164
Gambar 41 Perbandingan surplus ekonomi pada σ model dan β model
Secar a umum dapat dikatakan bahwa β model Haryani-Fauzi model
memberikan keragaan yang lebih baik jika kawasan perikanan dan kawasan koservasi dikelola secara terkendali rezim sole owner karena baik dari indikitor
biologi produksi maupun indikator ekonomi rente ekonomi menghasilkan nilai yang lebih baik dibanding dengan model luasan
σ model. Hal ini membuktikan bahwa melihat aspek besaran spill over limpahan jauh lebih penting dalam
mengelolaa KKL daripada sekedar mengelola dari sisi luasan. Hal ini juga menunjukkan bahwa prinsip “bigger is better” dalam konteks pengelolaan KKL
tidak selamanya menghasilkan nilai yang lebih baik. Hal ini tentu saja sangat sesuai dengan konteks negara berkembang seperti Indonesia, karena mengelola
KKL dari sisi luasan akan memberikan keterbatasan ruang gerak pada nelayan sehingga akan menimbulkan resistensi dari masyarakat.
7.4 Dampak Kesejahteraan 7.4.1
Dampak terhadap masyarakat ex ante
Masyarakat di sekitar KKL Raja Ampat merupakan kelompok masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan tradisional atau subsisten. Sebagai
nelayan skala kecil, kesejahteraan masyarakat di sekitar KKL masih relatif rendah DKP-KRA 2006. Namun dengan dibentuknya KKL disekitar perairan mereka,
hasil tangkapan relatif bertambah. Hal ini disebabkan semakin banyaknya spill
165 over
sumberdaya ikan sehingga jumlah tangkapan meningkat dan keberlanjutan usaha semakin terjamin Robert et al. 2001. Kesejahteraan masyarakat juga
meningkat dengan terbukanya alternatif mata pencaharian yaitu sektor pariwisata bahari. Sektor ini membawa dampak positif bagi masyarakat pesisir yang menjadi
lokasi wisata bahari sehingga kesejahteraan masyarakat menjadi meningkat.
7.4.2 Dampak terhadap pemerintah ex post
Adanya kegiatan konservasi membawa dampak positif bagi pemerintah. KKL dapat dijadikan aset pemerintah melalui mekanisme payment for
environment services PES atau pembayaran jasa lingkungan. Menurut Rumfaker
2009 bahwa WTP dari pengguna jasa KKL di Kabupaten Raja Ampat sebesar Rp Rp.7.139.780.000,00 yang merupakan potensi nilai jasa lingkungan KKL.
Dengan menerapkan mekanisme charge sebesar WTP, pemerintah dapat
melakukan rent capture dari KKL sebesar Rp. Rp. 473.282.500,00 per bulan.
Berdasarkan nilai potensi PES tersebut, maka KKL akan menjadi sebuah sumber pendapatan bagi pemerintah Fauzi 2009. Namun demikian masih
diperlukan adanya dukungan legal framework yang jelas. Sehingga dalam tahapan implementasi dan operasionalnya dapat berjalan dengan baik dan akan menjamin
kejelasan landasan hukum yang dimiliki, sehingga potensi PES ini akan mampu dikelola dengan baik.
Legal framework sebagai landasan PES harus dirancang mulai dari tingkat
pemerintahan paling tinggi pemerintah pusat hingga tingkat paling bawah. Aturan hukum tentang pelaksanaan PES di Indonesia didasarkan pada azas
sukarela, namun demikian seiring dengan perkembangan, bahwa pelaksanaan PES diperlukan payung hukum sehingga pelaksanaan PES menjadi legal berdasarkan
hukum. Adapun payung hukum dalam pelaksanaan PES terdapat pada pasal 42 dan 43 Undang-Undang 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Rente dari KKL harus sebagian dikembalikan untuk biaya pengelolaan
sumberdaya alam. Diperlukannya penataan kembali mekanisme perbendaharaan di struktur keuangan pemerintah terutama dalam hal Penerimaan Negara Bukan
166 Pajak PNBP agar dapat menampung keuangan pembayaran jasa lingkungan
terutama dalam hal penandaan earmarking pembayaran jasa lingkungan. Adanya earmarking diharapkan dapat menjadi jalan keluar dalam
pengelolaan dana dengan pola mekanisme berbasis pemerintah ini. Adapun dasar hukum dari pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan melalui PNBP adalah
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang- Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dimana ketiga undang-undang tersebut menjelaskan secara jelas bagaimana pengelolaan
keuangan negara dengan pola PNBP. Pola mekanisme pembayaran jasa lingkungan semacam ini memiliki
tingkat efisiensi dan akuntabilitas yang lebih baik dibandingkan yang lainnya. Akuntabilitas diperoleh karena dalam penggunaan anggaran jasa lingkungan
pemerintah daerah diawasi dan dipantau oleh Badan Pemeriksa Keuangan BPK sehingga dalam hal pengawasan dapat dikatakan sangat ketat. Pola semacam ini
dikatakan efisien dikarenakan pola mekanisme pembayaran jasa lingkungan berbasis pemerintah ini tidak membutuhkan kelembagaan pengelolaan yang baru,
cukup dengan memanfaatkan perwakilan-perwakilan dari masing-masing dinas terkait yang merupakan Pegawai Negeri Sipil PNS, sehingga sekaligus dalam
pengeluaran atau biaya operasional dalam tenaga kerja dapat ditekan. Dampak-dampak positif yang dihasilkan dengan adanya pembayaran jasa
lingkungan diharapkan dapat menjadi modal atau pemasukan bagi pendapatan daerah untuk pembangunan, seperti peningkatan wisatawan akan memicu
peningkatan transportasi yang pada akhirnya akan meningkatnya retribusi yang dihasilkan melalui sektor transportasi, peningkatan jumlah hunian hotel membuat
pajak hiburan dan tingkat hunian semakin meningkat.
