105
pelatihan tentang kehutanan terutama budidaya tanaman hutan agar masyarakat tidak hanya bergantung pada penghasilan dari karet.
5.7 Hubungan antara Persepsi dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat
Tingkat partisipasi masyarakat juga diduga berhubungan dengan persepsinya terhadap kegiatan HTR. Hubungan antara variabel-variabel persepsi
dengan tingkat partisipasi masyarakat disajikan dalam Tabel 51. Secara umum, persepsi responden berhubungan positif dengan tingkat partisipasinya. Artinya
semakin positif persepsi seseorang terhadap kegiatan HTR maka tingkat partisipasinya juga semakin tinggi Susiatik 1998;
Pregernik 2002; Ngakan 2006. Sebanyak 50,62 responden memiliki tingkat persepsi yang sedang terhadap
kegiatan HTR sedangkan tingkat partisipasi responden dalam kegiatan HTR masuk ke dalam kategori rendah.
Hal ini dapat terjadi karena kegiatan HTR baru berjalan dan pelaksanaan kegiatan tersebut baru terbatas pada beberapa kegiatan saja.
Walaupun intensitas partisipasi masyarakat dalam beberapa kegiatan sangat tinggi, namun secara keseluruhan tingkat partisipasi responden terhadap seluruh
kegiatan HTR menjadi rendah. Ini hanya menggambarkan kondisi pelaksanaan kegiatan HTR yang ada saat ini dan bukan berarti bahwa hubungan antara
persepsi dengan tingkat partisipasi responden berbanding terbalik. Persepsi responden yang berhubungan erat dengan tingkat partisipasi secara
keseluruhan adalah persepsi terhadap manfaat HTR, alokasi lahan, jenis tanaman, proses perijinan, jangka waktu, kelembagaan, sosialisasi, tenaga pendamping dan
dukungan. Faktor yang sama juga mempengaruhi tingkat partisipasi dalam kegiatan perencanaan HTR dan pemeliharaanevaluasi.
Dalam pelaksanaan kegiatan HTR, faktor yang berpengaruh adalah alokasi lahan, ketentuan jangka waktu dan luasan pengusahaan, kelembagaan, sosialisasi,
tenaga pendamping dan dukungan. Faktor-faktor ini merupakan faktor kunci dalam meningkatkan partisipasi masyarakat pada pelaksanaan HTR secara
keseluruhan. Alokasi lahan serta jangka waktu dan luas pengusahaan menentukan apakah responden ikut serta atau tidak dalam kegiatan tersebut. Kemajuan
pelaksanaan kegiatan HTR tergantung pada kelembagaan KTH, semakin kenal dan dapat bekerjasama maka pelaksanaan HTR akan semakin lancar. Demikian
106 pula dengan sosialisasi, tenaga pendamping dan dukungan pemerintah desa dan
kabupaten serta LSM sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan kegiatan HTR. Tabel 51 Hubungan persepsi dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap
kegiatan HTR berdasarkan nilai korelasi Spearman
Variabel Tingkat
Partisipasi Kegiatan HTR
Perencanaan Pelaksanaan
Pemanfaatan Pemeliha-
raanevaluasi Total persepsi responden
0,559 0,598
0,463 0,125
0,483 persepsi responden terhadap
manfaat HTR 0,221
0,269 0,145
0,109 0,167
persepsi responden terhadap alokasi lahan
0,352 0,395
0,361 0,029
0,294 persepsi responden terhadap
pola mandiri perorangan 0,099
0,067 0,027
0,151 0,112
persepsi responden terhadap kemitraan
0,070 -0,057
0,111 0,022
0,211 persepsi responden terhadap
jenis tanaman 0,257
0,335 0,160
0,158 0,192
persepsi responden terhadap persyaratan perijinan
0,005 0,077
0,000 -0,197
-0,022 persepsi responden terhadap
proses perijinan 0,258
0,220 0,150
0,102 0,255
persepsi responden terhadap jangka waktu dan luasan
pengusahaan 0,412
0,429 0,357
0,080 0,396
persepsi responden terhadap pewarisan ijin
0,089 0,054
0,106 0,088
0,132 persepsi responden terhadap
hak dan kewajiban 0,060
0,154 0,086
-0,104 -0,007
persepsi responden terhadap kelembagaan
0,493 0,508
0,425 0,151
0,430 persepsi responden terhadap
pasar 0,101
0,108 0,133
0,084 0,112
persepsi responden terhadap sosialisasi HTR
0,626 0,721
0,462 -0,026
0,446 persepsi responden terhadap
keberadaan tenaga pendamping
0,343 0,393
0,237 0,077
0,141 persepsi responden terhadap
dukungan pemerintah daerah dan LSM
0,567 0,589
0,441 0,260
0,433 Keterangan :
= berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 = berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99
Dari seluruh variabel, hanya variabel persepsi seseorang terhadap dukungan yang diberikan pemerintah dan LSM dalam kegiatan HTR yang berhubungan erat
nyata dan sangat nyata dengan tingkat partisipasinya dalam semua kegiatan HTR. Dalam kegiatan pemanfaatan hanya faktor persepsi terhadap dukungan yang
memiliki hubungan yang erat. Ini artinya bahwa dukungan memegang peranan penting dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan HTR.
