3. Refleksi Kebudayaan Kharismatik Dalam Perspektif Etnologis
mengikuti ibadah. Tetapi secara iman Kristen bahwa ketika Tuhan hadir dalam sebuah ibadah, maka setiap orang yang merindukan kehadiran-Nya akan merasakan
sukacita, merasa disembuhkan, merasa dipulihkan, merasa terlepas dari beban yang berat, merasa damai sejahtera, dan sebagainya. Tulisan ini tidak saya arahkan untuk
membuktikan kebenaran hadirat Tuhan atau melihat sisi ilmiah akan hadirat Tuhan tersebut, karena menurut teori kebenaran absolut salah satunya agama, bahwa
kebenaran agama tidak dapat dan tidak perlu dipertanyakan lagi, karena sifatnya mutlak.
4. 3. 4. Refleksi Kebudayaan Kharismatik Dalam Perspektif Etnologis
GBI Medan Plaza juga sangat jelas merefleksikan praktek kebudayaan Kharismatik yang tampak dalam pola tingkah laku orang-orang di dalamnya,
khususnya dalam ibadah. Menggunakan pendekatan etnologi
207
dalam penelitian terhadap GBI Medan Plaza, merupakan cara memberikan suatu pengertian dan
pandangan yang mendalam serta reflektif, khususnya yang berhubungan dengan ibadah, teologi dan praktek-praktek ajarannya.
Saat istilah “kebudayaan” digunakan dalam konteks gereja kharismatik seperti GBI Medan Plaza, maka setiap pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok yang ada
didalamnya memiliki kebutuhan yang spesifik, seperti gaya, ekspresi, attitude yang mudah dikenali dan memberikan mereka image maupun identitas yang khas.
207
Etnologi adalah cabang dari antropologi yang menganalisis secara komparatif, kebudayaan- kebudayaan dari masyarakat kontemporer atau kelompok-kelompok linguistik. Wilfred J. Samuel,
Op.Cit.,hlm.80
Universitas Sumatera Utara
Sehingga studi ini memberikan perhatian sedikit mengkhususkan terhadap kebiasaan- kebiasaan GBI Medan Plaza atau praktek-praktek kultural, nilai-nilai kerohanian,
sikap-sikap dalam ibadah di lingkungan GBI Medan Plaza. Praktek-praktek kebudayaan kharismatik yang tampak dalam GBI Medan Plaza merupakan suatu
kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi secara sistematis. Sosiologi memandang kebudayaan sebagai keseluruhan pola kelakuan lahir
dan batin yang memungkinkan terjadinya hubungan sosial antara anggota-anggota masyarakat. Pola kelakuan lahiriah adalah cara bertindak yang ditiru oleh banyak
orang secara kontinu, sedangkan pola kelakuan batin adalah cara berpikir, berkemauan dan merasa yang diikuti orang banyak berulang kali.
208
Kristen Kharismatik sebagai bagian dari agama memiliki suatu sistem sosial yang mengandung suatu komplek pola kelakuan lahir dan batin yang dijalankan dan
ditaati pengikutnya. Mereka mengekspresikan isi hati dan perasaanya kepada Tuhan menurut pola-pola tertentu dan lambang-lambang tertentu. Iman diungkapkan juga
oleh pemeluk agama yang pribadi menurut pola-pola kebudayaan tertentu. Dalam aktivitasnya dapat dengan memperagakan sejumlah ungkapan, gerak, bahasa, musik
dan sebagainya. Semuanya dilakukan menurut pola-pola kebudayaan yang hidup dalam lingkungannya, atau sesuatu yang artifisial maupun yang diciptakan oleh
pendirinya. Wilfred J. Samuel memandang praktek-praktek kebudayaan Kharismatik
dengan menggunakan disiplin etnologi oleh Bronislaw Malinowski seperti yang saya
208
O.C.Hendropuspito,Sosiologi Agama,Penerbit Kanisius,Yogyakarta.1983,hlm.111.
