Gambar 10. Pengetesan low noise amplifier yang
digunakan pada penerima RX.
Gambar 11. Pengetesan penguat daya untuk bagian
pemancar.
Gambar 12. Pengetesan power dividercombiner yang
menghubungkan antena array dengan pemancar dan penerima.
Gambar 13. Satu modul antena untuk INDRA II. Gambar 14. Hasil pengetsan satu modul antena.
Gambar 15. Contoh tampilan Radar.
6. KESIMPULAN
Telah dipresentasikan kegiatan rancang bangun Radar pengawas pantai INDRA II di
PPET-LIPI. Rancang bangun ini meliputi pembuatan desain antena, perangkat keras dan
perangkat lunak, implementasi dan pengetesan. Pelaksanaan rancang bangun ini dilakukan dalam
kurun waktu tiga tahun dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2008. Dukungan teknis
pelaksanaan rancang bangun ini diperoleh dari lembaga penelitian diluar negeri yaitu IRCTR
TU-Delft. Masih ada beberapa tahapan pelaksanaan yang akan diselesaikan pada
pertengahan tahun 2008.
UCAPAN TERIMAKASIH
Peneliti yang terlibat dalam rancang bangun ini mengucapkan terima kasih kepada koordinator
program kompetitif dan DIPA tematik atas bantuan pendanaan untuk pelaksanaan penelitian
ini. Kami juga mengucapkan terimakasih atas dukungan teknis dari staf di IRCTR TU-Delft.
5
DAFTAR PUSTAKA [1].
Harian Kompas, ‘Indonesia Butuh Ratusan Kapal Patroli Laut’, 11 September 2003.
[2]. Harian Kompas, ‘Menjaga Laut Sungguh
Tidak Mudah’, 04 November 2004. [3].
Leo P. Ligthart, ’Short Course on Radar Technologies’, International Research
Centre for Telecommunications and Radar, TU Delft, September 2005.
[4]. Mark Richards, ’Radar Signal Processing’,
McGraw-Hill, 2005. [5].
Bassem R. Mahafza, ‘Radar Systems Analysis and Design Using MATLAB’,
Chapman Hall, 2005. [6].
M.I. Skolnik, ’Radar Handbook’, McGraw- Hill, 1990.
6
Prosiding Seminar Radar Nasional 2008., Jakarta, 30 April 2008., ISSN : 1979-2921.
Status Pemetaan dengan Radar di Bakosurtanal
Fahmi Amhar, Ade Komara Mulyana, Aris Poniman
Balai Penelitian Geomatika Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong Telp. 021-87906041 Fax. 021-87906041 email: famhar yahoo.com
ABSTRACT
Mapping technology using Radar in Indonesia believed by many people is the solution to overcome the cloudcover which is the major drawback of aerial photographs or high-resolution satellite image with
passive sensors. But in the reality, from the beginning there is not many comprehensive assessment of application of this technology in Indonesia, from the data acquisition until topographic line map production.
This paper will give a short overview from research and experience in Bakosurtanal with data from Radarsat, Airborne-Ifsar, SRTM, ALOS and TerrasarX in the last decade. Problems which are found during
data cleaning, difficulties in topographic object recognition until accuracy measurement will be described. Some geometric comparison with topographic map from photogrammetry and geodetic-GPS will accomplish
this paper.
ABSTRAK
Teknologi Pemetaan dengan Radar di Indonesia diyakini banyak orang sebagai solusi mengatasi tutupan awan yang sering menghalangi penggunaan foto udara maupun citra satelit sensor pasif beresolusi
tinggi. Namun sesungguhnya, sejak awal belum banyak kajian yang komprehensif atas penggunaan teknologi ini untuk pemetaan di Indonesia, mulai dari pengambilan data hingga pembuatan peta rupabumi.
