Persepsi Masyarakat terhadap Proses Perijinan
76 adalah tokoh masyarakat atau mereka yang memiliki sumberdaya uang atau
lahan paling besar. KTH selama ini baru berperan dalam proses pengajuan ijin, sedangkan
dalam kegiatan lainnya peran KTH belum terlihat. Di Desa Taman Bandung sebagai contoh, frekuensi pertemuan antar anggota kelompok maupun antar
kelompok sangat tinggi pada saat proses pengajuan baru berjalan karena pada saat itu difasilitasi dengan baik oleh LSM pendamping. Bahkan dalam aturan main
yang disetujui bersama telah ditetapkan jadwal rutin pertemuan antar anggota dan antar kelompok untuk koordinasi dan evaluasi kegiatan. Pertemuan rutin antar
anggota kelompok disepakati setiap satu bulan sekali sedangkan pertemuan antar kelompok setiap tiga bulan sekali. Selain itu disepakati pula pertemuan tahunan
dan pertemuan luar biasa. Namun begitu ijin telah keluar dan pendampingan oleh LSM telah selesai, frekuensi pertemuan tersebut menurun dengan drastis bahkan
hampir tidak pernah dilakukan lagi. Hal ini diduga karena 1 setiap anggota tidak merasakan adanya kebutuhan
untuk bertemu karena pengelolaan lahan saat ini tidak lagi dilakukan bersama- sama namun dilakukan secara sendiri-sendiri tidak bergantung pada kelompok, 2
setiap anggota merasakan tidak ada manfaat melakukan pertemuan karena masalah yang ada tidak dapat diselesaikan oleh kelompok itu sendiri, 3 tidak ada
koordinasi dan kerjasama antar kelompok tani yang ada saat ini, 4 dalam KTH yang berhubungan keluarga, kelompok hanya merupakan formalitas karena pada
dasarnya lahan yang dikelola oleh kelompok tersebut dikuasai oleh satu orang. Pertemuan yang selama ini dilakukan sebagian besar untuk kepentingan transfer
informasi dari pendamping atau penyuluh ke KTH sehingga pertemuan baru dilaksanakan apabila ada kunjungan dari pendamping atau instansi lain. Dari
pengamatan di lapangan, penguatan kelembagaan di masyarakat yang telah selama ini dilakukan belum berjalan maksimal. Masyarakat harus diberdayakan
melalui tahapan persiapan melalui: sosialisasi, pendampingan, dan asistensi dalam setiap tahapan kegiatan dan evaluasi Pada tingkat anggota diperlukan adanya
pelatihan seperti: penumbuhan kebersamaan, penguatan kelembagaan, dan pengembangan kelembagaan usaha Hakim 2009.
77
Selain kelembagaan di tingkat masyarakat perlu pula dilakukan penguatan kapasitas kelembagaan penunjang Hakim 2009 terutama yang bersifat
pendampingan dan fasilitasi seperti Disbunhut Sarolangun, LSM lokal dan UPT Kementrian Kehutanan yang terlbat dan berperan dalam pelaksanaan HTR.
Penguatan bukan hanya dilakukan pada level personel tapi yang lebih penting adalah penguatan institusi karena personel tidak akan dapat berjalan tanpa
dukungan kebijakan institusi yang bersangkutan. 5.2.12 Persepsi Masyarakat terhadap Pasar Hasil HTR
Produksi tanaman yang diharapkan dapat diperoleh dari kegiatan HTR adalah kayu untuk memenuhi kebutuhan kayu nasional. Namun hal ini akan sulit
terwujud karena hingga saat ini produk yang diperoleh dari kegiatan HTR adalah hasil hutan bukan kayu seperti getah dan buah. Pasar hasil tanaman HTR di
daerah penelitian terutama adalah pasar untuk karet. Karena hampir seluruh masyarakat di daerah ini menjadi petani karet, buruh getah karet atau pedagang
pengumpul getah karet sejak dulu, maka mereka sangat mengenal keberadaan pasar getah karet. Pada Tabel 36 dapat dilihat bahwa sebanyak 70,37 dari
seluruh responden memiliki persepsi yang tinggi terhadap pasar HTR. Kondisi ini juga terjadi di ketiga desa yang diteliti.
Pemasaran hasil karet di daerah ini tidak sulit. Biasanya masyarakat menjual hasil karetnya pada pedagang pengumpul di desa untuk skala kecil. Bagi mereka
yang memiliki penjualan skala besar biasanya langsung dijual di pasar kecamatan atau kabupaten. Untuk Desa Lamban Sigatal selain karet, hasil utama dari lahan
HTR adalah rotan jernang. Di desa ini memang ditujukan sebagai kawasan budidaya jernang
Tabel 36 Persepsi responden terhadap pasar hasil HTR
Kriteria Desa
Total Seko Besar
Lamban Sigatal Taman Bandung
n n
n n
Tinggi
14 51,85
22 88,00
21 72,41
57 70,37
Sedang
10 37,04
2 8,00
4 13,79
16 19,75
Rendah
3 11,11
1 4,00
4 13,79
8 9,88
Untuk pasar kayu, sebagian besar responden tidak mengetahui sama sekali atau belum memiliki pengalaman menjual kayu. Industri kayu terdekat berada di
78 simpang Pitco yang berjarak 40 km dari Desa Taman Bandung berupa industri
kayu gergajian. Data Dinas Kehutanan provinsi Jambi hingga April 2011 diketahui bahwa Kabupaten Sarolangun memiliki 8 industri primer hasil hutan
yang masih aktif dengan kapasitas terpasang seluruhnya 45.000 m
3
tahun termasuk di dalamnya PT. Samhutani.
HTI PT Samhutani yang letaknya berbatasan dengan areal HTR di lokasi penelitian juga belum memiliki kerjasama dengan masyarakat untuk pemasaran
kayu hasil HTR karena tidak banyak masyarakat yang berminat menanam kayu sehingga potensi kayu yang akan dihasilkan dari HTR di daerah penelitian saat ini
tidak besar. Namun sebenarnya peluang untuk bekerjasama dengan PT. Samhutani terbuka lebar karena mereka tertarik untuk membeli kayu hasil HTR
untuk memenuhi kebutuhan industrinya. Dari 35.000 ha ijin yang dimiliki baru 11.000 ha yang dikelola. Sisanya berupa lahan terlantar atau sudah diokupasi oleh
masyarakat. HTI ini melihat HTR sebagai salah satu solusi untuk mengatasi konflik dengan masyarakat sekitar. Kapasitas industri yang dimiliki saat ini
sebesar 3.000 m3bulan dan ada rencana untuk menambah kapasitasnya menjadi 6.000 m3bulan. Dengan demikian peluang pasar kayu di daerah ini sebenarnya
cukup besar.