Universitas Sumatera Utara
tuliskan pada landasan teori pada bab 1 yaitu, pertama gerakan. Menurutnya gerakan memiliki dua tujuan vital dalam diri manusia, yang pertama untuk mengembangkan
dan membuat peka anggota perorangan yang berkaitan dengan nilai-nilai komunal, kerjasama tim, komitmen dan sebagainya, yang kedua sebagai unsur hedonis dan
selebratif yang berfungsi sebagai sumber hiburan. Jika saya melihat dalam konteks GBI Medan Plaza sebagai gereja yang menggunakan ibadah kontemporer, akan
terlihat digunakannya rentangan yang lebih luas dari pada gerakan tubuh. Merupakan hal yang lumrah dan lazim ditemukan saat ibadah di GBI Medan Plaza gerakan-
gerakan yang mencakup: melompat-lompat ditempat, mengangkat tangan, menari, berjalan-jalan, melambaikan tangan, bertepuk tangan, duduk, saling bersalaman,
tos
209
dan berdiri, gerakan-gerakan tematis dengan teks lagu yang dinyanyikan. Menurut Shin Nakagawa dalam bukunya Musik dan Kosmos, gerakan tubuh
adalah pada dasarnya adalah akibat pertemuan aktif antara tubuh kita dengan dunia luar. Tubuh akan menghubungkan kita dengan dunia atau sebagai perantara
pertemuan yang akrab antara tubuh dengan dunia, dalam hal ini musik yang dimainkan di gereja. Ketika musik pujian dimainkan maka jemaat akan terhubung
dengan bunyi-bunyi musik tersebut sehingga terjadi pertemuan yang akrab dan direfleksikan melalui gerakan-gerakan yang khas. Semua gerakan yang dikondisikan
secara kultural tersebut menekankan akan nilai-nilai komunal yang telah diadopsi dan
209
Tos merupakan istilah kepada aktivitas yang menggambarkan dua orang atau lebih yang saling menepukkan sebelah tangan atau kedua tangan dengan tangan orang lain. Hal yang lumrah di
GBI Medan Plaza bagi Worship Leader maupun pengkhotbah menginstruksikan sesama jemaat atau pengerja untuk melakukan gerakan tos atau hi-five dengan orang-orang di dekatnya dalam sebuah
ibadah.
Universitas Sumatera Utara
diterima bersama.
Ketika jemaat mengangkat tangan saat berdoa atau memuji, mencerminkan penyerahan diri yang total. Dalam pemahaman teologia, “mengangkat tangan”
sebagai sebuah ketidakmampuan. Dalam arti jemaat memandang dirinya sebagai manusia lemah yang tidak sanggup menyelesaikan masalah hidup, sehingga ketika ia
mengangkat tangan, maka Tuhan akan turun tangan menyelesaikan masalah tersebut. Sementara sikap berdiri dianggap sebagai sikap yang paling layak untuk memuji dan
memberi hormat kepada Allah. Semua aktivitas tersebut tidak dituliskan secara eksplisit di dalam Alkitab, melainkan hanya merupakan prinsip kultural yang secara
simbolis melambangkan rasa hormat terhadap sosok yang lebih tinggi dan lebih dihormati.
Kedua, praktek kebudayaan yang pertama seperti, “lapar” rohani merupakan suatu kebutuhan yang tampak dalam individu tingkat mikro dan jemaat atau
komunal tingkat makro
210
. Mengenai hal “kelaparan” itu juga saya temukan dan rasakan di banyak jemaat di GBI Medan Plaza. Di dalam konteks gereja Kristen,
termasuk GBI Medan Plaza telah melakukan terobosan dan pengembangan sistem- sistem tersendiri untuk menangani masalah “kelaparan rohani” para pengikutnya,
seperti membuka kelas-kelas pelajaran Alkitab dan sebagainya. Karenanya setiap gereja berjuang untuk memenuhi kebutuhan “lapar” rohani
dari para pengikutnya, dan merupakan hal urgent agar pengikutnya tidak mencari sistem kebudayaan ditempat lain. Sehingga sesuai dengan prinsip kesempurnaan yang
210
Wilfred J. Samuel, Op.Cit.,hlm.83
Universitas Sumatera Utara
ada dalam setiap aliran Kharismatik, maka dalam konteks itu GBI Medan Plaza memiliki unsur-unsur kebudayaan aliran Kharismatik, seperti “lapar” rohani dalam
tata ibadah, yang mencakup: a doa yang dipanjatkan dapat terdengar, dibandingkan dengan doa yang hening, b bertepuk tangan, sebagai tanggapan positif atas ibadah,
jika dibanding dengan ucapan pengakuan dosa, c memiliki hati yang menyembah dan siap menyanyikan banyak lagu secara kontiniu, d memiliki peralatan sound
system dan perangkat instrumen yang lengkap, tidak hanya sekedar sebuah organ atau piano dalam ibadah.
