat Wilayah Studi ... 188 Gambar 55. Causal Loop Diagram Produksi Pertanian Berwawasan Lingkungan 192 Gambar 56. Sub Model Produksi Pertanian Berwawasan Lingkungan... 192 Gambar 57. Causal Loop Diagram Pengolahan Produk Berwawasan Lingkungan 193 Gambar 58. Submodel Pengolahan Produk Agropolitan Berwawasan Lingkungan194 Gambar 59. Causal Loop Diagram Pemasaran Produk Agropolitan... 195 Gambar 60. Submodel Pemasaran Produk Agropolitan... 196 Gambar 61. Causal Loop Mode l Pembangunan Perdesaan Melalui
Pengembangan Agropolitan... 196 Gambar 62. Pola Perkembangan Produksi Agropolitan Berdasarkan Hasil
Simulasi Submodel Produksi Agropolitan Berwawasan Lingkungan 198 Gambar 63. Perbandingan Pola Pertumbuhan Penduduk Hasil Simulasi (warna
merah) dengan data dilapangan (hitam) ... 199 Gambar 64. Hasil Pola Perbandingan Jumlah Produksi (A), Jumlah Industri (B),
Jumlah Keuntungan (C), dan Jumlah Limbah (D) Berdasarkan Hasil Simulasi Main Model dan Co Model... 200 Gambar 65. Pola Pertumbuhan Penduduk di Cianjur (1), Brebes (2),Pemalang (3) dan Sleman (4) ... 201 Gambar 66. Pola Perkembangan Kerusakan Lingkungan (1) dan Daya Dukung
Lingkungan (2) di Wilayah Agropolitan... 202 Gambar 67. Pola Pertumbuhan Produktivitas Bawang Daun (1), Cabe (2) dan
Wortel (3) per Hektar di Kawasan Ciannjur ... 203 Gambar 68. Pola Pertumbuhan Produktivitas Produk Unggulan Agropolitan:
Kubis di Pemalang (1), Salak di Sleman (2), dan Bawang Merah di Brebes ... 203 Gambar 69. Pola Pertumbuhan Limbah Sisa (1) dan Industri Pengemasan Produk
Agropolitan (2), pada Kawasan Agropolitan Cianjur ... 204 Gambar 70. Pola Pertumbuhan Keuntungan Petani Agropolitan di Cianjur (1),
(20)
xii
Lampiran 1. Analisis Skalogram Kawasan Agropolitan Pacet, Kabupaten
Cianjur ... 230 Lampiran 2. Analisis Skalogram Kawasan Agropolitan Brebes-Larangan,
Kabupaten Brebes ... 232 Lampiran 3. Analisis Skalogram Kawasan Agropolitan Belik-Pulosari,
Kabupaten Pemalang... 234 Lampiran 4. Analisis Skalogram Kawasan Agropolitan Turi-Pakem-
Cangkringan, Kabupaten Sleman... 236 Lampiran 5. Indeks Perkembangan Desa Kawasan Agropolitan Pacet,
Kabupaten Cianjur ... 237 Lampiran 6. Indeks Perkembangan Desa Kawasan Agropolitan Brebes-
Larangan, Kabupaten Brebes ... 241 Lampiran 7. Indeks Perkembangan Desa Kawasan Agropolitan Belik-Pulosari,
Kabupaten Pemalang ... 245 Lampiran 8. Indeks Perkembangan Desa Kawasan Agropolitan
Turi-Pakem-Cangkringan, Kabupaten Sleman ... 249 Lampiran 9. Hasil Analisis Rasio R/C Usahatani Sayuran Di Kawasan
Agropolitan Pacet, Kabupaten Cianjur ... 251 Lampiran 10a. Rata-Rata Pendapatan Per Petani Sampel Bawang Merah
Brebes-Larangan, Kabupaten Brebes ... 253 Lampiran 10b. Nilai Rasio R/C-Nya Petani Sampel Bawang Merah Brebes -
Larangan, Kabupaten Brebes ... 254 Lampiran 10c. Hasil Analisis R/C Usahatani Gabungan Komoditas Unggulan di
Kawasan Agropolitan Brebes-Larangan, Kabupaten Brebes ... 255 Lampiran 11a. Nilai Rasio R/C Usahatani Cabai Merah di Kawasan Agropolitan
Belik -Pulosari, Kabupaten Pemalang ... 256 Lampiran 11b. Nilai Rasio R/C Usahatani Kubis di Kawasan Agropolitan
Belik-Pulosari, Kabupaten Pemalang ... 257 Lampiran 11c. Nilai Rasio R/C Usahatani Gabungan Komoditas Unggulan di
Kawasan Agropolitan Belik -Pulosari, Kabupaten Pemalang ... 258 Lampiran 12a. Nilai Rasio R/C Usahatani Salak di Kawasan Agropolitan Turi-
Pakem-Cangkringan, Kabupaten Sleman ... 259 Lampiran 12b. Nilai Rasio R/C Usahatani Cabai Merah di Kawasan Agropolitan
(21)
xiii
Sleman ... 261 Lampiran 13a. Nilai Korelasi Antara Variabel Baru Hasil Analisis PCA dengan
Variabel Asal untuk Kawasan Agropolitan Cianjur ... 262 Lampiran 13b. Nilai Eigenvalue dan Keragaman dari Kelima Faktor Hasil
Analisis PCA untuk Kawasan Agropolitan Cianjur ... 262 Lampiran 14a Nilai Korelasi Antara Variabel Baru Hasil Analisis PCA dengan
Variabel Asal untuk Kawasan Agropolitan Brebes ... 263 Lampiran 14b Nilai Eigenvalue dan Keragaman dari Kelima Faktor Hasil
Analisis PCA untuk Kawasan Agropolitan Brebes ... 263 Lampiran 15a Nilai Korelasi antara Variabel Baru Hasil Analisis PCA dengan
Variabel Asal untuk Kawasan Agropolitan Pemalang... 264 Lampiran 15b Nilai Eigenvalue dan Keragaman dari Kempat Faktor Hasil
Analisis PCA untuk Kawasan Agropolitan Pemalang... 264 Lampiran 16a Nilai Korelasi Antara Variabel Baru Hasil Analisis PCA dengan
Variabel Asal untuk Kawasan Agropolitan Sleman ... 265 Lampiran 16b. Nilai Eigenvalue dan Keragaman dari Kelima Faktor Hasil
Analisis PCA di Kabupaten Sleman ... 265 Lampiran 17a. Pendapatan petani di Kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur ... 266 Lampiran 17b. Penggunaan Tenaga Kerja Petani di Kawasan Agropolitan
Kabupaten Cianjur ... 267 Lampiran 17c. Penggunaan Sarana Produksi Pupuk di Kawasan Agropolitan
Kabupaten Cianjur ... 268 Lampiran 17d. Penggunaan Sarana Produksi Pestisida di Kawasan Agropolitan
Kabupaten Cianjur ... 269 Lampiran 17e. Produksi Usahatani di Kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur . 270 Lampiran 18a. Pendapatan petani di Kawasan Agropolitan Brebes -Larangan
Kabupaten Brebes ... 271 Lampiran 18b. Penggunaan Tenaga Kerja Petani di Kawasan Agropolitan
Brebes- Larangan Kabupaten Brebes... 272 Lampiran 18c. Penggunaan Sarana Produksi Benih di Kawasan Agropolitan
Brebes-Larangan Kabupaten Brebes ... 273 Lampiran 18d. Penggunaan Sarana Produksi Pupuk di Kawasan Agropolitan
Brebes-Larangan Kabupaten Brebes ... 274 Lampiran 18e. Penggunaan Sarana Produksi Pestisida di Kawasan Agropolitan
(22)
xiv
Lampiran 19a. Pendapatan petani di Kawasan Agropolitan Belik-Pulosari,
Kabupaten Pemalang... 277 Lampiran 19b. Penggunaan Tenaga Kerja Petani di Kawasan Agropolitan Belik-
Pulosari, Kabupaten Pemalang ... 278 Lampiran 19c. Penggunaan Sarana Produksi Benih di Kawasan Agropolitan
Belik -Pulosari, Kabupaten Pemalang ... 279 Lampiran 19d. Penggunaan Sarana Produksi Pupuk di Kawasan Agropolitan
Belik -Pulosari, Kabupaten Pemalang ... 280 Lampiran 19e. Penggunaan Sarana Produksi Pestisida di Kawasan Agropolitan
Belik -Pulosari, Kabupaten Pemalang ... 281 Lampiran 19f. Produksi Usahatani di Kawasan Agropolitan Belik -Pulosari,
Kabupaten Pemalang... 282 Lampiran 20a. Pendapatan petani di Kawasan Agropolitan Turi-Pakem-
Cangkringan Kabupaten Sleman ... 283 Lampiran 20b. Penggunaan Tenaga Kerja Petani di Kawasan Agropolitan Turi-
Pakem-Cangkringan Kabupaten Sleman ... 284 Lampiran 20c. Penggunaan Sarana Produksi Pupuk di Kawasan Agropolitan
