Ketidak stabilan Nilai Tukar Valuta Asing

43

6. Pengeluaran Barang Modal

Penyediaan jasa telekomunikasi bersifat padat modal. Untuk dapat terus bersaing, Perseroan harus terus-menerus melakukan perluasan, memodernisasi dan memperbarui teknologi Perseroan, yang memerlukan pengeluaran barang modal yang besar. Untuk tahun-tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2011, 2012 dan 2013, pengeluaran barang modal konsolidasi aktual Perseroan masing- masing berjumlah total Rp6.511,3 miliar, Rp8.396,6 miliar dan Rp9.371,0 miliar. Untuk tahun 2014, Perseroan berencana untuk mengalokasikan kurang lebih Rp9.307,0 miliar untuk pengeluaran barang modal baru. Sebelumnya, Perseroan telah membiayai pengeluaran barang modal melalui sumber internal dan arus kas dari kegiatan usaha Perseroan, dan juga dari utang pembiayaan melalui pinjaman bank dan pasar modal. Pada tahun 2014, Perseroan berencana untuk memusatkan perhatian pada modernisasi atas jaringan selular Perseroan di Jababodetabek, bagian lain dari Jawa termasuk Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Sukabumi dan Garut dan di beberapa kota di luar Jawa termasuk Medan, Banjarmasin, Lampung, Batam dan Palembang. Perseroan mengharapkan untuk terus membiayai pengeluaran barang modal melalui sumber-sumber tersebut. Selain itu, Perseroan juga menggunakan sebagian dari pendapatan tunai dari Transaksi Penjualan Menara yang selesai pada tahun 2012 untuk membiayai pengeluaran barang modal Perseroan pada tahun 2013. Perseroan menghadapi risiko likuiditas apabila peristiwa-peristiwa tertentu terjadi, termasuk namun tidak terbatas pada, lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dari yang Perseroan harapkan, menurunnya peringkat utang Perseroan, atau menurunnya kinerja keuangan atau rasio keuangan Perseroan. Apabila Perseroan tidak mendapatkan jumlah yang dibutuhkan untuk mendukung rencana pengeluaran barang modal Perseroan untuk tahun 2014, Perseroan mungkin tidak dapat memperbaiki atau memperluas infrastruktur telekomunikasi selular Perseroan atau memperbarui teknologi Perseroan yang dibutuhkan untuk tetap bersaing dalam pasar telekomunikasi Indonesia, dimana hal tersebut dapat berdampak bagi keadaan keuangan, hasil usaha serta prospek Perseroan. Selain itu, perubahan yang tidak diharapkan dalam teknologi, permintaan kapasitas jaringan yang lebih besar dari pelanggan Perseroan dan tanggapan kepada usaha dan inovasi produk dari pesaing Perseroan dapat mengharuskan Perseroan untuk meningkatkan pengeluaran barang modal Perseroan, yang dapat berdampak bagi pendapatan, hasil usaha dan keadaan keuangan Perseroan.

