187
4.3. Dampak Pengembangan Kawasan Agropolitan terhadap Pendapatan Petani
Untuk mengetahui dampak pengembangan kawasan agropolitan terhadap pendapatan petani dilakukan analisis finansial keluarga rumah tangga petani
dengan menginvetarisir seluruh sumber pendapatan, baik yang bersumber dari kegiatan pertanian maupun non pertanian. Hasil analisis dengan menggunakan
program Minitab menunjukan bahwa dampak pengembangan kawasan agropolitan terhadap tingkat pendapatan petani berbeda-beda antar lokasi Tabel 40.
Perbedaan tersebut secara statistika umumnya bersifat signifikan, dan erat kaitannya dengan
tingkat kondisi wilayah dan biofisik lingkungan kawasan agropolitan yang dikaji. Tabel 40. Perbandingan Tingkat Rata-rata Pendapatan Petani per Tahun
pada Kawasan Agropolitan dan Non-Agropolitan Tahun 2005
Pendapatan Rp jutatahun Lokasi
Kawasan Total
Cianjur Agropolitan
41.4 Non-Agropolitan
6.1 t-test
3.88
P 0.000
Brebes Agropolitan
23.9 Non-Agropolitan
19.1 t-test
tn0.53
P 0.300
Pemalang Agropolitan
26.6 Non-Agropolitan
8.9 t -test
3.10
P 0.002
Sleman Agropolitan
14.4 Non-Agropolitan
8.8 t-test
1.68
P 0.052
Keterangan: = berbeda sangat nyatasignifikan α
= 0.01; = berbeda nyata
α =0.10; t n = tidak berbeda nyata
Di kabupaten Cianjur , pengembangan kawasan agropolitan telah berjalan lebih dari dua tahun. Sarana dan prasarana yang telah dibangun berkaitan dengan
program tersebut antara lain adalah sarana dan prasarana jalan yang menghubungkan
188
desa dengan kota kecamatan, desa dengan desa, dan juga jalan usahatani. Selain itu telah dibangun pula sarana pemasaran berupa sub terminal agribisnis yang dilengkapi
dengan cool storage di desa Cigombong. Pengembangan kawasan agropolitan ternyata memberikan dampak sangat signifikan terhadap peningkatan pendapatan
keluarga petani dari sektor pertanian, non pertanian perdagangan, dan jasa, dan pendapatan total.
Sarana prasarana jalan dan pemasaran yang dibangun berkaitan dengan program pengembangan agropolitan, serta kawasan agropolitan yang berdekatan
dengan kawasan wisata, secara tidak langsung juga memberikan peluang positif bagi petani untuk memperoleh penghasilan dari sektor nonpertanian, seperti perdagangan
dan jasa. Hal tersebut tidak dapat dinikmati oleh petani yang tinggal di lokasi yang belum tersentuh program pengembangan agropolitan. Peningkatan penghasilan
sektor pertanian dan non pertanian pada akhirnya berimplikasi terhadap peningkatan pendapatan total petani. Pendapata n total petani pada kawasan agropolitan secara
signifikan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan petani pada kawasan
non-agropolitan Gambar 54..