Turi-Pakem-Cangkringan Kabupaten Sleman... 285 Lampiran 20d. Penggunaan Sarana Produksi Pupuk di Kawasan Agropolitan
Turi-Pakem-Cangkringan Kabupaten Sleman ... 286 Lampiran 20e. Penggunaan Sarana Produksi Pestisida di Kawasan Agropolitan
Turi-Pakem-Cangkringan Kabupaten Sleman ... 287 Lampiran 20f. Produksi Usahatani di Kawasan Agropolitan
Turi-Pakem-Cangkringan Kabupaten Sleman... 288 Lampiran 21. Bahasa Program Model Dinamik ... 289
(23)
1.1. Latar Belakang
Hingga saat ini, kawasan perdesaan merupakan kawasan tempat tinggal sebagian besar penduduk Indonesia. Hasil Sensus Penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa 58 persen penduduk Indonesia bermukim di kawasan perdesaan, bahkan di pulau-pulau besar kawasan Timur Indonesia seperti Sulawesi, Maluku dan Papua jumlah penduduk yang bermukim di perdesaan masih di atas 70 persen (Badan Pusat Statistik, 2001) . Menurut rumusan Undang-undang No. 32 Th 2004, yang dimaksud dengan kawasan perdesaanadalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Kebijakan pembangunan perdesaan selama ini disusun dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dan mempercepat industrialisasi perdesaan. Sasaran utama yang ingin dicapai adalah meningkatnya pendapatan masyarakat perdesaan, terciptanya lapangan pekerjaan, tersedianya bahan pangan dan bahan lainya untuk konsumsi dan produksi, terwujudnya keselarasan hubungan ekonomi antara wilayah perdesaan dan wilayah perkotaan, menguatnya pertumbuhan ekonomi lokal, dan meningkatnya lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat perdesaan. Dalam kaitan tersebut Pradhan (2003) menyatakan bahwa pembangunan perdesaan hanya dapat berkesinambungan apabila fasilitas prasarana dan sarana yang tersedia dapat menstimulasi serta mendorong aktivitas produksi dan pasar di wilayah perdesaan. Perdesaan sebagai pemasok hasil produksi pertanian dalam bentuk produk-produk primer harus didorong menjadi desa-desa yang mampu menghasilkan bahan olahan atau industri hasil pertanian sehingga menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi lokal (Gamma Epsilon, 2004).
Untuk mencapai tujuan pembangunan perdesaan tersebut diperlukan integrasi kegiatan-kegiatan pokok yang meliputi: (1) pembangunan sarana dan prasarana, (2) pembangunan sistem agribisnis , (3) pengembangan industri kecil dan rumah tangga,
(24)
(4) penguatan lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat, (5) pengembangan jaringan produksi dan pemasaran, (6) penguasaan teknologi tepat guna , (7) pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan dan peningkatan kehidupan sosial ekonomi kelompok keluarga miskin secara terpadu, (8) menyempurnakan struktur organisasi pemerintah desa dan lembaga-lembaga ekonomi lainnya (Pranoto, 2002). Menurut Kurnia (1999), upaya untuk melakukan modernisasi dan penguatan ekonomi perdesaan adalah melalui dukungan penyediaan infrastruktur perdesaan seperti jalan, listrik, air bersih dan prasarana kegiatan ekonomi lainnya.
Dalam prakteknya, proses pembangunan perdesaan yang dilaksanakan selama ini belum berhasil mencapai tujuan tersebut, bahkan disisi lain telah menimbulkan berbagai permasalahan baru berupa kesenjangan antar kota dan desa, yaitu perbedaan tingkat kesejahteraan yang menyolok antara wilayah perdesaan dan perkotaan. Hal tersebut selaras dengan pernyataan Mubyarto (2004), bahwa kesenjangan antara sektor industri dengan sektor pertanian itu tampak pada kesenjangan kota – desa. Pembangunan industri, yang sebagian besar terletak di perkotaan, tumbuh pesat selama hampir 30 tahun. Sebaliknya, pembangunan sektor pertanian dan industri olahannya , yang hampir seluruhnya berada di daerah perdesaan, sangat lambat pertumbuhannya.
Sektor pertanian merupakan suatu sistem yang menyeluruh dimana terkait dengan produsen dan konsumen. Sistem ini terkait dengan sub sistem proses penyimpanan, pengolahan hasil, produks i dan pemasaran (CIDA, 2003). Sebagai akibat kesenjangan wilayah kota -desa, hubungan interaksi antara keduanya tidak saling memperkuat, tetapi justru saling memperlemah.
Dengan demikian, kebijakan pembangunan perdesaan selama ini belum mampu memberikan pe rubahan yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga pendekatan kebijakan pembangunan selama ini perlu dipikirkan kembali. Berkembangnya kawasan kota sebagai pusat-pusat pertumbuhan ternyata tidak memberikan efek penetesan ke bawa h (trickle down effect), tetapi justru menimbulkan efek pengurasan (back wash effect) sumberdaya dari wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan, serta efek urbanisasi secara cepat. Zeng dan Sui
(25)
(2001) menyatakan bahwa hal tersebut merupakan fenomena yang umum terjadi di berbagai negara yang sedang berkembang di dunia. Pembangunan perdesaan melalui pengembangan model agropolitan diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi dan menjawab berbagai permasalahan tersebut. Pernyataan ini sejalan dengan konsep yang dikembangkan oleh Friedman dan Douglas (1975). Bahkan keduanya menekankan pentingnya pendekatan agropolitan dalam pengembangan pedesaan di kawasan Asia dan Afrika.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1) Menganalisis kinerja kawasan agropolitan yang ada
2) Menganalisis dampak pengembangan kawasan agropolitan terhadap pendapatan petani
3) Mengembangkan model sistem dinamis pembangunan perdesaan berkelanjutan melalui pendekatan agropolitan.
1.3. Kerangka Pemikiran
Konsep pe mbangunan nasional secara komprehensif meliputi pembangunan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan (IPOLEKSOSBUDHANKAM). Pembangunan nasional tersebut secara umum dapat dikelompokkan sebagai pembangunan daerah perkotaan (urban) dan daerah perdesaan (rural). Daerah perkotaan selama ini telah diarahkan sebagai pusat industri dan perdagangan, di samping sebagai pusat pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari pesatnya pembangunan sarana dan prasarana perdagangan, perkantoran, dan industri.
Sementara itu daerah perdesaan diarahkan sebagai pusat produksi pertanian. Hal ini dapat juga dilihat dari konsep pembangunan yang selama ini diterapkan lebih diarahkan pada peningkatan produksi pertanian, seperti yang dilakukan pada program BIMAS, KIMBUN, KUNAK, KAPET, dan berbagai program lainnya. Peningkatan produksi pertanian diharapkan dengan sendirinya dapat meningkatkan perekonomian perdesaan.
