RADARSAT Prosiding.Seminar.Radar.Nasional.2008

Prosiding Seminar Radar Nasional 2008., Jakarta, 30 April 2008., ISSN : 1979-2921. Data ini kemudian diolah secara radargrametri dengan software PCI, dan hasilnya memberikan sejumlah “kejutan”, karena cukup banyaknya spikes atau shadow. Pada “lubang-lubang” ini data DEM menjadi tidak wajar elevasi ratusan ribu meter, atau negatif. Gambar 1. DEM yang tidak wajar; karena adanya “blankspot” “spike” Sedang pada data yang kelihatan “wajar”, ternyata memiliki diskrepansi yang cukup besar hingga 200-300 meter dengan data pembanding dari SPOT-stereo, peta rupabumi ataupun tinggi menurut GPS yang telah direduksi dengan undulasi global EGM96. Gambar 2. DEM yang wajar; namun akurasinya masih belum diketahui sebelum test lapangan Sangat sulit mengoreksi data semacam ini. Saran dari pakar di Radarsat sendiri hanya mengatakan metode yang lazim dipakai adalah “buldozing”, yaitu meratakan begitu saja spikes atau shadow. Meski demikian, untuk planimetris, amplitudo image dari Radarsat tetap amat bermanfaat untuk mendapatkan data daerah yang selalu tertutup awan.

3. AIRBORNE IFSAR

Sebenarnya istilah IFSAR adalah trademark dari Intermap perusahaan Canada. Perusahaan Jerman Aerosensing lebih suka menggunakan istilah Insar, walaupun yang ditunjuk adalah teknologi yang kurang lebih sama. Saham Aerosensing kemudian dibeli oleh Intermap. Di Jerman provider Insar tinggal Daimler, yang kini bergabung dalam holding perusahaan-perusahaan dirgantara Eropa, yaitu EADS, dengan anak perusahaan mapping bernama InfoTerra yang kemudian menjadi operator satelit TerrasarX. Para ahli Aerosensing ada yang kemudian mendirikan perusahaan di Brazilia dengan nama Orbisar. Sejauh ini penawar teknologi airborne Ifsar Insar lainnya tinggal GeoSAR EarthData di Amerika Serikat. Menariknya, baik Orbisar maupun GeoSAR ini menggunakan dua jenis gelombang yaitu X dan P, sehingga mampu mendapatkan data elevasi pada canopy pohon dan sekaligus tanahnya, sehingga teoretis dapat menghitung volume biomassa hutan. Berbeda dengan airborne radar yang menggunakan radargrametri, dengan bahan baku amplitudo dari radar, airborne ifsar menggunakan algoritma interferometri, dengan bahan baku fase dari radar. Artinya proyek-proyek radar di Kalimantan tahun 1980-an awal 1990-an, belum menggunakan ifsar. Bakosurtanal memiliki dua kali pengalaman dengan ifsar. Tahun 19961997, dalam proyek pemetaan tata ruang, digunakan teknologi ifsar untuk menghasilkan DEM dan ORI. Hasilnya sekitar 70 DEM menunjukkan deviasi 18-24 meter dibandingkan dengan benchmark dari fotogrametri [1]. Menurut pakar ifsar dari Aerosensing Dr. Joe Moreira komunikasi pribadi, 2000, persoalan ini disebabkan terutama oleh kondisi teknologi saat itu, di mana sensor GPS, Inertial Measurement Unit IMU dan transmitter radar belum 100 sinkron. Namun menurutnya, saat ini hal itu sudah terpecahkan. Pada 2003, Intermap bekerjasama dengan PT- Exsa International memulai proyek Nextmap- Indonesia. Ini adalah inisiatif pemetaan pertama yang berasal dari pendanaan murni swasta. Bakosurtanal mendapatkan semua data ORI yang bisa digunakan untuk keperluan internal misalnya update peta, tanpa hak untuk menjual kembali. Sedang data DEM hanya mendapatkan 3000 sqKm gratis, selebihnya harus membeli. Intermap menawarkan pola harga yang sangat berbeda untuk data yang telah tersedia dengan data yang masih harus dipotret. Karena pasar data radar di Indonesia belum benar-benar terbentuk, range harga ini adalah subject to negotiate. Pasar baru akan terbentuk nantinya bila penawaran tidak hanya berasal dari satu sumber, dan pembeli juga lebih bervariasi. Bakosurtanal telah membeli data DEM dari sebagian Kalimantan, NAD, Nias dan Papua untuk menutup daerah yang tidak ada fotonya atau tertutup awan. Dalam segi pengambilan data, Ifsar memang lumayan cepat karena bebas dari menunggu awan hilang. Namun hasil yang didapatkan masih setara dengan foto udara setengah matang. Memang ada DEM, namun DEM ini adalah DEM pada kanopi pepohonan, bukan di permukaan tanah. Karena itu DEM disebut DSM Digital Surface Model, dan bukan DTM Digital Terrain Model. Meski Intermap konon telah mengembangkan software 8 Prosiding Seminar Radar Nasional 2008., Jakarta, 30 April 2008., ISSN : 1979-2921. untuk menjadikan DSM menjadi DTM, saat ini masih diperlukan cukup banyak pekerjaan interaktif di depan komputer dengan software fotorametri softcopy. Untuk membuat peta rupabumi atau Topographic Line Map TLM, ORI maupun DSM harus dimiliki. Pertama-tama, dibuatlah stereo-mate dari ORI. Lalu ORI dengan stereo-matenya diolah secara stereo dalam sistem fotogrametri softcopy. DSM diresample pada gridspace 50 meter. Kemudian secara stereo dilakukan pengumpulan layer hidrologi, transportasi dan breaklines, yang lalu dimerge dalam “breaklines database”. Berikutnya adalah menghilangkan bentuk-bentuk terisolir spikes dari DSM, meski ada software “TerraScan” yang diklaim mampu melakukannya otomatis. Sayangnya software ini masih dipakai di Intermap sendiri saja. Kemudian DSM yang telah dihilangkan spikesnya diedit bersama breaklines database, dengan menyesuaikan seluruh garis kontur ke breaklines, serta membuat “stepping” pada sungai, sehingga semua sungai mengalir ke bawah. Dari kontur yang sudah teredit ini, dibuat DTM. Software-software fotogrametri softcopy seperti PCI-Geomatics 10.1.2, BAE-Soccetset 5.4.1. KLT- Atlas 12.16.6.7, atau Summit Evolution 4.24.3 telah memiliki modul-modul editing yang dibutuhkan untuk itu kecuali TerraScan. Namun semua software ini tak akan banyak gunanya bila hardware yang tersedia tidak memiliki setidaknya RAM yang besar, HD beberapa ratus GB atau bahkan TerraByte, grafik akselerator dengan kapasitas besar, layar monitor yang juga besar prioritas dual monitor, dan mouse berpresisi tinggi. Harga asesoris ini bisa jauh lebih mahal dari harga PC biasa. Gambar 3. Softcopy Photogrammetry Workstation untuk membuat TLM dari data ifsar. Dari sisi planimetris, perlu disadari bahwa interpretasi citra radar ORI sangat berbeda dengan foto udara ataupun citra satelit sensor pasif. Interpretasi tidak bisa hanya dari tone di dalam ORI, namun juga dengan konteks, daerah, serta sejumlah informasi lain. Tanpa melibatkan DSM, bisa terjadi sebuah areal disangka sungai atau danau, padahal ternyata itu hanya radar-shadow. Untuk mengatasi hal ini, bisa dilakukan fusi dengan citra sensor pasif misal dengan data SPOT 5 XS atau Ikonos-XS. Bisa pula dilakukan perbandingan dengan data SRTM. Dari proses bisnis, ada tiga pekerjaan dalam pemetaan dengan IFSAR, yaitu: 1 pencitraan, 2 pembentukan DEMORI, dan 3 interpretasi menjadi TLM. Pada saat ini, biaya IFSAR masih didominasi oleh proses 1 yang teknologinya sepenuhnya di tangan Intermap. Proses 2 sebagian besar juga masih dilakukan di Jerman atau Canada. Hanya untuk kasus yang sangat spesifik karena alasan keamanan Intermap bersedia menaruh komputer pengolah data di Indonesia. Bila dikatakan bahwa radar dapat memetakan dengan cepat, maka itu baru proses 1 dan 2 yang dalam struktur biaya memakan 70 – 80 dari total biaya. Sebaliknya bila dikatakan bahwa Indonesia sudah menguasai teknologi ini, maka yang dimaksud adalah proses 3 yang sebenarnya sangat menghabiskan waktu time consuming namun paling rendah dari sisi biaya, karena padat karya. Untuk itulah Intermap yang telah beroperasi di seluruh dunia berinvestasi di Indonesia, sehingga interpretasi data dari mancanegara itu dapat dikerjakan di Indonesia. Bagaimanapun, ini tentu akan memberikan semacam impuls bagi kebangkitan industri pemetaan di Indonesia.

