TERRASAR-X Prosiding.Seminar.Radar.Nasional.2008

Prosiding Seminar Radar Nasional 2008., Jakarta, 30 April 2008., ISSN : 1979-2921. Sayangnya pada pencitraan ini, dua scene stripmap tidak bertampalan di area di mana 6 corner reflector berada, sehingga tampilannya pada citra ascending dan descending belum dapat dibedakan. Citra TerrasarX didistribusikan sudah dalam format GeoTiff. Hanya saja, untuk proses orto baru dibuat berdasarkan DEM dari SRTM 1”. Pembuatan DEM dari TerrasarX hanya dapat dilakukan dengan data multipass yang akan berselang beberapa hari dan memungkinkan temporal-decorrelation – hal yang pasti akan terjadi pada hampir semua sistem satelit, selain SRTM yang membawa antene 60 m. Badan Ruang Angkasa Jerman DLR berencana akan meluncurkan satelit TerrasarX-Tandem pada 2009 agar dari dua satelit ini didapatkan data DEM teliti. Seminar Nasional Teknologi Radar Antariksa untuk Pemetaan, 27 Februari 2008 Stripmap 1:25.000 Seminar Nasional Teknologi Radar Antariksa untuk Pemetaan, 27 Februari 2008 Stripmap 1:10.000 Seminar Nasional Teknologi Radar Antariksa untuk Pemetaan, 27 Februari 2008 Spotlight 1:10.000 Gambar 8. Beberapa contoh citra TerrasarX. Gambar 8 atas adalah citra Stripmap res 3m yang ditampilkan pada skala 1:25.000; sedang Gambar tengah adalah citra yang sama pada skala 1:10.000. Gambar bawah adalah citra Spotlight res 1m yang ditampilkan pada skala 1:10.000. Gambar 9 adalah komplek Bakosurtanal pada citra TerrasarX. Meski pada citra SAR batas-batas gedung tidak setajam pada citra optis, namun pagar justru dikenali dengan baik dari pantulan sinyal oleh logam. Hal penting yang dapat dicatat juga di sini adalah: 1 agar tidak melakukan “over-zoom”, misalnya stripmap tidak divisualisasi hingga skala lebih besar dari 1:25.000. 2 Sebaiknya menggunakan metode interpretasi yang lebih kompleks dari pada citra optis Poniman et al, 2008. Gambar 9. Bakoplex pada TerrasarX res 3 m

7. KESIMPULAN

Dalam beberapa tahun mendatang ini, pemetaan di Indonesia mau tidak mau akan berangsur-angsur mengadopsi teknologi pencitraan radar, walaupun tidak akan sama sekali meninggalkan fotogrametri. Banyak hal yang masih harus dikerjakan dan dipelajari, dan ini juga merupakan lapangan terbuka untuk riset bagi dunia perguruan tinggi. DAFTAR REFERENSI [1] Fahmi Amhar 1999: Kualitas Geometri DEM dari Radar Interferometri, Prosiding PIT- MAPIN 1999: 21-25 [2] Fahmi Amhar, 2006. Indonesia Contribution to ALOS in ALOS Project. ISPRS Comission-VI Symposium, Tokyo, 2006. [3] Fahmi Amhar, Harry Ferdiansyah 2007: Membandingkan DEM dari RBI, Ifsar dan SRTM. Jurnal Geomatika Vol. 13 No. 1, Agustus 2007 12 Rancangbangun System Secondary Surveillance RADAR untuk Aplikasi Tracking Peluncuran Roket Jarak Jauh Wahyu Widada dan Sri Kliwati Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jalan Raya LAPAN, Sukamulya, Rumpin, Bogor E-mail: w_widadayahoo.com, sri_kliwatiyahoo.com ABSTRACT Range and position are important parameter in the rocket development. Recently, RADAR and GPS telemetry are use for tracking rocket trajectory, however maintenance and operational cost is very expensive. In this paper develops a low cost secondary surveillance RADAR for measurements distance from rocket to ground station using radio transceiver and transponder. Frequency and power of the radio is designed specially for long-range rocket trajectory. This system will be applied for tracking long-range rocket flight test. The radio power is designed for up to 50 Watt and the frequency is near 500 MHz. An algorithm based on frequency domain is developed in order to calculate accurately the delay time. Keywords: radio ranging, secondary surveillance RADAR, transceiver, transponder, UHF radio, trajectory rocket. ABSTRAK Alat deteksi jarak dan posisi sangat diperlukan dalam pengembangan performa roket. Teknologi RADAR dan GPS telemetri digunakan untuk tracking roket tersebut, akan tetapi memerlukan biaya maintenance dan operasional yang tinggi serta ketergantungan terhadap negara lain. Dalam tulisan ini membahas pengembangan sistem secondary surveillance RADAR untuk pengukur jarak dengan menghitung delay signal dari transceiver dan transponder. Frekuensi dan power radio didesain secara khusus, sehingga dapat disesuaikan akurasi dan jarak pengukurannya. RADAR ini akan diaplikasikan untuk deteksi jarak pada peluncuran roket kendali jarak jauh. Dalam rancangbangun kali ini ditargetkan hingga 50 Watt power dengan frekuensi sekitar 500 MHz. Algoritma untuk delay waktu menggunakan frekuensi-domain sehingga diperoleh hasil yang akurat. Kata kunci: radio ranging, secondary surveillance RADAR, transceiver, transponder, UHF radio, trayektori roket.

1. PENDAHULUAN

Pengembangan roket dan satelit dilakukan secara kontinyu untuk meningkatkan kemampuannya. Untuk mengetahui performa dan posisi saat meluncur memerlukan sistem tracking. Teknologi yang dapat digunakan adalah RADAR dan GPS telemetri. Akan tetapi masing-masing teknologi tersebut ada kelemahan-kelemahannya secara ekonomi dan politik untuk pengembangan roket. RADAR tipe transponder Secondary Surveillance RADAR SSR adalah teknologi yang telah digunakan pada masa perang dunia ke 2 dalam penentuan identifikasi pesawat musuh dan juga pasukan sekutu [1]. Teknologi SSR ini relatif lebih murah daripada RADAR tipe refleksi dari target, sehingga sangat cocok untuk pengembangan roket. Dalam bidang penerbangan pesawat komersial, juga digunakan untuk sistem kontrol lalulintas Air Traffic Control. Untuk sistem ini maka perlu kesamaan sistem dengan negara-negara lainnya [2]. Akan tetapi untuk bidang pertahanan, maka tidak perlu kesamaan bahkan perlu kerahasiaan, sehingga pengembangan sistem SSR untuk peluncuran roket ini sangat penting dilakukan. Dalam tulisan ini membahas sistem SSR untuk aplikasi tracking roket. Prototipe mendasar dari radio untuk sistem hardware telah diuji coba di laboratorium dengan frekuensi antara 300-600 MHz yang dapat diubah-ubah. Signal RADAR yang digunakan dengan frekuensi 5 MHz yang cukup akurat untuk mendeteksi jarak lintasan 1 meter. Gambar 1. Sistem Secondary Surveillance RADAR. SSR Transceiver Ground Station Transponder Antenna Range 2 C T D × ∆ = 13