Model Penanaman Budaya Inovasi Pada Masyarakat

90 ironis mengingat Kalimantan Selatan merupakan salah satu koridor di dalam MP3EI yang diklaim sebagai lumbung energi nasional karena kaya akan batubara dan sebagai kawasan yang memiliki lahan perkebunan kelapa sawit dan karet cukup luas ternyata belum mampu berkontribusi positif bagi pengembangan kesejahteraan masyarakat Kalimantan Selatan. Masyarakat Kalimantan Selatan pada umumnya hanya bekerja di level menengah ke bawah baik di sektor pertambangan maupun perkebunan. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Kalimantan Selatan ialah: a masyarakat Kalimantan Selatan memiliki budaya pernikahan dini 16 , meskipun seorang laki-laki belum mendapat pekerjaan, pernikahan dini menjadi tren di remaja Kalimantan Selatan setelah mereka lulus sekolah menengah pertama SMP dan sekolah menengah atas SMA; b orang tua cenderung lebih menyuruh anak-anak mereka untuk bekerja di sektor pertambangan dan perkebunan yang lebih menghasilkan uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari; c anak-anak remaja cenderung malas sekolah jika telah tahu cara mendapatkan uang, karena tujuan sekolah pada akhirnya ialah mencari uang; d biaya pendidikan dasar dan menengah yang relatif mahal dijangkau oleh masyarakat Kalimantan Selatan dibandingkan dengan Provinsi tetangganya di Kalimantan Timur Kaltim 17 .

4.3 Model Penanaman Budaya Inovasi Pada Masyarakat

Di Indonesia, budaya inovasi belum terbentuk, yang ada saat ini ialah budaya imitasi Sari, 2013. Program SIDa “penggemukan sapi” yang tengah dijalankan di Banyumulek-NTB dan juga program unggulan daerah sebagai embiro SIDa yang tengah dibahas oleh Pemprov Kalimantan Selatan ternyata masih merupakan hal baru bagi masyarakat sekitar. Program- program tersebut terkesan merupakan program vertikal dari pemerintah daerah yang bekerja sama dengan pemerintah pusat. Ada tiga hal yang diperlukan dalam penanaman budaya inovasi pada masyarakat yang bermula dari kearifan lokal sebagai penguat pengetahuan inovatif dasar pada individu, kelembagaan pendidikan sebagai alat pembentuk budaya inovasi, dan iklim sekitar yang mendukung budaya inovasi diterima oleh masyarakat di suatu wilayah Zhang dan Zhou, 2012. Pembentukan budaya inovasi di Indonesia selain diatur di dalam UU RI No.18 Tahun 2002 Tentang Sisnas P3 Iptek pada pasal 14, juga diatur di dalam peraturan bersama Menristek dan Mendagri No. 03 Tahun 2012 dan No. 36 Tahun 2012 dalam Pasal 14 yang menyatakan bahwa “Kelembagaan SIDa terdiri atas: a lembagaorganisasi, b peraturan, c normaetikabudaya.Merujuk pada Gambar 2 di bawah, elemen pertama, yaitu penanaman nilai-nilai lokal dikuatkan pada Pasal 15 ayat 3 dan Pasal 18 yang intinya bahwa pembentukan normaetikabudaya SIDa dapat dikembangkan melalui profesionalisme dengan menginternalisasikan nilai-nilai sosial yang ada. 16 Wawancara dengan salah seorang penduduk asli Kalimantan Selatan dari suku Banjar yang berjenis kelamin laki-laki. Budaya pernikahan dini di kalangan mereka sangat tinggi, rata-rata anak-anak lulus SMP dan SMA ingin segera menikahminta dinikahkan kepada orang tua mereka. Bahkan, informan tersebut mengatakan kalau dia sendiri sebenarnya telat menikah di umur 2627 tahun, karena di umur tersebut, teman sebayanya laki-laki sudah memiliki 1-2 anak. 17 Narasumber dari pemerintah daerah Kalimantan Selatan mengemukakan bahwa Provinsi Kalimantan Timur menggratiskan program pendidikan dasar dan menengah SD, SMP, SMA bagi penduduknya. Bahkan Pemprov Kaltim tetap ingin menyelenggarakan pendidikan gratis di berbagai sekolah unggulan yang mereka terapkan. Untuk lebih jelasnya baca di http:www.antaranews.comberita357871pemprov-kaltim-tetap-lanjutkan-sekolah-unggulan. 