(26)
Konsep pembangunan tersebut di atas yang telah dijalankan selama ini ternyata masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan kawasan perdesaan, bahkan cenderung menyebabkan kesenjangan antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Ketimpangan pembangunan antara perkotaan dan perdesaan tersebut menimbulkan berbagai implikasi antara lain:
1. Ketertinggalan perkembangan kehidupan sosial-ekonomi perdesaan seperti rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya produktivitas, rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat, terbatasnya lapangan kerja serta sulitnya akses terhadap modal untuk meningkatkan produksi dan distribusi produk-produk perdesaan. Sebaliknya di daerah perkotaan, pembangunan telah mendorong perkotaan menjadi modern, maju, dan lapangan kerja terbuka luas. Kondisi yang demikian ini mendorong adanya arus urbanisasi dalam upaya mencari pekerjaan dan penghidupan;
2. Terdapat kesenjangan pertumbuhan ekonomi antara daerah perkotaan dan perdesaan yang pada gilirannya akan mempengaruhi kelestarian lingkungan;
3. Terdapat kesenjangan pertumbuhan antara daerah perkotaan dan daerah perdesaan yang antara lain disebabkan oleh lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi antar daerah perkotaan dan daerah perdesaan (rural urban linkage), terbatasnya sumber daya manusia yang dapat memanfaatkan sumber daya perdesaan;
Selain itu, program pembangunan perdesaan yang terutama ditekankan pada peningkatan produksi pertanian seringkali kurang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari penerapan konsep intensifikasi untuk peningkatan produksi oleh petani, seperti pengolahan tanah, pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit di daerah-daerah sentra produksi pertanian. Pengolahan tanah pada umumnya tidak memperhatikan konsep konservasi tanah dan air, seperti penanaman intensif tanaman monokultur terus -menerus sepanjang tahun, atau pengusahaan tanaman semusim pada areal dengan kelerengan curam, sehingga dapat menyebabkan degradasi lahan. Kebergantungan petani pada pupuk anorganik akibat penggunaan varietas responsif pemupukan dan kebiasaan pemberian pupuk secara tidak berimbang pada dosis tinggi menyebabkan kerusakan sifat fisik dan
(27)
kimia tanah. Pengendalian hama dan penyakit dengan mengandalkan penggunaan pestisida , yang pada umumnya melebihi anjuran, menyebabkan musnahnya musuh alami dan timbulnya ras-ras hanya dan penyakit resisten. Dengan program pembangunan yang demikian maka peningkatan produksi, maupun ekonomi yang tercapai tidak dapat berkelanjutan karena ternyata menimbulkan degradasi lingkungan secara fisik, kimia, dan biologis.
Oleh karena itu strategi pembangunan yang telah dijalankan perlu dipikirkan kembali. Menurut Tong Wu (2002), pemikiran kembali strategi pembangunan dapat mencakup: (1) redistribusi dengan pertumbuhan, (2) substitusi export, dan (3) penciptaan lapangan kerja dan pembangunan perdesaan. Untuk mencegah proses degradasi lingkungan sebagai dampak negatif proses pembangunan, harus diterapkan konsep pembangunan perdesaan berkelanjutan. Model pengembangan agropolitan, dalam hal ini, merupakan alternatif yang dapat digunakan dalam pembangunan perdesaan yang berkelanjutan. Agropolitan adalah konsep pembangunan perdesaan yang mengintegrasikan pemberdayaan masyarakat dan pe ngembangan wilayah secara simultan. Pemberdayaan masyarakat merupakan konsep pembangunan yang mengutamakan partisipasi (participation) dan kemitraan (partnership) ya ng mengarah pada pembangunan dari dan untuk rakyat. Agropolitan didasari pada konsep pengembangan wilayah dengan penekanan pada pembangunan infrastruktur, kelembagaan, dan permodalan/investasi.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengembangan agropolitan meliputi peningkatan agribisnis komoditas unggulan, pembangunan agroindustri, dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan. Sasarannya adalah infrastruktur pendukung produksi pertanian, pengolahan hasil dan pemasaran, serta permukiman terbangun secara memadai dan setara infrastruktur kota; penguatan kelembagaan perdesaan dapat terjadi; kelestarian lingkungan terjaga; perekonomian perdesaan tumbuh berkembang; dan produktivitas pertanian meningkat.
Apabila hal tersebut dapat dicapai, maka akan terbentuk kota di daerah perdesaan dengan sarana dan prasarana permukiman setara kota dengan kegiatan pertanian sebagai kekuatan penggerak perekonomian perdesaan. Multiplier effect
(28)
pengurasan sumberdaya alam dan urbanisasi dari desa ke kota, disparitas perkembangan kota – desa dapat ditekan, dan pembangunan dapat dirasakan lebih adil dan merata. Secara garis besar, kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan Melalui Model Pengembangan Agropolitan
Pembangunan
Nasional
IPOLEKSOSBUDHANKAM
Perkotaan
(
urban
)
Industri
Perdesaan
(
rural
)
Pemerin-tahan
Perdagangan
Pengembangan Wilayah Pemberdayaan
Masyarakat
KIMBUN BIMAS
AGROPOLITAN KONSEP KONSEP
LAIN
Agri-bisnis
Agro-industri
Konser-vasi
Infra-struktur
Kelem-bagaan
Kelestarian lingkungan
Ekonomi perdesaan
Produksi Pertanian
PEMBANGUNAN PERDESAAN BERKELANJUTAN
(29)
1.4. Perumusan Masalah
Orientasi pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih menekankan pada pertumbuhan (growth) turut memperparah ketimpangan antara desa-kota. Ekonomi pedesaan tidak memperoleh nilai tambah (value added) yang proporsional akibat dari wilayah perkotaan hanya sekedar menjadi pipa pemasaran dari arus komoditas primer dari perdesaan, sehingga seringkali terjadi kebocoran wilayah yang merugikan pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri (Tarigan, 2003).
Dalam konteks pembangunan spasial, terjadi urban bias yang cenderung mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan yang diharapkan dapat menimbulkan efek penetesan (trickle down effect) ke wilayah
hinterland-nya. Ternyata net effect-nya menimbulkan pengurasan besar (massive
backwash effect). Dengan perkataan lain, dalam konteks ekonomi telah terjadi
transfer sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara besar-besaran. Walaupun kawasan perkotaan juga berperan penting dalam mensuplai barang-barang dan pelayanan untuk pertumbuhan dan produktivitas pertanian (Val, tanpa tahun)
Kegagalan pembangunan di wilayah perdesaan selain mengakibatkan terjadinya backwash effect, juga mengakibatkan penguasaan terhadap pasar, kapital dan kesejahteraan yang lebih banyak dimiliki oleh masyarakat perkotaan. Sebagai akibatnya kondisi masyarakat perdesaan semakin terpuruk dalam kemiskinan dan kebodohan. Keadaan ini juga dinyatakan Yudhoyono (2004) bahwa pembangunan yang telah berkembang selama ini melahirkan kemiskinan dan pengangguran struktural di pertanian dan perdesaan. Untuk itu tantangan pembangunan ke depan adalah mengintegrasikan pembangunan pertanian dan perdesaan secara berimbang. Melihat kondisi yang demikian, masyarakat perdesaan secara rasional mulai melakukan migrasi ke wilayah perkotaan, yang semakin lama semakin deras (speed
up processes), meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan
pekerjaan, tetapi bagi mereka kehidupan di kota lebih memberikan harapan untuk menambah penghasilan. Keadaan ini selanjutnya menimbulkan persoalan-persoalan terhadap masyarakat kawasan perkotaan, antara lain timbulnya permukiman kumuh dan rumah liar (ruli), masalah kemacetan, keadaan sanitasi dan air bersih yang buruk,
(30)
menurunnya kesehatan masyarakat dan pada gilirannya akan menurunkan produktivitas masyarakat di kawasan perkotaan.