211
Sementara Malinowski mengajukan sebuah orientasi teori terhadap fungsionalisme. Ia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk
menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional tetang kebudayaan atau a functional theory of culture. Malinowski
melihat bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat, dalam hal ini jemaat. Saya melihat melalui pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan
Kharismatik bahwa setiap pola kelakuan jemaat telah menjadi suatu kebiasaan. Kepercayaan dan attitude jemaat merupakan bagian dari kebudayaan Kharismatik
tersebut. Menurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa keperluan dasar atau beberapa keperluan yang timbul dari
keperluan asas yaitu keperluan sekunder dari satu entitas kepada sebuah
211
Wilfred J. Samuel,Ibid.,hlm.84.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat.
212
Malinowski menuliskan salah satu keperluan pokok itu adalah gerak. Beberapa aspek dari kebudayaan Kharismatik dilakukan oleh jemaat untuk memenuhi
keinginan asas tersebut. Artinya ketika jemaat melakukan semua gerakan-gerakan dalam satu ibadah, mereka merasa dipuaskan karena telah memenuhi kebutuhan dan
keinginan akan
hadirat Tuhan.
Seperti dalam landasan teori saya pada bab satu, Malinowski dalam bukunya yang berjudul A Scientific Theory of Culture and Other Essays Malinowski, 1944
dalam Takari
213
mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan. Inti dari teori tersebut adalah bahwa segala kegiatan kebudayaan itu sebenarnya
bermaksud memuaskan satu rangkaian kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Malinowski berpandangan bahwa semua
unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi keinginan dasar para warga masyarakat—jemaat. Ia percaya bahwa pendekatan fungsional
mempunyai sebuah nilai praktis yang penting. Yang ia maksud sebagai nilai praktis dari teori fungsionalisme adalah bahwa teori ini mengajarkan tentang kebutuhan
relatif terhadap berbagai kebiasaan yang beraneka ragam, dimana kebiasaan tersebut juga sangat bergantung satu dengan yang lainnya.
Melalui pandangan Alan P. Merriam akan fungsi musik yang telah saya tuliskan pada landasan teori di bab satu. Saya akan melihat musik dalam ibadah
212
Keperluan pokok atau asas tersebut menurut Malinowski adalah seperti makanan, reproduksi melahirkan keturunan, merasa enak badan bodily comfort, keamanan, kesantaian, gerak,
dan pertumbuhan.
213
Muhammad Takari,Mengenal Teori Fungsionalisme dan Struktural Fungsionalisme Sebagai Teori Integrasi Kebudayaan, materi kuliah Program Pasca Sarjana Penciptaan Pengkajian
Seni, USU
Universitas Sumatera Utara
kontemporer hanya menggunakan tujuh teori dari sepuluh teori yang diajukan oleh Merriam yaitu, musik dalam ibadah merupakan wujud dari 1 Sebagai penghayatan
estetika bagi jemaat dan orang-orang yang ada digereja. Hal ini tampak dari bagaimana imam musik yang melakukan berbagai persiapan sebelum ibadah agar
dapat menampilkan musik yang terbaik dihadapan Tuhan dan jemaat. Artinya ada standar estetika akan musik gereja yang tertanam dipikiran imam musik dan jemaat
sehingga mereka berusaha untuk menghayati dan mencapai standar estetika tersebut, yakni dengan melakukan latihan-latihan sebelum ibadah dilakukan.
