4. Analisis Kuadran HASIL DAN PEMBAHASAN

itu jika memperhitungkan seluruh biaya yang dikeluarkan, termasuk untuk bibit dan tenaga kerja, maka diperoleh nilai rasio RC 1.99 Lampiran 12a. Nilai tersebut termasuk cukup baik dalam usahatani, karena berarti imbalan yang diterima petani adalah 99 dari modal yang dikeluarkan. Untuk komoditas cabai merah, nilai rata -rata penjualan petani dalam satu hektar selama satu musim tanam cabai adalah Rp. 30.534.000,- Luas panen petani cabai di Sleman bervariasi antara 0,15 hektar sampai 4 hektar demikian pula produksinya antara 0,5 ton sampai 32 ton bergantung luas lahan yang ditanam. Besarnya nilai penjualan tidak identik dengan besar nisbah manfaat biaya yang dihasilkannya. Nilai rasio RC biaya total untuk usahatani tanaman cabai hanya 1, 6 Lampiran 12b. jauh lebih kecil dibandingkan dengan rasio RC tanaman salak. Namun dari sudut keuntungan nominal keuntungan usahataninya hampir sama jika dihitung dalam waktu usahatani. Jika dihitung berdasarkan analisis gabungan dari kedua komoditas unggulan tersebut untuk mewakili nilai rasio RC usahatani di kawasan agropolitan, maka akan diperoleh nilai rasio RC sebesar 1,78 Lampiran 12c. Nilai tersebut menunjukkan bahwa budidaya komoditas unggulan di kawasan agropolitan Turi-Pakem- Cangkringan Kabupaten Sleman secara ekonomis relatif menguntungkan. Balas jasa dari modal usahatani yang digunakan petani untuk menanam kedua jenis tanaman unggulan, yaitu salak dan cabai, adalah sebesar 78.

4.2. 4. Analisis Kuadran

Sistem agribisnis meliputi empat sub sistem yaitu sub sistem pengadaan sarana pertanian, sub sistem budidaya atau usahatani, sub sistem pemasaran dan pengolahan dan sub sistem sarana penunjang supporting sub-system. Faktor-faktor yang diperhitungkan dalam bagian sistem agribisnis meliputi keberadaan lembaga pasar sarana produksi seperti pupuk, obat-obatan, alat-alat pertanian, dan bibit; industri pengolah, KUD, pasar hasil produksi, balai penyuluhan pertanian, lembaga keuangan dan lembaga penelitian. Secara teoritis , keberadaan lembaga-lembaga tersebut akan memperpengaruhi kinerja sistem usahatani. Hasil akhir yang diharapkan dari keberadaan lembaga ini adalah petani mendapatkan hasil produksi yang lebih tinggi dengan biaya yang relatif rendah karena peran BPP yang memberikan informasi teknis budidaya yang baik. Di samping itu keberadaan lembaga keuangan dapat dimanfaatkan petani sebagai alternatif sumber pembiayaan. KUD dan Pasar diharapkan memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menjamin harga. Ketidakadaan pasar sering dimanfaatkan oleh para pedagang untuk menekan harga di tingkat usahatani dengan argumen biaya distribusi hasil produksi ke lokasi lain cukup besar. Pedagang akan mengalihkan biaya transportasi ini menjadi beban petani sehingga harga yang diterima petani tidak maksimal. Keberadaan industri pengolahan diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah yang cukup berarti terhadap komoditas yang dihasilkan oleh petani. Jika hasil produksi hanya dipasarkan dalam bentuk bahan mentah, harga yang diterima petani cenderung sangat fluktuatif. Terbatasnya pasar akan mengakibatkan harga cenderung turun. Dengan adanya industri pengolahan di lokasi kajian, kelebihan pasokan dapat digunakan oleh industri pengolahan untuk melakukan proses nilai tambah yang akhirnya petani mendapat jaminan pasar hasil produksinya. Analisis kuadran dilakukan dengan memberikan skor 1 terhadap keberadaan lembaga pendukung sistem agribisnis tersebut. Kemudian dilakukan perhitungan atau persentase terhadap jumlah maksimal yang mungkin diperoleh. Sebagai contoh jika di lokasi kajian hanya terdapat 6 lembaga , sementara secara potensial harus terdapat 11 lembaga pendukung maka skor lokasi tersebut adalah 611 atau 54,55 persen. Analisis kuadran dilakukan dengan dengan membandingkan dengan sesamanya. Artinya , pertama dilakukan perhitungan rataan baik untuk keberadaan lembaga maupun nilai rasio RC-nya. Dengan demikian akan terlihat posisi lokasi kajian secara relatif terhadap keseluruhan lokasi yang dikaji. Untuk melihat hubungan matematis antara nilai rasio RC dengan ketersediaan kelengkapan lembaga elemen sistem agribisnis penunjang digunakan analisis korelasi. Dari hasil analisis ditemukan tidak adanya hubungan antara kedua variabel tersebut koefisien korelasi sebesar -0,16. Dengan kata lain bahwa tingkat keuntungan usahatani di lokasi kajian tidak dipengaruhi oleh keberadaan lembaga penunjang. Akan tetapi untuk melihat posisi lokasi kajian dibandingkan dengan rata-rata nilai RC dan ketersediaan lembaga penunjang dapat dilihat pada Tabel 18 dan Gambar 21. RC ratio Lembaga Penunjang 40 100 4 2.18 77.275 Brebes Cianjur Sleman Pemalang I IV III II Ta bel 18. Hubungan Antara Lembaga Agribisnis dan Nilai Rasio RC Lokasi Lembaga Penunjang RC Kuadran Cianjur 63.64 2.48 II Brebes 72.73 1.58 III Pemalang 81.82 2. 90 I Sleman 90.91 1.78 IV Nilai tengah 77.275 2.185 Gambar 21. Analisis Kuadran Berdasarkan Kelengkapan Lembaga Penunjang dan Keragaan Usahatani Komoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan Pada kuadran I dimana nilai RC dan ketersediaan lembaga penunjang lebih tinggi dan lengkap ditempati oleh kawasan agropolitan Pemalang. Lokasi ini tingkat keuntungan usahatani tinggi didukung oleh keberadaan lembaga penunjang yang tinggi pula secara relatif terhadap rata-rata keseluruhan lokasi. Sebaliknya kawasan agropolitan Brebes berada pada Kuadran III. Dengan kata lain ditinjau dari sudut tingkat keuntungan usahatani dan ketersediaan lembaga penunjang relatif kurang dibandingkan dengan usahatani di lokasi lainnya. Implikasi dari analisis ini adalah bagaimana pelaku di lokasi agropolitan yaitu petani dan pemerintah melakukan kebijakan atau kegiatan yang memanfaatkan keberadaan lembaga penunjang agribisnis untuk meningkatkan kinerja usahatani. Jangan sampai terjadi bahwa petani dapat melaksanakan sistem usahatani tanpa harus melibatkan secara aktif keberadaan lembaga penunjang. Informasi ini dapat mendukung bahwa dalam menentukan harga jual hasil produksi petani tidak tergantung kepada berapa besar fungsi lembaga penunjang tetapi sangat tergantung kepada keberadaan pedagang. Ketergantungan finansial petani terhadap para pedagang menciptakan distorsi pasar sehingga menutup peluang petani memanfaatkan lembaga penunjang dan akhirnya menutup peluang untuk meningkatkan keuntungan usahataninya.

4.2.5. Analisis Tipologi di Dalam Kawasan Agropolitan

Analisis penentuan tipologi kawasan sangat diperlukan untuk mengidentifikasi berbagai karakteristik dari masing-masing kawasan. Dengan mengetahui berbagai karakteristik yang ada tentunya akan bisa memberikan informasi yang berguna dalam merumuskan suatu kebijakan. Seperti diketahui setiap karakteristik wilayah tertentu membutuhkan suatu kebijakan yang tertentu pula. Hal ini berarti penyeragaman kebijakan seperti yang pernah terjadi pada masa lalu menjadi sangat tidak memadai. Dalam penentuan tipologi kawasan agropolitan pada tahap awal akan dilakukan pentipologian karakteristik wilayah di dalam kawasan. Seperti diketahui bahwa kawasan agropolitan sebagai suatu sistem terdiri dari unit-unit wilayah yang berfungsi sebagai pusat dan yang berfungsi sebagai hinterland. Karakteristik ini perlu diidentifikasi untuk bisa melakukan analis is terhadap potensi dan kendala dari suatu upaya pengembangan kawasan agropolitan. Berdasarkan karakteristik tipologi wilayah di dalam kawasan agropolitan, selanjutnya bisa dilakukan pembandingan karakteristik antar kawasan. Hasil dari proses pembandingan ini akan memberikan rumusan mengenai tipologi dari setiap kawasan agropolitan yang dikaji.

a. Tipologi Kawasan Agropolitan Cianjur