Gambar 54. Rata-rata Pendapatan Total Petani di Kawasan Agropolitan dan Nonagropolitan di Empat Wilayah Studi
Di Kabupaten Brebes, secara definitif belum ada program agropolitan. Namun demikian dilihat dari potensi perkembangan wilayah yang terjadi secara
41.4
6.1 23.9
19.1 26.6
8.9 14.4
8.8 0.0
15.0 30.0
45.0
Cianjur Brebes
Pemalang Sleman
Agropolitan Non-agropolitan
Pen dapatan jutath
189
alami kawasan ini telah mengarah pada agropolitan. Beberapa desa yang memiliki perkembangan relatif lebih maju di kawasan ini telah berperan sebagai pusat
pelayanan, dan sebagian lainnya berperan sebagai pusat produksi hinterland. Oleh karena belum terdapat program pengembangan agropolitan, maka sarana dan
prasarana belum dibangun secara memadai. Akses jalan usahatani pada beberapa desa telah cukup baik, tetapi sebagian besar masih memprihatinkan. Responden
yang mewakili kawasan agropolitan di lokasi ini diambil petani yang berdomisili di desa-desa pusat pertumbuhan, sedangkan responden untuk daerah non-agropolitan
diambil dari desa yang terletak sangat jauh dari pusat pertumbuhan. Hasil penelitan menunjukkan bahwa tingkat pendapatan petani di kawasan
agropolitan, baik dari kegiatan pertanian, nonpertanian maupun pendapatan tota l, tidak berbeda dengan petani dari kawasan nonagropolitan. Tidak berbedanya
pendapatan petani di kedua kawasan tersebut terutama disebabkan karena sarana dan prasarana penunjang pertanian yang relatif tidak berbeda. Tingkat kemudahan petani
mendapatkan sarana produksi, penyuluhan pertanian, juga relatif sama. Di Kabupaten Pemalang, pengembangan agropolitan telah berjalan dua tahun
dengan tingkat perkembangan yang relatif baik. Sarana prasarana jalan telah dibangun cukup memadai sehingga akses petani ke ibukota kecamatan maupun ke
lahan usahatani sangat mudah. Selain itu, di kawasan ini telah dibangun sarana pemasaran dalam bentuk sub terminal agribisnis STA di Desa Gombong.
Di kawasan ini pengembangan agropolitan secara signifikan berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan petani dari sektor pertanian maupun
pendapatan total petani. Sebagaimana di kawasan lain, dengan adanya program pengembangan agropolitan yang direalisasikan dengan pembangunan sarana dan
prasarana jalan maupun pemasaran sangat membantu petani dalam memperoleh sarana produksi seperti pupuk dan pestisida. Demikian juga dalam pengangkutan
sarana produksi maupun produk pertanian menjadi lebih lancar, cepat dan lebih murah sehingga biaya produksi secara tidak langsung juga menjadi lebih rendah.
Selain itu, dalam konsep agropolitan petani diarahkan untuk mengembangkan komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi dengan konsep agribisnis sehingga
dapat diperoleh keuntungan usahatani yang lebih tinggi. Hal tersebut tidak diperoleh
190
petani yang tinggal di daerah yang belum tersentuh program agropolitan sehingga keuntungan usahatani yang diperoleh petani jauh lebih rendah. Komoditas yang
diusahakan pada umumnya tanaman pangan pokok seperti padi dan jagung, teknologi budidaya yang diterapkan relatif belum maju, maupun biaya produksi yang harus
dikeluarkan yang relatif lebih tinggi. Pembangunan sarana prasarana di kawasan agropolitan ternyata tidak
menyebabkan peningkatan pendapatan petani dari sektor nonpertanian. Lokasi kawasan agropolitan jauh dari pengaruh kota ataupun kawasan wisata menyebabkan
petani di kawasan ini tidak banyak yang berkecimpung dalam kegiatan non pertanian. Pendapat dari sektor nonpertanian pada umumnya dihasilkan dari
pendapatan lain-lain, seperti pegawai negeri, atau mendapat kiriman anaknya yang bekerja di luar daerah. Hal yang sama juga dijumpai pada petani di kawasan non
agropolitan sehingga menimbulkan pendapatan dari sektor ini yang tidak bebeda . Di Kabupaten Sleman secara definitif belum ada program pengembangan
agropolitan. Namun demikian, sebelumnya telah ada kegiatan pengembangan kawasan agrowisata dengan komoditas salak pondoh. Berkaitan dengan program
tersebut sarana dan prasarana, terutama jalan, telah dibangun dengan sangat baik. Jalan yang menghubungkan antar desa, di dalam desa, dari desa ke lahan usahatani,
apalagi dari desa ke ibukota kecamatan dalam kondisi sangat baik. Keadaan tersebut relatif merata untuk seluruh kawasan. Responden yang diambil untuk mewakili
petani di kawasan agropolitan adalah petani di desa pusat pertumbuhan, sedangkan yang mewakili daerah nonagropolitan diambil dari desa yang terletak jauh dari pusat
pertumbuhan. Hasil analisis menunjukkan bahwa pendapatan petani dari sektor pertanian
dan pendapatan total petani di kawasan agropolitan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan petani dari kawasan nonagropolitan. Sebagaimana terjadi pada
lokasi studi lain, peningkatan pendapatan tersebut kemungkinan berkaitan dengan kemudahan akses petani terhadap lembaga penyuluhan sebagai sumber alih
teknologi, akses petani terhadap sarana produksi, dan pemasaran.
