atau hampir tidak mungkin, untuk mengubah kesenangan bekerja profesi sekelompok orang yang sudah secara
mentradisi menekuni suatu bidang pekerjaan. Keempat
, baik secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur single
use adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun
eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha. Contohnya, pembangunan tambak udang di Pantai Utara Pulau Jawa, yang
sejak tahun 1982 menkonversi hampir semua pesisir termasuk mangrove sebagai kawasan lindung menjadi tambak udang.
Sehingga, pada saat akhir 1980-an sampai sekarang terjadi peledakan wabah virus, sebagian besar tambak udang di
kawasan ini terserang penyakit yang merugikan ini. Kelima
, kawasan pesisir pada umumnya merupakan sumberdaya milik bersama common property resources yang
dapat dimanfaatkan oleh semua orang open access. Padahal setiap pengguna sumberdaya pesisir biasanya berprinsip
memaksimalkan keuntungan. Oleh karenanya, wajar jika pencemaran, over-eksploitasi sumberdaya alam dan konflik
pemanfaatan ruang seringkali terjadi di kawasan ini.
2.2.3. Pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berkelanjutan.
Pengelolaan sumberdaya di pulau-pulau kecil sering melibatkan pengelolaan yang kompleks karena keterbatasan sumberdaya alam dan manusia tenaga kerja.
Kedua keterbatasan tersebut, ditambah kondisi keterbatasan biofisik pulau-pulau kecil, menyebabkan pengelolaan multiple use harus dilakukan secara efisien dan
ekonomis Fauzi dan Anna 2005. Pada prinsipnya pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang
bertujuan untuk mendapatkan manfaat sosial dan ekonomi yang optimal dari sumberdaya yang ada dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya tersebut. Oleh
karena itu pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga mempunyai dua tujuan, yaitu 1 memanfaatkan potensi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam
rangka meningkatkan kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, dan 2 menjaga kelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan di kawasan tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus mencakup seluruh aspek pembangunan,
yaitu aspek-ekologis, aspek sosial-ekonomi-budaya, aspek politik, serta aspek hukum dan kelembagaan Ditjen Bangda-PKSPL IPB 1998.
Berdasarkan sudut pandang pembangunan berkelanjutan sustainable development, pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan di Indonesia
dihadapkan pada kondisi yang bersifat mendua, atau berada di persimpangan jalan. Di satu pihak, ada beberapa kawasan pesisir yang tela dimanfaatkan dikembangkan
dengan insentif. Hal ini kemudian muncul indikasi telah terlampauinya daya dukung atau potensi lestari dari ekosistem pesisir dan lautan, seperti pencemaran, tangkap
lebih overfishing, degradasi fisik habitat pesisir dan abrasi pantai. Fenomena ini telah dan masih berlangsung, terutama kawasan pesisir dengan penduduk yang padat
dan tingkat pembangunan yang tinggi, seperti Selat Malaka, Pantai Utara jawa, Bali dan Sulawesi selatan.
Ketimpangan pembangunan seperti ini selain karena kondisi agroekologis Pulau Jawa dan Bali yang lebih subur dan nyaman untuk kegiatan usaha pertanian
dan pemukiman, juga terutama karena kebijakan dan pelaksanaan pembangunan yang sangat terkonsentrasi di kedua pulau tersebut selama kurun waktu 25 tahun
pertama.PJP I. Pembangunan saran dan prasarana ekonomi serta investasi usaha jauh lebih pesat di kedua pulau ini dibandingkan dengan daerah di luar Jawa dan Bali
khususnya KTI. Orientasi pembangunan semacam ini telah mengakibatkan KTI menjadi tidak menarik bagi kalangan investor, baik nasional maupun asing dan
kegiatan pembangunanpun menjadi sangat rendah. Sementara itu, pengaruh pemusatan polarization effect di sepanjang pantai utara Pulau Jawa dan Bali, terutama
di sekitar Jakarta dan Surabaya serta kota-kota besar lainnya, menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan dan mengancam kelestarian ekosistem pesisir. Hal yang lebih
ironis lagi adalah suatu kenyataan bahwa selain telah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran, pembangunan sumberdaya kelautan masih belum dapat
mengangkat sebagian besar penduduk yang mendiami kawasan pesisir dari kemiskinan, baik di KTI maupun di Kawasan Barat Indonesia KBI. Padahal
kenyataan membuktikan bahwa kemiskinan seringkali memaksa manusia untuk mengeksploitasi sumberdaya kelautan dengan cara-cara yang dapat merusak
