Tipologi III Pemaron, Kalimati, Lembarawa, Krasak, Wangandalem, Terlangu,
Pulosari, Gandasuli, Banjaranyar, Kaligangsa Kulon, Kaligangsa
Wetan, Randusanga Kulon, Randusanga Wetan, Pasar baru,
Sigambir, Pagejugan, Kedunguter, Tengki
Jarak desakelurahan ke ibukota kabupaten lain relatif jauh, Persentase
pemilik sekaligus penggarap tinggi, Persentase penggarap redah, banyaknya
keluarga yang menggunakan PLN relatif rendah, fasilitas pertanian relatif banyak,
jumlah buruh tani juga tinggi
Selanjutnya wilayah-wilayah pada kelompok III mempunyai karakteristik yang cukup menunjang bagi berkembangnya aktivitas produksi pertanian. Hal ini
tampak dari akses petani tarhadap lahan yang masih relatif besar sehingga persentase pemilik sekaligus penggarap relatif tinggi dan persentase penggarap relatif rendah.
Selain itu fasilitas pertanian juga relatif banyak dan ketersediaan buruh tani juga relatif tinggi. Namun demikian ketersediaan sarana listrik relatif kurang memadai,
sehingga banyak keluarga yang belum berlangganan listrik PLN.
c. Tipologi Kawasan Agropolitan Pemalang
Dengan teknik dan cara yang sama analisis pentipologian juga dilakukan di wilayah Agropolitan Pemalang. Seperti sebelumnya, sebagai langkah awal
dilakukan seleksi variabel yang secara logis mampu menggambarkan karakteristik desa-desa di kawasan Agropolitan Pemalang. Selanjutnya dari variabel-variabel
terpilih tersebut kemudian dilakukan analisis PCA sehingga dihasilkan variabel- variabel baru yang lebih sederhana dan saling bebas. Hasil analisis PCA terhadap
variabel-variabel terpilih di kawasan agropolitan Pemalang disajikan pada Lampiran 15a
. Hasil tersebut menunjukkan bahwa analisis PCA terhadap data pada kawasan agropolitan Pemalang dapat menghasilkan 4 variabel baru yaitu faktor 1 sampai
faktor 4 yang saling bebas. Keempat variabel baru ini mampu mewakili keragaman
dari variabel asal sebesar 72.99 Lampiran 15b.
Hasil analisis cluster berdasarkan keempat fa ktor tersebut untuk kawasan
agropolitan Pemalang dapat dilihat pada Tabe l 21. Dari tabel tersebut terlihat bahwa
desa-desa pada tipologi 1 telah menunjukkan adanya konsentrasi penduduk dan aktivitas yang dikerjakan tidak hanya di sektor pertanian. Konsentrasi penduduk ini
dapat dilihat dari tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Sedangkan munculnya aktivitas non pertanian sebagai mata pencaharian bisa dilihat dari
persentase keluarga pertanian yang rendah dan persentase pemilik yang sekaligus menjadi penggarap yang relatif rendah. Dengan jumlah KK yang tinggi dan jumla h
keluarga pertanian yang rendah menunjukkan bahwa sebagian besar KK mempunyai aktivitas di luar sektor pertanian. Namun ternyata proporsi jumlah keluarga pra
sejahtera I terhadap jumlah total keluarga di desa-desa tipologi I ini relatif tinggi. Berarti meskipun aktivitas non pertanian berkembang tetapi kemungkinan besar
aktivitas penggantinya adalah aktivitas yang nilai tambahnya juga tidak begitu besar. Karena itu proporsi keluarga pra sejahtera terhadap total keluarga menjadi tinggi
karena aktivitas nelayan juga kurang memberikan nilai tambah. Sementara itu untuk desa -desa pada tipologi II ternyata jauhnya jarak dengan
ibukota kabupaten justru berdampak positif yaitu dapat memperkuat akses masyarakat terhadap lahan. Hal ini sesuai dengan karakteristiknya yaitu persentase
penggarap rendah. persentase buruh tani rendah. persentase keluarga petani tinggi. dan persentase pemilik sekaligus penggarap juga tinggi. Namun yang menarik, desa-
desa ini ternyata memiliki jumlah KK relatif tinggi tetapi mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang rendah. Kemungkinan meskipun tingkat kepadatannya
rendah tetapi wilayah ini lebih dikuasai komunitas lokal yang terdiri dari keluarga- keluarga petani. Hal ini tentunya baik dimana desa-desa ini pada dasarnya
mempunyai pote nsi pembentukan kelembagaan. Tabel 21. Pengelompokan Desa-desa di Kawasan Agropolitan Pemalang dan
Karakteristik dari Setiap Kelompok
Tipologi Desa
Karakteristik
Tipologi I Belik, Pulosari, Karangsari, Kuta
Kepadatan penduduk tinggi, persentase keluarga pertanian rendah, persentase
pemilik sekaligus penggarap rendah, proporsi keluarga pra sejahtera
terhadap jumlah total keluarga rendah
Tipologi II Gombong, Gunung Tiga,
Siremeng, Sikasur, Badak, Beluk, Batursari, Clekatakan,
Gunungsari, Mendelem, Bulakan, Pagenteran
Persentase penggarap rendah, persentase buruh tani rendah,
kepadatan penduduk relatif rendah, jarak desa ke ibukota kabupaten jauh,
persentase keluarga petani tinggi, persentase pemilik sekaligus
penggarap tinggi, jumlah KK tinggi, ketersediaan fasilitas umum
mencukupi
Tipologi III Gunungjaya, Simpur, Gambuhan, Penakir, Nyalembeng, Cikedung,
Kalisaleh, Persentase penggarap tinggi,
persentase buruh tani tinggi, jumlah KK tinggi, kepadatan penduduk
rendah, persentase keluarga pertanian tinggi, persentase pemilik sekaligus
penggarap tinggi, ketersediaan fasilitas umum rendah, persentase jumlah
keluarga pra sejahtera I terhadap total jumlah keluarga tinggi
Hal menarik lainnya ternyata jumlah fasilitas umum di desa-desa tipologi II relatif tersedia. Fasilitas umum yang cukup memadai ini tentunya akan mendorong
tumbuh kembangnya sektor pertanian dan kawasan agropolitan itu sendiri. Secara umum karakteristik desa-desa pada tipologi II ini sebenarnya sudah mulai mengarah
kepada konsep pengembangan kawasan Agropolitan. Desa-desa ini sangat potensial terutama ditinjau dari sisi akses kepada lahan, kelembagaan dan infrastruktur.
Sejauh ini di desa -desa inilah kawasan agropolitan Pemalang mulai dikembangkan. Selanjutnya untuk desa-desa pada tipologi III ternyata secara umum
kondisinya tidak jauh berbeda dengan desa-desa pada tipologi II. Namun terdapat satu perbedaan karakteristik yang cukup penting yaitu bahwa persentase jumlah
keluarga pra sejahtera I terhadap jumlah total keluarga pada desa -desa tersebut tinggi.
d. Tipologi Kawasan Agropolitan Sleman