Periode 1966-1997: Akumulasi Pengetahuan dan Transfer Teknologi

18 Hasil karya Nurtanio menarik perhatian Presiden Soekarno. Soekarno menyadari bahwa penguasaan teknologi tinggi merupakan kunci kemajuan perekonomian suatu negara, salah satunya melalui pengembangan industri pesawat. Keseriusan Presiden Soekarno dalam mengembangkan industri pesawat ditunjukkan melalui pembentukan Lembaga Persiapan Industri Penerbangan LAPIP pada tahun 1960, yang berfungsi mempersiapkan industri pesawat untuk melayani aktivitas penerbangan dalam negeri. LAPIP ini juga merupakan perluasan dari DPPP di bawah supervisi Nurtanio. Pada tahun 1961, LAPIP mendapatkan bantuan pinjaman sebesar 2,5 juta dolar AS dari Pemerintah Polandia untuk membangun fasilitas perakitan pesawat dan memperoleh lisensi dari Polish Cekop untuk memodifikasi pesawat yang diberi nama Gelatik yang digunakan untuk keperluan pertanian, transportasi, dan aero club. Untuk mendukung pengembangan sumber daya manusia dalam industri pesawat, dibentuklah program studi Teknik Penerbangan di InstitutTeknologi Bandung pada tahun 1962.Program studi ini dirintis oleh Oetarjo Diran dan Liem Keng Kie yang merupakan lulusan Program Beasiswa Luar Negeri. Kemudian melalui Dekrit Presiden tahun 1965, didirikan Komando Pelaksana Industri Pesawat Terbang KOPELAPIP dan PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari. Pada tahun 1966, dunia aviasi Indonesia berduka karena Nurtanio wafat dalam kecelakaan pesawat yang sedang diuji coba.Untuk menghormati kontribusi Nurtanio terhadap pembangunan industri pesawat Indonesia, KOPELAPIP dan PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari di merger menjadi Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio LIPNUR. Sepeninggal Nurtanio, industri pesawat sempat mengalami stagnasi, dimana LIPNUR hanya mampu memproduksi Gelatik dalam jumlah kecil, terutama untuk digunakan oleh AU. Hingga akhirnya pada tahun 1974, muncullah Baharuddin Jusuf Habibie, lulusan Teknik Penerbangan Technische Hochschule Aachen Jerman.

3.2. Periode 1966-1997: Akumulasi Pengetahuan dan Transfer Teknologi

Kembalinya B.J. Habibie ke Indonesia tidak lepas dari peran Soeharto yang kala itu menjabat sebagai presiden menggantikan Soekarno. Presiden Soeharto memiliki visi menguasai industri padat modal sebagai industri strategis dan menunjuk Habibie sebagai Menteri Riset dan Teknologi pada tahun 1978. Sebagai bagian dari industri strategis, LIPNUR dan Pertamina melakukan merger menjadi Industri Pesawat Terbang Nurtanio IPTN pada tanggal 5 April 1976 atas keputusan Presiden Soeharto. Habibie menjadi presiden direktur IPTN dan ditunjuk sebagai penanggung jawab pengembangan industri pesawat Indonesia. Dengan limpahan aset dari negara, IPTN bertempat di lokasi seluas 45.000 m 2 dengan pekerja sebanyak 860 orang. IPTN melaksanakan f ilosofi transfer teknologi dari Habibie yang terkenal, yaitu “berawal di akhir dan berakhir di awal”. Tujuan filosofi ini adalah agar SDM Indonesia dapat menguasai keseluruhan teknologi pembuatan pesawat, bukan hanya sebagian saja. Berdasarkan filosofi ini, IPTN mempelajari teknologi pembuatan pesawat mulai dari produk akhir lalu ke komponen. Fase-fase yang dilalui oleh IPTN yaitu: 1. Fase pemanfaatan teknologi yang sudah ada melalui program lisensi Fase ini bertujuan untuk membangun kapabilitas penguasaan perakitan pesawat dan mengidentifikasi jenis pesawat yang sesuai dengan kebutuhan domestik. 