Pelaksanaan agropolitan yang juga mengembangkan kegiatan ekonomi perdesaan ini terkait dengan kegiatan pra-pelaksanaan, pelaksanaan dan pasca kontruksi (pengembangan), yaitu kegiatan yang telah diprogramkan selama tiga tahun secara terus menerus masih mengandalkan pembinaan dari pemerintah. Dalam jangka panjang, hal ini sulit untuk dijadikan sebagai model pembangunan yang akan dilaksanakan secara berkelanjutan apabila tidak melibatkan peran aktif dari semua stakeholders dari awal perencanaan hingga pada tahap pascaproyek. Pelaksanaan agropolitan yang terjadi selama ini bias pembangunan fisik wilayah seperti pembangunan jalan, pasar, terminal dan sama sekali belum menyentuh sumberdaya sosial (sosial capital), sumberdaya manusia (human capital) serta teknologi yang juga menjadi titik lemah di wilayah perdesaan (P4W-IPB dan P3T, 2004). Masalah yang berpotensi terjadi adalah menyangkut: (1) aspek teknologi yaitu pengolahan hasil pertanian dan peralatannya, (2) aspek ekonomi yaitu modal dan pemasaran hasil produksi dan (3) aspek sosial yaitu koordinasi antar stakeholder dan pemahaman terhadap konsep agropolitan (P4W-IPB, 2004).
Di samping itu, masalah pelaksanaan kegiatan perintisan program agropolitan adalah: (1) masih terdapat kesenjangan pembangunan antara perkotaan dan perdesaan. Hal ini ditandai masih adanya masyarakat miskin di perdesaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang melampaui batas kemampuannya (carryng
capacity). (2) Penyusunan master plan kawasan agropolitan yang belum melibatkan
peran aktif dari semua stakeholders yang terkait. (3) Kurangnya koordinasi dan komunikasi antar stakeholder dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengembangan agropolitan. (4) Kelembagaan yang kurang mendukung pengembangan program. (5) Kemampuan sumber daya manusia dan daya saing lemah. (6) Kurang penguasaan informasi pasar dan modal. (7) Kurang mendapatkan perhatian oleh para pengusaha/investor baik investor kecil maupun besar.
Secara garis besar perumusan masalah yang terjadi dalam pembangunan perdesaan disajikan pada Gambar 2.
(31)
Gambar 2. Diagram Perumusan Masalah Pembangunan Perdesaan
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut di atas maka perlu dilakukan kajian model pembangunan perdesaan melalui pendekatan agropolitan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan di daerah perdesaan.
Agropolitan sebagai konsep pengembangan wilayah bukan merupakan hal baru. Dalam penelitian ini, agropolitan definisikan sebagai kota di daerah perdesan dengan kegiatan berbasis budidaya pertanian, konservasi sumberdaya alam, dan pengembangan potensi daerah dengan bingkai pembangunan berwawasan lingkungan. Dengan konsep tersebut diharapkan dapat merupakan alternatif pendekatan dalam pembangunan wilayah perdesaan berkelanjutan dalam rangka memperkecil kesenjangan perkembangan wilayah antara perkotaan dan perdesaan.
O
O
r
r
i
i
e
e
n
n
t
t
a
a
s
s
i
i
P
P
e
e
m
m
b
b
a
a
n
n
g
g
u
u
n
n
a
a
n
n
P
Peemmbbaanngguunnaann P
Peerrddeessaaaann P
Peerrkkeemmbbaannggaann K
Koottaa I
Inndduussttrrii PPeerrttaanniiaann
A
Akksseelleerraassii
U
Urrbbaann
I
Innffrraa-
-s
sttrruukkttuurr
R
Ruurraall--UUrrbbaann G
Gaapp
P
PeemmbbaanngguunnaannPPeerrddeessaaaann N
Noonn--SSuussttaaiinnaabbllee
M
MooddeellPPeennggeemmbbaannggaann A
Aggrrooppoolliittaann
KOT A DE SA
•
Backwash effect•
UrbanisasiS
Soocciiaall C
Caappiittaall H
Huummaann C
(32)
Sebagai konsep pembangunan perdesaan yang lebih mengedepankan pemberdayaan masyarakat, maka agropolitan lebih bersifat desentralistis. Penentuan jenis komoditas unggulan yang dikembangkan dalam skala agribisnis dan agroindustri dilakukan oleh masyarakat yang disesuaikan dengan kondisi biofisik wilayah dan lingkungan perdesaan. Demikian juga dalam pembangunan infrastruktur guna mendukung peningkatan produktivitas pertanian, perekonomian perdesaan dan permukiman.
Sebagai konsep pembangunan perdesaan yang relatif baru dikembangkan di Indonesia, model agropolitan perlu dikembangkan sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat yang ada sehingga pembangunan perdesaan dapat berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam pe ngembangan agropolitan sebagai model pembangunan perdesaan, kajian tentang berbagai aspek sosial, ekonomi, sarana dan prasarana, teknik budidaya, dan kelembagaan pada kawasan agropolitan yang ada perlu dilakukan. Permasalahan yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini adalah:
1) Bagaimanakah kinerja kawasan agropolitan yang ada ?
2) Bagaimanakah dampak pengembangan kawasan agropolitan terhadap pendapatan petani?
3) Bagaimanakah model pembangunan perdesaan berkelanjutan melalui pendekatan agropolitan?
4) Bagaimanakah formulasi rekomendasi yang dapat diusulkan dalam pengembangan kebijakan program pembangunan perdesaan melalui agropolitan?
Ruang lingkup penelitian ini mengkaji pengembangan agropolitan di empat kawasan perdesaan yang mewakili daerah dataran tinggi dan dataran rendah dengan komoditas unggulan yang berbeda -beda. Agropolitan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai kota di daerah pertanian dengan kegiatan berbasis budidaya pertanian, konservasi sumberdaya alam dan pengembangan potensi daerah dengan bingkai pembangunan berwawasan lingkungan.
Ruang lingkup analisis dalam penelitian ini adalah nasional. Analisis kuantitatif yang dilakukan yakni dengan analisis kinerja kawasan dan analisis sistem dinamis.
(33)
1.5. Kebaruan dan Manfaat Penelitian
1.5.1. Kebaruan Penelitian
Kebaruan (novelty) dari penelitian ini mencakup 2 hal: yaitu dari segi pendekatan dan dari segi hasil. Dari segi pendekatan menggunakan analisis secara komprehensif: (1) analisis kinerja kawasan agropolitan untuk mengetahui tingkat perkembangan kawasan agropolitan, (2) analisis kelembagaan untuk mengetahui elemen kunci (EK) yang secara dominan akan mempengaruhi keberhasilan pengembangan agropolitan, (3) analisis sistem dinamik untuk mendapatkan model keterkaitan antar variabel yang berpengar uh terhadap pembangunan perdesaan yang berkelanjutan. Kebaruan dari segi hasil dapat dilihat dari rumusan kebijakan hasil simulasi model dinamik, yang menunjukan bahwa pada pola produksi memberikan pengaruh terhadap pola pertumbuhan industri dan keuntunga n usahatani. Pertumbuhan produksi agropolitaan merupakan leverage factor
1.5.2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian pembangunan perdesaan berkelanjutan melalui model pengembangan agropolitan bermanfaat untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan membangun kasanah keilmuan dalam analisis kebijakan yang terkait dengan pemberdayaan kegiatan ekonomi perdesaan.
Selain itu, manfaat hasil penelitian ini adalah:
− Sebagai sumbangsih dalam pengembangan manajemen pembangunan perdesaan berbasis pemberdayaan ekonomi kerakyata n yang berkelanjutan dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan
− Sebagai model pembangunan perdesaan yang secara eksplisit mempertimbangkan dimensi wilayah (Spatial Development).
− Sebagai bahan referensi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan bidang pembangunan agropolitan.
− Sebagai gambaran kepada investor tentang potensi agropolitan.
− Sebagai informasi dan referensi dalam rencana investasi dan pengembangan usaha.
(34)
− Sebagai pendekatan desentralisasi pembangunan perdesaan dengan mengolah potensi ekonomi unggulan sebagai entry point.
− Sebagai masukan bagi pemerintah Kabupaten/Kota untuk membangun wilayahnya dengan pende katan pembangunan perdesaan berkelanjutan, yang mencakup penanganan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan serta keterkaitan pembangunan desa-kota (rural urban development).
