4. Musik Dalam Ibadah Menurut Fungsionalisme 5. Kontekstualisasi Musik Gereja 5. 1. Lahirnya Istilah Kontekstualisasi

sendiri. Oleh karena fungsinya sama di segala cara sama seperti musik-musik yang lain untuk beberapa poin tertentu, yakni mendapatkan hasil yang sama. Musik adalah hal yang pasti diantara sains dan seni. Keduanya melibatkan komposisi, pertunjukan, dan banyak faktor pendegar akan musik. Meskipun faktanya sangat sulit untuk memutuskan hanya berdasarkan dimana yang satu akan berakhir dan yang lainnya akan dimulai. Sangat penting untuk mempertimbangkan aspek penambahan untuk keduanya. 85

2. 4. Musik Dalam Ibadah Menurut Fungsionalisme

Alan P. Merriam dalam teorinya use and function menuliskan pentingnya membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik berasaskan kepada tahap dan pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bagiannya. Ketika saya mengkaitkan tentang penggunaan musik dalam ibadah, maka akan menunjuk kepada kebiasaan the ways musik dipergunakan dalam lingkungan gereja, sebagai praktek yang biasa dilakukan, atau sebagai bagian dari pelaksanaan adat istiadat ibadah, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain Merriam, 1964:210 dalam Takari 2008. Sementara Malinowski memandang fungsi sebagai suatu sumbangan bagi sesuatu. Ia mengatakan bahwa fungsi diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan 85 John F. Wilson, Op.Cit.,hlm.8. Universitas Sumatera Utara needs. 86 Berdasarkan pemikiran Malinowski tersebut, artinya musik merupakan sebuah kebutuhan bagi jemaat yang harus dipenuhi oleh gereja dalam setiap ibadah. Dengan penyajian musik dalam ibadah berarti gereja telah memenuhi kebutuhan needs jemaat. Sementara Durkheim dalam tulisannya Règles de la Methode sepintas lalu menjelaskan fungsi sebagai sesuatu kenyataan sosial yang harus dicari dalam hubungannya dengan tujuan sosialnya. 87 Artinya ibadah kontemporer bertujuan sebagai wadah jemaat berkomunikasi dengan Sang Khalik fakta sosialnya tidak terlepas dari musik sebagai media doa yang dipanjatkan. Musik dalam ibadah secara fungsional berarti bermanfaat bagi sesuatu, dalam sosiologi berkaitan dengan tindakan manusia, yang selalu merupakan tindakan yang bertujuan tertentu, tanpa mempersoalkan apakah tujuan itu disadari atau tidak. Sehingga jelas, bahwa musik dalam ibadah kontemporer dilakukan untuk tujuan-tujuan tertentu yakni berkomunikasi dengan Allah, yang dilakukan secara sadar maupun tidak.

2. 5. Kontekstualisasi Musik Gereja

2. 5. 1. Lahirnya Istilah Kontekstualisasi

Sekarang ini terdapat berbagai jenis denominasi gereja di dunia, termasuk di Indonesia. Setiap denominasi memiliki tata ibadah dan gaya musik yang berbeda dalam menyembah Tuhan. Selama perjalanan gereja di dunia telah terjadi banyak 86 J. van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya,PT. Gramedia, Jakarta.1987,hlm.51 87 J van Baal,Op.Cit.,hlm.51. Universitas Sumatera Utara perubahan di dalamnya. Perubahan tersebut tentu tidak lepas dari konteksnya, seperti letak geografis, budaya, sosiologi, nilai-nilai religius dimana masyarakat itu berada. Begitu juga dengan gereja dalam menapaki jaman, gereja dan teologiapun diharapkan mampu menjawab permasalahan jemaat dalam konteksnya, sehingga perlu adanya Teologi Kontekstual. Sebuah karya selalu diciptakan dalam konteksnya, tidak hanya teologi dan dogma, musik juga tidak lepas dari pengaruh perkembangan jaman, perkembangan filsafat, perubahan sosial bahkan pengaruh teknologi. 