17 perlengkapannya serta industri perbaikan dan pemeliharaan pesawat mengalami penurunan
hingga 99 dari Rp 725 milyar menjadi Rp 5 milyar Kementerian Perindustrian, 2012. Nilai ekspor berfluktuasi dari 103,1 juta dolar AS di tahun 2008 menjadi 198,2 juta dolar AS di tahun
2012. Pada tahun 2012, proporsi ekspor industri pesawat terbang terhadap total ekspor industri manufaktur nonmigas adalah 0,13 Kementerian Perdagangan, 2012.
Terlepas dari pro-kontra pendirian IPTN pada masa Orde Baru, industri pesawat terbang sebagai salah satu industri manufaktur berintensitas teknologi tinggi merupakan modal
untuk kemajuan ilmu pengetahuan maupun kemajuan perekonomian Indonesia. Mengingat besarnya investasi untuk membangun industri ini, hendaknya PT. DI tidak dibiarkan stagnan
dan mati suri. Makalah ini bertujuan untuk menguraikan perjalanan PT. DI sebagai satu-satunya perusahaan nasional produsen pesawat terbang di Indonesia, mulai dari awal perkembangan,
masa kejayaan, masa keterpurukan, hingga kini mulai bangkit kembali, serta menganalisis faktor-faktor penentu kesuksesan perusahaan berteknologi tinggi ini.
2. METODOLOGI
Penelitian ini akan menganalisis perkembangan PT DI secara historis. Perkembangan perusahaan akan dibagi menjadi lima periode. Dari periode perkembangan tersebut, akan
dianalisis faktor-faktor penentu kesuksesan perkembangan perusahaan. analisis akan dilakukan untuk melihat pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap perkembangan bisnis
perusahaan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan PT. DI di Indonesia akan dilihat berdasarkan lima periode seperti dijelaskan sebagai berikut:
3.1. Periode 1914-1965: Awal Kemunculan Industri Pesawat Indonesia
Cikal bakal industri pesawat Indonesia sudah dimulai dari masa pra-kemerdekaan ketika negara inimasih di bawah penjajahan Belanda. Pemerintahan Belanda tidak
memproduksi pesawat, tetapi mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pengoperasian pesawat seperti lisensi pembuatan dan evaluasi teknis serta evaluasi
keamanan pesawat yang beroperasi di Indonesia.Pada tahun 1914, didirikan Bagian Uji Terbang di Surabaya yang berfungsi sebagai tempat uji pesawat di kawasan tropis. Kemudian
dimulai perakitan pesawat pada tahun 1930,dengan didirikannya Bagian Pembuatan Pesawat Udara yang memproduksi pesawat untuk angkatan laut Kanada. Pusat perakitan pesawat ini
kemudian dipindahkan ke Lapangan Udara Andir di Bandung yang kini menjadi Bandara Husen Sastranegara. Pada skala kecil, beberapa pemuda Indonesia dipimpin oleh Tossin membuat
pesawat di bengkel kecil mereka di Bandung. Namun pesawat ini berhasil mengejutkan dunia karena kemampuannya melintasi samudera ke negara Belanda dan Cina.
Selepas Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945, ambisi Indonesia untuk membuat pesawat sendiri masih berlanjut. Pada masa ini, pesawat terutama dibutuhkan untuk
kepentingan pertahanan.Pada tahun 1946, dipionir oleh tiga orang anggota Tentara Republik Indonesia-Angkatan Udara TRI-AR yaitu Wiweko Supono, Nurtanio Pringgoadisurjo, dan
Sumarsono, dibuatlah pesawat layang pertama yang terbuat dari 100 bahan lokal dengan nama NWG-1. Walaupun dibuat secara sederhana, pesawat ini menarik perhatian pimpinan
mereka hingga digunakan untuk keperluan latihan. Keahlian mereka berkembang hingga pada tahun 1948, Wiweko berhasil mendesain pesawat bermesin pertama di Indonesia, dengan
nama RI-X.
Sekembalinya Nurtanio dari Filipina untuk mempelajari teknik penerbangan pada tahun 1950, beli diberi amanah untuk memimpin Seksi Percobaan Depot Penyelidikan, Percobaan,
dan Pembuatan DPPP AURI di Bandung.Pada tahun 1957-1958, Nurtanio berhasil membuat prototipe pesawat bernama “Si Kumbang”, sebuah pesawat berbahan logam dengan satu kursi;
“Belalang 89” dan “Belalang 90”, sebuah pesawat latihan; dan “Kunang 25” sebuah pesawat sport.
18 Hasil karya Nurtanio menarik perhatian Presiden Soekarno. Soekarno menyadari
bahwa penguasaan teknologi tinggi merupakan kunci kemajuan perekonomian suatu negara, salah satunya melalui pengembangan industri pesawat. Keseriusan Presiden Soekarno dalam
mengembangkan industri pesawat ditunjukkan melalui pembentukan Lembaga Persiapan Industri Penerbangan LAPIP pada tahun 1960, yang berfungsi mempersiapkan industri
pesawat untuk melayani aktivitas penerbangan dalam negeri. LAPIP ini juga merupakan perluasan dari DPPP di bawah supervisi Nurtanio. Pada tahun 1961, LAPIP mendapatkan
bantuan pinjaman sebesar 2,5 juta dolar AS dari Pemerintah Polandia untuk membangun fasilitas perakitan pesawat dan memperoleh lisensi dari Polish Cekop untuk memodifikasi
pesawat yang diberi nama Gelatik yang digunakan untuk keperluan pertanian, transportasi, dan aero club.
Untuk mendukung pengembangan sumber daya manusia dalam industri pesawat, dibentuklah program studi Teknik Penerbangan di InstitutTeknologi Bandung pada tahun
1962.Program studi ini dirintis oleh Oetarjo Diran dan Liem Keng Kie yang merupakan lulusan Program Beasiswa Luar Negeri. Kemudian melalui Dekrit Presiden tahun 1965, didirikan
Komando Pelaksana Industri Pesawat Terbang KOPELAPIP dan PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari. Pada tahun 1966, dunia aviasi Indonesia berduka karena Nurtanio wafat
dalam kecelakaan pesawat yang sedang diuji coba.Untuk menghormati kontribusi Nurtanio terhadap pembangunan industri pesawat Indonesia, KOPELAPIP dan PN. Industri Pesawat
Terbang Berdikari di merger menjadi Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio LIPNUR. Sepeninggal Nurtanio, industri pesawat sempat mengalami stagnasi, dimana LIPNUR hanya
mampu memproduksi Gelatik dalam jumlah kecil, terutama untuk digunakan oleh AU. Hingga akhirnya pada tahun 1974, muncullah Baharuddin Jusuf Habibie, lulusan Teknik Penerbangan
Technische Hochschule Aachen Jerman.
3.2. Periode 1966-1997: Akumulasi Pengetahuan dan Transfer Teknologi