Tabel 15. Daftar Kelompok Desa Berdasarkan Tipe Perkembangan Wilayah untuk Desa-Desa di Kawasan Agropolitan Brebes-Larangan
Kabupaten Brebes
Tingkat Perkembangan Kecamatan Desa
Brebes Brebes, Pasar Batang, Limbangan Wetan,
Kalingangsa Wetan, Randusangka Kulon Tingkat Perkemban gan
Wilayah Maju Larangan
Larangan, Sitanggal, Rengaspendawa, Slatri Brebes
Banjaranyar, Gandasuli, Terlangu, Pemaron, Wangandalam, Ka lingangsa Kulon, Tengki,
Limbangan Kulon, Pagejugan, Krasak, Padasugih, Pulosari
Tingkat Perkembangan Wilayah Sedang
Larangan Pamulihan, Siandong, Kedungbokor, Wlahar
Brebes Kedunguter, Sigambir, Lembarawa, Radusanga
Wetan, Kalimati, Kaliwlingi Tingkat Perkembangan
Wilayah Relatif Tertinggal Larangan
Kamal, Karangbale, Luwunggede
c. Indeks Perkembangan Desa di Kawasan Agropolitan Belik -Pulosari Kabupaten Pemalang
Berdasarkan hasil analisis indeks perkembanga n desa Lampiran 7, desa di
kawasan agropolitan Pemalang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu: i wilayah dengan tingkat perkembangan maju; ii wilayah dengan tingkat
perkembangan sedang berkembang; iii wilayah dengan tingkat perkembangan relatif tertinngal lambat. Desa-desa yang tergolong ke dalam kelompok wilayah
dengan tingkat perkembangan maju, diantaranya adalah: Desa Belik, Kuta, Bulakan, Beluk Kec. Belik , Pulosari, Karangsari Kec. Pulosari; Desa-desa yang tergolong
ke dalam wilayah dengan tingkat perkembangan sedang, antara lain: Gombong, Gunungjaya, Badak, Simpur, Sikasur Kec. Belik; Desa Siremeng, Gambuhan,
Clekatakan, Penakir, Gunungsari, Pagenteran Kec. Pulosari Tabel 16. Desa-desa
yang tergolong ke dalam kelompok wilayah dengan tingkat perkembangan relatif tertinggal, diantaranya adalah: Desa Gunungtiga, Kalisaleh Kec. Belik; Desa
Cikedung, Nyalembeng, Batursari, Jurangmangu Kec. Pulosari.
Tabel 16. Daftar Kelompok Desa Berdasarkan Tipe Perkembangan Wilayah untuk Desa-desa di Kawasan Agropolitan Belik-Pulosari
Kabupaten Pemalang
Tingkat Perkembangan Kecamatan
Desa
Belik Belik, Kuta, Bulakan, Beluk
Tingkat Perkembangan Wilayah Maju
Pulosari Pulosari, Karangsari
Belik Gombong, Gunungjaya, Badak, Simpur,
Sikasur Tingkat Perkembangan
Wilayah Sedang Pulosari
Siremeng, Gambuhan, Clekatakan, Penakir, Gunungsari, Pagenteran
Belik Gunungtiga, Kalisaleh
Tingkat Perkembangan Wilayah Relatif Tertinggal
Pulosari Cikedung, Nyalembeng, Batursari,
Jurangmangu
d. Indeks Perkembangan Desa di Kawasan Agropolitan Sleman
Indeks Perkemba ngan Desa di Kawasan Agropolitan Sleman memiliki nilai koefisien keragaman 1.32, hal ini menunjukkan bahwa indeks perkembangan desa-
desa di kawasan agropolitan Sleman memiliki tingkat perkembangan wilayah
dengan variasi yang cukup beragam Lampiran 8. Sedangkan nilai minimum dari
indeks perkembangan desa menunjukkan bahwa desa tersebut tergolong wilayah dengan tingkat perkembangan lambat relatif tertinggal, sedangkan nilai maksimum
menunjukkan bahwa wilayah tersebut termasuk ke dalam kelompok wilayah dengan tingkat perkembangan maju berkembang.
