Kerangka Pemikiran Pemodelan hybrid bioekonomi untuk pengembangan kawasan konservasi laut di pulau pulau kecil

23 Gambar 3 Kerangka pikir penelitian untuk melihat keterkaitan antara spill over effect dan solusi pemodelan yang dapat dikembangkan Untuk mengetahui dampak penerapan KKL di pulau-pulau kecil diperlukan identifikasi karakteristik perikanan tangkap di KKL di pulau-pulau kecil, karakteristik KKL di pulau-pulau kecil dan karakteristik sosial ekonomi masyarakat di sekitar KKL di pulau-pulau kecil. Dari identifikasi tersebut dapat Ya Karakteristik Perikanan Tangkap di KKL di PPK Karakteristik KKL di PPK Karakteristik Sosek disekitar KKL di PPK DirectIndirect Income Masyarakat di sekitar KKL di PPK Perubahan Produktivitas KKL di PPK Bioekonomi KKL di PPK Valuasi Ekonomi KKL di PPK Direct Survey dan Secondary Sources Policy : Model bioekonomi dan pengembangan KKL di PPK yang optimal secara bio- sosio-ekonomi dan berkelanjutan Spill Over Effect Bagaimana Mengelola Spill Over Effect Optimasi Perikanan Tangkap di KKL di PPK Tidak Implikasi keberadaan KKL di PPK dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan Dampak Biologi, Sosial dan Ekonomi Penerapan Instrumen KKL di PPK Apakah spill over effect sdh dipertimbangkan? Analisis Persepsi Masyarakat PSR thd Kondisi Bio-Sos-Ek sekitar KKL di PPK Interaksi Perikanan Tangkap dan KKL di PPK PERMASALAHAN: - Terjadi overcapacity FAO 2000; - KKL dianggap kurang efektif Fauzi Anna 2005; - Terjadi overfishing DKP 2008; - Kesejahteraan menurun Vivekanandan 2007; - Terjadi depresiasi Fauzi Anna 2005; - Sosialisasi dan informasi kurang Failler 2007; - Terjadi degradasi Fauzi Anna 2005; - Terjadi benturan sosial budaya Failler 2007. 24 diperoleh optimasi perikanan tangkap di KKL di pulau-pulau kecil, perubahan produktivitas KKL di pulau-pulau kecil, directindirect income masyarakat di sekitar KKL di pulau-pulau kecil, dengan melakukan analisis bioekonomi, valuasi ekonomi dan direct surveysecondary sources. Hasil akhir dari analisis tersebut dapat diketahui dampak biologi, ekonomi dan sosial dari penerapan KKL di pulau-pulau kecil Gambar 3. Diharapkan dengan mengetahui dampak biologi, sosial dan ekonomi dari penerapan instrumen KKL di pulau-pulau kecil dapat disusun implikasi keberadaan KKL di pulau-pulau kecil dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan dan dapat dirumuskan model pengembangan KKL di pulau-pulau kecil yang optimal secara biologi, ekonomi dan sosial serta berkelanjutan dan diperoleh pula solusi pemodelan hybrid bioekonomi yang sesuai, dengan spill over effect sebagai faktor dominan pengembangan KKL Gambar 3.

1. 6 Kebaruan Novelty Penelitian

Dengan melalui serangkaian penelitian, dari perumusan masalah, penentuan kerangka pikir, metodologi, pelaksanaan analisis dan perumusan hasil, diperoleh kebaruan novelty dari penelitian ini adalah model hybrid bioekonomi yang diberi nama model Haryani-Fauzi atau model HF, yang dikembangkan dengan memodifikasi model bioekonomi konvensional Gordon-Schaefer, yaitu memasukkan faktor limpahan spill over effect sebesar  beta. Model HF tersebut adalah: 1 dx rx x K x qxE dt      1.1 Nilai x dihitung dengan model HF-1 yaitu: KqE K x r r r     1.2 dan nilai h dihitung dengan model HF-2 yaitu: 2 2 q K qK h E qK E r r           1.3 25 serta nilai TR dihitung dengan model HF-3 yaitu: 2 2 p q K q K T R E q K E r r            1.4 Dengan model numerik hybrid bioekonomi tersebut, dapat dijelaskan bahwa model Haryani-Fauzi atau model HF, adalah model hybrid bioekonomi yang melihat aspek besaran spill over effect sangat penting dalam keberhasilan pengelolaan KKL, dengan memberikan keragaan lebih baik jika dibandingkan dengan model bioekonomi KKL lainnya. 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Keberlanjutan dalam Perikanan

Paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami evolusi dari paradigma konservasi biologi ke paradigma rasionalisasi ekonomi, kemudian ke paradigma sosialkomunitas. Namun, menurut Charles 1993 dan 2001 ketiga paradigma tersebut masih tetap relevan dalam kaitan dengan pembangunan perikanan berkelanjutan. Menurut Charles 1993 dan 2001, pandangan pembangunan perikanan yang berkelanjutan haruslah mengakomodasi ketiga aspek tersebut di atas. Oleh karena itu, konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan sendiri mengandung aspek: 1 Ecological sustainability keberlanjutan ekologi. Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stokbiomas sehingga tidak melewati daya dukungnya serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi perhatian utama; 2 Sosioeconomic sustainability keberlanjutan sosio-ekonomi. Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Dengan kata lain, mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian kerangka keberlanjutan ini; 3 Community sustainability, mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan; 4 Institutional sustainability keberlanjutan kelembagaan. Dalam kerangka ini, keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat ketiga pembangunan berkelanjutan di atas. Perhatian pembangunan perikanan yang berkesinambungan sustainable sebenarnya dimulai pada awal 1990’an, yang merupakan proses dari terjadinya beberapa perubahan yang menyangkut: 1 Meningkatnya perhatian terhadap lingkungan dari para stakeholder sebagai akibat Rio Summit yang menyerukan perlunya perbaikan secara global 28 terhadap pengelolaan sumber daya alam, termasuk sumber daya perikanan dan kelautan; 2 Terjadinya collapse dari beberapa perikanan dunia seperti anchovy, tuna, dan salmon, yang menyadarkan orang tentang konsekuensi yang ditimbulkan tidak hanya ekologi, namun juga konsekuensi sosial dan ekonomi; 3 Pemberdayaan para stakeholder yang menuntut perlunya pandangan yang lebih luas holistik mengenai pengelolaan perikanan Alder et al. 2002. Menyadari ketiga hal di atas, pembangunan perikanan selain memperhatikan aspek keberlanjutan, juga harus didekati dengan pendekatan menyeluruh yang menyangkut berbagai dimensi. Alder et al. 2002, misalnya melihat bahwa pendekatan holistik tersebut harus mengakomodasi berbagai komponen yang menentukan keberlanjutan pembangunan perikanan. Komponen tersebut menyangkut aspek ekologi, ekonomi, teknologi, sosiologi dan etis. Dari setiap komponen atau dimensi, ada beberapa atribut yang harus dipenuhi yang merupakan indikator keragaan perikanan sekaligus indikator keberlanjutan. Beberapa komponen tersebut adalah: 1 Ekologi: tingkat eksploitasi, keragaman, rekruitmen, perubahan ukuran tangkap, discard dan by catch, serta produktivitas primer; 2 Ekonomi: kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja, gross domestic product GDP, sifat kepemilikan, tingkat subsidi, dan alternatif income; 3 Sosial: pertumbuhan komunitas, status konflik, tingkat pendidikan, dan pengetahuan lingkungan environmental awareness; 4 Teknologi: lama trip, tempat pendaratan, selektivitas alat, fish agreegating device FAD, ukuran kapal, dan efek samping dari alat tangkap; 5 Etik: kesetaraan, illegal fishing, mitigasi terhadap limbah dan by catch. Keseluruhan komponen ini diperlukan sebagai prasyarat terpenuhinya pembangunan perikanan yang berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan dalam CCRF . Apabila kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan yang holistik ini tidak dipenuhi, pembangunan perikanan akan mengarah ke degradasi lingkungan, over- eksploitasi, dan destructive fishing practices. Hal ini dipicu oleh keinginan untuk memenuhi kepentingan sesaat generasi kini atau masa kini, sehingga tingkat 29 eksploitasi sumberdaya ikan diarahkan sedemikian rupa untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya untuk masa kini. Akibatnya kepentingan lingkungan diabaikan dan fish bombing ataupun poisoning dapat terjadi. Di Indonesia, misalnya praktik pembangunan perikanan yang unsustainable melalui destructive fishing practice tersebut telah menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup signifikan. Kerugian yang diderita mencapai US 386.000 per tahun akibat rusaknya terumbu karang. Kerugian ini empat kali lipat lebih besar dari manfaat yang diperoleh dari destructive fishing practices Fauzi dan Buchary 2002. Degradasidepresiasi sumberdaya ikan, misalnya terjadi di perairan Barat Daya Atlantik pada pertengahan 1990. Saat itu terjadi penurunan drastis dari stok ikan cod, yang mengakibatkan lebih dari 40.000 nelayan kehilangan pekerjaan di beberapa propinsi di wilayah Atlantik di Kanada. Walaupun sudah mulai dikelola, kondisi ini masih belum pulih sampai tujuh tahun kemudian Kurlansky 1997. Pada skala global, besarnya dampak dari depresiasi sumber daya perikanan ini diilustrasikan dengan estimasi biaya yang dikeluarkan untuk produksi global perikanan laut sekitar US 124 milyar dolar per tahun, namun hanya menghasilkan penerimaan sebesar US 70 milyar dolar Mace 1997. Sebesar US 54 milyar dolar ternyata merepresentasikan berbagai subsidi pemerintah terhadap industri perikanan yang justru menambah tingkat tangkap lebih dan inefisiensi ekonomi dari industri perikanan Davis and Garthside 2001. Kondisi penurunan stok sumber daya perikanan juga terjadi di beberapa perairan Indonesia, seperti di Selat Malaka, Teluk Jakarta, Pantai Utara Jawa, Makassar dan sebagian Bali Anna 1999; Fauzi dan Anna 2005. Kerugian sosial yang diderita akibat pembangunan perikanan yang tidak berkelanjutan juga bisa terjadi. Hal ini menyangkut hilangnya kesempatan kerja dan timbulnya konflik horizontal di antara para pelaku perikanan itu sendiri. Selain itu, manfaat yang seharusnya diperoleh oleh pemerintah dari pengelolaan sumberdaya ikan juga tidak bisa didapat secara maksimum.

