Model Bioekonomi Pemodelan hybrid bioekonomi untuk pengembangan kawasan konservasi laut di pulau pulau kecil

33 dari penerimaan yang diperoleh dari ekstraksi sumberdaya ikan dengan biaya yang dikeluarkan. Jika penerimaan tersebut didefinisikan sebagai TR = Ph, di mana P adalah harga output ikan per satuan berat, sementara biaya total didefinisikan linear terhadap input atau TC = cE di mana c adalah biaya per satuan input konstan manfaat ekonomi bisa ditulis ke dalam bentuk Fauzi 2004: π = ph –cE 2.9 Dengan menggunakan persamaan 2.6 penerimaan dari sumber daya ikan bisa dihitung dari sisi input atau: π = p   cE E E   2   2.10 Secara grafis, kurva penerimaan dan biaya dari ekstraksi sumberdaya ikan dapat dilihat pada Gambar 6, yang terlihat bahwa ada dua keseimbangan bioekonomi yang di hasilkan dari model GS. Keseimbangan pertama terjadi pada tingkat input sebesar E oa , di mana kurva TC bersinggungan dengan kurva TR. Pada titik ini, tidak ada manfaat ekonomi yang diperoleh. Gordon menyebut titik keseimbangan ini “bioeconomic equilibrium of open access” atau keseimbangan Gambar 6 Keseimbangan bioekonomi Gordon- Schaefer pada akses terbuka. Karena pada kondisi akses terbuka tidak ada pengaturan setiap tingkat input E E oa akan menimbulkan biaya yang lebih besar dari penerimaan, sehingga menyebabkan input berkurang sampai kembali ke titik E = E oa yang akan lebih besar dari biaya. Dalam kondisi di mana E E oa , penerimaan akan lebih besar dari biaya dan dalam kondisi open access, hal ini A B E Eoa input P en er im aa n, b ia y a TC TR π max Rp 34 akan menyebabkan entry pada industri perikanan, yang akan terus terjadi sampai manfaat ekonomi terkuras sampai titik nol. Gordon kemudian melihat bahwa ketika input dikendalikan pada tingkat E =E, manfaat ekonomi akan diperoleh secara maksimum sebesar jarak AB dimana terjadi garis paralel antara kurva TC dan garis yang menyinggung kurva TR. Hal ini akan terjadi jika sumberdaya ikan dikelola dimiliki, sehingga pemilik sumberdaya akan berusaha memaksimalkan manfaat ekonomi yang diperoleh. Secara matematik, hal ini bisa diturunkan sebagai: max π = pαE - pE 2 – cE 2.11 2       c pE p E    Sehingga diperoleh tingkat input yang optimal sebesar: E = p c p   2  2.12 Sampai saat ini keseluruhan model GS sudah bisa dianalisis. Pengambil keputusan sudah bisa menentukan berapa tingkat input jumlah kapal, gross tones GT, trip dan sebagainya yang seharusnya dikendalikan, yang akan menghasilkan manfaat ekonomi maksimal. Jika tingkat input diketahui, secara otomatis jumlah produksi dan keuntungan maksimal dapat diketahui dengan mensubstitusikan persamaan di atas ke persamaan 2.6 dan persamaan 2.10.