1.6. Keterbatasan Penelitian
Penelitian yang akan merekomendasikan kebijakan pembangunan perdesaan yang berkelanjutan melalui model pengembangan agropolitan dilakukan hanya pada kawasan agropolitan di 3 propinsi yaitu di Jawa Barat, Jawa Tengah dan di D.I.Yogyakarta. Kawasan agropolitan yang diteliti mewakili dataran tinggi dan dataran rendah, dimana rekomendasi kebijakanya diharapkan dapat diterapkan pada kondisi daerah dan komoditas unggulan yang sama. Sehingga kebijakan pembangunan perdesaan pada kondisi geografi yang berbeda dengan kondisi kawasan tersebut diatas dimungkinan diperlukan penelitian lainya.
Disadari bahwa penelitian ini akan menghasilkan suatu rekomendasi kebijakan,maka metode penelitian dilaksanakan secara komprehensif yaitu mencakup analisis kinerja kawasan agropolitan, analisis sistem dinamik dan perumusan kebijakan. Analisis secara komprehensif dan kwantitatif ini dimungkinkan terdapat hal hal yang sifatnya lebih teknis tidak termasuk dalam pokok bahasan dalam penelitian ini.
(35)
2.1. Model dan Analisis Kebijakan 2.1.1. Penggunaan Model
Model dan manipulasinya melalui proses simulasi adalah alat yang sangat bermanfaat dalam sistem analisis. Model dapat digunakan sebagai representasi sebuah sistem yang sedang dikerjakan atau menganalisis sistem yang sudah dilakukan. Dengan menggunakan model dapat dihasilkan desain atau keputusan operasional dalam waktu yang singkat dan biaya yang murah (Blanchord dan Fabrycky, 1981). Menurut Kholil (2005), untuk dapat menyelesaikan permasalahan
dengan pendekatan kesisteman, harus diawali dengan berpikir sistemik (system
thinking), sibernetik (goal oriented), holistik dan efektif.
Dari terminologi penelitian operasional, secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat, oleh karena itu suatu model adalah suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang komplek dari pada realitas itu sendiri (Eriyatno, 2003).
Menurut Muhammadi et al. (2001) model adalah suatu bentuk yang dibuat
untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model dapat dikelompokkan menjadi model kuantitatif, kualitatif dan model ikonik. Model kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram atau matrik. Model ikonik adalah model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan.
Menurut Meadows (1982) model adalah usaha memahami beberapa segi dari dunia kita yang sangat beraneka ragam sifatnya, dengan cara memilih sekian banyak pengamatan dan pengalaman masa lalu untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Sedangkan menurut Hall dan John (1977), model adalah penggambaran atau lukisan tentang sebagian dari kenyataan. Model harus dicek dengan kondisi sebenarnya (dunia nyata) untuk meyakinkan bahwa penggambaran dari dunia nyata dalam pemodelan akurat atau tidak. Selanjutnya Ruth dan Hannon (1997)
(36)
mengemukakan bahwa model adalah pusat pemahamannya terhadap dunia karena model dapat mempresentasikan dan manipulasi penomena nyata. Dengan membangun model dapat memahami pengaruh positif terhadap keputusan alternatif dalam kinerja ekonomi, pengelolaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan. Model merupakan suatu alat yang penting untuk menciptakan pengetahuan baru.
Dari berbagai pendapat tersebut diatas, maka model secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk peniruan dan penyederhanaan dari suatu gejala, proses atau benda dalam skala yang lebih kecil skalanya.
2.1.2. Analisis Kebijakan
Partowidagdo (1999) menyatakan bahwa analisis kebijakan adalah ilmu yang menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan publik. Produk analisis kebijakan adalah nasehat. Kebijakan yang diambil akan mempunyai biaya dan manfaat tertentu. Kebijakan tersebut dapat relatif menguntungkan suatu kelompok dan relatif merugikan kelompok lain. Selanjutnya menurut Vining et al. (1998) analisis kebijakan adalah nasehat yang berorientasi pada klien yang relevan dengan kebijakan publik dan disampaikan dengan nilai-nilai sosial, tapi kenyataannya tidak semua nasehat adalah analisis kebijakan, jadi untuk menentukan nasehat tersebut, perlu lebih spesifik dan terkait dengan kebijakan publik.
Analisis kebijakan adalah sebagai ilmu seni dan keahlian. Keberhasilan analisis kebijakan harus dapat mempergunakan keahlian dasar kedalam perpektif yang realistik atas ketentuan-ketentuan dalam masyarakat. Agar supaya keterpaduan seni dan keahlian dapat effektive dalam analisis kebijakan menurut Vining et al.
(1998) ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam persiapannya yaitu:
1). Analis harus tahu bagaimana mengumpulkan, mengorganisasi dan berkomunikasi
dalam situasi dimana terdapat batasan waktu dan akses kepada orang-orang.
2). Analis harus mempunyai perpektif untuk melihat masalah-masalah sosial dalam
konteknya.
3). Analis harus memiliki kemampuan teknik agar dapat memprediksi dengan baik
dan mengevaluasi alternatif kebijakan dengan percaya diri.
4). Analis harus mempunyai pemahaman perilaku organisasi dan politik agar dapat
(37)
5). Analis harus mempunyai rambu-rambu etika bahwa secara ekplisit bertanggungjawab kepada klien.
Analisis kebijakan memadukan berbagai disiplin ilmu yaitu : ilmu politik, sosiologi, psikologi, ekonomi, filsafat dan sebagian bersifat deskriptif yang diambil dari disiplin-disiplin tradisional yang mencari pengetahuan tentang sebab dan akibat dari kebijakan publik. Analisis kebijakan juga dapat bersifat normatif, yang tujuannya adalah untuk menciptakan dan melakukan kritik terhadap klaim pengetahuan tentang nilai kebijakan publik untuk generasi masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Aspek normatif atau kritik nilai dari analisis kebijakan ini terlihat ketika kita menyadari bahwa pengetahuan yang relevan dengan kebijakan mencakup dinamika antara variabel tergantung (tujuan) dan variabel bebas (cara).
Menurut William (2003), bahwa memilih dan menentukan prioritas satu nilai di atas nilai-nilai lainnya bukanlah penentuan yang bersifat teknis semata, tetapi
juga keputusan yang memerlukan penalaran yang bersifat moral dan karena itu
analisis kebijakan merupakan bentuk etika terapan. Akhirnya analisis kebijakan berupaya menciptakan pengetahuan yang dapat meningkatkan efisiensi pilihan atas berbagai alternatif kebijakan.
2.2. Pembangunan Perdesaan
Sebagaimana telah diketahui bahwa sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di daerah perdesaan yang penghidupan pokoknya bersumber pada pola pertanian subsistem. Bagi mereka bagaimana mempertahankan hidup sehari-hari sudah merupakan masalah pokok yang menyita seluruh perhatian dan tenaga. Dalam hubungan ini Todaro (1998), mengemukakan bahwa untuk mengatasi masalah tersebut antara lain ada empat buah pertanyaan pokok berkenaan dengan pembangunan pertanian dan perdesaan dalam kaitannya pembangunan nasional yaitu : pertama, apa saja langkah yang harus ditempuh agar segenap peningkatan
output total pertanian dan produktivitas perkapitanya dapat memberi manfaat langsung kepada petani dan buruh, kedua, cara-cara apakah yang harus ditempuh guna mentransformasikan sistem pertanian subsistem tradisional yang tingkat produksinya rendah menjadi sistem unit usaha komersial berproduksi tinggi, ketiga, apakah insentif ekonomi yang tersedia selama ini sudah cukup memadai untuk
(38)
meningkatkan output para petani penggarap, keempat, apakah peningkatan produktivitas pertanian saja sudah cukup untuk memperbaiki taraf hidup penduduk di daerah perdesaan. Menurut Office of the Deputy Prime Minister Republic of United Kingdom (2004), untuk meningkatkan taraf hidup dan lingkungan di perdesaan dapat ditempuh melalui: (1) menjamin masyarakat bertempat tinggal yang layak; (2) pertumbuhan ekonomi yang menerus membuat deversifikasi; dan (3) memberi perlindungan yang terhadap keterbukaan antara daerah perdesaan dan perkotaan.