88 Pemahaman dan pendekatan saya terhadap kontekstualisasi dalam musik gereja setidaknya akan sangat bergantung kepada kemampuan yang saya lakukan untuk mencari usaha-usaha aktif maupun yang sengaja dilakukan untuk menyampaikan Injil Yesus melalui musik sebagai berita agamawi yang isinya khusus dan jelas melalui lintas budaya. Istilah kontekstualisasi telah digunakan secara luas dalam berbagai disiplin pada dekade-dekade akhir di abad ke-20. Untuk memahami dan menerapkan musik gereja dalam konsep kontekstualisasi maka sangat diperlukan pemahaman dasar dari konsep ini. Kata “kontekstualisasi” pertama sekali muncul dalam terbitan TEF 1972, yakni Theological Education Fund Dana Pendidikan Teologi. Munculnya istilah tersebut sebagai bukti bahwa kontekstualisasi berakar pada ketidakpuasan terhadap model-model pendidikan teologis yang tradisional. Dalam salah satu kutipan dokumen TEF menunjukkan pemahaman terhadap kontekstualisasi. Kontekstualisasi 88 Kristian Feri Arwanto dalam www.gkj.or.id Universitas Sumatera Utara sebagain konsep sentral disebutkan sebagai kemampuan untuk menaggapi Injil sesungguhnya kedalam kerangka situasi seseorang. Kontekstualisasi bukanlah semata-mata mode atau semboyan melainkan kebutuhan teologis yang dituntut oleh Firman yang telah menjadi daging di dunia. Implikasinya kontekstualisasi mencakup segala sesuatu yang tersirat dalam istilah “pempribumian”, tetapi lebih daripada itu. Istilah “pempribumian” cenderung digunakan dalam pengertian menanamkan Injil ke dalam suatu budaya tradisional. Sedangkan kontekstualisasi dengan tidak mengabaikan konteks-konteks budaya, memperhitungkan juga proses sekularisasi, teknologi dan perjuangan manusia demi keadilan, yang menjadi ciri saat ini dala sejarah bangsa-bangsa Dunia Ketiga. 89 Kontekstualisasi sifatnya dinamis bukan statis. Kontekstualisasi mengakui sifat terus-menerus berubah dari setiap situasi manusia dan kemungkinan akan terjadinya perubahan, hingga membuka jalan bagi masa depan. Tetapi kontekstualisasi tidak menyiratkan isolasi bangsa-bangsa dan budaya-budaya. Sementara di dalam masing-masing situasi budaya yang berbeda-beda orang harus bergumul untuk mendapatkan kembali identitas mereka dan menguasai sejarah mereka sendiri, tetapi masih memiliki saling ketergantungan konteks. 90 Hesselgrave menuliskan defenisi kontekstualisasi sebagai istilah baru atau neologisme teknis. Kata ini mungkin untuk menandakan kepekaan baru diperbaharui terhadap kebutuhan menyesuaikan pemberitaan terhadap konteks 89 David J. Hesselgrave Edward Rommen, Kontekstualisasi-Makna, Metode dan Model,BPK Gunung Mulia,1995.hlm.51 90 David J. Hesselgrave, Ibid.,hlm.53 Universitas Sumatera Utara budaya. Sementara ahli evangelikal memberi pandangan berbeda terhadap istilah kontekstualisasi dengan mengatakan: “Kami memahami istilah tersebut sebagai membuat konsep-konsep atau cita-cita menjadi relevan dalam suatu situasi tertentu” Kato 1975:hlm.1217. “[Kontekstualisasi adalah] penerjemahan isi Injil Kerajaan yang tidak berubahh ke dalam bentuk lisan yang bermakna bai bangsa-bangsa dalam budaya mereka dan dalam situasi-situasi eksistensial mereka” Nicholls 1979:hlm.647. “Kontekstualisasi yang diterapkan secara tepat berarti menemukan implikasi-implikasi yang sah dari Injil dalam suatu situasi tertentu. Ini lebih dalam daripada penerapan saja. Penerapan dapat dibuat atau tidak dibuat, dan teks tetap sama. Tetapi implikasi-implikasi dituntuk oleh tafsiran teks yang tepat” Peters 1977:hlm.169 91 Kata kontekstualisasi contextualization berasal dari kata konteks context yang diangkat dari kata Latin “Contextere” yang artinya menenun atau menghubungkan bersama menjadikan satu. Kata benda “Contextus” menunjuk kepada apa yang telah ditenun tertenun, dimana semuanya telah dihubung-hubungkan secara keseluruhan menjadi satu. Agar lebih memahami istilah ini, maka masih ada beberapa istilah yang saling berhubungan antara lain: Teks dan Konteks. Mengenai kedua istilah tersebut, Konteks adalah suatu kesatuan atau kumpulan kalimat di mana didalamnya terdapat teks. 92 Kontekstualisasi mengakibatkan gereja mengalami perubahan dalam gaya penginjilan, termasuk melalui musik. Sehingga musik gereja juga memiliki berbagai jenis genre musik. Tidak merujuk kepada salah satu genre musik tertentu, musik 91 Dalam David J. Hesselgrave, Op.Cit.,hlm.54 92 Yopie Tomatala.,M.Div,M.I.S.,Penginjilan Masa Kini,1988,hlm.63. Universitas Sumatera Utara gereja itu seharusnya berupa functional art seni yang berfungsi bukannya absolute art seni mutlak. Musik gereja adalah musik dengan tujuan memuliakan Tuhan dan mendatangkan berkat bagi jemaat agar mereka bisa bertumbuh rohaninya. 