kelestariannya, sekedar untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling mendasar, yaitu pemenuhan pangan. Penambangan batu karang, penggunaan bahan peledak atau
racun untuk menangkap ikan karang, pembabatan mangrove selain dilakukan oleh kelompok manusia serakah, juga seringkali oleh penduduk yang karena kemiskinan
absolute atau tidak mengerti tentang bahaya kerusakan lingkungan, terpaksa melakukannya. Dengan demikian kerusakan lingkungan bukan saja disebabkan oleh
industrialisasi dan laju pembangunan yang pesat, tetapi juga oleh kemiskinan. Jika ditinjau dari sumber kejadiannya, jenis-jenis kerusakan lingkungan
tersebut ada yang berasal dari luar sistem wilayah pesisir dan ada yang berlangsung dalam wilayah pesisir itu sendiri. Pencemaran dapat berasal dari limbah yang
terbuang dari berbagai kegiatan pembangunan seperti tambak, perhotelan dan permukiman serta industri yang terdapat di dalam wilayah pesisir; dan juga berupa
kiriman dari berbagai kegiatan pembangunan di daerah lahan atas. Sedimentasi atau pelumpuran yang terjadi di perairan pesisir sebagian besar berasal dari bahan
sediment di lahan atas akibat penebangan hutan dan praktek pertanian yang tidak mengindahkan konservasi lahan dan lingkungan, yang terangkut aliran air sungai
atau limpasan air dan diendapkan di perairan pesisir. Sementara itu, kerusakan lingkungan berupa degradasi fisik habitat pesisir mangrove, padang lamun dan
terumbu karang; lebih pungut over exploitation sumberdaya alam; abrasi pantai; konversi kawasan lindung; dan bencana alam, hampir semuanya terjadi di wilayah
pesisir. Pencegahan dan rehabilitasi kerusakan lingkungan serta konservasi
keanekaragaman hayati merupakan beberapa cara pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Namun demikian sebagaimana di kemukakan oleh Bengen dan Rizal 2003,
upaya konservasi dan rehabilitasi lingkungan ini harus mempunyai manfaat ekonomi dan daya tarik tersendiri agar dapat berlangsung secara berkelanjutan.
Masyarakat pesisir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pembangunan di wilayah pesisir. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki
daerah pesisir yang sangat luas dan diperkirakan 60 dari penduduknya hidup dan tinggal di daerah pesisir. Sekitar 9.621 desa dari 64.439 desa yang ada di Indonesia
dapat di ketegorikan sebagai desa pesisir. Mereka ini kebanyakan merupakan masyarakat tradisional dengan kondisi sosial-ekonomi dan latar belakang pendidikan
hanya sampai Sekolah Dasar Supriharyono 2000. Kondisi sosial masyarakat pesisir seperti ini menyebabkan kesulitan tersendiri di dalam pembangunan wilayah pesisir.
Pola pengembangan pesisir sebagai bagian dari pola pembangunan berkelanjutan di atas dalam perspektif ekonomi kerangka pikir ekonomi, tujuan
ekonomi dapat disederhanakan menjadi pertumbuhan dan efisisensi ekonomi, tujuan ekologis menjadi pengelolaan sumberdaya alam guna pembangunan industri dan
tujuan sosial menjadi pengentasan kemiskinan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan tanpa menghilangkan fungsi lingkungan alam serta komunitas
masyarakat. Kebijakan pembangunan pesisir untuk mendukung pemerataan pertumbuhan pada prinsipnya menurut Dahuri 2000, meliputi 4 aspek utama yaitu :
1. Aspek teknis dan Ekologis. Aspek teknis dan ekologis dari setiap kegiatan pembangunan dan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir
dan lautan harus memperhatikan tiga persyaratan, yaitu : a keharmonisan spasial, b kapasitas asimilasi daya dukung lingkungan, c pemanfaatan
sumberdaya secara berkesinambungan. 2. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya. Aspek ini mensyaratkan bahwa masyarakat
pesisir sebagai pelaku dan sekaligus tujuan pembangunan wilayah pesisir dan lautan harus mendapatkan manfaat besar dari kegiatan pembangunan tersebut.
3. Aspek Sosial dan Politik. Suatu kegiatan pembangunan berkesinambungan khususnya di wilayah pesisir dan lautan hanya dapat dicapai apabila di dukung
oleh suasana yang demokratis dan transparan.
4. Aspek Hukum dan Kelembagaan. Pengaturan hukum dan kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan pada dasarnya merupakan sarana
penunjang bagi kebijakan nasional. Satu aspek lagi yang perlu ditekankan bahwa penyelenggaraan pembangunan
pesisir harus dilaksanakan dalam konteks desentralisasi kewenangan, dengan semangat menciptakan lebih banyak keleluasaan pada pemerintah daerah dan
masyarakat lokal untuk menentukan prioritas-prioritas pembangunannya guna mendorong dan menumbuhkembangkan pembangunan daerah.
2.2.4. Sumberdaya wilayah pesisir