5   EVALUASI KONDISI KKL
5.1 Pressure, State, Response PSR KKL Raja Ampat
Untuk melihat sejauh mana kondisi secara kualitatif dari pengelolaan KKL di  Kabupaten  Raja  Ampat,  dilakukan  analisis  yang  berkaitan  dengan  Driving
Force,  Pressure,  Impact,  State  and  Response DPISR,  atau  kemudian  lebih
diringkas menjadi Pressure, State, Response PSR Pinter et al 1999 yang diacu dalam Fauzi 2004. Driving force mengandung makna berbagai aktivitas manusia,
proses  dan  pola  di  wilayah  pesisir  dan  laut  yang  berbatasan,  yang  berdampak terhadap  pembangunan  KKL  Raja  Ampat.  Sementara  pressure  biasanya
diklasifikasikan  sebagai  faktor  utama  atau  tekanan  terhadap  sistem    seperti pertumbuhan penduduk, konsumsi atau kemiskinan Fauzi dan Anna  2007.
Pressure pada lingkungan pesisir dan laut yang terkait dengan KKL dilihat
dari  perspektif  kebijakan,  biasanya  dianggap  sebagai  starting  point  untuk melemparkan  issue  lingkungan.    Dari  sudut  pandang  indikator,  pressure  ini
menjadi  lebih  mudah  dianalisis  jika  diperoleh  dari  monitoring  sosio-ekonomi, lingkungan  dan  database  lainnya.  State  adalah  kondisi  lingkungan  yang
disebabkan oleh pressure di atas,  misalnya  level  pencemaran, degradasi perairan pesisir  dan  lain-lain.  State  dari  lingkungan  ini  pada  akhirnya  akan  berdampak
pada kesehatan dan kesejahteraan manusia Fauzi dan Anna  2007. Response
adalah  komponen  framework  PSR  yang  berhubungan  dengan berbagai tindakan yang dilakukan oleh masyarakat baik individual maupun secara
kolektif  untuk  mengatasi  dampak  lingkungan,  mengoreksi  kerusakan  yang  ada atau  mengkonservasi  sumber  daya  alam.  Response  ini  dapat  meliputi  penetapan
peraturan,  pengeluaran  biaya  penelitian,  pendapat  masyarakat  dan  preferensi konsumen, perubahan strategi manajemen dan lain-lain Fauzi dan Anna  2007.
Analisis  PSR  yang  dilakukan  di  KKL  Kabupaten  Raja  Ampat  yaitu dilakukan di 6 enam desa di Distrik Waigeo Selatan, yaitu di Desa Yanbekwan,
Desa  Sawingrai,  Desa  Yen  Buba,  Desa  Kapisawur,  Desa  Saporkren,  dan  Desa Saonek, dengan  jumlah responden  mencapai  240  dua ratus empat puluh orang,
dengan melakukan survei di lapangan baik berupa pengamatan langsung maupun dengan  teknik  wawancara  menggunakan  kuesioner,  untuk  mengetahui  persepsi
96 dari  masyarakat setempat, terutama  nelayan  yang ada di Kabupaten Raja  Ampat,
dengan hasil analisis diuraikan pada sub bab berikut ini.
5.1.1 Pressure KKL Raja Ampat
KKL  Kabupaten  Raja  Ampat  pada  dasarnya  tidak  mengalami  pressure yang  berat  jika  dibandingkan  KKL  lainnya  di  Indonesia.  Hal  ini  disebabkan
karena  lokasi  KKL  ini  relatif  jauh  dari  pusat  keramaian  atau  pusat  aktivitas manusia.  Selain  itu,  aksesibilitas  menuju  kawasan  ini  relatif  sulit  karena  cukup
jauh lokasinya, dengan akses transportasi umum yang sangat terbatas DKP-KRA 2006.  Beberapa  masalah  sosial-ekonomi  tertentu  telah  memberikan  pressure
cukup signifikan, seperti rendahnya kesejahteraan  masyarakat pesisir Haryani et al.
2009  dan  penangkapan  ikan  sebagai  tumpuan  harapan  terakhir  bagi  mata pencaharian  penduduk  pesisir  DKP-KRA  2006;  Pemerintah  Kabupaten  Raja
Ampat  2006.  Masyarakat  berfikiran  sederhana,  bahwa  sumberdaya  yang  ada disekitarnya  akan  digunakan  dalam  memenuhi  kebutuhan  hidupnya.    Sehingga
bila  dibandingkan  pada  dekade  masa  lalu,  pada  saat  ini  masyarakat  mulai melakukan aktivitas  negatif  yang walaupun  belum  skala  besar, namun dilakukan
terus  menerus  sehingga  mulai  terlihat  terjadinya  gejala  degradasi  sumberdaya pesisir dan laut yang mempengaruhi kondisi KKL DKP-KRA 2006;  Pemerintah
Kabupaten  Raja  Ampat  2006.    Di  sisi  lain  penangkapan  ikan  oleh  pendatang illegal  fishing  dan  rencana  eksploitasi  pertambangan  di  wilayah  perairan  laut
menyebabkan  pressure  bagi  pengembangan  KKL  yang  cukup  membahayakan DKP-KRA  2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006 dan 2007.
Peningkatan jumlah penduduk, kebutuhan lapangan pekerjaan dan tingkat pendidikan  yang rendah  belum  menjadi pressure  yang  berat bagi pengembangan
KKL.  Dengan  ditetapkannya  6  enam  KKL  oleh  Pemerintah  Kabupaten  Raja Ampat  dan  satu  suaka  margasatwa  laut  SML  oleh  Departemen  Kehutanan
Republik Indonesia, yang diubah namanya menjadi Kawasan Konservasi Perairan Nasional KKPN sejak diserahkan pengelolaannya ke Kementerian Kelautan dan
Perikanan tahun 2008, menyebabkan kawasan ini menjadi lebih terlindungi DKP- KRA    2006;    Pemerintah  Kabupaten  Raja  Ampat  2006.  Sumberdaya  ikan  di
kawasan  ini  juga  tidak  mengalami  pressure  yang  luar  biasa,  akibat  tingkat  input