2. Fase integrasi teknologi Pada fase ini, kapabilitas manufaktur masih dikembangkan, ditambah pembelajaran desain. 3. Fase pengembangan teknologi Pada fase ini, ditingkatkan kapabilitas untuk membuat sendiri desain pesawat. 4. Fase penelitian dasar Fase ini bertujuan menguasai ilmu dasar untuk mendukung pengembangan produk baru. 19 Ambisi Habibie untuk mengembangkan industri pesawat menuai kontroversi dari para ekonom yang berpendapat bahwa seharusnya anggaran negara diprioritaskan untuk industri pangan.Namun karena dukungan penuh dari Soeharto, misi Habibie agar Indonesia menguasai teknologi pembuatan pesawat tetap berjalan.Perlindungan terhadap produk pesawat dalam negeri ditunjukkan melalui PP No. 19 tahun 1966 yang melarang impor pesawat udara dan komponennya yang tidak sesuai syarat-syarat standardisasi yang ditetapkan oleh Dewan Penerbangan dan Angkasa luar Nasional Republik Indonesia DEPANRI dan melarang impor pesawat udara serta komponennya yang sama atau sejenis dengan yang dihasilkan di dalam negeri. Kebijakan-kebijakan penunjang juga diberlakukan seperti dispensasi dari kebijakan pemerintah yang mengharuskan perusahaan BUMN menggunakan bahan baku lokal, dan otoritas penuh untuk Habibie untuk mempengaruhi keputusan TNI dan perusahaan penerbangan Garuda McKendrick, 1992. Contoh intervensi yang pernah dilakukan oleh Habibie terhadap Garuda adalah perintah untuk membeli mesin dari General Electric untuk Boeing 747s dan mesin Rolls-Royce untuk Airbus A330s pada tahun 1990, ketika Garuda berencana untuk membeli mesin dari Pratt Whitney. Hal ini dilakukan karena kedua perusahaan tersebut bekerja sama dengan IPTN. Di bawah pimpinan Habibie, IPTN mendapatkan berbagai kontrak kerja sama dengan perusahaan pesawat luar negeri seperti yang tercantum pada Tabel 1.Pada tahun 1975, proyek kerja sama luar negeri pertama dilakukan oleh IPTN dengan Messerschmitt-Boelkow-Blohm GmbH MBB, perusahaan pesawat Jerman tempat Habibie bekerja sebelum kembali ke Indonesia, dan CASA, sebuah perusahaan pesawat Spanyoldengan mendapatkan lisensi untuk memproduksi helikopter dan pesawat. Lisensi selanjutnya didapatkan dari Aerospatiale of France dan Bell Textron pada tahun 1977 dan 1982. Kerja sama dengan CASA kemudian berkembang menjadi joint venture yang kelak menghasilkan produk pesawat penumpang 35 kursi pertama di Indonesia, yaitu CN-235. Kerja sama-kerja sama ini dimanfaatkan oleh IPTN untuk mendidik pekerja-pekerjanya dalam mendesain, memproduksi komponen-komponen pesawat, hingga merakitnya.Ketekunan dalam mempelajari cara memproduksi pesawat ini pada akhirnya menarik perusahaan pesawat besar di Amerika Serikat, yaitu Boeing Corporation, untuk menandatangani perjanjian subkontrak dengan IPTN untuk menghasilkan komponen pesawat B-737 dan B-767. Selain dengan Boeing, IPTN juga menjadi perusahaan subkontrak untuk Fokker, British Aerospace, dan Pratt Whitney. Kerja sama teknis juga dijalin oleh IPTN dengan General Electrics GE dan Grumman. Kerja sama dengan GE menghasilkan Universal