91 Sumber : Hasil modifikasi dari Taufik 2005, Zhang dan Zhou 2012, dan analisis penulis 2013 Gambar 2 Model penanaman budaya inovasi pada masyarakat sebagai elemen utama pembentuk sistem inovasi daerah Elemen kedua, yaitu kelembagaan pendidikan diatur dalam Pasal 15 huruf c,d dan Pasal 16 ayat 3,4 tentang pembentukan dan penataan kelembagaan pendidikan dan kelitbangan pendukung inovasi. Elemen ketiga, yaitu lingkungan ekonomi-politik-sosial yang kondusif diatur dalam Pasal 15 huruf a pemerintahan, b pemerintahan daerah, e lembaga penunjang inovasi, f dunia usaha, dan g organisasi kemasyarakatan di daerah, serta Pasal 16 ayat 1,2,5,6,dan 7 tentang penataan kelembagaan yang termuat di dalam Pasal 15 di atas. Hal ini ditambah lagi dengan Pasal 14 huruf b tentang “peraturan SIDa” yang diperkuat dengan Pasal 15 ayat 2 yang menyatakan bahwa “peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 b merupakan ketentuan yang mendukung terciptanya kondisi yang kondusif bagi penguatan SIDa.” Legalitas tersebut menguatkan bahwa sebenarnya budaya inovasi merupakan elemen yang tidak dapat terabaikan dalam pembentukan SIDa di Indonesia. Di Indonesia pada umumnya, dengan melihat contoh implementasi SIDa di Provinsi NTB dan Kalimantan Selatan, faktor budayakearifan lokal yang melekat di masyarakat sekitar harus menjadi perhatian utama pemerintah sebelum menerapkan suatu kebijakan. Seringkali, nilai-nilai inovasi dari program pemerintah justru berbenturan dengan nilai-nilai adat yang dianut masyarakat di suatu daerah. Seharusnya, pemerintah dapat memberi ruang terbuka bagi individu dalam komunitas lokal untuk mengungkapkan gagasan inovatif tanpa harus melanggar nilai adat mereka. Studi Barnett dalam Vecchi and Brennan 2009 mengemukakan bahwa ada hubungan positif antara individu di dalam masyarakat dan potensi inovatifnya. Kebebasan individu yang lebih besar akan membuat mereka lebih terbuka dalam mengungkapkan opini- opininya dan sekaligus memiliki kemungkinan lebih besar nutuk munculnya ide-ide baru. Kelembagaan pendidikan harus diciptakan melalui mekanisme kebijakan dari pemerintah, aturan, dan kesepakatan antara pemerintah dan masyarakat yang mengacu pada sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Pendidikan formal dan non formal merupakan hal mutlak yang harus dibentuk oleh pemerintah untuk menanamkan nilai-nilai iptek dan inovasi, kewirausahaan, dan pemerintahanstruktur-legal yang diakulturasi dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat setempat. Nilai-nilai tersebut ditanamkan ke setiap diri individu yang ada di dalam komunitas sebelum ke masyarakat umum hingga komunitas tersebut mau menerima akulturasi nilai-nilai baru tersebut secara ter- Sistem Inovasi Daerah Suasanakeadaan ekonomi, politik atau faktor sosial lainnya Kondisi lingkungan yang mendukung Sistem, kebijakan, aturan terkait pendidikan Kelembagaan pendidikan Pengetahuan kearifan lokal masyarakat Pengetahuan iptek dan inovasi Pengetahuan ekonomi kewirausahaan Pengetahuan regulasi pemerintahan Tiap individu di dalam komunitas Tiap individu di dalam komunitas Tiap individu di dalam komunitas Masyarakat di suatu wilayah geografis Budaya inovasi masyarakat 92 institutionalized 18 . Nilai-nilai yang sudah tertanam di dalam masyarakat dan membentuk kelembagaan baru institutionalized, akan dijalankan oleh komunitas menjadi suatu normapola hidup yang lumrah bagi komunitas di dalam masyarakat. Sehingga, praktik-praktik iptek dan inovasi, kewirausahaan, dan pemerintahan dapat dijalankan oleh masyarakat tanpa berbenturan dengan nilai lokal. Kelembagaan nilai-nilai baru pembentuk budaya inovasi tidak dengan mudah berkembang secara eksis di dalam suatu tatanan sosial-ekonomi-politik yang telah stabil. Lingkungan di sekitar ternyata sangat mempengaruhi pembentukan nilai-nilai tersebut, selain pengaruh dari nilai-nilai lokal yang muncul dari masyarakat sendiri. Faktor sosial, ekonomi, dan politik baik itu yang telah terbentuk di dalam suatu masyarakat secara alamiah maupun datang dari faktor eksternal merupakan