4. SRTM

SRTM adalah proyek pemetaan global dengan space shuttle Atlantis pada tahun 2000. Hasilnya telah dikeluarkan oleh NASA dan USGS di awal 2004. Untuk seluruh dunia, data disediakan secara cuma-cuma dengan resolusi 3” atau sekitar 90 meter. Sedang untuk wilayah USA, data tersedia dalam resolusi 1” 30 meter. Pada 2008 Indonesia Bakosurtanal dan LAPAN mendapatkan dari DLR data Sumatera dan Jawa dengan resolusi 1”. Akurasi horizontal absolut 90 circular error adalah 20 meter, dan vertikal 16 meter, meskipun perlu pembuktian untuk memanfaatkan akurasi ini bila ukuran rasternya adalah 90 x 90 atau 30 x 30 meter. Namun data ini jelas lebih baik dibanding data ETOPO yang resolusinya 0,5” hampir 1 km – atau setara data citra gratis satelit NOAA. Dengan ketersediaan data SRTM ini, maka data relief DEM, garis kontur untuk peta rupabumi seluruh Indonesia pada skala 1:250.000 telah tersedia, sedang untuk Sumatera dan Jawa skala 1:50.000. Bakosurtanal telah mendapatkan data SRTM seluruh wilayah Indonesia, yang dikemas dalam satuan Tile 1 ° x 1° dalam format hgt. Format ini bisa diolah dengan software Global Mapper, dan direformat ke format-format lain. Dengan software Global Mapper pula bisa dilakukan transformasi ellipsoid referensi maupun sistem proyeksinya secara 9