2.3 Konservasi Sumberdaya Ikan

Sesuai dengan Undang-undnag No. 31 tahun 2004 pada pasal 13 ayat 1 disebutkan bahwa “Dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan dan konservasi genetika ikan”. Oleh sebab itu dengan diberlakukannya Undang-undang No. 31 tahun 2004, maka penyelenggaraan konservasi sumberdaya ikan di Indonesia merupakan bagian tidak terpisahkan dari pengelolaan sumberdaya ikan agar berkelanjutan, serta tidak hanya terfokus pada perlindungan jenis ikan saja, namun juga mengatur tentang konservasi ekosistem dan genetik ikan. Konservasi ekosistem diselenggarakan dalam rangka menjamin habitat hidup ikan agar terjaga kelestariannya, baik pada area pemijahan spawning ground , area asuhan nursery ground, area mencari makan feeding ground, 35 juga pada jalur ruaya migratory route, baik di perairan tawar, payau maupun tawar. Oleh sebab itu KKL perlu dikembangkan salah satunya untuk kepentingan konservasi habitat ikan. Sehingga untuk pengembangannya dibutuhkan standar, norma dan kriteria, termasuk didalamnya teknologi yang diperlukan. Sementara itu konservasi jenis ikan dan genetik ikan adalah untuk melindungi jenis dan genetik ikan yang terancam punah, ataupun yang sudah langka, yang selanjutnya untuk menjamin keanekaragaman hayati, sehingga keseimbangan populasispesies ikan tetap terjaga dan pengelolaan perikanan berkelanjutan dapat tercapai. Setelah secara jelas disebutkan dalam Undang-undang No. 31 tahun 2004, maka eksistensi konservasi sumberdaya ikan di Indonesia semakin kuat. Sehingga konservasi sumberdaya ikan di Indonesia kemudian tumbuh pesat dan senantiasa berusaha menjawab permasalahan dan issue-issue nasional, serta tetap mengikuti mainstream global. Oleh sebab itu pemahaman konservasi sumberdaya ikan di Indonesia juga terus berkembang dengan paradigma baru, sebagaimana tertulis pada pasal 1 angka 8 Undang-undang No. 31 tahun 2004 bahwa “Konservasi sumberdaya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan tetap meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan”. Sejalan dengan konsep ini, pengelenggaraan konservasi sumberdaya ikan di Indonesia tidak hanya untuk perlindungan dan pelestarian, namun juga untuk “pemanfaatan” sumberdaya ikan, walaupun merupakan pemanfaatan terbatas dengan persyaratan tertentu, guna tetap menjamin kelestarian sumberdaya ikan dan menjamin adanya akses masyarakat terhadap sumberdaya ikan. Sehingga masyarakat, khususnya nelayan skala kecil juga dapat menerima manfaat atas penyelenggaraan konservasi sumberdaya ikan dan diharapkan dapat mensejahterakan mereka. Dalam Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2007 selanjutnya dijelaskan secara detail tentang penyelenggaraan konservasi sumberdaya ikan, bahwa asas dan prinsip penyelenggaraan konservasi sumberdaya ikan di Indonesia sebagaimana dijelaskan pada pasal 2 yaitu: 1 pendekatan kehati-hatian, 2 pertimbangan bukti ilmiah, 3 pertimbangan kearifan lokal, 36 4 pengelolaan berbasis masyarakat, 5 keterpaduan pengembangan wilayah pesisir, 6 pencegahan tangkap lebih, 7 pengembangan alat tangkap, cara penangkapan ikan, dan pembudidayaan ikan yang ramah lingkungan, 8 pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat, 9 pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan, 10 perlindungan struktur dan fungsi alami ekosistem perairan yang dinamis, 11 perlindungan jenis dan kualitas genetik ikan, dan 12 pengelolaan adaptif. Berdasarkan asas dan prinsip tersebut kini konservasi sumberdaya ikan di Indonesia dikembangkan untuk mendukung pengelolaan perikanan berkelanjutan sustainable fisheries. Kemudian dalam Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pada pasal 28, 29 dan 30 mengatur pula tentang konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam batasannya, konservasi menurut Undang-undang No. 27 tahun 2007, tidak hanya meliputi wilayah perairan namun termasuk pula wilayah terrestrial, sepanjang di wilayah tersebut terdapat ekosistem yang perlu dilindungi karena fungsinya yang sangat penting untuk perlindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, atau dapat pula daerah cagar budaya. Baik dalam Undang-undang No. 31 tahun 2004 maupun Undang-undang No. 27 tahun 2007, telah mengatur lebih rinci tentang upaya pengelolaan konservasi ekosistem atau habitat ikan, yang fokusnya adalah pengembangan KKL dan dalam disertasi ini ruang lingkup bahasan hanya KKL. Di sisi lain dalam implementasi pengembangan konservasi laut, seyogyanya juga mentaati konvensi convention, persetujuan agreement, dan program aksi yang telah diadopsi dan dilaksanakan pada tingkat internasional, misalnya yang khusus berkaitan dengan keanekaragaman hayati laut adalah ICRI International Coral Reef Initiatve, Cartagena Protocol on Biosafety, dan Jakarta Mandate Dahuri 2003. Pada tingkat nasional, dasar pengelolaan konservasi laut paling tidak mencakup sembilan pendekatan implementasi program dalam pengelolaan keanekaragaman hayati pesisir dan laut. Kesembilan pendekatan tersebut adalah: i advokasi politik, ii pendekatan ekonomi, iii penguatan ilmu pengetahuan, iv pengembangan teknologi yang berwawasan lingkungan, v restorasi kerusakan habitat, vi pengelolaan kawasan konservasi, vii perencanaan dan 37 pengelolaan pesisir secara terpadu, viii pengelolaan berbasis masyarakat community-base management, dan ix penerapan indikator pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan keanekaragaman hayati laut Dahuri 2000.