Dalam tulisan ini akan dikupas beberapa penelitian dan pengalaman di Bakosurtanal dengan data Radarsat, Airborne-Ifsar, SRTM, ALOS dan TerrasarX dalam dasawarsa terakhir. Masalah-masalah yang
ditemukan dalam pembersihan data dari “noise”, kesulitan-kesulitan dalam mengenali objek topografi hingga pengukuran akurasi akan disampaikan. Beberapa perbandingan geometri dengan data peta
rupabumi hasil fotogrametri serta data GPS-geodetis akan menyertai kajian ini.
1. PENDAHULUAN
Salah satu kendala pemetaan di Indonesia adalah awan yang menutupi sebagian besar area
yang akan dipetakan. Baik foto udara maupun citra satelit sensor pasif mengalami kendala ini.
Pemetaan di HPH di sebagian besar wilayah Kalimantan terpaksa menggunakan skala 1:20.000
atau lebih besar karena pesawat harus terbang di bawah awan. Karenanya, ketika dari foto-foto itu
akan dibuat peta rupabumi 1:50.000, dengan overlap 60 dan sidelap 30 diperlukan sekitar 144 model
per lembar peta.
Lebih tragis lagi di Papua. Rendahnya awan memaksa pesawat terbang lebih rendah lagi,
sehingga ketika foto udara yang dihasilkan berskala 1:5000, dengan overlap 60 dan sidelap 20
diperlukan sekitar 1891 model per lembar peta
Besarnya jumlah foto ini akan sebanding dengan besarnya biaya yang diperlukan untuk
pekerjaan fotogrametri, baik triangulasi udara AT maupun kompilasi stereo plotting.
Karena itu, teknologi pencitraan dengan radar yang tembus awan, selalu menarik, karena teknologi
ini menjanjikan pengumpulan data baku dengan cepat, bisa dikerjakan tanpa tergantung cuaca,
bahkan bisa dikerjakan siang dan malam. Tercatat ada tiga teknologi yang menantang
hingga saat ini, yaitu: 1 radar berwahana satelit dengan jangka operasi lama, misalnya Radarsat,
ERS, JERS – dua yang terakhir ini kemudian disusul satelit generasi baru TerrasarX dan ALOS-Palsar; 2
radar berwahana pesawat ruang angkasa dengan jangka operasi pendek, di sini adalah Shuttle Radar
Topography Mission SRTM; 3 radar berwahana pesawat, misalnya IFSAR dari Intermap.
Dalam beberapa segi, Bakosurtanal terlibat dengan uji coba, bahkan proyek yang cukup besar
dengan teknologi ini – dan bila hasilnya bisa diperdebatkan, minimal ada hikmah yang bisa
dipetik.
2. RADARSAT
Sementara di Indonesia data ERS atau JERS lebih sering hanya dipakai dalam riset, data Radarsat
lebih bersifat komersial dan populer dipakai. Pada 2003, untuk pemetaan rupabumi di Kalimantan
Barat, pada mulanya akan dipakai data SPOT-stereo. Namun karena kesulitan mendapatkan data SPOT
secara stereo yang keduanya bebas awan dengan incident angle yang cukup dalam kurun waktu yang
ditentukan, sebagian area terpaksa ditutup dengan data Radarsat.
7
Prosiding Seminar Radar Nasional 2008., Jakarta, 30 April 2008., ISSN : 1979-2921.
Data ini kemudian diolah secara radargrametri dengan software PCI, dan hasilnya memberikan
sejumlah “kejutan”, karena cukup banyaknya spikes atau shadow. Pada “lubang-lubang” ini data DEM
menjadi tidak wajar elevasi ratusan ribu meter, atau negatif.
Gambar 1. DEM yang tidak wajar; karena adanya
“blankspot” “spike”
Sedang pada data yang kelihatan “wajar”, ternyata memiliki diskrepansi yang cukup besar
hingga 200-300 meter dengan data pembanding dari SPOT-stereo, peta rupabumi ataupun tinggi
menurut GPS yang telah direduksi dengan undulasi global EGM96.