Berdasarkan indeks perkembangannya, desa -desa yang tergolong ke dalam kelompok wilayah maju, antara lain Desa Pakem Binangun, Harjo Binangun, Candi
Binangun Kec. Pakem; Desa Argo Mulyo Kec. Cangkringan. Desa yang tergolong ke dalam kelompok perkembangan sedang, di antaranya adalah: Desa
Purwo Binangun, Hargo Binangun Kec. Pakem; Desa Wukir Sari, Umbul Harjo Kec. Cangkringan; Desa Dono Kerto, dan Bangun Kerto Kec. Turi. Sedangkan
Desa yang tergolong ke dalam kelompok wilayah relatif tertinggal, antara lain Desa Kepuh Harjo, Glagah Harjo Kec. Cangkringan; Desa Giri Kerto, dan Wono Kerto
Kec. Turi Tabel 17.
Tabel 17. Daftar Kelompok Desa Berdasarkan Tipe Perkembangan Wilayah untuk Desa-desa di Kawasan Agropolitan Sleman
Tingkat Perkembangan Kecamatan
Desa
Pakem Pakem Binangun, Harjo Binangun,
Candi Binangun Tingkat Perkembangan Wilayah
Maju Cangkringan
Argo Mulyo Pakem
Purwo Binamgun, Hargo Binangun Cangkringan
Wukir Sari, Umbul Harjo Tingkat Perkembangan Wilayah
Sedang Turi
Dono Kerto, Bangun Kerto Cangkringan
Kepuh Harjo, Glagah Harjo Tingkat Perkembangan Wilayah
Relatif Tertinggal Turi
Giri Kerto, Wono Kerto
4. 2.3. Keragaan Usahatani a. Kawasaan Agropolitan Pacet Kabupaten Cianjur
Lokasi kajian kawasan agropolitan Kabupaten Cianjur difokuskan di Kecamatan Pacet dan Sukaresmi. Sesuai dengan kondisi topografi dan
agroklimatnya, tanaman yang dominan dikembangkan di kawasan ini adalah tanaman hortikultur atau tanaman sayuran. Berbeda dengan sistem usahatani di
lokasi kajian lainnya, petani di daerah ini cenderung melakukan sistem tumpang sari atau polikultur. Dalam satuan luas lahan ditanami beragam jenis komoditas. Sistem
pertanian tumpang sari atau sering disebut pula diversifikasi merupakan upaya untuk mengurangi resiko pasar berupa perubahan harga ketika panen. Perubahan harga
yang merugikan salah satu komoditas akan dikompensasi dengan kenaikan harga komoditas lainnya.
Pola tanam polikultur ini mempersulit pe nghitungan atau analisis usahatani jika fokus utama ditujukan kepada mencari biaya produksi per unit komoditas.
Penggunaan faktor produksi cenderung bersifat joint cost. Pemakaian faktor produksi ditujukan untuk semua komoditas. Seperti aplikasi pupuk tidak khusus
untuk satu tanaman tapi juga digunakan untuk tanaman lain. Di samping sulit menghitung tingkat biaya per unit juga kesulitan memperkirakan produktivitas per
satuan luas.
Untuk melihat sejauh mana usahatani di lokasi kajian menguntungkan atau tidak digunakan analisis RC rasio. Bagi kasus di Cianjur rasio RC bersifat
gabungan. Secara metodologis, komoditas yang menjadi acuan sampling hanya lima jenis. Namun dalam wawancara petani sampel menanam beragam jenis sayuran
dalam satuan luas yang sama. Dengan demikian analisis usahatani dilakukan dengan memperhitungkan semua tanaman yang ada dalam lahan tersebut. Petani di kawasan
agropolitan Cianjur diidentifikasi menanam sayuran seperti wortel, brokoli, bawang daun, cabai, sawi, daun mint, caisin, kol dan pastly. Dari sudut penerimaan, cabai,
bawang daun dan wortel merupakan produk utama petani di kawasan ini. Nilai penerimaan untuk ketiga tanaman tersebut adalah Rp. 11.200.000,- , Rp. 2.877.600,-
dan Rp. 2.580.000,-. Total rata-rata penerimaan usahatani di Cia njur sebesar Rp. 19.441.822,- selama satu musim tanam.
Luas tanaman bervariasi dari 500 m2 sampai 4.000 m2. Jarang ditemukan petani dengan pengusahaan luas lebih dari 10.000 m2. Dengan demikian petani di
kawasan agropolitan Cianjur termasuk petani kec il. Pengusahaan lahan yang terbatas disebabkan oleh adanya fragmentasi lahan. Di samping itu tekanan penggunaan
lahan untuk tujuan lain, misalnya properti, mempercepat proses fragmentasi lahan tersebut.
