dan output yang dihasilkan menunjukan angka atau jumlah kinerja operasional per unit waktu Tarwaka dkk, 2004.
Kelelahan dan rata-rata jumlah produksi tentunya saling berhubungan secara umum, akan tetapi hal ini tidak dapat digunakan sebagai bentuk
pengukuran langsung dikarenakan masih banyak faktor lainnya yang harus dipertimbangkan, seperti target produksi, faktor sosial, dan sikap psikologi
dalam bekerja. Kadang kala kelelahan membutuhkan pertimbangan dalam hubungannya dengan kualitas hasil kinerja buruk, produk gagal, dan properti
yang rusak atau kejadian kecelakaan, dan yang terakhir yakni keberadaan kelelahan tidak menjadi satu-satunya faktor penyebab kualitas dan kuantitas
kerja yang buruk Kroemer dan Grandjean, 1997.
2. Perasaan Kelelahan Subyektif
Metode pengukuran kelelahan secara subyektif atau The Subjective Symptom Test SST pertama kali dikeluarkan oleh Industrial Fatigue
Research Committee of Japanese Association of Industrial Health IFRC Jepang pada tahun 1967. The Subjective Symptom Test SST merupakan
pengukuran kelelahan berbentuk kuesioner yang berisi 30 pertanyaan mengenai gejala kelelahan kerja Susetyo, 2008.
3. Uji Psikomotorik
Uji Psikomotorik merupakan salah satu cara pengujian kelelahan dengan mengukur fungsi persepsi, interpretasi, dan reaksi motorik Kroemer dan
Grandjean, 1997. Uji yang digunakan pada umumnya adalah dengan
melakukan pengukuran waktu reaksi Reaction Timer Test untuk melihat waktu reaksi yang sederhana atau rangsangan tunggal secara selektif pada
tenaga kerja Suma’mur, 1999. Waktu reaksi adalah interval selama implus saraf dihantarkan ke otak
dan kemudian diteruskan ke otot. Waktu reaksi merupakan jangka waktu dari pemberian suatu rangsang sampai kepada suatu saat kesadaran atau
dilaksanakan kegiatan. Waktu reaksi yang panjang menunjukan adanya perlambatan pada proses faal syaraf dan otot Suma’mur, 2009.
Reaction Timer merupakan sebuah alat yang digunakan untuk pengukuran tingkat kelelahan berdasarkan kecepatan waktu reaksi. Prinsip
kerja dari alat ini adalah memberikan rangsangan tunggal berupa rangsangan cahaya atau lampu yang kemudian tenaga kerja akan meresponnya, sehinga
dapat dihitung waktu yang dibutuhkan tenaga kerja untuk merespon signal tersebut. Pada keadaan yang sehat, tenaga kerja akan lebih cepat merespon
rangsang yang diberi sedangkan pekerja yang mengalami kelelahan akan lebih lama merespon rangsang yang diberi Koesyanto dan Tunggul, 2005.
Pengukuran waktu reaksi dilakukan sebanyak 5 kali, setiap hasil pengukuran dijumlahkan, kemudian diambil nilai rata-ratanya. Eksperimen
menggunakan Reaction Timer sangat penting dan menarik. Hal tersebut dikarenakan hasil yang didapatkan dari pengukuran ini tidak hanya sekedar
mengetahui perbedaan kecepatan persepsi individu, akan tetapi akan