Tujuan pembangunan perdesaan sangat luas. Menurut Bajracharya (1995), pembangunan kota kecil sangat penting untuk meningkatkan kondisi masyarakat miskin di perdesaan di negara berkembang. Argumentasi membangun kota kecil adalah: (1) kota kecil akan memberi pasar pada konsumen diperkotaan, dan berfungsi sebagai pusat pemasaran hasil produksi pertanian dari wilayah perdesaan; (2) kota kecil memungkinkan untuk memberikan pekerja non-form disekitarnya, dan (3) kota kecil sebagai lokasi yang tepat untuk mengkonsentrasikan investasi prasarana dan sarana untuk mendukung kegiatan pertanian, kesehatan, pendidikan dan inovasi usaha pertanian.
Dalam beberapa wilayah perdesaan, tujuan-tujuan pembangunan kota kecil adalah untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi yang ditujukan untuk memecahkan masalah kependudukan dan lapangan kerja. Oleh karena itu pendekatan pembangunan perdesaan juga harus sesuai dengan potensi ekonomi yang dominan. Terlebih lagi bahwa pembangunan perdesaan merupakan bagian pembangunan nasional yang harus memperhatikan distribusi pembangunan yang merata, pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan kestabilan nasional (Pranoto, 2004).
Di wilayah lain, pertumbuhan ekonomi adalah bukan merupakan tujuan.
Masyarakat lebih menginginkan perbaikan upah dan standar kehidupan (Economic
Research Service, tanpa tahun). Dengan demikian perencanaan pembangunan perdesaan memerlukan pendekatan yang holistik dengan memadukan peranan pemerintah pusat dan daerah dalam suatu kerangka kerja (framework). Pemerintah pusat memberikan arahan dan ide pembangunan secara umum dan disesuaikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota berdasarkan kondisi lokal (Osinski dan Herrmann, 1999).
(39)
Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa kawasan perdesaan adalah kawasan fungsional dengan ciri kegiatan utama adalah sektor pertanian. Pembangunan sektor pertanian dan wilayah perdesaan sangat penting karena apabila pembangunan sektor ini tidak berhasil dikembangkan, terutama jangka menengah dan jangka panjang dapat mempengaruhi dan memberikan dampak negatif terhadap pembangunan nasional. Dengan kondisi demikian, strategi pembangunan supaya direncanakan sedemikian rupa supaya mampu menjawab tantangan pembangunan di perdesaan, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan.
Menurut United Nations (1979), pembangunan perdesaan adalah strategi yang direncanakan untuk meningkatkan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat miskin. Sepanjang pembangunan perdesaan dimaksudkan untuk mengurangi tingkat kemiskinan di perdesaan maka strateginya harus jelas untuk meningkatkan produksi dan mengangkat produktivitas. Terlebih lagi daerah desa miskin memerlukan inovasi-inovasi pemecahan berbagai masalah yang ada. Meningkatkan ekonomi
adalah hal komplek, nonlinear system dan mereka tidak dapat dijelaskan secara
sepotong-sepotong. Oleh karena itu pemecahan masalahnya juga tidak dapat diarahkan dengan intervensi secara terpisah-pisah (Rural Infrastructure and Services Commons – A. Tanu Dey, tanpa tahun).
Jika pembangunan infrastruktur perdesaan dilakukan sebagai strategi untuk mengurangi kemiskinan, maka sasarannya harus betul-betul pada masyarakat miskin. Tetapi strategi ini sulit dan mahal karena (1) masalah identifikasi keluarga miskin, dan (2) target program infrastruktur perdesaan berbeda dengan target pemberian pendapatan, karena infrastruktur perdesaan adalah public good (Gunatilaka, 1999). Menurut Nasution (2004), pembangunan kawasan perdesaan tidak dapat dipungkiri merupakan hal mutlak dibutuhkan. Hal ini didasari bukan hanya karena terdapatnya ketimpangan antara kawasan perdesaan dengan perkotaan akan tetapi juga mengingat banyaknya potensi untuk dimanfaatkan sebagai alat untuk mendorong pembangunan.
Berdasarkan dokumentasi pada United Nations (1983), pembangunan perdesaan adalah bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan prinsip: (1)
(40)
distribusi pembangunan secara berimbang, (2) pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta (3) stabilitas nasional dinamis dan aman. Untuk
mengimplementasikannya, menurut Sherman et al. (1981), hambatan dalam
pembangunan adalah akses terhadap sumber daya alam, ekonomi dan kondisi sosial politik. Tiga masalah sumber daya alam tersebut dapat dibedakan, namun dalam konteks pembangunan permasalahan tersebut sukar untuk dipisah-pisahkan. Jadi pembangunan perdesaan sangat penting untuk dilaksanakan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan mengurangi urbanisasi.
2.3. Pembangunan Berkelanjutan 2.3.1. Konsep dan Definisi
Dalam proses pembangunan yang dilakukan pemerintah pada kurun waktu tahun 1970-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an masih dititikberatkan pada pembangunan ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lainnya. Hal ini mengakibatkan adanya ketimpangan pembangunan antara di wilayah perkotaan dan perdesaan. Sebagai suatu konsep keadilan antar generasi, pembangunan berkelanjutan diadopsi oleh seluruh masyarakat di dunia walaupun dengan fokus dan penafsiran yang berbeda-beda. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses pembangunan dengan ekploitasi sumberdaya, arahan investasi, dan perubahan kelembagaan yang seluruhnya dibuat konsisten dengan kebutuhan saat ini dan juga
kebutuhan yang akan datang Khanna et al. (1999). Definisi pembangunan
berkelanjutan menurut Scott (1998) adalah bahwa sistem ekonomi dunia harus memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi tuntutan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Menurut Leach et al. (1997),
masyarakat dilihat sebagai unit yang tepat dan peduli serta mampu secara kolektif
dalam menghadapi lingkungan. Menurut Robin et al. (1997), pembangunan
berkelanjutan harus berdasarkan pada solusi tingkat lokal yang diperoleh dari inisiatif masyarakat.
Pembangunan berkelanjutan adalah kerangka berpikir yang telah menjadi wacana secara internasional. Kerangka berpikir ini pada tahun 1992 dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeito disepakati oleh semua Negara di dunia termasuk Indonesia untuk digunakan sebagai panduan. Program Aksi Dunia
(41)
hasil konferensi Rio tersebut di kenal sebagai Agenda 21. Dalam agenda tersebut Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP (2000) menyatakan bahwa kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan pada intinya adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa harus menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi masa datang. Melalui kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan, maka setiap Negara, wilayah dan daerah dapat mengembangkannya sendiri, baik cara maupun prioritas permasalahannya yang akan diatasi dan potensi
yang akan dikembangkan. Bond et al. (2001) menyatakan bahwa berkelanjutan
(sustainability) didefinisikan sebagai pembangunan dari kesepakatan multidimensional untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang. Pembangunan ekonomi, sosial dan proteksi lingkungan adalah saling memperkuat dalam pembangunan berkelanjutan. Bosshard (1999) mengemukakan pendekatan secara komprehensif menuju pembangunan berkelanjutan harus mempertimbangkan lima prinsip kriteria yaitu: (1) abiotik lingkungan, (2) biotik lingkungan, (3) nilai-nilai budaya, (4) sosiologi dan (5) ekonomi. Dalam hubungannya untuk memproteksi lingkungan, maka konsekuensi intervensi manusia dalam pemanfaatan dan manipulasi sumber daya lingkungan harus diantisipasi. Jika hal ini tidak dilakukan maka dapat mengakibatkan degradasi lingkungan yang akan merongrong pembangunan ekonomi (Greenland, 1992). Selanjutnya, sebagai konsep pembangunan yang berkelanjutan dan lingkungan yang baik, maka harus dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi tuntutan generasi mendatang dalam mencukupi kebutuhannya sendiri (Meyer dan Harger, 1996).
Menurut Marten (2001), pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kecukupan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan tidak berarti berlanjutnya pertumbuhan ekonomi, karena tidak mungkin ekonomi tumbuh jika ia tergantung pada keterbatasan kapasitas sumber daya alam yang ada. Beberapa sumber daya alam seperti deposit mineral termasuk non-renewable dan sumber daya alam seperti makanan, dan air adalah renewable.
World Commision on Environment and Development (1987) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan
(42)
masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Didalamnya terkandung dua gagasan penting yaitu :
- Gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia yang
harus diprioritaskan.
- Gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi
sosial terhadap kemampuan lingkungan.
Kebutuhan masa mendatang menurut Greenland dan Szabolcs (1994), adalah bahwa dunia masa mendatang bergantung pada cara keterkaitan antara pertumbuhan penduduk, pengelolaan sumberdaya energi dan proteksi lingkungan secara harmonis. Definisi lain juga dikemukakan oleh Hanley dan Moffatt (2001), bahwa pembangunan berkelanjutan menjadi bagian penting sebagai suatu pendekatan nasional dan internasional untuk mengintegrasikan ekonomi, lingkungan sosial dan etika sehingga kualitas kehidupan yang baik bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dapat dipenuhi.
Pemahaman lain terhadap konsep berkelanjutan dikemukakan oleh Roderic dan Meppem (1997), bahwa berkelanjutan memerlukan pengelolaan tentang (1) skala keberlanjutan ekonomi terhadap dukungan sistem ekologi, (2) pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi sekarang dan yang akan datang secara berimbang/adil, dan (3) efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya. Dalam kaitan ini Djojohadikusumo (1994) mengemukakan bahwa penafsiran tentang pembangunan berkelanjutan yang diartikan sebagai daya upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi-generasi
mendatang. Dengan kata lain, proses pembangunan harus bisa berlangsung secara
terus-menerus dan sambung-menyambung.
Dari berbagai definisi tersebut diatas secara umum dapat diartikan bahwa pembangunan berkelanjutan suatu pendekatan pembangunan yang tidak bertentangan antara tujuan dan sasaran dalam kebijakan pembangunan ekonomi dan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang.
(1)
Lampiran 20f. Produksi Usahatani di Kawasan Agropolitan Turi-Pakem-Cangkringan Kabupaten Sleman
No Nama Responden D e s a Kecamatan Salak (ton/ha/th) Cabai (ton/ha/th) 1 Budiyanto Wonokerto Turi
2 Riswanto Hargobinangun Pakem 5.5
3 M Effendi Harjobinangun Pakem 5.6
4 Gunawan Pakembinangun Pakem 7.0
5 Maryono Pakembinangun Pakem 25.0 5.0
6 Gunarto Pakembinangun Pakem 8.3
7 Purwanto Wonokerto Turi 10.0 6.0
8 Sukirman Wonokerto Turi 20.0
9 Sudiyana Wonokerto Turi 4.8
10 Pranoto Wonokerto Turi 16.0
11 Mardi S. Wonokerto Turi 5.0
12 Marsono Wonokerto Turi 8.6
13 Sarimin Wonokerto Turi 10.0
14 Jumadi Amd Wonokerto Turi 15.0
15 Purwanta I. Bangunkerto Turi 3.6
16 M. Baryanto Bangunkerto Turi 45.1
17 Sutrisno Bangunkerto Turi 33.3
18 Misroji Bangunkerto Turi 12.0
19 Sugiyono Girikerto Turi 12.0
20 Mardiyanto Girikerto Turi 10.0
21 Suhartoyo Girikerto Turi 15.0
22 Mursidik Girikerto Turi 16.0
23 Sumarji Girikerto Turi 16.0
24 Tukimin Girikerto Turi 17.5
25 Tukijo Girikerto Turi 13.0
26 Qodari Girikerto Turi 15.0
27 Margi Utomo Girikerto Turi 15.0
(2)
Lampiran 21. Bahasa Program Model Dinamik
init Biaya_Produksi = 100000 *PULSE(4, -0.1, 1) flowBiaya_Produksi = +dt*LPBYPROD
doc Biaya_Produksi = Biaya yang digunakan untuk memproduksi agropolitan seluas satu hektar
init JIND = 10
flowJIND = +dt*LPIND doc JIND = jumlah industri init JPDK = 10000
flowJPDK = +dt*LPPD doc JPDK = Jumlah Penduduk init JPROD = 1500
flowJPROD = +dt*LPPROD doc JPROD = Jumlah Produksi init LH = 100000
flowLH = +dt*LPLH doc LH = Luas Lahan
aux LPBYPROD = Biaya_Produksi*BIAYAPEM ASARAN*FBYPROD*FPLBYPROD doc LPBYPROD = Laju Pertambahan biaya produksi pertahun, akibat inflasi,
kenaikan harga-harag dll
aux LPIND = (JIND*FPIND*(FKPIND+Kontinuitas+KUALITAS))* (FK15+Kelembagaan)+TEKNOLOGI1
doc LPIND = Laju pertambahan bangunan industri aux LPLH = LH*FLH*FPLPH
doc LPLH = Laju Pertambahan lahan aux LPPD = JPDK*FPDK *FKP
doc LPPD = Laju Pertambahan Penduduk
aux LPPROD = ((JPROD*FPPROD/FLPROD*iNPUTPROD)*DDLING)*FK11+ Teknologi
doc LPPROD = Laju Pertambahan Produksi aux BIAYAPEMASARAN = FBIAYA*FK54 aux BPRODMAS = FK35*Biaya_Produksi aux DDLING = 1-KERLING
aux Degradasilahan = SIS_PENANAMAN*FK24_ aux FBIAYA = FK52*StrukturPASR
doc FBIAYA = Faktor Biaya
aux FINFSTR = GRAPH(PAD,0,0.1,[0,0.39,0.41,0.59,0.68,0.75,0.82,0.88,0.91,0.92, 0.91"Min:0;Max:1"])+FK50
doc FINFSTR = Faktor Infrastruktur dari Pendapatan Daerah
aux FK10 = GRAPH(TIME,2005,1,[0.58,0.680,0.680,0.69,0.7,0.71,0.73,0.75,0.77, 0.8"Min:0;Max:1"])+Degradasilahan
doc FK10 = Faktor Koreksi
aux FK11 = GRAPH(TIME,2005,2,[0.48,0.52,0.45,0.4,0.34,0.27,0.23,0.21,0.18,0.17, 0.17,0.15,0.14,0.12,0.11,0.10,0.09,0.08,0.07,0.06,0.05,0.04,0.03,0.02,0.01,0"Min: 0;Max:1"])
aux FK15 = GRAPH(TIME,2020,3,[0.98,0.97,0.94,0.92,0.89,0.81,0.73,0.59,0.41,0.32, 0.19,0.09,0.07,0.05,0.01,0"Min:0;Max:1"])
(3)
aux FK28 = IF (TIME<2006,1,0.6) aux FKLING =
GRAPH(JPDK,10000,500,[0.09,0.21,0.32,0.43,0.51,0.58,0.63,0.67,0.68, 0.69,0.7,0.71,0.72,0.73"Min:0;Max:1"])*FK4