hal esensial yang harus diperhitungkan untuk menumbuhkan budaya baru di suatu masyarakat. Jika nilai-nilai baru tersebut mengganggu pola sosial, ekonomi, dan politik yang sudah ada, maka kecenderungan nilai-nilai baru tersebut akan sulit muncul atau cepat muncul dan juga akan cepat hilang. Dengan kata lain, mustahil akan terbentuk budaya inovasi di masyarakat jika lingkungan di sekitar mereka ternyata tidak mendukung tumbuhnya nilai-nilai baru yang mengarah pada penciptaan budaya inovasi. Gambaran sederhananya, jika pembentukan nilai-nilai inovatif pada masyarakat sekitar diprediksi akan membangkitkan usaha kecil masyarakat, maka otomatis industri-industri besar di bidang usaha yang sama dan telah lama berdiri, akan menolak dan menghambat munculnya nilai-nilai tersebut. Karena, industri-industri besar merasa pembentukan nilai-nilai inovasi tersebut akan mengurangi keuntungan ekonomi mereka yang selama ini mereka dapatkan. Hal in i akan semakin parah jika ternyata para pengambil keputusan dan “penguasa” di daerah tersebut lebih berpihak pada pemilik industri besar, yang mengakibatkan arah kebijakan yang diambil justru akan menghambat tumbuhnya budaya inovasi di masyarakat. Kebijakan pemerintah amat diperlukan dalam mendorong iklim ekonomi yang berbasis pada penguatan nilai lokal. Hal ini dikuatkan oleh studi Yanuarti dkk 2007 bahwa market yang bersifat predatory, umumnya terjadi di negara sedang berkembang karena instrumennya belum sempurna. Agar market dapat masuk ke ranah lokal secara bersahabat, maka instrumen dan aturan bermain yang jelas harus disiapkan agar tidak merugikan civil society. Keadaan lingkungan yang mendukung, baik dari sisi ekonomi, politik, maupun sosial akan mempermudah untuk menumbuhkan sekaligus menggiatkan nilai-nilai baru tersebut sebagai suatu tatanan baru yang diterima oleh masyarakat dan dikehendaki oleh pihak-pihak lain seperti kalangan pemerintah, politisi, pengusaha, akademisi, serta pihak lain yang merasa “menyadari” pentingnya budaya inovasi atau bahkan merasa “diuntungkan” dengan munculnya budaya inovasi. Faktor sosial lainnya, seperti masyarakat yang berada di diluar komunitas tersebut akan semakin mempermudah pembentukan budaya inovasi, jika masyarakat lain tersebut telah melihat manfaat keberhasilan pembentukan budaya inovasi di suatu daerah untuk kemudian mereka adopsi di wilayahnya. Syarat inilah yang kemudian akan membentuk budaya inovasi di masyarakat dan sebagai elemen krusial bagi program pencanangan dan implementasi SIDa di Indonesia. 4.4 Penanaman Budaya Inovasi Pada Masyarakat di NTB dan Kalimantan Selatan Praktik penerapan SIDa di Provinsi NTB terkait dengan masyarakat asli yaitu suku Sasak yang memiliki perkumpulan adat yang dinamakan krama. Studi Ismail dalam Turmuzi 2011 menyimpulkan ada dua bentuk krama yaitu krama lembaga adat dan krama pergaulan sosial 19 . Dua bentuk krama tersebut memiliki tiga nilai kearifan lokal berupa: 1 bidang politik 18 Menurut H.M. Johnson suatu norma terlembaga institutionalized apabila memenuhi tiga syarat sebagai berikut: 1 Sebagian besar anggota masyarakat atau sistem sosial menerima norma tersebut. 2 Norma tersebut menjiwai seluruh warga dalam sistem sosial tersebut. 3 Norma tersebut mempunyai sanksi yang mengikat setiap anggota masyarakat. Diakses darihttp:wartawarga.gunadarma.ac.id201007pengertian-lembaga-sosial 19 Bentuk krama tersebut masih dibagi lagi sesuai dengan aturan-aturan teknis lain perihal pernikahan, kematian, sanksi sosial atas pelanggaran, musyawarah adat, dan lainnya. 