Semakin baik dukungan yang diberikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam HTR maka tingkat partisipasi masyarakat akan semakin tinggi.
107
Faktor lain yang berkorelasi sangat nyata dengan tingkat partisipasi adalah kelembagaan, sosialisasi dan tenaga pendamping. Ketiga hal tersebut harus
menjadi perhatian pemerintah dan pihak lain yang tertarik mengembangkan HTR. Semakin positif persepsi seseorang terhadap kelompok tani, maka tingkat
partisipasinya juga akan semakin semakin tinggi. Sosialisasi dan tenaga pendamping juga merupakan faktor kunci untuk meningkatkan partisipasi
masyakarakat. Seringkali kedua faktor tersebut saling melengkapi karena kegiatan sosialisasi biasanya lebih banyak dilakukan oleh tenaga pendamping.
Mengingat sosialisasi juga merupakan faktor penting dalam mempengaruhi peluang seseorang ikut HTR, maka perlu dilakukan peningkatan kualitas dan
kuantitas tenaga pendamping juga kualitas dan kuantitas kegiatan sosialisasi HTR.
108
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka terdapat beberapa kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini, yaitu:
1. Persepsi masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan HTR berada dalam kategori sedang, kecuali persepsi mereka terhadap ketentuan
yang berhubungan dengan ijin pengusahaan HTR yang tidak dapat diwariskan serta ketentuan tentang pemenuhan hak dan kewajiban sebagai peserta HTR
yang masuk dalam kategori rendah. Rendahnya persepsi responden terhadap ketentuan ini menunjukkan bahwa ketentuan HTR yang realistis baru sebatas
pada pemberian ijin sedangkan ketentuan yang mengatur kegiatan setelah ijin keluar belum realistis dan belum mempertimbangkan kemauan dan
kemampuan masyarakat sebagai pelaksananya. 2. Tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan HTR di Kabupaten Sarolangun
sejak tahun 2009 hingga 2011 masih rendah karena kegiatan baru mulai berjalan dan masih terbatas pada kegiatan perencanaan dan pelaksanaan,
adanya keterbatasan modal dan tenaga kerja masyarakat serta ketidaksiapan institusi pelaksana di daerah.
3. Keputusan masyarakat di Kabupaten Sarolangun untuk ikut serta dalam program HTR lebih dapat dijelaskan oleh persepsi mereka terhadap program
HTR dibandingkan dengan karakteristik sosial ekonominya. Model pendugaan terbaik untuk menentukan peluang seseorang ikut HTR dapat dijelaskan oleh
persepsinya terhadap alokasi lahan, pola mandiri dengan ijin perorangan, jangka waktu dan luas pengusahaan, ketentuan pewarisan, pemenuhan hak dan
kewajiban, kelembagaan kelompok tani serta kegiatan sosialisasi. Faktor yang paling besar pengaruhnya dalam model ini adalah persepsi seseorang terhadap
kegiatan sosialisasi HTR, sedangkan yang memiliki pengaruh negatif adalah persepsinya terhadap ketentuan hak dan kewajiban sebagai peserta HTR.
4. Model pendugaan peluang seseorang ikut HTR berdasarkan karakteristik sosial ekonominya dapat dijelaskan oleh status kepemilikan lahan di areal HTR dan
jarak dari tempat tinggal ke lahan HTR.
110 5. Walaupun karakteristik sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Sarolangun
tidak banyak berpengaruh terhadap peluangnya ikut serta dalam program HTR, namun variabel ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan tingkat
partisipasi seseorang dalam kegiatan HTR. Untuk meningkatkan partisipasi seseorang dalam kegiatan HTR, maka karakteristik sosial ekonomi yang harus
ditingkatkan adalah kejelasan status lahan yang dikelola masyarakat apakah masuk dalam kawasan pencadangan HTR atau tidak, luas lahan, pendapatan
serta sifat kosmopolitan. 6. Persepsi masyarakat di Kabupaten Sarolangun terhadap HTR memiliki
hubungan yang positif dengan tingkat partisipasinya. Semakin tinggi persepsi seseorang akan semakin tinggi pula tingkat partisipasinya. Untuk
meningkatkan partisipasi seseorang dalam kegiatan HTR di wilayah ini, maka faktor yang harus juga ditingkatkan adalah persepsi seseorang terhadap alokasi
lahan untuk HTR, jangka waktu dan luasan penguasaan lahan HTR, penguatan kelembagaan kelompok tani, kegiatan sosialisasi, kualitas dan kuantitas tenaga
pendamping serta dukungan pemerintah daerah dan LSM dalam kegiatan HTR.
