a. Tipologi Kawasan Agropolitan Cianjur
Seperti diketahui kawasan agropolitan Cianjur mencakup dua kecamatan yaitu Kecamatan Pacet dan Kecamatan Sukaresmi. Berdasarkan master plan
pengembangan kawasan Agropolitan yang telah disusun, Kecamatan Pacet ditentukan sebagai wilayah pusat pertumbuhan, sedangkan Sukaresmi ditetapkan
sebagai wilayah hinterland-nya. Dengan menggunakan data-data karakteristik wilayah yang tercakup di dalam data Potensi Desa BPS 2003 maka dapat dilakukan
analisis pentipologian wilayah untuk mengetahui karakteristik dari masing-masing desa di kawasan agropolitan dan melihat keterkaitannya dengan konsepsi dan
rencana pengembangan kawasan agropolitan ke depan. Pada tahap awal dilakukan seleksi variabel yang dianggap dapat memberikan
informasi penting mengenai karakteristik unit wilayah desa di kawasan agropolitan berdasarkan pertimbangan logis. Selanjutnya variabel-variabel terpilih ini akan
dianalisis dengan teknik analisis PCA sebagai upaya untuk melakukan penyederhanaan variabel dan menghilangkan multikolinearitas hubungan korelasi
antar variabel-variabel penjelas. Hasil analisis PCA terhadap variabel-variabel terpilih untuk melakukan pentipologian di kawasan agropolitan dapat dilihat pada
Lampiran 13a yang menunjukkan nilai korelasi antara variabel baru hasil analisis
faktor dengan variabel asalnya. Variabel-variabel baru hasil analsisis PCA ini atau yang juga dinamakan dengan faktor 1 sampai dengan 5 ternyata mampu
menggambarkan keragaman sampel karakteristik desa sampai sebesar 73.41. Hal ini bisa dilihat dari dari nilai kumulatif eigen value atau nilai kumulatif keragaman
pada Lampiran 13b.
Selanjutnya berdasarkan hasil analisis PCA ini akan muncul skor baru untuk setiap faktor yang ada atau dinamakan dengan factor score. Skor dari masing-masing
faktor ini kemudian akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis clustering untuk mengetahui pengelompokan desa-desa di Kawasan Agropolitan Cianjur dan
seperti apa karakteristik-karakteristik dari setiap kelompok. Teknik analisis clustering pada dasarnya merupakan suatu teknik untuk
meminimumkan keragaman di dalam kelompok dan mema ksimumkan keragaman antar kelompok. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa variabel yang dihitung
dalam analisis adalah faktor 1 sampai 5 hasil analisis PCA. Hasil dari analisis
clustering menunjukkan bahwa desa-desa di kawasan agropolitan Cianjur terba gi ke
dalam 3 kelompok dengan karakteristik seperti pada Tabel 19.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa tipologi I terdiri dari desa Gadog, Sindangjaya, Cipanas, Palasari, dan Sukatani. Desa-desa ini secara spasial memang
terletak di pinggir jalur jalan arteri yang menghubungkan antara Bogor, Puncak dan Cianjur dimana banyak berkembang aktivitas-aktivitas wisata dan sektor-sektor
penunjangnya seperti hotel, restaurant, pasar swalayan, pasar dan sebagainya. Dengan demikian desa-desa ini memang sudah mulai menampakan karkateristik
wilayah urban. Hal ini tampak dari karakteristik yang diperoleh dimana jumlah KK relatif banyak, persentase pemilik yang menggarap sendiri lahannya relatif rendah,
persentase rumah tangga pelanggan PLN yang relatif tinggi, persentase jumlah penggarap yang tinggi, ketersediaan fasilitas umum yang relatif tinggi dan proporsi
jumlah keluarga pra sejahtera I terhadap jumlah total keluarga yang relatif rendah. Tabel 19. Pengelompokan Desa-desa di Kawasan Agropolitan Cianjur dan
Karakteristik dari Setiap Kelompok
Tipologi Desa
Karakteristik
Tipologi I Gadog, Sindangjaya, Cipanas ,
Palasari, Sukatani Jumlah KK relatif banyak, persentase
pemilik sekaligus penggarap rendah, rumah tanga yang menggunakan
listrik PLN tinggi, persentase jumlah penggarap rendah, ketersediaan
fasilitas umum tinggi, proporsi keluarga pra sejahtera I terhadap total
jumlah keluarga rendah
Tipologi II Cibadak, Kawungluwuk, Rawabelut,
Ciloto, Ciherang, Ciputri, Sindanglaya, Ciwalen, Cimacan,
Cikancana, Cipendawa, Jumlah penggarap tinggi, ketersedian
fasilitas umum rendah, jarak desa ke kecamatan jauh, jarak desa ke
ibukota kabupaten jauh
Tipologi III Cibodas, Pakuon, Sukamahi, Cikanyere, Cibanteng, Kubang,
Sukanagalih, Sukaresmi, Batulawang Jumlah KK sedikit , jumlah pemilik
sekaligus penggarap tinggi, banyaknya keluarga yang
menggunakan listrik PLN rendah, pesentase lahan pertanian yang
dikuasai pemilik termasuk dari luar wilayah rendah, persentase lahan
yang dimiliki dan digarap tinggi, jarak desa ke kecamatan jauh, jarak
desa ke ibukota kabupaten jauh
Selanjutnya untuk tipologi II terdiri atas desa -desa
Cibadak, Kawungluwuk, Rawabelut, Ciloto, Ciherang, Ciputri, Sindanglaya, Ciwalen, Cimacan, Cikancana,
Cipendawa.
