Tipologi III Gunungjaya, Simpur, Gambuhan, Penakir, Nyalembeng, Cikedung,
Kalisaleh, Persentase penggarap tinggi,
persentase buruh tani tinggi, jumlah KK tinggi, kepadatan penduduk
rendah, persentase keluarga pertanian tinggi, persentase pemilik sekaligus
penggarap tinggi, ketersediaan fasilitas umum rendah, persentase jumlah
keluarga pra sejahtera I terhadap total jumlah keluarga tinggi
Hal menarik lainnya ternyata jumlah fasilitas umum di desa-desa tipologi II relatif tersedia. Fasilitas umum yang cukup memadai ini tentunya akan mendorong
tumbuh kembangnya sektor pertanian dan kawasan agropolitan itu sendiri. Secara umum karakteristik desa-desa pada tipologi II ini sebenarnya sudah mulai mengarah
kepada konsep pengembangan kawasan Agropolitan. Desa-desa ini sangat potensial terutama ditinjau dari sisi akses kepada lahan, kelembagaan dan infrastruktur.
Sejauh ini di desa -desa inilah kawasan agropolitan Pemalang mulai dikembangkan. Selanjutnya untuk desa-desa pada tipologi III ternyata secara umum
kondisinya tidak jauh berbeda dengan desa-desa pada tipologi II. Namun terdapat satu perbedaan karakteristik yang cukup penting yaitu bahwa persentase jumlah
keluarga pra sejahtera I terhadap jumlah total keluarga pada desa -desa tersebut tinggi.
d. Tipologi Kawasan Agropolitan Sleman
Berdasarkan hasil analisis PCA terhadap variabel-variabel terpilih yang menggambarkan karakteristik wilayah diperoleh 5 faktor utama yang bisa menjadi
penciri karakteristik wilayah Lampiran 16a. Keempat faktor utama ini mampu menggambarkan keragaman variabel asal sebesar 92.43 Lampiran 16b.
Selanjutnya berdasarkan kelima faktor hasil PCA tersebut dilakukan analisis cluster untuk melihat pengelompokan wilayah berdasarkan karakteristiknya. Dari
hasil pengelompokan wilayah dan karakteristiknya di atas. dapat dilihat bahwa desa- desa pada Tipologi I menunjukkan karaktersitik sebagai wilayah urban dan bisa
dimanfaatkan sebagai wilayah pusat pelayanan bagi desa-desa lain di sekitarnya. Hal ini terlihat dari jumlah KK yang relatif lebih tinggi dan ketersediaan fasilitas
umum yang juga relatif tinggi Tabel 22.
Desa-desa yang termasuk dalam Tipologi II mempunyai karaktersitik yang berpotensi untuk bisa dikembangkan menjadi wilayah sentra produksi. Hal ini bisa
dilihat dari akses masyarakat terhadap lahan yang relatif masih tinggi. Dapat dilihat bahwa pada desa-desa ini persentase penggarap relatif rendah dan persentase buruh
tani juga relatif rendah. Selain itu kondisi ini juga ditunjang oleh jumlah penganggur per 1000 penduduk yang relatif rendah.
Selanjutnya untuk desa -desa pada kelompok Tipologi III tampaknya mempunyai karakteristik sebagai desa-desa dengan kondisi kesejahteraan
masyarakatnya relatif rendah. Infrastruktur yang dimiliki terbatas dan akses masyarakat terhadap lahan relatif rendah. Dengan demikian maka desa-desa seperti
ini harus diberdayakan terlebih dahulu sebelum bisa berfungsi dalam menunjang perkembangan kawasan agropolitan. Untuk bisa menjadi wilayah produksi maka
kesejahteraan masyarakat harus ditingkatkan melalui peningkatan akses masyarakat terhadap lahan. Selain itu infrastruktur wilayah yang bisa mendorong ke arah
perbaikan kesejahteraan masyarakat harus ditingkatkan sehingga bisa mendorong perkembangan wilayah ke arah yang lebih baik. Apabila kondisi wilayahnya telah
menjadi lebih baik maka desa-desa ini akan siap menunjang pengembangan kawasan agropolitan terutama sebagai wilayah pusat produksi pertanian hinterland.
Tabel 22. Pengelompokan Desa-Desa di Kawasan Agropolitan Sleman dan Karakteristik dari Setiap Kelompok
Tipologi Nama Desa
Karakteristik Tipologi
I Bangun Kerto,
Donokerto, Giri Kerto, Wono Kerto, Pakem
Binangun, Hargo Binangun
Jumlah KK relatif tinggi, proporsi keluarga pra sejahtera I terhadap tota l keluarga relatif rendah,
ketersediaan fasilitas umum relatif tinggi, Jumlah pengangguran per 1000 peduduk relatif tinggi
Tipologi II
Porwo Binangun, Wukir Sari, Argomulyo
Persentase penggarap relatif rendah, persentase buruh tani relatif rendah, jumlah pengangguran
per 1000 penduduk relatif rendah, jarak desa kelurahan ke kabupaten lain relatif jauh,
Tipologi III Candi Binangun, Harjo
Binangun, Glagah Harjo, Kepuh Harjo, Umbul
Harjo Jumlah KK relatif rendah, proporsi keluarga pra
sejahtera I terhadap total keluaraga relatif tinggi, ketersediaan fasilitas umum relatif rendah,
persentase penggarap relatif tinggi, persentase buruh tani relatif tinggi, jarak desa kelurahan ke
kabupaten lain relatif jauh,
4.2.6. Analisis Spasial
Analisis spasial ada lah analisis untuk mendapatkan area yang diprioritaskan untuk pengembangan kawasan agropolitan. Peta yang digunakan sebagai parameter
dalam melakukan analisis meliputi 1 peta slope, 2 peta elevasi, 3 peta penggunaan lahan, 4 peta kelompok perkembangan desa, 4 zona penyangga
sepanjang sempadan sungai, dan 5 jarak dari pusat pertumbuhan kawasan agropolitan. Peta -peta tersebut dioverlay terhadap peta dasar. Hasilnya adalah
gambaran akan keberadaan, sebaran, dan luasan ruang spatial yang sesuai untuk pengembangan kawasan agropolitan. Penentuan kriteria dalam parameter peta slope,
peta elevasi, peta penggunaan lahan dan peta kelompok perkembangan desa bersifat sangat spesifik kawasan karena terkait dengan kondisi biofisik ekosistem dan
komoditas unggulan yang diusahakan. Sedangkan batasan parameter untuk zona penyangga sempadan sungai adalah 50 m dan jarak dari pusat pertumbuhan adalah 5
km bersifat umum untuk seluruh kawasan yang dikaji.
a. Kawasan Agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur