Tipologi Kawasan Agropolitan Brebes-Larangan Kabupaten Brebes

Dari ketiga tipologi desa dan karakteristiknya ini tampak bahwa di kawasan Agropolitan Cianjur sebenarnya masih belum terbangun suatu keterpaduan pengelolaan kawasan mengingat pada kenyataanya perbedaan tipologi ini begitu nyata dengan semakin jauhnya jarak dengan Bogor dan Kawasan Puncak. Apabila dalan suatu kawasan Agropolitan mampu terjadi aliran sumberdaya yang saling menguntungkan maka kawasan ini akan mempunyai kesempatan yang sangat terbuka untuk bisa berkembang. Satu hal lagi yang cukup mengkawatirkan adalah akses petani terhadap sumberdaya lahan di kawasan Agropolitan Cianjur juga mulai berkurang. Semakin banyak wilayah yang didominasi oleh penggarap daripada pemilik di samping ada wilayah-wilayah dimana sektor pertaniannya sudah mengalami pergeseran menjadi berbagai kawasan wisata, permukiman dan perdagangan. Apabila desa-desa dengan karakteristik tipologi 1 dan 2 ini dominan maka pembangunan kawasan Agropolitan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan para petani menjadi sia -sia. Karena itu perubahan alih kepemilikan dan alih fungsi lahan ini juga harus menjadi perhatian agar kawasan agropolitan bisa terus berkembang secara berkelanjutan.

b. Tipologi Kawasan Agropolitan Brebes-Larangan Kabupaten Brebes

Berdasarkan analisis PCA terhadap variabel-variabel terpilih yang dianggap mampu menggambarkan karakteristik perkembangan wilayah diperoleh 5 variabel baru sebagai penciri utama karakteristik wilayah Lampiran 14a. Kelima variabel baru hasil analisisi PCA tersebut mampu mewakili keragaman dari variabel asal sebesar 85.65 seperti dapat dilihat pada Lampiran 14b. Selanjutnya skor baru dari kelima faktor hasil analisis PCA ini dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan teknik analisis cluster. Hasil dari analisis cluster ini berupa pengelompokan wilayah berdasarkan karakteristik penciri utamanya. Dapat dilihat pada Tabel 20, bahwa hasil analisis cluster menggolongkan desa-desa di kawasan agropolitan Brebes ke dalam 3 kelompok dengan karaktersitiknya masing- masing. Dari tabel tersebut terlihat bahwa desa-desa pada kelompok I memberikan indikasi yaitu mempunyai potensi yang cukup besar untuk dijadikan sebagai wilayah pusat pelayanan bagi desa-desa lain. Hal ini terlihat dari wilayahnya yang sudah mulai berkembang dimana sektor pertanian sudah tidak lagi dominan dan fasilitas umum yang ada juga relatif tersedia. Wilayah ini mempunyai peluang untuk dikembangkan menjadi desa pusat pertumbuhan di kawasan agropolitan Brebes. Kemudian untuk wilayah-wilayah pada kelompok II kelihatannya merupakan wilayah transisi dimana peran sektor pertanian sudah mulai berkurang. Namun sayangnya masih banyak juga keluarga miskin yang tidak bisa terjangkau oleh listrik. Persentase pemilik sekaligus penggarap relatif rendah, dan persentase penggarap relatif tinggi. Fasilitas pertanian relatif rendah. Jadi kemungkinan besar berkembangnya desa-desa ini justru telah membuat penduduk lokal menjadi tersingkir. Untuk kondisi wilayah yang demikian maka harus ada upaya untuk memperbesar akses masyarakat terhadap lahan dimana selain ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga ditujukan untuk memperkuat kapasitas wilayah pusat produksi di kawasan agropolitan. Meskipun di desa-desa tersebut juga terdapat peluang untuk dikembangkan sebagai wilayah pusat pelayanan, namun kemungkinan hanya sedikit saja dari desa -desa ini yang mempunyai potensi untuk menjadi wilayah pusat pelayanan misalnya bisa dipilih desa -desa pada kelompok III yang jaraknya paling dekat dengan ibu kota kabupaten. Tabel 20. Pengelompokan Desa-desa di Kawasan Agropolitan Brebes dan Karakteristik dari Setiap Kelompok Tipologi Nama Desa Karakteristik Tipologi I Kamal, Brebes, Wlahar, Pamulihan, Kedungbokor, Lar angan, Karangbale, Luwunggede, Slatri, Sitanggal, Siandong, Rengaspendawa, Kaliwlingi Jarak desakelurahan ke ibukota Kabupaten lain relatif dekat, persentase pemilik sekaligus penggarap rendah, persentase penggarap tinggi, Banyaknya keluarga yang menggunakan PLN relatif tinggi, jumlah murid SD yang dropout per 1000 penduduk rendah, jumlah buruh tani rendah Tipologi II Padasugih, Limbangan Wetan, Limbang Kulon Jumlah keluarga pertanian rendah, fasilitas umum relatif tersedia, fasilitas pertanian relatif kurang Tipologi III Pemaron, Kalimati, Lembarawa, Krasak, Wangandalem, Terlangu, Pulosari, Gandasuli, Banjaranyar, Kaligangsa Kulon, Kaligangsa Wetan, Randusanga Kulon, Randusanga Wetan, Pasar baru, Sigambir, Pagejugan, Kedunguter, Tengki Jarak desakelurahan ke ibukota kabupaten lain relatif jauh, Persentase pemilik sekaligus penggarap tinggi, Persentase penggarap redah, banyaknya keluarga yang menggunakan PLN relatif rendah, fasilitas pertanian relatif banyak, jumlah buruh tani juga tinggi Selanjutnya wilayah-wilayah pada kelompok III mempunyai karakteristik yang cukup menunjang bagi berkembangnya aktivitas produksi pertanian. Hal ini tampak dari akses petani tarhadap lahan yang masih relatif besar sehingga persentase pemilik sekaligus penggarap relatif tinggi dan persentase penggarap relatif rendah. Selain itu fasilitas pertanian juga relatif banyak dan ketersediaan buruh tani juga relatif tinggi. Namun demikian ketersediaan sarana listrik relatif kurang memadai, sehingga banyak keluarga yang belum berlangganan listrik PLN.

c. Tipologi Kawasan Agropolitan Pemalang