191
4.4. Model Pembangunan Perdesaan Melalui Pengembangan Agropolitan 4.4.1. Pengembangan Model Pembangunan Perdesaan
Pengembangan model dinamik pembangunan
perdesaan melalui pengembangan agropolitan ini menggambarkan proses produksi, interaksi antar
stakeholders, pengolahan hasil serta pemasaran hasil-hasilnya. Secara umum model dinamik ini terdiri atas tiga sub model: 1 Sub-model produksi berwawasan
lingkungan, 2 Sub–model pengolahan produk dan 3 Sub-model pemasaran produk. Data yang digunakan dalam pengembangan dan pengujian model
dicantumkan pada Lampiran 17 sd 20. a. Sub Model Produksi Berwawasan Lingkungan
Sub model dinamik ini merupakan main model dari model dinamik keseluruhan yang dikembangkan. Sub model dinamik ini memberikan gambaran
pertumbuhan penduduk, perubahan luas lahan, jumlah produksi, dan dampaknya terhadap lingkungan. Variabel-variabel yang berpengaruh terhadap proses produksi
secara lengkap tertera pada diagram sebab-akibat causal loop diagram seperti
Gambar 55 . Pada diagram sebab akibat tersebut terlihat bahwa bila jumlah
penduduk me ningkat maka tekanan terhadap lingkungan akan meningkat, dan penyusutan lahanpun juga akan meningkat. Meningkatnya penyusutan lahan ini
akan memberikan pengaruh terhadap produksi agropolitan. Pada sisi lain, bila luas lahan agropolitan meningkat maka akan memberikan dampak positif terhadap
peningkatan produksi. Hubungan luas lahan dengan produksi ini membentuk building block reinforcing, yang berarti peningkatan luas lahan akan meningkatkan
jumlah produksi. Meningkatnya jumlah produksi akan meningkatkan pendapatan masyarakat, yang akan berakibat pada peningkatan kualitas pendidikan dan akhirnya
meningkatkan kualitas SDM. Bila SDM meningkat, secara empiris akan memberikan peningkatan terhadap ‘technological competence’ yang akan
berpengaruh positif terhadap peningkatan produksi, sehingga rangkaian causal loop ini juga membentuk building block reinforcing. Sementara itu kerusakan
lingkungan baik yang disebabkan oleh tekanan penduduk maupun sistem penanaman yang terus menerus akan membentuk building block balancing terhadap
192
produksi agropolitan. Artinya peningka tan kerusakan lingkungan akan menurunkan produksi agropolitan itu sendiri.
Gambar 55. Causal Loop Diagram Produksi Pertanian Berwawasan Lingkungan
Berdasarkan diagram sebab akibat Gambar 55 di atas dapat dibuat model dinamik produksi pertanian berwawasan lingkungan seperti pada Gambar 56.
Gambar 56. Sub Model Produksi Pertanian Berwawasan Lingkunga n
193
b. Sub Model Pengolahan Produk Berwawasan Lingkungan