Kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan

based management adalah pengelolaan yang didasarkan pada kemampuan dalam memanfaatkan basis – basis kompetisi seperti sumberdaya, peraturan perundang– undangan dan kelembagaan basis for competition ,memanfaatkan peluang pasar seperti sorting, grading dan processing How to compete dan kemampuan bersaing dengan para pesaing di pasar dalam negeri maupun luar negeri where to compete . Keberhasilan dalam melaksanakan resource based dan community based management secara terpadu merupakan basis yang kuat untuk melakukan kompetisi, sedang how to compete akan mempengaruhi pilihan tentang jenis, jumlah dan mutu produk yang dihasilkan agar sesuai dengan permintaan pasar, serta where to compete akan mempengaruhi strategi pemasaran yang akan dilaksanakan. Kesemuanya ini harus di dukung dengan peraturan perundang– undangan dan kemapuan kelembagaan yang memadai.

2.4. Kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan lautan

Otonomi dan kewenangan daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan lautan, topik yang dipandang sangat menarik bagi Pemerintah Daerah karena sampai saat ini masih ada persoalan penting, yaitu belum ada kejelasan otonomi dan kewenangan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumberdaya kelutan, dan belum banyak urusan sektor yang diserahkan kepada Pemda melalui Peraturan Pemerintah PP atau Keputusan Presiden Keppres. Pasal 7 dan 8, UU No. 51974; menyatakan otonomi daerah berarti daerah berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan yang berlaku. Penambahan penyerahan urusan pemerintah kepada daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 451992 menyatakan bahwa titik berat otonomi daerah pada Daerah Tk.II, dilaksanakan dengan menyerahkan sebagian urusan Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah Tk. I, kepada Pemerintah Daerah Tk. II secara bertahap dan berkelanjutan Depdagri 1998. GBHN menyatakan bahwa sumberdaya pesisir dan lautan merupakan modal dasar pembangunan yang penting. Berdasarkan hasil studi Bappenas, kontribusi pemanfatan sumberdaya kelautan terhadap produk domestik regional bruto PDRB mencapai Rp 36,6 trilyun atau 22 tahun 1988, dan tahun 1990 kontribusi sektor kelautan sudah mencapai Rp 43,5 trilyun atau 24 dari PDRB dan menyediakan kesempatan kerja bagi 16 juta jiwa Dahuri et al 1996. Kontribusi ekonomi tersebut semakin besar, karena banyak kegiatan pembangunan sektoral, regional, swasta, dan masyarakat mengambil tempat di kawasan pesisir, seperti budidaya perikanan, wisata bahari, industri maritim, pertambangan lepas pantai, pelabuhan laut dan reklamasi pantai. Sehingga pemanfaatan potensi dan prospek sumberdaya kelautan merupakan kegiatan pembangunan yang penting. UU No. 241992 tentang Tata Ruang memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melakukan penataan ruang atas wilayah laut tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan laut tertentu ini merupakan kewenangan pusat. Peraturan pelaksanaan mengenai tata ruang laut ini belum ada sehingga kewenangan tersebut belum jelas DKP 2000. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut UU no. 171985, kewenangan daerah atas penataan ruang laut tersebut identik dengan kewenangan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di laut teritorial. Jadi UU No. 171985 jo UU No. 241992 daerah dapat memiliki kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan potensi dan prospek sumberdaya alam pesisir laut dalam batas-batas yang diatur oleh perundang-undang yang berlaku. Perlu ditegaskan di sini bahwa daerah tidak memiliki kewenangan atas badan airnya water coloumn, sehinggga kewenangan tersebut bukan kewenangan otonomi yang dapat diartikan sebagai kedaulatan daerah, tetapi kewenangan atas badan air tetap menjadi kewenangan pusat, karena untuk menjelaskan adanya kepentingan nasional dalam pengintegrasian pengelolaan baik secara regional maupun nasional Purwaka 2000 . Dengan tetap berpegang teguh pada Perpu No. 41960 jo. No. 51974, daerah telah lama melaksanakan kewenangan pengelolaan atas laut. Hal ini dapat dipertimbangkan sebagai situasi yang telah menjadi hukum kebiasaan dalam melaksanakan administrasi pemerintahan di daerah administrative customary law , yang dapat dipakai sebagai dasar hukum bagi kewenangan daerah atas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam laut. Pemerintahan daerah berhak dan berwenang mengkoordinasikan semua perencanaan pembangunan sektoral dan daerah sesuai PP No. 61988, perencanaan ini tidak dibatasi hanya di darat saja, sehingga secara