7.5 Implikasi Model Pengelolaan KKL
Interaksi antara berbagai komponen dalam pengelolaan sumberdaya perikanan mengharuskan adanya kebijakan modified marine protected area.
Kebijakan rasionalisasi harus dimodifikasi untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat produsen dan konsumen melalui pemberian kompensasi dan atau
167 mekanisme lainnya. Demikian juga kebijakan KKL harus dimodifikasi untuk
mengakomodasi kepentingan kesejahteraan masyarakat, misalnya melakukan re- zonasi terhadap KKL yang ada saat ini.
Model pengelolaan KKL ini dapat dilaksanakan berdasarkan 3 model pengelolaan yaitu community lead, government lead dan NGO lead. Pada masing-
masing model pengelolaan ini memiliki karakteristik yang spefisik untuk diterapkan pada lokasi-lokasi tertentu. Selain itu, konsekuensi pengelolaan dan
implikasi kebijakan akan berbeda jika pengelolaan KKL dikelola dengan salah satu model dari ketiga pilihan model tersebut.
Model community lead merupakan model pengelolaan KKL yang memberikan hak yang penuh kepada masyarakat untuk melakukan pengelolaan,
pemanfaatan dan pengawasan terhadap kawasan konservasi. Pemerintah yang didukung LSM berperan sebagai pihak evaluator dan partner untuk berkonsultasi.
Dalam mekanisme community lead ini peran masyarakat sangatlah besar sehingga membutuhkan sebuah aturan lokal yang bersumber pada kearifan lokal yang
berlaku di wilayah tersebut. Model pengelolaan jenis ini ditunjukkan pada Gambar 42.
Gambar 42 Community lead model Model pengelolaan kedua yaitu government lead Gambar 43 adalah
sebuah model pengelolaan yang memberikan kekuasaaan pada pemerintah. Segala aturan pengelolaan dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah yang biasanya
dilakukan oleh pemerintah daerah. Kawasan konservasi laut yang berada didalam wilayah kewenangan pemerintah daerah dan ditetapkan serta dikelola oleh daerah
mulai dari tahap perencanaan, penetapan, pengelolaan serta monitoring dan evaluasi. Dalam model pengelolaan ini, interaksi yang sering terjadi adalah antar
nelayan dan pemerintah. Pemerintah sebagai pengelola tunggal akan mengatur aktivitas penangkapan yang dilakukan oleh nelayan di sekitar wilayah konservasi.
Community
NGO Government
168 Nelayan sebagai pengguna sumberdaya ikan utama akan bekerjasama dengan
LSM dan masyarakat. Dengan adanya dukungan dari pihak-pihak tersebut, diharapkan
bargaining position
nelayan terhadap
pemerintah dalam
mempertahankan kepentingannya dapat ditingkatkan.
Gambar 43 Government lead model. Keterbatasan aspek pendanaan dari masyarakat dan pemerintah untuk
pengelolaan dan pengawasan KKL memberi peluang bagi non government organization
NGO untuk berpartisipasi. Dalam NGO lead model seperti Gambar 44 menunjukkan bahwa adanya peran LSM yang memegang kendali dalam
pengelolaan KKL. Dengan didukung pendanaan yang relatif besar, pengelolaan dengan sistem ini berjalan dengan mekanisme manajemen yang baik. Peran
pemerintah dan masyarakat adalah sebagai regulator dan pendukung berjalannya pengelolaan KKL.
Gambar 44 NGO lead model Penerapan ketiga model pengelolaan KKL sebagaimana tersebut diatas,
dapat dilakukan dengan penerapan berjenjang. Biasanya model pengelolaan KKL dimulai dengan government lead model, karena pada tahap awal pengelolaan KKL
biasanya pemerintah memegang kendali secara penuh, untuk memberikan fondasi dalam meregulasi pengelolaan KKL, contoh dalam hal ini pengelolaan KKLD.
Setelah regulasi ataupun tatacara pengelolaan KKL berjalan dengan baik dan dirasakan telah memberikan manfaat kepada masyarakat, kemudian model
pengelolaan dapat bergeser ke NGO lead Model ataupun community lead model.
NGO
Community Government
Government
NGO Community
169 Pemerintah dalam hal ini akan menyerahkan ke kedua kelompok tersebut yaitu
NGO atau community, dengan melihat siapa yang lebih siap apakah NGO atau
community dan dilakukan dengan konsensus. Peran pemerintah menjadi
berkurang dan mendorong LSM atau masyarakat untuk berperan lebih aktif.
7.6 Aplikasi Model Pengelolaan KKL Kabupaten Raja Ampat
Dari hasil pengamatan selama penelitian bahwa penerapan model pengelolaan KKL di Kabupaten Raja Ampat adalah pada tahap awal penentuan
KKL merupakan government lead, yang pada waktu itu inisiasi dan ide penetapan KKL merupakan prakarsa pemerintah setempat, yang didukung oleh stakeholders
dan difasilitasi pemerintah pusat. Misalnya penetapan SML melalui fasilitasi Departemen Kehutanan dan penetapan KKLD melalui fasilitasi Depertemen
Kelautan dan Perikanan. Namun pada saat masuknya beberapa NGO ke kawasan tersebut, kemudian dilakukan pengelolaan collaboratif antara pemerintah
Kabupaten Raja Ampat dan NGO Concervation Indonesia yang berlaku hingga saat ini. Masyarakat kemudian menjadi bagian dari model pengelolaan yang ada,
dengan tetap menjadi ujung tombak pelaksanaan pengelolaan KKL melalui pemberdayaan terhadap mereka.