2.4 Kawasan Konservasi Laut

Sebagaimana mainstream global, Indonesia pada saat ini sesuai Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2007 juga mengembangkan kawasan konservasi perairan yang terkait dengan pengelolaan perikanan. Pengembangan kawasan konservasi perairan tersebut, sebagai wujud penyelenggaraan konservasi ekosistem, sebagai perlindungan habitat ikan, yang antara lain dapat ditetapkan di perairan laut sebagai kawasan konservasi laut KKL, ataupun diperairan daratan misalnya di danau, sungai, ataupun rawa, sebagai kawasan konservasi perairan daratan. KKL pada dasarnya sangat populer dikenal oleh masyarakat, walaupun kawasan konservasi perairan daratan sebenarnya juga sudah sejak lama dikembangkan di Indonesia, misalnya di Propinsi Sumatera Barat, sebagai kawasan konservasi perairan adat atau biasa disebut “lubuk larangan”. Pengembangan KKL di Indonesia hingga saat ini terus meningkat, apalagi dengan adanya target 10 juta Ha pada tahun 2010 atau 20 juta Ha pada tahun 2020, sebagaimana komitmen Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2006 di COP-8 Convention on Biological Diversity. Beberapa pemahaman yang perlu diketahui bahwa, pada saat ini dikembangkan KKL dibawah tanggungjawab Kementerian Kehutanan, misalnya berupa Taman Nasional Laut TNL, Taman Wisata Alam Laut TWAL, Cagar Alam Laut CAL, dan Suaka Margasatwa Laut SML, walaupun beberapa bagian dari KKL tersebut telah dilimpahkan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan sejak ahun 2009. Demikian pula sejak berdirinya Kementerian Kelautan dan Perikanan telah dikembangkan KKL bersama-sama dengan pemerintah daerah kabupatenkota. Untuk pengembangan kawasan konservasi perairan dibawah tanggungjawab Kementerian Kelautan dan Perikanan, sesuai Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2007 dalam penetapannya, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat mencadangkan suatu kawasan perairan, baik perairan daratan perairan tawar ataupun payau dan laut sebagai kawasan konservasi perairan, yang berdasarkan kewenangan pengelolaannya terdiri dari: 1 kawasan 38 konservasi perairan nasional, 2 kawasan konservasi perairan propinsi dan 3 kawasan konservasi perairan kabupatenkota. Pada saat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengembangkan kawasan konservasi perairan tingkat kabupatenkota, yang populer disebut sebagai kawasan konservasi laut daerah KKLD yang tersebar di berbagai wilayah kabupatenkota dan akan terus dikembangkan kawasan konservasi perairan nasional dan propinsi. Dari kewenangan penetapan kawasan konservasi perairan tersebut terlihat jelas bahwa paradigma yang diusung dalam penyelenggaraan konservasi sumberdaya ikan ini sudah mengakomodir prinsip-prinsip desentralisasi. Kondisi ini sangat berbeda dengan paradigma sebelumnya yang masih bersifat sentralistik. Selanjutnya jenis kawasan konservasi perairan dapat dibedakan atas: 1 Taman Nasional Perairan, 2 Suaka Alam Perairan, 3 Taman Wisata Perairan dan 4 Suaka Perikanan. Sedangkan tahapan penetapan kawasan konservasi perairan adalah: 1 usulan inisiatif, 2 identifikasi dan inventarisasi, 3 pencadangan kawasan konservasi perairan dan 4 penetapan kawasan konservasi perairan. Usulan inisiatif selain dari jajaran pemerintahan, dapat pula berasal dari masyarakat, sehingga dalam hal ini peran serta masyarakat sangat diutamakan dalam proses pengusulan suatu perairan untuk menjadi kawasan konservasi perairan. Sementara itu pembagian zonanya meliputi: 1 zona inti, 2 zona perikanan berkelanjutan, 3 zona pemanfaatan, dan 4 zona lainnya. Penetapan kawasan konservasi perairan bukan hanya untuk perlindungan dan pelestarian sumberdaya ikan, yang sarat akan tindakan pelarangan dan penutupan akses bagi masyarakat. Namun dapat pula kawasan konservasi perairan dimanfaatkan secara terbatas dengan pengaturan pada zona yang ditentukan. Sehingga masyarakat tetap diberikan akses untuk melakukan kegiatannya, dengan pemanfaatan kawasan konservasi perairan tersebut dapat berupa upaya: 1 penangkapan ikan, 2 pembudidayaan ikan, 3 pariwisata alam perairan, dan 4 penelitian dan pendidikan. Menurut Salm et al. 2000 bahwa marine protected area MPA atau kawasan konservasi laut KKL merupakan salah satu pendekatan yang penting di dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Selanjutnya berdasarkan International Union Conservation on Natural Resources IUCN terdapat 7 tujuh