93 Menurut Bapak Obed Sembiring tidak semua musik dapat “diterima” dan layak dalam ibadah pujian dan penyembahan. Menurut Beliau, musik yang berkenan dihadapan Tuhan adalah musik yang dilakukan dengan hati “menyembah” saat dilakukan penyembahan dan musik yang “berdoa” saat dilakukan doa serta musik yang “memuji” saat dilakukan pujian. 94 Dalam konteks ini beliau tidak berbicara tentang genre musik, namun lebih kepada muatan musik itu sendiri. Sebagian orang Kristen menilai musik yang tidak berkenan kepada Tuhan adalah musik setan, tetapi harus diingat bahwa dalam pandangan teologi, setan tidak menciptakan musik karena musik berasal dari Allah dan musik diciptakan untuk memuliakan nama-Nya. 95 Genre musik bukan menjadi masalah mendasar dalam musik gereja, tetapi lebih kepada muatan musik tersebut. Dalam gereja, musik bisa saja berasal dari genre musik tertentu, seperti pop, gamelan, musik gendang Karo, dan sebagainya, sepanjang musik itu ditujukan untuk memuliakan Tuhan dan mendatangkan berkat bagi jemaat yang mendengarkannya. Tuhanlah yang memberikan inspirasi bagi manusia untuk menciptakan musik. Oleh karena itu janganlah kita membatasi musik 93 http:gema.sabda.org 94 Disampaikan dalam wawancara dengan penulis pada tanggal 15 Maret 2011, pukul 09:46 WIB di GBI Medan Plaza 95 Segala sesuatu yang berasal dari Allah memiliki sifat baik. Menurut pandangan Kristiani Allah adalah Allah dari keberagaman, Ia tidak berdiri di atas keberagaman, sebab itu Allah tidak bisa diukur sesuai selera pribadi, karena hal itu menjadikannya sombong karena membatasi dan merendahkan Allah Saragih, Op.Cit.,hlm.75 Universitas Sumatera Utara hanya karena kita punya nilai kebenaran dalam musik yang kita pahami. Sebenarnya tidak ada musik yang merasa lebih layak dan unggul antara satu genre musik dengan genre musik yang lain, musik akan indah di mata Tuhan ketika kita mengembalikan musik itu untuk kemuliaan nama Tuhan. Kristian Feri menuliskan bahwa kita tidak berhak menghalang-halangi seseorang yang hendak mengekspresikan imannya melalui pujian dan kita memandangnya dengan sebuah penghakiman hanya oleh karena musik itu, yang belum tentu Tuhan merasa hal itu tidak layak. John F. Wilson mengatakan musik itu sendiri tidak mampu menjadikan seseorang menjadi Kristen, juga tidak membuat mereka menyembah. Dalam kenyataannya, bagian pokok keberadaan musik gereja saat ini tidak memiliki perbedaan gaya dalam pelaksanaannya aransemen, dalam tatanan fisiknya instrumen, dan untuk tujuan-tujuan yang lain. Perbedaan-perbedaannya terletak pada penggunaanya. 96 Ketika semua musik menyajikan pesan, musik gereja ditampilkan untuk mengekspresikan tujuan dalam menjangkau orang-orang melalui pesan dari Tuhan. Sebuah ibadah dengan “goal” penginjilan itu sendiri akan dipenuhi jemaat ketika pelaksanaannya diperlengkapi oleh Roh Kudus, dengan demikian menjadi sebuah sarana kebenaran keselamatan besar melalui Yesus Kristus, dimana pada saat ditanggapi oleh manusia akan menghasilkan proses menjadikannya Kristen. Oleh karena itu perbedaan kualitas musik rohani dengan musik sekuler adalah sebagai berikut: 96 John F Wilson, Op.Cit.,hlm.17 Universitas Sumatera Utara Tabel 1 . Muatan isi dari musik gereja rohani Sumber: John F. Wilson An Introducing to Church Music Melalui diagram di atas jelas, bahwa yang membedakan musik gereja, musik rohani Kristen, atau lagu rohani dengan musik sekuler atau musik “dunia” adalah memiliki muatan pesan dari Tuhan. Saya mengkaitkan dengan musik Kristen kontemporer dalam tradisi Kharismatik agar menjadi jelas, bahwa musik gereja tidak berbicara tentang genre musik, seperti gospel, himne dan sebagainya selama ia memiliki ketiga