2.2 Model Bioekonomi

Pertanyaan mendasar dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya tersebut sehingga menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya tetap terjaga. 30 Sehingga dalam pengelolaan sumberdaya ikan mengandung makna ekonomi dan konservasi atau biologi dan mau tidak mau pemanfaatan optimalnya harus mengakomodasi kedua disiplin ilmu tersebut. Oleh karena itu pendekatan bioekonomi harus dipahami oleh pelaku yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya ikan Fauzi dan Anna 2005. Konsep bioekonomi mulai dikembangkan sejak awal tahun 1950’an. Sementara sebelumnya konsep biologi dikenalkan oleh Graham pada tahun 1935 dalam bentuk model logistik Graham 1935 yang kemudian dikembangkan oleh Schaefer 1954 yang memandang populasi ikan sebagai satu kesatuan. Selanjutnya Gordon 1954 mengembangkan model ekonomi berdasarkan model Scahefer tersebut dan memperkenalkan konsep economic overfishing dan perikanan open access. Model yang dikenal dengan model bioekonomi Gordon- Schaefer, kemudian banyak digunakan untuk menganalisis pola pengelolaan perikanan yang optimal dan berkelanjutan Seijo et al. 1998. Model Bioekonomi Gordon-Schaefer disingkat GS dibangun dari model produksi surplus yang telah dikembangkan oleh Graham 1935. Pada model ini pertumbuhan populasi ikan diasumsikan mengikuti pertumbuhan logistik atau:              K x rx x F t x 1 2.1 di mana x adalah biomas ikan r adalah recruitment atau pertumbuhan alamiah kelahiran dikurangi kematian, dan K adalah kapasitas daya dukung lingkungan Fauzi 2004. Persamaan secara grafik digambarkan pada Gambar 4 berikut. Gambar 4 Kurva pertumbuhan logistik Pertumbuhan biomas ikan di atas diasumsikan berlaku tanpa gangguan atau penangkapan oleh manusia. Jika kemudian produksi oleh manusia Fx x 31 diasumsikan tergantung dari input effort yang digunakan E dan jumlah biomas ikan yang tersedia x serta kemampuan teknologi yang digunakan q yang di sebut juga koefisien daya tangkap, atau: qxE h  2.2 kurva pertumbuhan di atas kemudian berubah menjadi: qxE K x rx h K x rx t x                     1 1 2.3 Salah satu masalah yang dihadapi oleh pengelola perikanan adalah adanya variabel biomas yang tidak bisa diamati, sementara di hadapan mereka hanya tersedia data produksi h dan jumlah input yang digunakan E misalnya jumlah kapal, jumlah trip atau jumlah hari melaut Fauzi 2004. Dalam model bioekonomi GS, kendala ini kemudian diatasi dengan mengasumsikan kondisi ekologi dalam keadaan keseimbangan x t = 0, sehingga persamaan dapat dipecahkan untuk mencari nilai biomas x sebagai fungsi dari input atau:         E r q E K x 2.4 Pensubstitusian persamaan di atas ke dalam persamaan 2.2 akan menghasilkan:         E r q qKE h 1 2.5 Persamaan di atas berbentuk kuadratik terhadap input. Dalam model bioekonomi, hal ini dikenal dengan istilah Yield Effort Curve. Namun dengan membagi kedua sisi persamaan dengan variabel input E akan diperoleh persamaan linear yang disederhanakan dalam bentuk: E r K q qK E h 2   2.6 E U     di mana U adalah produksi per satuan input atau dikenal dengan CPUE catch per unit effort ,  = qK dan  = K q 2 r. Persamaan 2.5 dan persamaan2.6 secara grafik dapat digambarkan pada Gambar 5.