Latar Belakang Pemodelan hybrid bioekonomi untuk pengembangan kawasan konservasi laut di pulau pulau kecil
4 berkembangnya prinsip-prinsip integrated coastal managament ICM yang
kemudian menjadi integrated coastal and oceans management ICOM, yang keduanya
sama-sama menempatkan
pentingnya pengembangan
KKL. Berkembangnya paradigma tersebut di atas telah menambah kompleksitas
permasalahan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan dan juga telah mendorong berkembangnya KKL, yang diminati para stakeholders terutama Pemerintah
Daerah, baik kabupatenkota maupun propinsi dan juga nasional. Demikian pula lembaga swadaya masyarakat LSM yang bergerak dibidang pengembangan
KKL baik internasional maupun nasional seolah berlomba bermunculan. Bahkan dengan di syahkannya Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang didalamnya juga mengatur tentang KKL, maka semakin bermunculanlah KKL baru di wilayah perairan Indonesia.
Pertanyaan mendasar kemudian, apakah memang stakeholders telah memahami kontroversi-kontroversi pengembangan KKL sebagaimana telah disebutkan di
atas? Atau kelompok tertentu saja yang memahami, sementara masyarakat terus mempertanyakan keuntungannya bahkan mungkin menjadi korban?
Pengembangan KKL secara ekologis memang dirasa cukup tepat pada kondisi beberapa perairan laut di Indonesia, yang diduga telah mengalami
kerusakan cukup parah akibat adanya praktek penangkapan ikan yang merusak, yang mengancam keberlanjutan keanekaragaman sumberdaya ikan. Di sisi lain
dampak sosio-ekonomi pengembangan KKL bagi masyarakat masih diragukan, terutama nelayan skala kecil yang memang kelompok dominan di negara-negara
berkembang, yang biasanya mata pencahariannya hanya mengandalkan sumberdaya ikan di laut. Bahkan di pertemuan-pertemuan para pakar tingkat
dunia, pengembangan KKL selalu menjadi bahan pembahasan. Seperti halnya Vivekanandan 2007 pada suatu pertemuan di Belanda menggambarkan bahwa
pengembangan KKL sebagai instrumen independen dalam melindungi ekosistem laut, cenderung menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi yang berdampak pada
penurunan pendapatan nelayan skala kecil yang jumlahnya memang dominan, karena ditutupnya sebagian dari kawasan penangkapan ikan mereka. Failler
2007 selanjutnya menjelaskan bahwa kerusakan lingkungan di sekitar KKL menunjukkan adanya perlawanan dari masyarakat yang merasa dirugikan. Dalam
5 jangka pendek penetapan KKL memang sering menimbulkan konflik, sehingga
perlu mekanisme untuk meyakinkan bahwa KKL menguntungkan masyarakat baik dalam jangka pendek maupun panjang. Masyarakat berpendapat bahwa
sebaiknya penetapan KKL harus lebih mengedepankan perlindungan terhadap endangered species
daripada penetapan area fisik. Dalam kondisi seperti ini, hal yang paling penting dilakukan adalah
justifikasi mengenai dampak dari pembangunan KKL, yaitu selain dampak biologi yang sudah pasti sangat menguntungkan karena dampak spill over, di mana pada
kawasan yang dilindungi, stok ikan akan tumbuh dengan baik, dan limpahan dari pertumbuhan ini akan mengalir ke wilayah di luar kawasan, juga dampak positif
terhadap kondisi sosio-ekonomi masyarakat sekitarnya. Belum lagi manfaat positif lainnya, yaitu perannya dalam perubahan iklim. Karena kondisi yang
terpelihara dari terumbu karang, padang lamun dan mangrove yang ada di dalam perairan di lokasi KKL, sangat penting perannya sebagai sumber dan penyerap
karbon CO
2
, yang sangat penting dalam strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim Haryani et al. 2008. Justifikasi ini selain akan menjadi bahan
pertimbangan bagi Pemerintah untuk menerapkan kebijakan ini, juga sebagai bahan sosialisasi pada masyarakat pelaku usaha perikanan tangkap dan
masyarakat pesisir lainnya. Justifikasi yang berkaitan dengan bio-sosio-ekonomi sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada stakeholders akan arti
pembangunan KKL, sehingga dapat menjelaskan strategi pengembangan KKL yang optimal secara bio-sosio-ekonomi yang dapat menjamin lestarinya
keanekaragaman sumberdaya ikan, terkelolanya perubahan iklim di laut dan sejahteranya masyarakat secara keseluruhan.
Justifikasi bio-sosio-ekonomi lebih mendalam penting pula dilakukan, bahwa KKL secara optimal dapat dikembangkan selain di perairan laut terbuka
dapat pula dikembangkan di perairan laut wilayah gugus pulau-pulau kecil, yang sudah pasti masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Berdasar data
DKP 2007f dari seluruh KKL yang ada di Indonesia, hampir 70 dikembangkan di gugus pulau-pulau kecil, karena ekosistem pulau-pulau kecil
biasanya memiliki potensi sumberdaya ikan yang tinggi, karakteristik sumberdaya ikan yang unik dengan tingkat keanekaragaman hayati sangat tinggi DKP 2001,
6 2005, 2007d, 2007e; Retraubun dan Atmini 2004; Bengen dan Retraubun 2006.
