HUKUM SUAMI YANG KIKIR

HUKUM SUAMI YANG KIKIR

Ada sebuah riwayat yang menyatakan:

"Bahwa Hindun, isteri Abi Sufyan, bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tentang sifat kikir suaminya: Wahai Muhammad, sesungguhnya Abu Sufyan itu adalah seorang suami yang kikir, dimana ia tidak memberikan sesuatu yang cukup bagiku dan bagi anak-anakku, kecuali sesuatu yang aku ambil sendiri dari- nya, sedangkan ia tidak mengetahuinya. (Lalu bagaimana dengan apa yang telah aku lakukan itu?) Rasulullah menjawab: Ambillah sesuatu yang cukup bagimu dan anak-anakmu sesuai yang ma'ruf." (HR. Bukhari dan selainnya)

Maksud dari hadits tersebut adalah, dibolehkan mengambil sesuatu yang harus diambil, yang merupakan sesuatu (kebutuhan) yang tidak dapat dihindari.

Berkaitan dengan pembahasan tentang kekikiran seorang suami, penulis menyebutkan cerita yang unik dan boleh dibilang lucu berikut ini: "Se- orang isteri bertengkar dengan suaminya, karena suami menekan nafkah yang diberikan kepada isterinya. Maka sang isteri berkata: Demi Allah, se-

360 — Kado Perkawinan

ekor tikus tidak akan bersarang di rumahmu, kecuali karena mencintai tempat kelahirannya. Kalau tidak, maka pastilah ia mencari rizki dari rumah- rumah tetangga."

Mengenai kekikiran seorang suami dan perhitungannya terhadap ke- luarga, Ibnul Jauzy didalam kitabnya yang berjudul Al Adzkiya mencerita- kan, bahwa Mughirah bin Syu'bah dan seorang pemuda datang untuk me- lamar seorang wanita, dimana pemuda itu berwajah tampan. Lalu wanita tersebut mengutus seseorang kepada keduanya untuk menyampaikan pesan darinya yang berbunyi: Sesungguhnya kalian berdua telah datang untuk melamarku, maka aku tidak akan memberi jawaban kepada salah seorang dari kalian, sebelum aku melihat dan mendengar apa yang akan kalian janjikan untukku. Karena itu, datanglah jika kalian menginginkannya. Maka mereka berdua datang dan wanita tersebut menyuruh seseorang (pelayan- nya) untuk mempersilahkan keduanya duduk. Dengan harapan, sekiranya ia bisa melihat secara langsung (di balik tabir) dan mendengarkan apa yang menjadi pembicaraan mereka berdua.

Tatkala Mughirah melihat ketampanan, keremajaan dan postur tubuh pemuda yang juga melamar wanita tersebut, maka ia berputus asa dan sudah merasa bahwa wanita tersebut tidak akan memilih dirinya. Kemudian ia menghadap kearah pemuda itu, sedangkan ia tengah berpikir tentang suatu cara untuk menyampaikan sesuatu kepadanya. Lalu Mughirah bertanya kepada pemuda itu: Sungguh engkau telah diberikan kelebihan berupa ke- tampanan dan kebaikan, apakah engkau memiliki kelebihan yang lain dari itu? Pemuda itu menjawab: Ya, lalu ia menghitung kebaikan-kebaikannya. Kemudian diam. Lalu Mughirah bertanya kembali: Bagaimana kemungkin- annya engkau dapat di terima menjadi isterinya menurut perhitunganmu? Ia menjawab: Jika ada sesuatu yang jatuh dariku, maka pasti aku akan men- dapatkannya kembali, walaupun lebih lembut daripada biji sawi. Mughirah berkata kepadanya: Sedangkan aku adalah orang yang selalu meletakkan persediaan makanan yang cukup banyak di sudut rumah, dimana keluarga- ku akan menjadikan makanan tersebut sebagai nafkah sekehendak hati mereka dan aku tidak tahu kapan habisnya, sampai mereka memintanya kembali kepadaku (mengingatkan bahwa persediaan telah habis).

Maka wanita tersebut berkata (dalam hati), bahwa sesungguhnya orang yang datang melamarnya dan tidak memberlakukan perhitungan itulah (yaitu Mughirah) yang lebih aku sukai daripada pemuda yang senantiasa menghitung segala sesuatu, sampai ke persoalan yang kecil seperti biji sawi. Maka yang diterima oleh wanita tersebut adalah lamaran yang di ajukan oleh Mughirah dan menikahlah ia dengannya. ‡

Hukum Suami yang Kikir — 361