doc FKLING = Fungsi Pengali Kerusakan Lingkungan akibat pertambahan jumlah penduduk
aux FKP = GRAPH(TIME,2040,1,[1,1,1,1,0.9,0.8,0.77,0.66,0.58,0.49,0.42,0.35,0.31, 0.26,0.23,0.22,0.1"Min:0;Max:1"])
doc FKP = Faktor koreksi penduduk aux FKPIND =
GRAPH(JPROD,5000,500,[0.09,0.24,0.37,0.47,0.55,0.63,0.69,0.75,0.78, 0.79,0.79,0.07,0.01"Min:0;Max:1"])
doc FKPIND = Faktor pengali pertambahan industri dari jumlah produksi aux FKulitas_SDM1 =
GRAPH(PENDMASY,50000000,10000000,[0.07,0.16,0.24,0.29, 0.35,0.39,0.42,0.45,0.46,0.46,0"Min:0;Max:1"])
aux FLIMBAH =
GRAPH(JIND,10,2,[0.08,0.14,0.19,0.25,0.32,0.34,0.35,0.34,0.34,0.35, 0.35"Min:0;Max:1"])
doc FLIMBAH = Faktor koreksi aux FLPROD =
1/GRAPH(LH,10000,500,[0.02,0.14,0.3,0.44,0.65,0.73,0.77,0.77,0.78,0.79,0.78" Min:0;Max:1"])
doc FLPROD = Fraksi pengali laju pertambahan produksi
aux FPENMAS = GRAPH(PENDMASY,50000000,15000000,[0,0.1,0.16,0.21,0.27,0.31,
0.34,0.37,0.4,0.4,0.4"Min:0;Max:1"])
doc FPENMAS = Fungsi pendapatan masyarakat aux FPLBYPROD = StrukturPASR
aux FPLPH = GRAPH(JPDK,15000,1000,[0.73,0.68,0.6,0.54,0.5,0.46,0.42,0.37,0.33, 0.28,0.25"Min:0;Max:1"])
doc FPLPH = Faktor penyesuaian laju pertambahan lahan aux FPTEK =
GRAPH(Modal1,100000000,20000000,[0.08,0.2,0.3,0.42,0.53,0.63,0.7, 0.74,0.75,0.75,0.75,0.76"Min:0;Max:1"])*FK26
aux FTEK =
GRAPH(TEKNOLOGI1,0,0.1,[0.08,0.18,0.25,0.29,0.34,0.39,0.42,0.46,0.5, 0.5,0.49"Min:0;Max:1"])
aux IFSTR = FINFSTR*FK40 doc IFSTR = Infrastruktur
aux iNPUTPROD = 100*FK5*GRAPH(TIME,2005,3,[0.08,0.25,0.36,0.47,0.59,0.71, 0.81,0.87,0.94,0.98,0.97"Min:0;Max:1"])
aux JTK1 = PJTK*FK1*SIS_PENANAMAN doc JTK1 = Jumlah Tenaga Kerja
aux Jumlah_limbah = (FK17)*FTEK*FLIMBAH doc Jumlah_limbah = Jumlah limbah
aux KEBMODAL = (iNPUTPROD+ Teknologi)*FK12 aux Kelembagaan =
GRAPH(TIME,2020,3,[0.98,0.97,0.94,0.92,0.89,0.81,0.73,0.59,0.41, 0.32,0.19,0.09,0.01"Min:0;Max:1"])
(4)
doc Kelembagaan = Faktor koreksi aux KERLING = FKLING*FK10 doc KERLING = Kerusakan lingkungan aux Kerling1 = FK18*Jumlah_limbah
doc Kerling1 = Kerusakan lingkungan akibat limbah industri aux Keuntungan = Penerimaan-BPRODMAS*FK53
aux Kontinuitas =
GRAPH(JPROD,3000,1000,[0.09,0.19,0.33,0.46,0.58,0.69,0.8,0.86, 0.9,0.9,0.9"Min:0;Max:1"])*FK13
doc Kontinuitas = Keberlanjutan Produksi
aux KUALITAS = GRAPH(0,0,0.1,[0.1,0.25,0.37,0.47,0.58,0.66,0.75,0.81,0.84,0.86, 0.86"Min:0;Max:1"])*FK14+TEKNOLOGI1
doc KUALITAS = Kulitas Produk aux Kualitas_SDM = Pendmas*FK2
doc Kualitas_SDM = Tingkat Kualitas Sumber Daya Manusia aux Modal1 = JIND*IRMOIND
doc Modal1 = Modal total untuk seluruh bangunan industri aux PAD = Pajak*FK36
doc PAD = Pendapatan Asli daerah, yakni kontribusi pajak terhadap PAD aux Pajak = Keuntungan*IPJK
doc Pajak = Pajak pendapatan
aux Pendmas = (JPROD*Indek_Harga)+FPENMAS doc Pendmas = Pendapatan Masyarakat
aux PENDMASY = TK2*IRGTK
doc PENDMASY = Pendapatan masyarakat yang bekerja pada industri pengolahan aux Penerimaan = JPROD*IRHGPROD*FK51
doc Penerimaan = Penerimaan petani pemilik lahan aux PJTK=
GRAPH(JPDK,10000,500,[0.04,0.11,0.21,0.33,0.43,0.58,0.67,0.77,0.8,0.8, 0.81"Min:0;Max:1"])
doc PJTK = Fungsi Pengali Jumlah Tenaga Kerja aux Regulasi_ = DELAYINF(2, 3,1,1)
doc Regulasi_ = Waktu tunda karena faktor regulasi aux SIS_PENANAMAN =
GRAPH(TIME,2025,100,[0.89,0.83,0.76,0.71,0.67,0.66,0.64, 0.63,0.62,0.61,0.61"Min:0;Max:1"])*fk3*Kualitas_SDM doc SIS_PENANAMAN = Siatem Penanaman
aux StrukturPASR = IFSTR/Regulasi_ doc StrukturPASR = Strktur Pasar
aux Teknologi = GRAPH(FK7,0,0.1,[0.08,0.22,0.39,0.57,0.75,0.9,0.97,0.98,0.98,0.98, 0"Min:0;Max:1"])*FK7
doc Teknologi = Faktor Teknologi
aux TEKNOLOGI1 = FPTEK*FK28*FKulitas_SDM1 doc TEKNOLOGI1 = Fungsi teknologi
aux TK2 = JIND*ITKIND
doc TK2 = Jumlah tenaga kerja dari industri pengolahan const FBYPROD = 0.1
doc FBYPROD = Fraksi biaya produksi const FK1 = 1
(5)
const FK12 = 1
doc FK12 = Faktor Koreksi const FK13 = 1
doc FK13 = Faktor koreksi const FK14 = 1
doc FK14 = Faktor koreksi const FK17 = 1000
doc FK17 = Indeks rata-rata limbah yang dihasilkan dari setiap bangunan industri const FK18 = 0.01
doc FK18 = Faktor Koreksi const FK2 = 1
doc FK2 = Faktor Koreksi const FK24_ = 0.5
doc FK24_ = Faktor koreksi const FK26 = 1
doc FK26 = Faktor koreksi const fk3 = 0.0001
doc fk3 = Faktor Koreksi const FK35 = 1
doc FK35 = Faktor Koreksi const FK36 = 1
doc FK36 = Faktor koreksi const FK4 = 1
doc FK4 = Faktor Koreksi const FK40 = 1
doc FK40 = Faktor Koreksi const FK5 = 1
doc FK5 = Faktor Koreksi const FK50 = 1
doc FK50 = Faktor Koreksi const FK51 = 1
doc FK51 = Faktor Koreksi const FK52 = 1
doc FK52 = Faktor Koreksi const FK53 = 1
doc FK53 = Faktor Koreksi const FK54 = 1
doc FK54 = Faktor Koreksi const FK7 = 1
doc FK7 = Faktor Koreksi const FLH = -0.002
doc FLH = Fraksi Pertambahan lahanpertahun, yakni : 2 % const FPDK = 0.02
doc FPDK = Fraksi Pertambahan Penduduk const FPIND = 0.02
doc FPIND = Fraksi pertambahan industri const FPPROD = 0.01
doc FPPROD = Fraksi Pertambahan Produksi pertahun : 1 % const Indek_Harga = 1
(6)
const IPJK = 0.17
doc IPJK = Rata-rata pajak const IRGTK = 500000
doc IRGTK = Indeks rata-rata gaji perbulan dari tenaga kerja industri pengolahan const IRHGPROD = 20000000
doc IRHGPROD = Indeks rata-rata harga produk pertanian per hektar const IRMOIND = 10000000
doc IRMOIND = Indek rata-rata kebutuhan modal untuk pengiolahan produksi pada tiap satu bangunan industri
const ITKIND = 10