Desa-desa ini meskipun secara spasial posisinya lebih jauh dari jalan raya dan pusat keramaian wisata, namun posisinya yang masih relatif dekat dengan
daerah Puncak dan Bogor telah membuat banyak orang-orang kota yang menanamkan investasinya dalam bentuk kepemilikan lahan. Dari karakteristiknya
tampak bahwa persentase penggarap relatif tinggi. Meskipun dilihat dari kondisi ketersediaan fasilitas umum ternyata masih kurang memadai tetapi posisi letak yang
dekat dengan Bogor dan daerah Puncak ternyata cukup mampu mendorong orang untuk berinvestasi de ngan membeli lahan.
Untuk karakteristik dari segi jarak ternyata desa-desa pada tipologi II ini memang rata-rata jaraknya jauh dengan pusat kecamatan maupun dengan ibukota
Kabupaten. Tetapi perlu diingat bahwa dalam realit anya di lapangan, kota Bogor dan kawasan Puncak lebih banyak memberikan pengaruh daripada Kota Cianjur
sendiri. Sehingga jarak yang lebih jauh dengan Kota Cianjur mengandung arti bahwa secara spasial desa-desa di tipologi II ini posisinya relatif lebih dekat ke
Bogor dan kawasan Puncak. Karena itu menjadi sangat wajar apabila fenomena yang terjadi di wilayah ini umumnya juga ditemukan di wilayah-wilayah lain yang
relatif dekat dengan kota besar dimana terjadi alih kepemilikan lahan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Kemudian untuk tipologi III ternyata terdiri dari desa-desa seperti
Cibodas, Pakuon, Sukamahi, Cikanyere, Cibanteng, Kubang, Sukanagalih, Sukaresmi, Batulawang
. Desa-desa ini relatif jauh dan kondisi aksesnya lebih terbatas daripada desa-desa di
tipologi 1 dan 2. Karena itu karakteristiknya mencakup jumlah KK yang lebih sedikit. persentase pemilik yang sekaligus menjadi penggarap relative masih tinggi.
keluarga yang menggunakan listrik PLN masih rendah. persentase lahan pertanian yang dimiliki termasuk orang luar masih rendah. dan persentase lahan yang
dimiliki dan digarap sendiri masih tinggi. Sementara itu dari sisi jarak, posisinya yang lebih dekat dengan Kota Cianjur sebenarnya menggambarkan bahwa desa-desa
ini lebih jauh dari Bogor dan kawasan Puncak sebagai pusat aktivitas yang sangat berpengaruh di kawasan Cipanas dan sekitarnya.
Dari ketiga tipologi desa dan karakteristiknya ini tampak bahwa di kawasan Agropolitan Cianjur sebenarnya masih belum terbangun suatu keterpaduan
pengelolaan kawasan mengingat pada kenyataanya perbedaan tipologi ini begitu nyata dengan semakin jauhnya jarak dengan Bogor dan Kawasan Puncak. Apabila
dalan suatu kawasan Agropolitan mampu terjadi aliran sumberdaya yang saling menguntungkan maka kawasan ini akan mempunyai kesempatan yang sangat terbuka
untuk bisa berkembang. Satu hal lagi yang cukup mengkawatirkan adalah akses petani terhadap
sumberdaya lahan di kawasan Agropolitan Cianjur juga mulai berkurang. Semakin banyak wilayah yang didominasi oleh penggarap daripada pemilik di samping ada
wilayah-wilayah dimana sektor pertaniannya sudah mengalami pergeseran menjadi berbagai kawasan wisata, permukiman dan perdagangan. Apabila desa-desa dengan
karakteristik tipologi 1 dan 2 ini dominan maka pembangunan kawasan Agropolitan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan para petani menjadi sia -sia.
Karena itu perubahan alih kepemilikan dan alih fungsi lahan ini juga harus menjadi perhatian agar kawasan agropolitan bisa terus berkembang secara berkelanjutan.
b. Tipologi Kawasan Agropolitan Brebes-Larangan Kabupaten Brebes