Beragamnya tanaman yang diusahakan memperlihatkan kemampuan petani dalam merespon pasar. Tanaman seperti brokoli, mint dan pastly bukan merupakan
tanaman asli Indonesia. Tanaman ini memiliki harga jual yang relatif tinggi. Namun petani tidak mau berspekulasi menamam secara monokultur karena pertimbangan
resiko dan daya serap pasar yang masih rendah. Tanaman ini dijual bukan untuk kalangan masyarakat biasa atau berpendapatan rendah. Konsumen targetnya adalah
konsumen perkotaan yang memiliki pendapatan yang tinggi. Oleh karena itu pasar yang ditujunya adalah supermarket atau restoran.
Dari sudut biaya, total biaya produksi yang diperhitungkan sebesar Rp. 11.994.654,-. Pe nghitungan biaya yang diperhitungkan dimaksudkan untuk melihat
seberapa jauh petani melakukan proses kompensasi atas sumberdaya yang dimilikinya. Analisis yang menihilkan biaya yang diperhitungkan akan memberikan
informasi yang salah. Hasil analisis akan bersifat over-estimate. Secara finansial sistem usahatani tampak sangat menguntungkan. Jika biaya seperti tenaga kerja
dalam keluarga, biaya sewa lahan dan bibitbenih yang cenderung berasal dari tanaman terdahulu diperhitungkan maka keuntungan petani akan berkurang.
Kelemahan lainnya adalah analisis usahatani tidak dapat mendeteksi berapa besar kontribusi biaya pengelolaan. Dalam system usahatani, biaya pengelolaan tidak dapat
diperhitungkan seperti halnya sektor industri. Sebagai pendekatan digunakan konsep keuntungan merupakan balas jasa terhadap pengelolaan usahatani. Dari hasil analisis
rasio RC diperoleh nilai sebesar 2.48 Lampiran 9. Nilai RC tersebut
menunjukkan bahwa usahatani sayuran di kawasan agropolitan Cianjur mampu memberikan balas jasa kepada petani sebesar 148 persen, sudah termasuk biaya-
biaya yang diperhitungkan. Jika hanya memperhitungkan biaya tunai cash expenditure nilai rasio RC mencapai 5.96. Angka ini memberikan informasi yang
salah karena banyak faktor produksi yang tidak diperhitungkan. Dari struktur biaya produksi, benih wortel dan pestisida jenis curacron
merupakan biaya yang paling dominan. Di kawasan ini ditemukan sekitar 12 jenis pestisida yang digunakan. Dari sudut pandang ekonomi jumlah yang cukup besar ini
menciptakan disefisiensi sistem produksi. Peningkatan jumlah pemakaian faktor produksi tidak selalu berarti akan terjadi peningkatan produksi. Dengan demikian
akan terjadi penurunan marjin keuntungan yang didapat oleh petani. Dari sudut pandang ekologi dan kesehatan, aplikasi pestisida berlebih berdampak terhadap
kualitas produk sayuran. Secara visibilitas tektur atau penampilan komoditas sayuran memang menarik konsumen, karena tidak ada bekas kerusakan akibat
serangan hama atau penyakit. Akan tetapi dalam jangka panjang akan berdampak terhadap kepercayaan konsumen karena kandungan pestisida yang cukup tinggi.
Petani cenderung bersikap over preventif dalam menanggulangi hama dan penyakit. Aplikasi pestisida cenderung tidak memperhatikan batas ambang ekonomi
serangan hama dan penyakit. Dampaknya terjadi pemborosan biaya perawatan tanaman yang tidak hanya biaya pembelian bahan pestisida juga biaya tenaga
kerjanya. Penyuluhan bagaimana menangani hama penyakit secara efisien masih perlu dilakukan. Kalau memungkinkan penanganan hama penyakit dengan cara yang
ramah lingkungan environmentally friendly. Sekarang sudah banyak dikembangkan metode penanganan hama penyakit secara biologis dengan
memanfaatkan musuh alami atau pestisida nabati.
b. Kawasaan Agropolitan Brebes-Larangan Kabupaten Brebes
Di kabupaten Brebes tepatnya di lokasi kajian hanya dua jenis komoditas yang menjadi fokus studi karena merupakan komoditas unggulan wilayah, yaitu
bawang merah dan cabai. Kedua jenis komoditas ini merupakan ciri khas kabupaten Brebes. Pemasaran kedua komoditas ini sudah lintas propinsi. Rata -rata produksi
petani responden bawang merah adalah 10.800 kg dengan harga jual saat kajian adalah Rp. 1.320 per kg. Harga bawang merah dan juga komoditas pertanian lainnya
sangat berfluktuatif tergantung kepada pasokan. Pada saat musim panen besar harga akan turun secara drastis. Sebaliknya pada saat permintaan tinggi ditambah dengan
pasokan terbatas harga akan cenderung meningkat. Rata -rata pendapatan per petani
sampel bawang merah adalah sekitar Rp. 14.256.000 Lampiran 10a.
