100 Temuan P3GI, Toharisman dan Kurniawan dapat dijadikan acuan bahwa pabrik gula di
Indonesia harus menjadi beyond sugar dan bertransformasi menjadi industri berbasis tebu terintegrasi dari hulu ke hilir. Diversifikasi produk turunan tebu dapat menjadi sandaran kinerja
perusahaan gula atau dengan kata lain kinerja keuangan pabrik gula akan lebih banyak ditopang oleh pengembangan pasar produk hilir tebu non gula karena mampu berkontribusi
hingga 60 terhadap jumlah pendapatan pabrik gula.
3.2 Co-generation Sebagai Sandaran Pendapatan Pabrik Gula
Produk turunan tebu per satuan luas lahan dapat mencetak pendapatan 2 hingga 4 kali lipat dibanding pendapatan dari produksi gula. Bahkan, ada produk hilir tebu tertentu yang
mampu mencapai nilai 500 sampai 700 dibanding harga gula. Dalam industri berbasis tebu yang modern mampu mewujudkan setiap satu ton tebu setelah diproses ternyata bisa
menghasilkan surplus power 100 KW, bioethanol sebanyak 12 liter, dan biokompos 40 kg Subiyono, 2013.
Sebagai ilustrasi, pada 2010 luas tanam tebu pabrik gula BUMN bisa mencapai sekitar 286,6 ribu hektar dengan tebu giling 22,87 juta ton dan mampu menghasilkan 7,32 juta ton
ampas atau 32 dari jumlah tebu giling serta 1,12 juta ton tetes atau 4,9 dan 800.000 ton blotong atau 3,5. Dalam pemanenan tebu juga masih bisa dihasilkan 2,8 juta ton pucuk dan
serasah. Ini berarti bahwa bahan baku tersebut ternyata cukup besarnya jumlahnya untuk diproses lebih lanjut menjadi produk dengan nilai tambah ekonomi yang tinggi.
Salah satu produk turunan tebu yang berpotensi pasar tinggi adalah bioethanol dan cogeneration. Bioethanol dapat diproduksi dari tetes tebu atau molases, dan cogeneration
berasal dari pengolahan ampas tebu menjadi listrik. Menurut WADE 2004 bahwa 26 pembangkitan listrik di Mauritius dan 10 di Hawaii berasal dari pabrik gula. Pengalaman di
India adalah sangat berharga bagi Indonesia untuk tidak lagi berfokus ke energi fosil yang saat ini masih mendominasi sekitar 94 dengan rincian 47 berasal dari minyak bumi, kemudian
24 berasal dari gas bumi, dan 23 berasal dari batubara. Sementara itu, pemanfaatan energi baru terbarukan hanya 6 saja. Patut direnungkan bahwa pemadaman listrik masih terjadi di
banyak kawasan di Indonesia, dan lebih dari 20 keluarga di Indonesia belum memiliki akses terhadap listrik. Pangkal persoalan kelistrikan ini adalah ketergantungan yang tinggi pada
pembangkit berbahan bakar fosil.
Status energi nasional dewasa ini makin ke arah suram karena stok minyak crude ataupun produk-produk lain sudah pada titik kritis dan rentan terhadap gangguan dalam skala
apapun. Kapasitas terpasang instalasi listrik juga diambang batas kritis tanpa cadangan. Sementara itu, permintaan akan listrik terus meningkat tajam dan pengembangan energi
alternatif berjalan lamban serta menghadapi banyak rintangan dan ketidakpastian.
Brazil dan India merupakan contoh negara yang berhasil menjadikan tebu sebagai sandaran utama energi terbarukan dimana tebu menyumbang sekitar 18 dari jumlah
kebutuhan energi di Brazil dan lebih dari setengah kebutuhan gasoline di Brazil telah diganti oleh bioethanol berbasis tebu. Hal yang sama juga terjadi di India dimana banyak pabrik gula
berkapasitas menengah pada kisaran 4500 TCD telah terintegrasi dengan produksi ko produk, khususnya co-generation dan bioethanol. Sebagai contoh NSL Sugars Limited dan Boumar
Amman yang ada di Karnataka State yang sudah mampu menghasilkan listrik 30 MW dan etanol 120 kilo liter per hari, padahal di India terdapat 500 pabrik gula yang diperkirakan akan
mampu mengimbangi tingkat konsumsi gula sebanyak 28,5 juta ton pada 2017 dengan melibatkan sedikitnya 50 juta petani.
Di India, cogeneration produksi listrik asal ampas tebu menjadi andalan industri pertebuan. Berdasarkan data 2007 diperoleh gambaran bahwa sekitar 492 pabrik gula, ternyata
ada 145 diantaranya telah terinstalasi dengan fasilitas cogeneration. Bahkan saat ini potensi listrik asal cogeneration telah mencapai 10.500 MW, dan untuk memenuhi operasional pabrik
sendiri sekitar 3500 MW, hal ini berarti terdapat potensi listrik yang bisa dijual mencapai 7000 MW.
101 Pengalaman program cogeneration di pabrik gula Ngadirejo Kabupaten Kediri dapat
dijadikan panduan untuk melaksanakan cogeneration di Indonesia, sekaligus dapat dijadikan dasar Kajian Akademik untuk menyusun Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tentang
energi non fosil. Peraturan perundang-undangan sangat penting dan strategis agar tidak terjadi tindak kriminalisasi terhadap pimpinan pabrik gula dengan tuduhan merugikan negara, seperti
kasus yang menimpa CHEVRON dan IM2.
Nilai investasi untuk program cogeneration di pabrik gula Ngadirejo Kabupaten Kediri sekitar Rp. 310,40 miliar untuk 5 gilingan, ketel Takuna, ketel Stork, boiler dan TA ECT 40 MW.