implisit berarti mengkoordinasikan perencanaan pembangunan sektor kelautan. Melalui PP No. 451992 tentang Otonomi Daerah dan PP No. 81995 tentang 26 kabupaten percontohan otonomi Tk. II, maka secara bertahap dan berkelanjutan pembangunan otonomi daerah lebih dititikberatkan ke Daerah Tk. II, termasuk penyerahan urusan pengelolaan sumberdaya kelautan Depdagri 1998. Seiring dengan nafas reformasi, pemerintah membuat UU No.22 Tahun 1999, UU No.25 Tahun 1999 dan PP No. 25 Tahun 2000, memberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, diwujudkan dengan pembagian dan pemanfaatan sumber daya alam serta adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah secara proporsional sesuai dengan prinsip demokasi, keadilan dan pemerataan. Implikasi langsung dari Undang-Undang No.22 Tahun 1999 adalah beralihnya kewenangan semula wilayah laut menjadi kewenangan pusat dalam penentuan kebijakan pengelolaan dan pengembangannya di daearah agar menjadi keuntungan daerah berupa adanya peluang yang prospektif dalam mengelola sumber daya pesisir dan lautan dalam batas-batas yang telah ditetapkan Darwin 2001. Dengan demikian, luas wilayah kewenangan Pemerintah Daerah menjadi bertambah sehingga memberikan harapan yang prospektif dan merupakan peluang bagi daerah, khususnya dalam hal jurisdiksi dalam memperoleh nilai tambah atas sumber alam hayati dan non hayati, sumber pertambangan dan energi kelautan disamping sumberdaya pesisir yang sangat memungkinkan untuk digali dan dioptimalkan, antara lain sumber daya ikan, terumbu karang, rumput laut dan biota laut lainnya serta pariwisata Bengen et al 2001. Pengelolaan pesisir dan lautan seperti tersirat dalam UU No. 22 Tahun 1999 pasal 10, bahwa Daerah berwenang mengelola sumber daya alam yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan. Oleh karena Itu, dalam pendayagunaan sumberdaya alam tersebut haruslah dilakukan secara terencana, optimal dan bertanggung jawab disesuaikan dengan kemampuan daya dukungnya dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat serta harus memperhatikan kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup untuk terciptanya pembangunan yang berkelanjutan dan menjamin kebutuhan generasi mendatang Muchsin et al. 2001. Salah satu permasalahan yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan di Daerah selama ini adalah adanya konflik-konflik pemanfaat dan kekuasaan. Menurut Bengen et al 2001 upaya penanganan masalah tersebut diharapkan dapat dilakukan secara reaktif dan proaktif. Secara reaktif , artinya pemerintah Daerah dapat melakukan resolusi konflik, mediasi atau musyawarah dalam menangani masalah tersebut. Upaya proaktif adalah upaya penanganan konflik pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara aktif dan dilakukan untuk mengantisipasi dan mengurangi potensi-potensi konflik pada masa mendatang. Penanganan seperti ini dilakukan melalui penataan kembali kelembagaan Pemerintah Daerah, baik dalam bentuk konsep perencanaan, peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia, sistem administrasi pembangunan yang mengacu pada rencana pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan secara tyerpadu. Upaya ini dilakukan dengan menyusun Rencana Stategis Renstra pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan terpadu dari setiap daerah dengan menyusun zonasi kawasan pesisir dan laut untuk memfokuskan sektor- sektor tertentu dalam suatu zona, menyusun rencana pengelolaan Management plan untuk suatu kawasan tertentu atau sumberdaya tertentu. Selanjutnya membuat rencana aksi Action plan yang memuat rencana investasi pada berbagai sektor, baik untuk kepentingan Pemerintah Daerah, Swasta maupun masyarakat. Keseluruhan tahapan ini merupakan rencana strategis yang penting untuk dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Ditambahkan oleh Chambers 1996 proses perencanaan yang dilakukan adalah perencanaan yang bersifat community based planning , dimana setiap komponen daerah hendaknya dilibatkan dalam setiap proses mulai dari tahapan perencanaan sampai dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Namun demikian tidak berarti bahwa otonomi daerah tidak memiliki dampak negatif terhadap sumberdaya pesisir dan lautan. Menurut Knight 2001 dampak negatif akan timbul, apabila Pemerintah Daerah seperti di atas tidak memiliki persepsi yang tepat terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Artinya sumberdaya tersebut tidak semata-mata untuk dieksploitasi tetapi juga harus diperhatikan kelestariannya. Sebab dengan persepsi demikian, maka sumberdaya pesisir dan lautan yang ada diupayakan dan dieksploitasi sebesar- besarnya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Menurut Peterson 1997 eksploitasi berlebih dengan tidak mengindahkan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam pada akhirnya akan menimbulkan masalah lainnya dikemudian hari. Jika hal ini terjadi, maka pola pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan tidak ada bedanya dengan pola yang selama ini dilakukan. Oleh karena itu, yang perlu segera dibenahi adalah bagaimana agar Pemerintah Daerah memiliki persepsi yang tepat terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang berkelanjutan. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya kelautan, dimana beralihnya beberapa wewenang pusat ke daerah, disamping terdapat keuntungan, juga sekaligus menjadi beban dan tanggung jawab dalam pengendalian dan pengelolaannya, seperti: over eksploitasi, degradasi lingkungan, pencemaran, dan keselamatan serta keamanan pelayaran. Hal-hal ini menurut Aunuddin et al. 2001 hanya merupakan akibat lanjutan dari beberapa masalah berikut; a. Belum adanya InstitusiLembaga pengelola khuisus yang menangani masalah pengembangan pesisir dan laut. Implikasinya, tidak tersedianya Instumen Hukum wilayah perbatasan daerah tersebut RTRW, zonasi untuk dapat diketahui masyarakat luas, khususnya dunia usaha yang diharapkan dapat menanamkan investasinya, serta pedoman bagi instansi di daerah dalam pengelolaan dan pengembangan wilayah laut guna peningkatan kesejahteraan. b. Keterbatasan sumberdaya manusia aparat pemerintah dalam bidang pesisir dan laut yang terdidik dan terlatih., Sehingga kendala yang dihadapi adalah kesulitan dalam pendayagunaan serta peningkatan perangkat instansi daerah yang ada terhadap pengelolaan di wilayah pesisir dan 4 mil laut yang merupakan kewenangan Kabupaten. Sebagai contoh adalah kesiapan regulasi tentang pemanfaatan lahan pesisir untuk kegiatan pembangunan pariwisata, pemukiman dan sebagainya, pengaturan pemanfaatan sumberdaya laut, pengaturan alur pelayaran dan lain-lainnya. c. Ketersediaan data dan informasi pesisir dan laut sangat terbatas, seperti seberapa besar potensi kelautan yang dapat terdeteksi misalnya bahan tambang,perikanan dan pariwisata. d. Terbatasnya wahana dan sarana dalam penerapan dan pendayagunaan teknologi bidang kelautan. Sehingga bagaimana upaya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat, belum bisa terjawab, karena keterbatasan kemampuan teknologi untuk dapat menggali potensi sumberdaya pesisir dan laut. Pembangunan pesisir dan laut yang berbasis daerah dengan tujuan untuk menggerakkan otonomi daerah, maka mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan pembangunan adalah tenggung jawab pemerintah dan masyarakat di daerah. Hal ini dapat memberikan insentif bagi daerah untuk sepenuhnya melakukan pemanfaatan potensi pesisir dan laut di wilayah yang menjadi kewenangannya Adimihardja 2001. Menurut Bengen et al. 2001 kebijakan pengelolaan wilayah pesisir terpadu dalam pembangunan daerah akan memberikan manfaat, antara lain : • Mengurangi beban kerja pemerintah pusat sehingga dana pembangunan sektor yang terbatas dapat dipadukan dengan dana pembangunan daerah yang semakin besar, termasuk mengalokasikan aparatur dan fasilitas yang dapat menangani pembangunan secara langsung. • Mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan swasta karena pemberdayaan unit-unit kerja Pemerintah Daerah dan kelembagan masyarakat akan memudahkan pelayanan langsung ke pengguna jasa dan proses-prose perizinan. Mereka tidak lagi meminta izin ke instansi sektor di Jakarta untuk urusan yang bukan strategis nasional. • Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kegiatan-kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, yang berimplikasikan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraaan masyarakat. • Menempatkan kepentingan nasional di Daerah pada skala prioritas tinggi sehingga meningkatkan perhatian Pemerintah Daerah untuk ikut bertanggung jawab dalam melestarikan sumberdaya kelautannya. Dengan manfaat tersebut, maka diharapkan kerelaan semua pihak agar memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah selebar 12 mil dari titik pasang surut terendah, karena di wilayah ini konflik dan konsentrasi pemanfaatan sumberdaya pesisir terjadi. Di sisi lain diharapkan Pemerintah Daerah secara proaktif memperjuangkan kewenangan tersebut menjadi milik mereka dengan menunjukkan komitmen yang kongkrit dalam pelaksanaan proyek-proyek kelautan yang telah diserahkan sebagian kepada daerah.

2.5. Sistem Informasi Geografis SIG