Tanaman bawang merah dan cabai merupakan tanaman yang sangat sensitive terhadap perlakuan atau budidaya. Sehingga tidak mengherankan kebutuhan pupuk
dan obat cukup besar. Nilai pupuk yang digunakan untuk tanaman bawang merah mencapai Rp. 1.887.965 sementara untuk obat-obatan mencapai Rp. 4.592. 700.
Besarnya biaya pemupukan dan perawatan berdampak terhadap besarnya biaya tenaga kerja yang diperhitungkan, yaitu Rp. 2.945.300, yang terdiri atas Rp.
2.689.100 pria dan Rp. 256.200 wanita. Namun demikian usahatani atau budidaya bawang merah di kabupetan Brebes masih menguntungkan baik ditinjau dari biaya
tunai maupun biaya yang diperhitungkan. Dari hasil analisis diperoleh bahwa nilai rasio RC untuk komoditas bawang merah adalah 1,25. Dalam jangka panjang nilai
ini dapat ditingkatkan lagi mengingat hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pemakaian obat-obatan di kabupetan Brebes kebanyakan sudah melebihi dosis
rekomendasi sehingga dipertanyakan tingkat efektivitasnya. Disamping itu secara ekologis akan berdampak terhadap lingkungan dan kualitas bawang itu sendiri.
Usahatani cabai terlihat lebih menguntungkan dibandingkan dengan usahatani bawang merah jika dilihat dari indikator rasio RC-nya. Untuk biaya tunai setiap
seribu rupiah biaya yang dialokasikan ke usahatani cabai akan memberikan dampak penerimaan sebesar Rp. 4.732 rupiah. Dengan kata lain terdapat keuntungan bersih
sebesar Rp. 3.732,-. Demikian juga dilihat dari sudut biaya yang harus
diperhitungkan. Nilai rasio RC-nya sebesar 2,04 Lampiran 10b. Dengan
demikian balas jasa pengelolaan usahatani cabai dua kali lebih besar dibandingkan dengan biaya yang digunakan untuk produksi cabai.
Sama halnya dengan kasus bawang merah, pemakaian pupuk dan obatan- obatan merupakan kontribusi utama terhadap total biaya. Biaya yang digunakan
untuk pupuk mencapai sekitar Rp. 2.261.430. Sedangka n untuk pestisida Rp.776.750,- untuk skala usahatani seluas 1 ha. Sementara itu, untuk kebutuhan
benih sekitar Rp. 450.000,-. Nilai rasio RC yang cukup tinggi pada cabai merah sebenarnya lebih
ditentukan oleh pendapatan yang relatif tinggi sebagai akibat tingkat harga per satuan hasil yang tinggi, yaitu mencapai Rp 5000,- per kg saat kajian dilakukan. Jika dilihat
dari tingkat produksinya yang hanya 2.94 tonha sebenarnya masih sangat rendah. Oleh karena itu, nilai rasio RC tersebut masih bisa ditingkatkan jika tingkat produksi
bisa lebih ditingkatkan. Di kabupaten Brebes pada umumnya petani lebih mengutamakan bawang merah. Cabai merah seringkali digunakan sebagai tanaman
rotasi untuk memutus siklus hama dan penyakit sehingga teknik budidaya yang diterapkan tidak cukup intensif.
Berdasarkan pada nilai total penerimaan dan total pembiayaan dari kedua jenis komoditas tersebut maka dapat dihitung nilai rasio RC yang representatif untuk
usahatani komoditas yang diusahakan. Hasil analisis diperoleh nilai rasio RC usahatani komoditas unggulan di kawasan agropolitan Brebes-Larangan Kabupaten
Brebes adalah 1,56 Lampiran 10c. Nilai tersebut menunjukka n bahwa balas jasa
yang diperoleh petani dalam mengusahaan komoditas bawang merah dan cabai merah sebesar 56 dari total biaya yang dikeluarkan.
c. Kawasaan Agropolitan Belik -Pulosari Kabupaten Pemalang