Sayangnya ekosistem pulau-pulau kecil rentan terhadap perubahan ekologis, berada di wilayah terisolasi, masyarakat di sekitarnya biasanya miskin dan
kehidupannya hanya mengandalkan sumberdaya ikan setempat, sementara itu sebenarnya pemanfaatan sumberdaya di pulau-pulau kecil bersifat multi guna
multiple use dimana berbagai kegiatan memiliki hak atas akses dan pemanfaatan sumberdaya di kawasan ini DKP 2001, 2005, 2007d, 2007e; Retraubun dan
Atmini 2004; Bengen dan Retraubun 2006. Kondisi tersebut sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi
yang sarat akan pembatasan aktivitas misalnya pembatasan area penangkapan ikan. Walaupun secara nasional salah satu pemanfaatan pulau-pulau kecil yang
direkomendasikan oleh Pemerintah adalah untuk pengembangan KKL, sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
No. 41 tahun 2000 Jo. No. 67 tahun 2002. Alternatif pengembangan KKL di pulau-pulau kecil memang sangat memungkinkan, interaksi dinamis juga akan
terjadi dengan peran masing-masing komponen yang saling bertentangan tersebut. Oleh sebab itu harus diikuti pengelolaan yang dapat menjamin pengalokasian
sumberdaya pada luasan dan spatial yang tepat, sehingga dapat mendatangkan kesejahteraan masyarakat, namun tetap menjamin lestarinya sumberdaya ikan.
Sebuah fakta bahwa KKL di pulau-pulau kecil memang sangat unik dan di Indonesia telah berkembang sejak tahun 1990’an, ketika Taman Nasional Laut
Kepulauan Seribu, yang merupakan gugus pulau kecil, dengan luas 107.489 Ha ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
No. 162Kpts-II1995 tanggal 23 Maret 1995. Kemudian baru-baru ini telah berkembang Kawasan Konservasi Laut Daerah KKLD Kabupaten Raja Ampat,
Propinsi Papua Barat, yang diinisiasi oleh masyarakat dan difasilitasi pemerintah daerah setempat, serta telah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan
sebagai KKL pada tanggal 12 Mei 2007, dengan kondisi ekosistemnya berada di gugus pulau kecil yang masih relatif alami dan terjaga. Keberadaan KKL di gugus
pulau kecil sangat menarik untuk dikaji dan digunakan untuk menganalisis pengembangan dan efektivitas pengelolaan KKL di pulau-pulau kecil.
7 Selain justifikasi dan fakta-fakta sebagaimana tersebut di atas, menarik
pula untuk dibuktikan bahwa pengembangan KKL di pulau-pulau kecil memang menguntungkan secara biologi, sosial dan ekonomi. Pembuktiannya tentu tidak
mudah karena berbagai variabel harus dianalisis, yang sudah pasti variable- variable tersebut bukanlah variable sederhana melainkan sangat kompleks. Oleh
sebab itu perlu didekati dengan pengembangan sebuah pemodelan bioekonomi untuk pengembangan KKL, yang dapat menyederhanakan variable-variable
kompleks tersebut, yang dapat menjelaskan bahwa pengembangan KKL di pulau- pulau kecil menguntungkan dan menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan.
Pada penelitian-penelitian ataupun referensi yang ada, pemodelan yang sudah berkembang untuk pengelolaan sumberdaya ikan adalah model sederhana
yaitu model bioekonomi sumberdaya perikanan Fauzi dan Anna 2005. Model untuk pengelolaan pulau-pulau kecil yang ada sampai dengan saat ini hanyalah
model-model klasik yang mengkaji tentang interaksinya dengan perikanan ataupun pariwisata Efrizal 2005 dan Parwinia 2007. Sementara itu untuk
pemodelan bioekonomi pengembangan KKL, juga masih sangat sederhana yang hanya menganalisis interaksi sosial ekonomi, namun belum memadukan dengan
aspek biologinya Fauzi dan Anna 2005. Bahkan Fauzi dan Anna 2005, juga baru mengembangkan pemodelan bioekonomi untuk KKL dengan faktor luasan
KKL sebagai indikatornya, namun belum memasukkan dampak spill offer dalam pemodelannya, sementara dampak spill offer sebenarnya merupakan indikator
dominan keberhasilan KKL. Dalam rangka menjembatani kelemahan dari pemodelan yang telah ada
dan untuk mendapatkan pemodelan yang tepat, diperlukan kajian-kajian ilmiah yang komprehensif. Pemodelan yang tepat dapat berupa pemodelan hybrid
bioekonomi untuk pengelolaan KKL yang dapat menghitung potensi dan nilai ekonomi sumberdaya ikan dan keuntungan-keuntungan biologi, sosial dan
ekonomi secara tepat, dengan mempertimbangkan sifat dan paradigma pengembangan KKL dan keinginan masyarakat. Model hybrid bioekonomi dapat
merupakan kombinasi dari beberapa model bioekonomi yang sudah ada, atau penambahan parameter tertentu kedalam model konvensional yang sudah ada
untuk mendapatkan penyempurnaan, sehingga pemodelannya lebih elastis Hicks
8 1964. Oleh sebab itu disertasi ini disusun untuk menjawab permasalahan diatas
dan menjawab keinginan masyarakat bahwa KKL perlu terus dikembangkan, pulau-pulau kecil terus dimanfaatkan, namun tetap dapat menjamin pengelolaan
sumberdaya ikan berkelanjutan, keanekaragaman hayati laut tetap terjaga, fenomena perubahan iklim dapat diantisipasi dan masyarakat sejahtera.