7. Ketidak stabilan Nilai Tukar Valuta Asing

Nilai mata uang Rupiah telah meningkat secara signiikan selama dekade terakhir dari nilai terendah yaitu sekitar Rp17.000 per Dolar AS selama krisis keuangan Asia. Selama periode antara tanggal 1 Januari 2011 sampai dengan tanggal 30 Juni 2014, kurs tengah RupiahDolar AS yang diumumkan oleh Bank Indonesia berkisar dari nilai terendah Rp12.331 per Dolar AS sampai dengan nilai tertinggi yaitu Rp8.418 per Dolar AS dan selama tahun 2014 sampai periode 30 Juni 2014, nilai tukar tengah RupiahDolar AS yang diumumkan oleh Bank Indonesia berkisar dari nilai terendah Rp12.267 per Dolar AS sampai dengan nilai tertinggi yaitu Rp11.271 per Dolar AS. Nilai tukar tengah yang diumumkan oleh Bank Indonesia pada tanggal 31 Desember 2013 dan pada tanggal 30 Juni 2014 adalah sebesar Rp12.189 per Dolar AS dan Rp11.969 per Dolar AS. Meskipun sebagian besar dari pendapatan Perseroan dalam mata uang Rupiah, sebagian kecil pendapatan Perseroan dalam mata uang Dolar AS. Selain itu, sebagian besar dari pinjaman, pengeluaran barang modal dan beban usaha Perseroan, termasuk pembayaran bunga untuk Guaranteed Notes Jatuh Tempo Tahun 2020, adalah dalam mata uang selain dari Rupiah, terutama Dolar AS. Pada tanggal 30 Juni 2014, 51 dari pinjaman Perseroan adalah dalam mata uang Rupiah, dan sisanya adalah dalam mata uang Dolar AS. Melemahnya nilai Rupiah terhadap Dolar AS mempengaruhi kondisi keuangan dan hasil usaha Perseroan karena, antara lain nilai Rupiah dari beban yang harus dibayarkan dalam mata uang Dolar AS akan meningkat karena faktor tersebut sehingga Perseroan harus mengkonversi mata uang Rupiah yang lebih banyak lagi guna membayar kewajiban Perseroan dalam Dolar AS. Sebaliknya, meningkatnya nilai Rupiah terhadap dolar AS mempengaruhi kondisi keuangan dan hasil usaha Perseroan karena, di antaranya, hal tersebut menyebabkan penurunan pendapatan dari panggilan incoming internasional yang dilakukan oleh pengguna layanan operator asing, roaming oleh pelanggan operator asing di Indonesia dan pendapatan dari jasa MIDI dan sewa transponder satelit Perseroan. Untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 44 Desember 2011, Perseroan mencatat laba nilai tukar valuta asing-bersih sebesar Rp36,7 miliar, untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2012, Perseroan mencatat rugi nilai tukar valuta asing bersih sebesar Rp744,6 miliar, untuk tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2013, Perseroan mencatat rugi nilai tukar valuta asing-bersih sebesar Rp2.786,9 miliar, dan untuk periode enam bulan yang berakhir pada tanggal 30 Juni 2014, Perseroan mencatat laba nilai tukar valuta asing-bersih sebesar Rp133,6 miliar. Sebagai tambahan, sebagian dari aset dan kewajiban moneter Perseroan dapat terkena dampak risiko mata uang asing. Aset moneter ini terutama terdiri dari kas, setara kas, dan piutang usaha dari operator asing, dan piutang usaha dalam mata uang asing. Kewajiban moneter Perseroan yang dapat terkena dampak risiko mata uang asing terdiri dari utang pengadaan, utang jangka panjang dan utang obligasi yang timbul akibat kewajiban yang berkaitan dengan pengeluaran barang modal. Tingkat aset moneter bersih Perseroan sebagian besar dipengaruhi oleh jumlah panggilan masuk yang melebihi jumlah panggilan keluar dalam usaha SLI Perseroan dan pendapatan dari mata uang asing Perseroan. Perseroan tidak dapat memberikan kepastian bahwa Perseroan dapat berhasil mengelola tingkat risiko valuta asing Perseroan di kemudian hari ataupun bahwa Perseroan tidak akan terus-menerus terkena dampak risiko valuta asing. Risiko Perseroan terhadap luktuasi nilai tukar valuta asing, terutama terhadap mata uang Dolar AS, dapat meningkat jika Perseroan mengadakan utang tambahan dalam mata uang Dolar AS untuk membiayai rencana pengeluaran barang modal Perseroan. Pada bulan Februari, Maret 2009 dan Juni 2012, Perseroan mendapatkan persetujuan untuk mengubah beberapa ketentuan dalam instrumen dan perjanjian utang Perseroan untuk memberikan tambahan leksibilitas dalam kewajiban Perseroan untuk mempertahankan ketentuan rasio utang terhadap ekuitas, utang terhadap EBITDA dan EBITDA terhadap beban bunga. Sementara Perseroan percaya bahwa perubahan tersebut akan memberikan ruang yang cukup jika terjadi ketidakstabilan terhadap nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS, Perseroan tidak dapat memastikan tidak terjadinya ketidakstabilan di masa mendatang dan tidak terjadinya ketidakstabilan yang lebih kuat dibandingkan yang dialami dalam 12 bulan terakhir, yang dapat mengakibatkan pelanggaran persyaratan keuangan Perseroan.

8. Provisi atas kasus litigasi