3. Lama Tidur
Waktu tidur seseorang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kelelahan. Tidur seseorang dapat digunakan sebagai salah satu
cara pemulihan atau recovery untuk mencegah terjadinya kelelahan pada pekerja Occupational Safety and Health, 2003.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa baik pada kelompok dengan lama tidur baik ataupun buruk, tingkat kelelahan yang
dirasakan adalah tingkat kelelahan sedang. Namun, jika mengarah pada presentase jumlah pekerja yang mengalami kelelahan berat dapat
disimpulkan bahwa seseorang akan mengalami kelelahan berat jika memiliki jam tidur yang buruk. Selain itu, berdasarkan hasil analisis
statistik dengan uji chi square, disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara lama tidur dengan kelelahan.
Hasil analisis yang didapatkan pada penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Nadia 2009 yang menyimpulkan bahwa terdapat
perbedaan proporsi kelelahan antara responden yang memiliki jam tidur optimal dengan responden yang tidak memiliki lama tidur optimal. Namun
sebanding dengan penelitian yang dilakukan oleh Riyanti 2011 yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara lama tidur dengan
kelelahan pada pekerja bagian produksi di PT Cosmar Indonesia Serpong Tahun 2011.
Tidak ditemukan adanya hubungan antara lama tidur dengan kelelahan pada penelitian ini dapat terjadi karena pekerja yang memiliki
lama tidur buruk juga sebagian besar pada kategori pekerja yang memiliki umur tua. Dimana hal ini dibuktikan dari hasil uji crosstab dengan tujuan
melihat presentase pekerja berumur tua yang memiliki jam tidur buruk, didapatkan bahwa dari 49 pekerja berumur tua, 29 pekerja 59,18
memiliki lama tidur yang buruk. Hasil distribusi tersebut mengakibatkan tidak begitu terlihat hubungan antara lama tidur dalam uji statistik. Selain
itu, kemungkinan lain dari penyebab tidak adanya hubungan antara lama tidur dengan kelelahan adalah adanya kemungkinan bias mengenai
jawaban lama tidur pekerja dalam sehari karena peneliti me-recall akumulasi lama tidur pekerja selama 3 hari.
Kemungkinan lain penyebab tidak adanya hubungan antara lama tidur dengan kelelahan adalah adanya keterkaitan mengenai kualitas tidur
pekerja. Walaupun pekerja memiliki jam tidur yang cukup yaitu 7-8 jam setiap hari, namun jika memiliki kualitas tidur yang buruk, maka
kelelahan pada pekerja masih dapat terjadi. Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti lamanya tidur, waktu yang
diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan aspek subjektif seperti kedalaman dan kepulasan tidur Buysse, Daniel J et al. 1988. Jika
pekerja memiliki kualitas tidur yang buruk maka pemulihan kondisi fisik
dan psikis pekerja tidak akan berjalan dengan baik sehingga pekerja akan tetap merasakan kelelahan.
Asumsi ini didukung oleh teori Lerman et al 2012 yang menyatakan bahwa selain waktu tidur yang cukup, kualitas tidur seseorang
juga mempengaruhi terjadinya kelelahan, kewaspadaan, keselamatan, termasuk memperlambat waktu reaksi, ketidaktepatan kemampuan
pengambilan keputusan, pertimbangan yang buruk, gangguan yang kompleks saat bekerja, dan hilangnya kesadaran. Oleh sebab itu,
diharapkan untuk peneliti lain selain meneliti mengenai lama tidur, diharapkankan dapat memperhatikan mengenai kualitas tidur seseorang.
4. Status Perkawinan
Status perkawinan merupakan salah satu faktor yang diduga mempengaruhi kelelahan pada pekerja. Menurut Puspita 2009 seseorang
yang sudah menikah akan mengalami kelelahan yang penyebabnya adalah waktu setelah bekerja digunakan untuk melayani anak dan istrinya, bukan
untuk beristirahat. Workcover NSW 2008 juga menyatakan bahwa pekerja yang sudah menikah memiliki tanggung jawab khusus dalam
memenuhi kebutuhan keluarga. Jika mengacu pada tabel 5.5 dapat diketahui bahwa sebagian besar
pekerja yaitu 79 memiliki status kawin sehingga hal tersebut mendukung terjadinya kelelahan pada pekerja. Namun berdasarkan hasil
analisis bivariat dengan chi square tidak ditemukan adanya hubungan
yang bermakna antara status perkawinan dengan kelelahan pada pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai EPC3 di proyek Banyu
Urip PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Mauludi 2009 pada 100
pekerja diproses produksi kantong semen pbd paper bag division PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, dimana didapatkan Pvalue sebesar
0,045 yang berarti terdapat hubungan antara status perkawinan dengan kelelahan.
Perbedaan hasil temuan ini sangat mungkin disebabkan oleh data yang kurang bervariasi. Data pada tabel 5.5. dapat diketahui bahwa
sebagian besar pekerja memiliki status kawin. Data yang tidak bervariasi inilah yang mungkin dapat menyebabkan tidak terlihat adanya hubungan
antara status kawin dengan kelelahan pada pekerja pembuatan pipa dan menara tambat lepas pantai EPC3 di proyek Banyu Urip
PT Rekayasa Industri, Serang-Banten Tahun 2013. Selain itu jika mengacu pada pernyataan Puspita 2009 dapat
disimpulkan bahwa kelelahan lebih cenderung terjadi pada pekerja wanita. Hal ini disebabkan karena pada pekerja wanita yang sudah menikah
setelah pulang dari bekerja, wanita atau istri lebih memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keluarga, seperti melayani anak dan suami
serta melakukan pekerjaan rumah seperti memasak dan menyapu.