Apabila perkiraan nilai jual listrik sebesar Rp. 104, 89 miliar, maka periode waktu pengembalian adalah 3 tahun.
Berdasarkan tabel I, maka cogeneration yang mengolah ampas tebu menjadi listrik andaikata diberlakukan untuk 10 pabrik gula di lingkungan PTPN X Persero saja maka dapat
diperoleh pendapatan sekita Rp. 633,89 miliar hingga Rp. 684,51 miliar dengan asumsi bahwa setiap 1 ton tebu akan menghasilkan 300 kg ampas tebu dan produk listrik rata-rata 100 KW
serta potensi listrik yang dihasilkan mecapai 225 megawatt MW.
Sesuai dengan namanya, cogeneration plant CP atau Combine Heat and Power Plant CHP adalah produksi panas atau uap dan power listrik secara bersamaan atau simultan dari
satu sumber bahan bakar, dengan memaksimalkan pemanfaatan energi. Uap panas nantinya akan digunakan untuk kebutuhan produksi di pabrik dan energi listrik yang dihasilkan akan
dijual kepada PLN untuk selanjutnya dialirkan ke masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa ampas tebu termasuk bioenergi yang terbarukan, dan selama proses budidaya tebu dan
produksi pabrik gula tetap berjalan, dimana sumber energi dari ampas tebu tidak akan habis. Berbeda dengan batubara dan minyak bumi yang sekian tahun lagi akan habis dan tidak dapat
tergantikan. Cogeneration selain ramah lingkungan, juga telah terbukti lebih efisien dibandingkan dengan pembangkit listrik konvensional, karena pada pembangkit konvensional
terbukti energi yang terbuang bisa mencapai 60-70. Keadaan ini jauh berbeda dibandingkan CHP Plant, yang mana energi listrik dan panas untuk bisa digunakan mencapai 90 atau
energi yang terbuang hanya 10.
Di pabrik gula Ngadirejo Kabupaten Kediri memiliki kapasitas ketel sebesar 175 ton per jam dan kapasitas terpasang turbin alternator sebesar 8 MW. Dengan kebutuhan listrik untuk
operasional pabrik gula sebesar 4,5-5 MW, maka di dapatkan potensi yang bisa di ekspor ke jaringan PLN sebesar 2-2,5 MW. Di samping PG. Ngadirejo, PTPN X juga menetapkan PG.
Pesantren Baru Kota Kediri sebagai pilot ptoject dan prototypeCHP Plant. Ampas tebu PG. Pesantren Baru sekitar 30 dan uap sekitar 52. Kemampuan kapasitas giling saat ini sekitar
6200 TCD dengan produksi ampas sebesar 1860 ton per hari atau 77,5 ton per jam ampas. Kebutuhan ampas yang diperlukan untuk produksi sebesar 60 ton per jam ampas sehingga
didapatkan surplus 17,5 ton per jam ampas. Dengan perhitungan tertentu maka didapatkan potensi pembangkitan sebesar 3,2 MW atau sekitar 3 MW dengan asumsi dilaksanakan saat
musim giling atau kurang lebih selama 150 hari.
102
Tabel 1 Investasi untuk Program Cogeneration di PG Ngadirejo
Sumber : PTPN X, 2013 Untuk bisa mendapatkan hasil yang maksimal tentu dibutuhkan serangkaian proses,
yakni mulai dari kelancaran pasokan bahan baku tebu hingga kelancaran produksi di pabrik agar menghasilkan ampas yang banyak, hal ini berarti dibutuhkan kecermatan mulai dari kebun
hingga pabrik dan harus dikelola dengan baik agar cogeneration bisa berjalan dengan baik, termasuk kemampuan pabrik gula harus bisa menghemat pemakaian energi uap di saat
processing. Kondisi ideal yang harus dipenuhi untuk mengembangkan cogeneration adalah keberlangsungan pasokan tebu harus tetap terjaga agar tetap lancar, tepat waktu dan terpenuhi
kebutuhannya. Pabrik gula harus berjalan lancar, jam berhenti rendah dan efisien dalam penggunaan energi tinggi. Syarat lain yang harus juga dipenuhi yaitu ekstraksi gilingan berjalan
prima, pol ampas di bawah 2 dan Zk di atas 49. Selanjutnya boiling house dapat hemat energi, hari giling panjang, dan permintaan energi untuk proses mekanik 16 KWHt come.
Efisiensi panas boiler berada di angka 85, efisiensi isentropis turbin uap 80, efisiensi isentropis pompa 80, efisiensi generator listrik 96, dan efisiensi mesin listrik gilingan 89.
Syarat-syarat tersebut hanya dapat dipenuhi dari ketel yang bertekanan tinggi, yakni lebih dari 80 bar Totok Sarwo Edi, 2013.
Dibalik semangat untuk mewujudkan cogeneration plant dan bioethanol sebagai sandaran baru pendapatan pabrik gula, ternyata masih ada sejumlah kendala yang dihadapi
pabrik gula di Indonesia, yakni: 1 masih ada PG yang mengalami defisit dalam ketersediaan ampas sehingga harus di suplai dari PG lain; 2 belum adanya kesepakatan dari PLN membeli
energi listrik dari bahan baku ampas; 3 pasokan tebu yang masih kurang dan tidak lancar serta pabrik yang boros energi; dan 4 Pemerintah Daerah belum siap untuk menerbitkan Izin
Usaha Kelistrikan Sendiri IUKS karena belum ada Peraturan Daerah yang mengaturnya.
4. KESIMPULAN