74 dalam rencana kerja tersebut dirasa memberatkan. Tahapan kegiatan yang harus
direncanakan didasarkan pada sistem silvikultur hutan tanaman mulai dari inventarisasi tegakan, penyiapan lahan tanpa pembakaran, pengadaan benih dan
bibit, penanaman, pemeliharaan pemupukan, penyulaman, pendangiran, pengendalian gulma, dan pemangkasan cabang, perlindungan hama dan penyakit,
serta rencana pemanenan. Hal ini terasa menyulitkan karena mereka terbiasa dengan sistem perladangan berpindah bukan sistem budidaya menetap. Tanpa
adanya pendampingan yang intensif penyusunan RKU dan RKT akan sulit dilakukan. Kalaupun sudah tersusun, belum tentu rencana tersebut dapat
terlaksana dengan baik. Kendala lain yang diduga dihadapi dalam penyusunan RKU dan RKT
adalah karena dalam rencana tersebut lahan HTR diberlakukan sebagai blok satuan pengelolaan seperti pada HTI. Padahal blok dalam HTR dimiliki oleh
beberapa pemegang ijin yang walaupun dipaksa bergabung menjadi satu kelompok kelompok tani HTR tetap memiliki keputusan pengelolaan yang
berbeda-beda. Belum lagi kelembagaan kelompok tani yang belum berjalan baik dan baru dibentuk sebatas untuk keperluan pengurusan administrasi dan bukan
untuk keperluan pengelolaan. Bahkan di lapangan, areal satu kelompok tani tersebut belum tentu memiliki kondisi yang sama mengingat biasanya mereka
melakukan sistem perladangan berpindah dengan membuka lahan secara bertahap seluas 1-2 ha per tahun.
5.2.11 Persepsi Masyarakat terhadap Kelembagaan
Kelembagaan HTR yang telah ada saat ini di daerah penelitian adalah kelompok tani hutan pengelola HTR KTH HTR. Kelembagaan ini merupakan
kelembagaan baru yang sengaja dibuat demi kepentingan pelaksanaan HTR. Kelompok tani ini dibuat untuk 1 memudahkan pengurusan administrasi dalam
pengajuan ijin HTR, 2 memudahkan transfer informasi mengenai HTR, 3 memudahkan administrasi pengajuan pinjaman dana bergulir untuk pembangunan
HTR. Untuk pengajuan pinjaman setiap KTH harus beranggotakan minimal 5 orang pemegang ijin dengan luas minimal 8 ha dan semuanya harus berkeinginan
75
untuk meminjam. Ketentuan tentang kelembagaan HTR diatur dalam P. 23Menhut-II2007 Pasal 17.
Responden juga merasa bahwa peran KTH sangat penting sehingga sebanyak 70,37 dari seluruh responden memiliki persepsi yang tinggi terhadap
KTH Tabel 35. Karena pentingnya peran KTH ini maka susunan anggota KTH juga harus dipilih dengan hati-hati.
Tabel 35 Persepsi responden terhadap kelembagaan HTR
Kriteria Desa
Total Seko Besar
Lamban Sigatal Taman Bandung
n n
n n
Tinggi
9 33,33
21 84,00
27 93,10
57 70,37
Sedang
9 33,33
3 12,00
0,00 12
14,81
Rendah
9 33,33
1 4,00
2 6,90
12 14,81
Sebanyak 54,72 responden yang memilih susunan anggota KTH adalah orang-orang yang memiliki lahan yang saling berbatasan. Pilihan ini dianggap
paling menguntungkan oleh responden karena pengurusan administrasi menjadi lebih mudah baik untuk pengurusan ijin maupun pinjaman dana. Pilihan lain
susunan anggota KTH adalah anggota keluarga 22,64 dan orang yang dapat bekerjasama dan dapat dipercaya 22,64. Hal ini wajar mengingat anggota
keluarga biasanya dipertimbangkan juga sebagai orang yang paling dekat dan dapat dipercaya.
Responden menganggap menjadi anggota KTH itu penting karena selain dapat memudahkan urusan administrasi, sesama anggota juga dapat saling
membantu, serta memudahkan koordinasi dan pertukaran informasi. Responden yang tidak menyetujui KTH beranggapan karena anggota KTH belum saling
mengenal dan dapat mengganggu proses perijinan apabila ada satu anggotanya yang bermasalah.
Walaupun responden menganggap peran KTH sangat penting, namun keaktifan setiap anggota kelompok dalam kelompoknya sangat rendah. Peran
kelompok ini sangat bergantung pada keaktifan ketua kelompoknya dan semua keputusan bergantung pada keputusan ketua. Pada kelompok yang anggotanya
memiliki hubungan keluarga, biasanya yang menjadi pemimpin kelompok adalah orang tua, sedangkan pada kelompok lainnya yang terpilih sebagai pemimpin