2 Sebagai hiburan, musik dalam ibadah kontemporer memiliki aransemen yang cenderung sama dengan musik pop sekuler dan di aransemen lebih nyaman bagi
telinga kalangan muda, hal ini sangat menghibur bagi mereka ketika dalam ibadah, bila seseorang menikmati ibadah tersebut sebagai sebuah hiburan yang
menyenangkan pribadinya. Tetapi dalam pandangan teologia, jemaat bernyanyi atau imam musik memainkan musik bukan untuk menyenangkan diri sendiri, tetapi untuk
memuliakan Tuhan. Saya menilai hal ini sangat personal, artinya ketika sebuah lagu pujian dinyanyikan, hanya Tuhan dan si penyanyi yang tahu bahwa lagu tersebut
diarahkan kepada Tuhan terlebih dahulu kah?, lalu sipenyanyi merasa terhibur, atau justru sebaliknya? 3 Sebagai komunikasi, musik merupakan media doa bagi jemaat
kepada Allah yang di sembah, ketika jemaat bernyanyi dalam ibadah sebenarnya mereka sedang melakukan komunikasi secara vertikal kepada Allah.
4 Sebagai perlambangan, musik menjadi lambang bagi sebuah ibadah Kristen. Ketika saya arahkan musik ibadah kepada musik Kristen kontemporer, maka
Universitas Sumatera Utara
musik tersebut juga telah menjadi lambang terhadap bentuk ibadah yang kontemporer. Sehingga orang akan melambangkan dan mengkaitkan musik tersebut
sebagai musik ibadah bagi kalangan Kristen Kharismatik. 5 Sebagai reaksi jasmani. Musik memberi reaksi terhadap orang yang mendengar dan yang memainkannya.
Sehingga disadari atau tidak tubuh akan bereaksi terhadap bunyi-bunyi yang ditangkap oleh telinga. Reaksi tersebut tentu akan berbeda-beda terhadap setiap
orang, juga sangat dipengaruhi oleh jenis musik yang ia dengar. Dalam ibadah ketika lagu penyembahan dinyanyikan jemaat akan mengeluarkan reaksi-reaksi seperti
menangis, mengangkat tangan dan sebagainya, dan ketika lagu pujian dinyanyikan jemaat akan mengeluarkan reaksi jasmani dengan melakukan gerakan menari,
bertepuk tangan,
melompat dan
sebagainya 6 Sebagai kesinambungan kebudayaan, artinya musik gereja khususnya
musik Kristen kontemporer selama digunakan dalam ibadah akan menjadi alat untuk memelihara kebudayaan-kebudayaan Kharismatik, seperti bertepuk tangan, menari,
melompat, melambai-lambaikan tangan, dan sebagainya. Sehingga ketika musik tersebut dimainkan dalam ibadah maka ibadah tersebut juga telah merefleksikan
kebudayaan-kebudayaan Kharismatik didalamnya. 7 Sebagai pengintegrasian masyarakat, artinya musik memiliki kemampuan kuat sebagai alat integrasi bagi
masyarakat, baik dalam komunitas yang sama, maupun komunitas yang berbeda. Melalui tujuh fungsi musik di atas maka musik tersebut sebenarnya telah
merefleksikan berbagai kebudayaan-kebudayaan Kharismatik yang tercermin melalui ibadah dan orang-orang yang terlibat didalamnya. Dengan demikian akan lebih
Universitas Sumatera Utara
mudah untuk mengenali seseorang yang merefleksikan kebudayaan-kebudayaan Kharismatik.
Diakhir sub bab ini saya ingin memberikan penjelasan lebih lanjut dengan melihat teori fungsionalisme atas agama. Aliran fungsionalisme melihat masyarakat
sebagai suatu equilibrium sosial dari semua institusi yang terdapat di dalamnya. Sebagai keseluruhan sistem sosial masyarakat menciptakan “pola-pola kelakuan”
yang terdiri atas norma-norma yang dianggap sah dan mengikat oleh anggota- anggotanya yang menjadi pengambil bagian partisipasi dari sistem itu. Keseluruhan
dari institusi-institusi yang membentuk sistem sosial itu sedemikian rupa, sehingga setiap bagian institusi saling bergantung dengan semua bagian lainnya sedemikian
erat hingga perubahan dalam satu bagian mempengaruhi bagian yang lain dan keadaan sistem sebagai keseluruhan.
214