hal pokok di atas dan mendatangkan berkat bagi jemaat yang menyanyikan dan mendengar maka musik itu menjadikannya berkenan bagi Tuhan. Namun akhir-akhir ini menurut Pdt. R. Bambang Jonan industri musik rohani sudah mulai “kacau” dan menjauh dari pesan-pesan Firman Tuhan. Sehingga beliau mulai “menegur” Jonathan Prawira karena ia sebagai salah seorang pelaku dalam industri musik rohani yang cukup produktif, Jonathan mengatakan dirinya tidak bisa menghindar dari keinginan industri musik yang menginginkan musik rohani yang mengikuti selera pasar dibanding dengan menyampaikan Firman Tuhan, “Jika tidak Universitas Sumatera Utara maka kaset saya tidak laku, ujarnya”. Pdt. R. Bambang Jonan melihat ada motivasi lain dengan menciptakan lagu-lagu—yang “dianggap” rohani tadi—yakni mau cari duit dan mau jadi orang terkenal. Sehingga Pdt. R. Bambang Jonan mulai mendorong para penulis lagu untuk menciptakan lagu-lagu yang tidak bertujuan untuk menyejukkan jiwa, tetapi saya mulai mendorong para penulis lagu untuk menuliskan Firman Tuhan melalui lagu-lagu mereka. Sehingga lagu tersebut bukan sekedar kata- kata fakir dari lagu, tetapi merupakan Firman Tuhan yang dinyanyikan. 97 Ada dua perbedaan besar antara mereka yang menginginkan pencapaian duniawi yang sekuler dan bagi mereka yang mendidikasikan pelayanan sakral dalam musik, yaitu: motif dan cara mereka melaksanakan. Kedua pelaku tidak memiliki keraguan untuk memulainya dengan satu tujuan yang diatur dengan jelas kepada siapa mereka ingin melayani: “Pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu ingin beribadah” Josua 24:15. Keduanya akan diteruskan untuk menggunakan media yang sama, yakni musik. Keduanya mungkin bahkan memiliki derajat yang sama dalam perbedaan latihan dan peralatan. 97 Disampaikan Pdt. R. Bambang Jonan pada pertemuan Departemen Musik 9 Agustus 2011 di GBI Medan Plaza Lantai 7 Universitas Sumatera Utara Tabel 2. Perbedaan tujuan musik sekuler dan musik gereja Sumber: John F. Wilson An Introducing to Church Music Tetapi alasan-alasan yang sulit akan memberikan cara berbeda melalui penafsiran dan persentasi. Pada kedua hal di atas sebuah ibadah bisa berakhir menjadi sebuah pertunjukan seni, yang mana aspek dari musiknya tetap berhubungan dengan Tuhan, tetapi pemenuhan alasan akan berbeda-berbeda karena alasan-alasan mereka sendiri secara langsung berlawanan. Bagi musisi sekuler akan melakukan penampilan dengan sepenuh hati kepada manusia, sementara bagi imam musik akan memberikan pelayanan: “Kesatuan hati kepada Kristus; tidak dengan pelayanan mata untuk kesenangan para lelaki; tetapi sebagai hamba Kristus, yang melakukan perintah Tuhan dengan sepenuh hati” Efesus 6:5,6. Universitas Sumatera Utara Saya perlu menggaris bawahi, selaras dengan pemikiran Alan P. Merriam, pertama jika lagu-lagu yang memiliki pesan Tuhan digunakan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka musik tersebut berfungsi function sebagai kesinambungan memelihara hubungan yang intim dengan Tuhan. Sedangkan jika lagu-lagu yang bermuatan pesan Tuhan tersebut dilihat dari penggunaannya use maka hanya untuk memenuhi jadwal-jadwal worship leader melakukan kegiatan dalam satu ibadah. Kedua, John F. Wilson mengatakan lagu-lagu yang memiliki pesan Tuhan bukanlah lagu yang tercipta dari hasil pemikiran logis seorang komposer. Roh Kudus yang memampukan serorang komposer untuk menulis mana yang secara spiritual dapat ditampilkan dengan efektif. Seorang imam musik dan komposer yang terlibat dalam ibadah menyerahkan hidupnya dan bakatnya dalam jalannya “proyek” penyajian pesan kerohanian yang mampu dipahami oleh jemaat. Dan seorang pendengar secara fisik dan mental dipersiapkan untuk merespon terhadap pesan yang diberikan padanya. Kekuatan Roh Kudus merupakan kekuasaan yang agung dan sebuah kekuasaan yang besar yang jauh lebih penting dari kemampuan alamai, pemahaman dan inspirasi. 2. 5. 2. Sejarah Transformasi Musik Dalam Gereja