Gambar 2. DEM yang wajar; namun akurasinya masih
belum diketahui sebelum test lapangan
Sangat sulit mengoreksi data semacam ini. Saran dari pakar di Radarsat sendiri hanya
mengatakan metode yang lazim dipakai adalah “buldozing”, yaitu meratakan begitu saja spikes atau
shadow. Meski demikian, untuk planimetris, amplitudo image dari Radarsat tetap amat
bermanfaat untuk mendapatkan data daerah yang selalu tertutup awan.
3. AIRBORNE IFSAR
Sebenarnya istilah IFSAR adalah trademark dari Intermap perusahaan Canada. Perusahaan
Jerman Aerosensing lebih suka menggunakan istilah Insar, walaupun yang ditunjuk adalah teknologi
yang kurang lebih sama. Saham Aerosensing kemudian dibeli oleh Intermap. Di Jerman provider
Insar tinggal Daimler, yang kini bergabung dalam holding perusahaan-perusahaan dirgantara Eropa,
yaitu EADS, dengan anak perusahaan mapping bernama InfoTerra yang kemudian menjadi operator
satelit TerrasarX. Para ahli Aerosensing ada yang kemudian mendirikan perusahaan di Brazilia dengan
nama Orbisar. Sejauh ini penawar teknologi airborne Ifsar Insar lainnya tinggal GeoSAR EarthData di
Amerika Serikat. Menariknya, baik Orbisar maupun GeoSAR ini menggunakan dua jenis gelombang
yaitu X dan P, sehingga mampu mendapatkan data elevasi pada canopy pohon dan sekaligus tanahnya,
sehingga teoretis dapat menghitung volume biomassa hutan.
Berbeda dengan airborne radar yang menggunakan radargrametri, dengan bahan baku
amplitudo dari radar, airborne ifsar menggunakan algoritma interferometri, dengan bahan baku fase
dari radar. Artinya proyek-proyek radar di Kalimantan tahun 1980-an awal 1990-an, belum
menggunakan ifsar.
Bakosurtanal memiliki dua kali pengalaman dengan ifsar. Tahun 19961997, dalam proyek
pemetaan tata ruang, digunakan teknologi ifsar untuk menghasilkan DEM dan ORI. Hasilnya sekitar 70
DEM menunjukkan deviasi 18-24 meter dibandingkan dengan benchmark dari fotogrametri
[1].
Menurut pakar ifsar dari Aerosensing Dr. Joe Moreira komunikasi pribadi, 2000, persoalan ini
disebabkan terutama oleh kondisi teknologi saat itu, di mana sensor GPS, Inertial Measurement Unit
IMU dan transmitter radar belum 100 sinkron. Namun menurutnya, saat ini hal itu sudah
terpecahkan.
Pada 2003, Intermap bekerjasama dengan PT- Exsa International memulai proyek Nextmap-
Indonesia. Ini adalah inisiatif pemetaan pertama yang berasal dari pendanaan murni swasta.
Bakosurtanal mendapatkan semua data ORI yang bisa digunakan untuk keperluan internal misalnya
update peta, tanpa hak untuk menjual kembali. Sedang data DEM hanya mendapatkan 3000 sqKm
gratis, selebihnya harus membeli. Intermap menawarkan pola harga yang sangat berbeda untuk
data yang telah tersedia dengan data yang masih harus dipotret. Karena pasar data radar di Indonesia
belum benar-benar terbentuk, range harga ini adalah subject to negotiate. Pasar baru akan terbentuk
nantinya bila penawaran tidak hanya berasal dari satu sumber, dan pembeli juga lebih bervariasi.
Bakosurtanal telah membeli data DEM dari sebagian Kalimantan, NAD, Nias dan Papua untuk menutup
daerah yang tidak ada fotonya atau tertutup awan. Dalam segi pengambilan data, Ifsar memang
lumayan cepat karena bebas dari menunggu awan hilang. Namun hasil yang didapatkan masih setara
dengan foto udara setengah matang. Memang ada DEM, namun DEM ini adalah DEM pada kanopi
pepohonan, bukan di permukaan tanah. Karena itu DEM disebut DSM Digital Surface Model, dan
bukan DTM Digital Terrain Model. Meski Intermap konon telah mengembangkan software
8