93 dan kemasyarakatan, 2 bidang ekonomi dan perdagangan, dan 3 bidang tata cara bertaniberladang. Kearifan lokal tersebut merupakan sikap saling tolong menolong antar masyarakat yang dilakukan saat ada seseorang atau sebagian masyarakat mengalami kesulitan hidup. Di Kalimantan Selatan, masyarakat memiliki tradisi aruh ganal 20 , yaitu bentuk upacara adat yang menyatukan masyarakat dari dua suku lokal, yaitu Banjar dan Dayak yang bertujuan merumuskan langkah dan kebijakan pembangunan di wilayah mereka. Syaifullah dan Werdiono 2010 mengungkapkan bahwa sebenarnya aruh ganal pada awalnya merupakan upacara adat syukuran pada Tuhan atas berkah hasil panen yang melimpah di kampung mereka. Akan tetapi, saat ini aruh ganal juga merupakan upacara pernikahan adat, tradisi saling berbagi kasih, dan juga tradisi meminta keselamatan bagi masyarakat. Saat ini aruh ganal juga dimanfaatkan oleh masyarakat adat sebagai ajang pertemuan dengan pemuka adat untuk membahas persoalan-persoalan yang ada di wilayahnya secara musyawarah. Organisasi dan kearifan lokal, yang tumbuh dan berkembang di masyarakat lokal, perlu diberikan ruang gerak yang luas agar dapat mengekspresikan dan mengartikulasikan berbagai kebutuhan masyarakat lokal Widodo dan Suradi, 2011. Nilai-nilai lokal masyarakat yang tertanam di dalam krama NTB dan aruh ganal Kalimantan Selatan seharusnya dapat menjadi dasar bagi penanaman pengetahuan iptek dan inovasi, pengetahuan kewirausahaan, dan pengetahuan pemerintahan struktur-legal. Wadah masyarakat lokal untuk bermusyawarah tersebut dapat menjadi media pendidikan informal untuk menyampaikan perpaduan pengetahuan tersebut kepada tiap individu di dalam komunitas tersebut. Caranya, petugas pemda dapat melakukan sosialisasi dengan pendekatan kepada pemuka adat di komunitas adat tersebut. Tidak hanya pendidikan informal, pemerintah daerah berperan penting dalam menumbuhkan kelembagaan pendidikan formal terkait tiga pengetahuan tersebut berbasis kearifan lokal. Kurikulum di tingkat SD, SMP, SMASMK bahkan tingkat perguruan tinggi dapat disusun dengan komposisi materi pengetahuan yang mengarah pada pembentukan karakter inovasi pada siswa didiknya. Model pendidikan karakter inovatif tersebut dapat diperkuat melalui sistem praktik kerja lapangan yang berbasis inovatif dan didukung oleh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Keadaan ekonomi, politik, dan sosial lainnya juga harus terbentuk dan berfungsi untuk menangkap dan mendukung nilai-nilai baru hasil dari sistem pendidikan formal dan informal. Politisi, akademisi, pengusaha, serta komunitas lain sebagai pelaku kegiatan politik-ekonomi- sosial harus memiliki kesamaan visi untuk menumbuhkan budaya inovasi masyarakat di kedua daerah tersebut. Salah satu caranya dengan berdasar pada “saling memberi kepada sesama”. Pemerintah dapat memberi ruang bagi akademisi untuk melakukan kegiatan research and development RD, pengusaha dapat mengembangkan usahanya dengan mendapatkan supplai bahan baku dari industriusaha masyarakat yang inovatif dan melakukan kegiatan RD, komunitas lain dapat mengambil keuntungan dengan jaringan ini baik sebagai supplier pendukung, konsumen maupun pelaku lainnya. Sementara, politisi dapat menciptakan iklim politik yang kondusif guna berkembangnya sistem inovasi daerah yang berbasis pada kearifan lokal. Elemen-elemen di atas jika telah membentuk jaringan kuat, maka penumbuhan budaya inovasi pada masyarakat akan mudah terwujud dan berkembang di suatu wilayah. Budaya inovasi inilah yang kemudian menjadi landasan utama penerapan SIDa di Indonesia. Menguatkan hal ini, Zhang dan Zhou 2012 menyatakan bahwa budaya inovatif dibangun pada basis sumber daya dan lingkungan yang khas, terintegrasi ke dalam lingkungan inovatif daerah. Sementara itu, sistem inovasi daerah adalah suatu produk sinergi dari seluruh simpul dalam jaringan regional, termasuk organisasi bisnis, universitas, lembaga riset, dan agen pemerintah . Dengan kata lain, penanaman budaya inovasi pada masyarakat merupakan suatu “keharusan” yang dapat dibentuk oleh pemerintah dengan berdasar pada kearifan lokal. 20 Lihat profil Kalimantan Selatan di http:www.kemendagri.go.idpagesprofil-daerahProvinsidetail63kalimantan-selatan 94

5. PENUTUP