Maintenance Center UMC, yaitu pusat perawatan dan perbaikan pesawat serta helikopter. Pada tahun 1985, Habibie mengubah nama “Nurtanio” pada IPTN menjadi “Nusantara”. Hal ini mengundang reaksi keras dari AU, namun karena dukungan Soeharto, IPTN tetap berubah menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara. Maksud Habibie mengganti nama “Nurtanio” untuk mengubah citra IPTN sebagai perusahaan nasional dan melepaskan IPTN dari bayang-bayang masa lalu. Perubahan nama ini juga menjadi titik tolak industri pesawat terbang Indonesia yang terintegrasi, mulai dari infrastruktur, fasilitas, SDM, serta hukum dan regulasi. Jumlah pekerja perusahaan ini pun berkembang menjadi 14.000 orang. Akumulasi pengetahuan dan keahlian yang didapat selama bekerja sama dengan perusahaan pesawat luar negeri ini menimbulkan kepercayaan diri IPTN untuk mendesain dan merakit sendiri pesawat terbang tanpa lisensi maupun bantuan teknis dari pihak luar. Di tengah- tengah keraguan banyak pihak karena IPTN masih dipandang sebagai perusahaan pesawat amatir, Habibie tetap percaya bahwa telah tiba saatnya bagi Indonesia untuk memproduksi sendiri pesawat terbang komersial. 20 Tabel 1. Daftar Kontrak Kerja Sama IPTN Perusahaan Tahun Jenis Kerja sama Hasil CASA Spanyol 1975 Lisensi Pesawat C-212 1979 Joint Venture Pesawat CN-235 MBB Jerman 1975 Lisensi Helikopter BO-105 1982 Lisensi Helikopter BK-117 Aerospatiale of France Perancis 1977 Lisensi Helikopter PUMA SA-330 dan Super Puma AS-332 Bell Textron AS 1982 Lisensi Helikopter Bell-412 Boeing Corp. AS 1982 Subkontrak dan imbal produksi Komponen pesawat B-737 B- 767 General Dynamics AS 1982 Subkontrak dan imbal produksi Komponen pesawat F-16 General Electric AS 1980 Kerja sama teknis Universal Maintenance Center Grumman AS 1986 Kerja sama teknis British Aerospace Inggris Subkontrak dan imbal produksi Komponen sistem persenjataan Fokker AS Subkontrak dan imbal produksi Komponen ekor dan sayap F-100 Pratt Whitney Kanada Subkontrak dan imbal produksi Komponen mesin Sumber: Diolah dari McKendrick 1992 Proyek ini dimulai pada tahun 1987 ketika sebuah tim kecil yang terdiri dari insinyur- insinyur IPTN dibentuk oleh Habibie untuk melakukan survei jenis pesawat yang banyak dibutuhkan oleh pasar. Setelah dilakukan survei pasar, diputuskan bahwa IPTN akan memproduksi pesawat terbang penumpang dengan 50 kursi yang diberi nama N-250. Dua tahun kemudian, Habibie mempublikasikan proyek ini ke khalayak internasional di acara Paris Air Show. Hal ini membuat nama Indonesia semakin dikenal di industri pesawat terbang internasional. N-250 yang diproduksi IPTN ini tidak sekedar meniru pesawat-pesawat yang sudah ada, tetapi merupakan pesawat tercepat di kelasnya dan menggunakan inovasi teknologi fly-by-wire. Pada tanggal 10 Agustus 1995, hasil kerja selama delapan tahun ini akhirnya diterbangkan untuk pertama kalinya selama 55 menit. Habibie menyatakan produk N-250 ini sebagai simbol independensi teknologi Indonesia dan tanggal 10 Agustus dicanangkan sebagai Hari Kebangkitan Teknologi. Sayangnya superioritas N-250 ini hanya sampai tahap prototipe. Krisis ekonomi Asia pada tahun 1997 menyebabkan proyek pesawat ini dihentikan.

3.3. Periode 1998-2007: Rapor Merah PT. DI