6.2. Saran
1. Dalam penyusunan ketentuan-ketentuan pelaksanaan HTR sebaiknya mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat, kemampuan masyarakat
dalam melaksanakan ketentuan dan pemenuhan persyaratan administratif serta kondisi lahan hutan yang ada. Pemerintah daerah sebaiknya diberi kebebasan
untuk membuat penyesuaian-penyesuaian terhadap ketentuan yang berlaku sesuai karakteristik dan budaya setempat untuk memudahkan pelaksanaan.
Penyesuaian ini dibolehkan selama tidak menyimpang atau berlawanan dengan tujuan suatu ketentuan dibuat.
2. Mengenai ketentuan pewarisan, jika pemegang ijin telah meninggal dunia maka sebaiknya ahli waris atau keluarganya diberi kesempatan untuk tetap
mengusahakan lahan di areal tersebut hingga jangka waktu ijin usahanya habis 60 tahun.
3. Perlu dilakukan perubahan atau penyesuaian terhadap ketentuan HTR yang mengatur masalah hak dan kewajiban terutama kewajiban untuk membuat
111
RKU dan RKT. Apabila RKU dan RKT digunakan sebagai alat kontrol pemerintah terhadap kegiatan HTR di lapangan, maka pemerintah seharusnya
memfasilitasi kegiatan ini dengan meminjamkan tenaga ahli atau dengan mencari bentuk dan mekanisme pengawasan lain yang lebih sederhana dan
tidak fokus pada administrasi saja. 4. Percepatan kegiatan sebaiknya dilakukan dengan melakukan penguatan
kelembagaan di tingkat masyarakat dengan melibatkan stake holder yang lain terutama LSM kehutanan serta penguatan kelembagaan di institusi pelaksana
lainnya seperti pemerintah desa, kabupaten serta institusi lain di atasnya yang terlibat dalam kegiatan HTR.
5. Aktivitas masyarakat di daerah ini lebih banyak digerakkan oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, atau masyarakat dengan akses pendidikan,
sumberdaya dan informasi yang lebih baik. Oleh karena itu pendekatan dan kegiatan sosialisasi HTR sebaiknya dilakukan lebih intensif kepada golongan
masyarakat tersebut. Kegiatan sosialisasi HTR juga perlu ditingkatkan dengan perbaikan materi, metode, memperbanyak frekuensi dan memperluas
kelompok sasaran. 6. Pendampingan dalam kegiatan HTR harus dilakukan secara intensif sehingga
sebaiknya tenaga pendamping dipilih dari orang atau institusi yang menjadikan kegiatan ini sebagai tugas prioritasnya.
112
DAFTAR PUSTAKA
Agresti A, Finlay B. 1997. Statistical Methods for the Social Sciences. Third Edition. USA: Prentice Hall Inc.
Chartrand TL, Bargh JA. 1999. The Chameleon Effect: The Perception-Behavior Link and Social Interaction. Journal of Personality and Social Psychology
766:893-910.
Colchester M, Fay C. 2007. Land, Forest and People: Facing the Challenges in
South-East Asia. Rights and Resources Initiative Listening, Learning and
Sharing, Asia Final Report September 2007. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun
2007 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Jakarta. Dephut.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2008. Peraturan Pemerintah RI Nomor 3 Tahun 2008
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana PengelolaanHutan, Serta Pemanfaatan
Hutan. Jakarta. Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.23Menhut-II2007 tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK-HTR dalam Hutan Tanaman. Jakarta. Dephut.
[Dephut]. Departemen Kehutanan. 2008. Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.5Menhut-II2008 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan
No. P.23Menhut-II2007 tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK-HTR
dalam Hutan Tanaman. Jakarta. Dephut. [Dephut]
Departemen Kehutanan. 2008. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9Menhut-II2008 tentang Persyaratan kelompok Tani Hutan untuk
Mendapatkan Pinjaman Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Jakarta. Dephut.
Departemen Kehutanan. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia 2007. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Dunn WN. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Wibawa S, Asitadani D, Hadna AH, Purwanto EA, penerjemah; Darwin M, editor.
Yogyakarta: Gadah Mada University Press. Terjemahan dari: Public Policy Analysis: An Introduction Second Edition.
Echols JM, Shadily H. 1989. Kamus Inggris Indonesia. Cetakan XVII. Jakarta: Gramedia.